• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aliran pemikiran politik modern kedua tentang Islam dan negara serta relasi keduanya adalah paradigma sekuleristik. Paradigma ini secara umum berpandangan bahwa Islam dan politik merupakan dua hal yang terpisah. Islam dipahami murni agama sebagaimana halnya agama lain yang tidak mengatur masalah kehidupan masyarakat dan negara. Sebaliknya, negara dipandang sebagai murni masalah sosial yang eksistensinya berdasarkan akal dan moral. Atas dasar asumsi ini paradigma sekuler berpendapat negara tidak mengatur agama dan sebaliknya agama tidak mengatur negara.53 Menurut Din Syamsuddin, paradigma sekuler merupakan salah satu bentuk kecenderungan modernisme54 yang menolak

52Svetla Ben Itzhak, ‚Pemikiran Politik Islam‛ dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad 21…,918-930.

53Lihat Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Shari’ah dan HAM, Fundamentalisme, dan Antikorupsi

(Jakarta: Kencana, 2013), 26-30.

54Modernism setidaknya terdiri dari tiga kecenderungan menurut Din Syamsuddin, yaitu rasionalitas, sekuler, dan rekonstruksi. Gagasan rasional dalam paradigma ini dapat ditemukan misalnya pada pemikiran Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa tidak ada kedaulatan agama dalam konteks relasi Islam dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|41 asumsi paradigma integralistik maupun paradigma simbiotik, dan sebaliknya mengajukan konsep pemisahan antara agama dan negara. Paradigma ini dalam konteks pemikiran Islam menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.

Salah seorang pemikir Islam yang termasuk kategori mazhab sekuler adalah ‘Ali> ‘Abd ar-Ra>ziq. Pemikirannya tentang relasi Islam dan negara tertuang dalam karyanya berjudul al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm yang pertama kali diterbitkan di Mesir tahun 1925. Setidaknya terdapat tiga pemikiran utama ar-Ra>ziq tentang relasi Islam dan politik atau negara dalam bukunya tersebut.55 Pertama; al-khila>fah bukan suatu kewajiban dalam Islam. Gagasan ini merupakan anti tesis dari teori khalifah yang diketengahkan oleh kaum tradisionalis seperti Rashi>d Rid}a>. Ar-Ra>ziq menyatakan bahwa tidak ada satu ayat pun dari al-Qur’an dan hadits yang menyatakan kewajiban menegakkan al-khila>fah.56

Kedua, sistem pemerintahan masa Nabi tidak jelas menurut ar-Ra>ziq. Hal ini menurutnya dibuktikan dengan ketiadaan makanisme pengangkatan hakim, meskipun ia mengakui bahwa lembaga peradilan telah ada pada masa kenabian. Namun, lembaga pengadilan tersebut telah berkembang dalam tradisi orang Arab dan bangsa-bangsa lain sebelum Islam menurut ar-Ra>ziq. Selain itu, pemerintahan masa nabi juga tidak jelas karena tidak adanya lembaga keuangan dan kepolisian. Kedua lembaga ini memiliki posisi yang penting dan strategis bagi suatu negara, dan tanpa ini negara tidak akan terbentuk dengan sempurna. Atas dasar ketiadaan kedua lembaga yang disebut terakhir dan tidak adanya makanisme pengangkatan hakim, maka ar-Ra>ziq berkesimpulan sebagaimana yang dikemukakan di atas.

Ketiga, ar-Ra>ziq menolak peran Nabi sebagai kepala negara. Terkait dengan hal ini ia menyatakan bahwa Nabi adalah semata-mata seorang politik. Hakikat pemerintahan Islam menurutnya adalah duniawi atau sekuler, bukan agama. Oleh karena itu, kekuasaan politik harus berdasarkan pada kekuasaan rakyat yang berdasarkan kebebasan, integralitas, musyawarah, dan konstitusi.M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik…,129-131.

55Menurut Sjadzali, buku ar-Ra>ziq terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang khilafah. Bagian kedua menjabarkan tentang Islam dan pemerintahan. Kesimpulan bagian kedua ini adalah bahwa risalah Nabi bukanlah pemerintahan, dan agama bukanlah Negara. Bagian ketiga membahas tentang khilafah atau pemerintahan dalam sejarah Islam. Bagian ini ar-Ra>ziq membedakan mana yang Islam dan mana yang Arab, mana yang khilafah islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana agama dan mana politik.

56Lebih lanjut baca ‘Ali> Abd ar-Ra>ziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam terjemahan Afif Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985). Bandingkan dengan ‘Ali> Abd ar-Ra>ziq, al-Islam wa Ushu>l al-Hukm (Beirut: Mu’assasat al-‚Arabiyat}, 1972).

42|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Rasul yang mendakwahkan agama tanpa bermaksud mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara, atau pemerintahan. Nabi tidak pula mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia adalah Nabi semata seperti halnya Nabi sebelumnya, bukan raja, bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak umat untuk mendirikan kerajaan duniawi.57 Meskipun demikian, ar-Ra>ziq seperti yang dikemukakan oleh Din Syamsuddin tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebalikya, Islam sebagaimana yang difahami dalam al-Qur’an menurutnya menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Islam tidak menolak suatu kekuasaan politik meskipun hal ini tidak berarti bahwa membentuk pemerintah adalah kewajiban dari ajaran pokok Islam.58

Selain ar-Ra>ziq, pemikir Islam lain yang memiliki pandangan yang sama dan termasuk dalam golongan paradigma sekuler adalah T{aha> H{usain, A. Lut{fi Sayyid, dan Soekarno. T{aha> H{usain misalnya, gagasannya yang memisahkan dan membedakan antara Islam dan negara jelas menunjukkan pandangannya yang sekuler. Ia menyatakan bahwa politik adalah sesuatu dan agama adalah sesuatu yang lain, dan sistem pemerintahan dan pembentukan negara adalah atas dasar manfaat amaliyah, bukan atas dasar sesuatu yang lain termasuk agama.59 Begitu pula pandangan A. Lut}fi Sayyid dan Zia Gokalp sebagaimana yang diketengahkan oleh Sukron Kamil. Zia Gokalp misalnya berpendapat bahwa masalah keyakinan dan ibadah dipisahkan dari masalah hubungan sosial termasuk politik. Persoalan agama bagi Gokalp adalah masalah ulama, sementara persoalan sosial politik, dan sosial ekonomi adalah tanggungjawab negara. Sementara A. Lut}fi Sayyid bukan hanya mengatakan bahwa agama dan politik sebagai dua hal yang berbeda, ia bahkan memandang umat Islam tidak harus terikat pada Islam dan pan-Islamisme karena tidak relevan.60

Menurut Sjadzali, ar-Ra>ziq tidak berhasil membuktikan bahwa Muhammad tidak berbeda dengan Nabi sebelumnya, bahwa Nabi tidak 57Ar-Ra>ziq mengatakan: لاا ٌاك اي ىهسٔ ّٛهع الله ٗهص اذًحي ٌأت لٕقنا ْٕ كنر... لإسس حصناخ حُٛٚد جٕعذن كهي ىهسٔ ّٛهع الله ٗهص ٙثُهن ٍكٚ ىن َّأٔ ,حنٔذن جٕعدلأ ,كهي حعص آتٕشت لا ,ٍٚذهن اشئ حًهكنا ِزْ ٍي حساٛس ىٓفٚ ٘زنا ُٗعًنات ,حكهًي سٛسأتت ىقٚ ىن ىهسٔ ّٛهع الله ٗهص َّأٔ ,حيٕكح لأ نٔد سسؤي لأ اكهي ٌاك ائ ,مسشنا ٍي ٍٛناخنا َّإخاك لإسسلاا ٌاك اي .آتافد كهي ٗنا اٛعاد لأ ,ح

Lihat ‘Ali> ‘Abd ar-Ra>ziq, Isla>m wa Us}u>l H{ukm Bah}th fi> Khila>fah wa al-H{uku>mah fi> al-Isla>m (Mesir: al-Haiat al-Mis}riyah, 1993),64-65.

58Lihat M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik…,135.

59 حًٛهعنا عف اًُنا ٗهع ٌايٕقٚ لٔذنا ٌٕكتٔ ىكحنا واظَ ٌاف ,شخا ئٛش ٍٚذنأ ئٛش حساٛسنا ٌا شخا ئٛش ٖا ٗهع وٕقٚ ٌا مثق

. Lihat T{a>ha> H{usain, Mustaqbal al-S{aqa>fat fi> al-Mis}r (Beirut: Da>r al-Kita>b al-Lubna>ny, 1973), 27.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|43 bermaksud mendirikan negara serta menjadi kepala negara, dan otoritas yang dimilikinya bukan otoritas kepala negara. Islam memiliki sepertangkat hukum yang untuk melaksanakannya diperlukan suatu otoritas atau kekuasaan yang mampu menjamin ditaatinya hukum tersebut. Ar-Ra>ziq menurut Sjadzali tidak memahami secara mendalam pemikiran Barat seperti Thomas Hobbes sehingga ia berbuat salah dengan memahami Hobbes sebagai pemikir politik Barat yang mendukung gagasan raja yang mutlak berlandaskan mandat Tuhan.61