Secara garis besar, logika penulisan dan laporan disertasi ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama mengungkap kerangka dasar epistimologi penelitian seperti yang terlihat dalam bab pendahuluan dan bab kedua tentang kerangka teori yang digunakan. Bagian kedua merupakan inti pembahasan yang akan mengeksplorasi pemikiran an-Na’im. Bagian Ketiga adalah penutup yang menyimpulkan atau sintesis pembahasan yang telah dilakukan. Rincian sistematika penulisan laporan disertasi ini dapat diuraikan sebagai berikut. Bab pendahuluan mengurai kerangka dasar epistem yang mencakup latar belakang masalah, yakni polemik dan perdebatan konseptual relasi Islam dan negara dalam pemikiran politik Islam. Begitu juga diungkapkan latar belakang masalah terkait objek kajian, yakni ‘Abdullah Ahmedan-Na’im, dimana pemikiran dan argumentasi tentang tema Islam dan negara kontroversial, kontradiktif, dan radikal. Termasuk dalam persoalan latar belakang ini adalah respon kritis terhadap gagasan-gagasan an-Na’im. Selain itu, dalam bab ini diungkapkan pula beberapa kajian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini baik dalam konteks tema pemikiran relasi Islam dan negara, dan yang relevan dengan objek penelitian ini. Hal lain yang sangat penting diungkapkan dalam bab pendahuluan adalah metode yang diterapkan dalam menela’ah pemikiran an-Na’im dan bagaimana sistematika gagasan penulisan laporan disertasi ini.
Setelah mengungkap aspek epistemologi, selanjutnya dalam bab kedua diungkap kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam hal ini, penelitian atas pemikiran ‘Abdullah Ahmedan-Na’im tentang relasi Islam dan negara akan dianalisis berdasarkan kerangka pemikiran politik Islam. Bahkan lebih spesifik pemikiran ‘Abdullah Ahmedan-Na’im akan lebih ditinjau dari perspektif paradigma sekularistik. Hal ini lebih logis dan signifikan karena pemikiran an-Na’im memiliki kecenderungan yang sama dengan paradigma tersebut. Dengan demikian, yang mesti ditelusuri dalam hal ini adalah keunikan pemikiran an-Na’im ditengah-tengah persamaan atau posisinya satu rumpun dalam paradigma sekular. Sementara paradigma integralistik dan moderat/simbiotik juga berfungsi sebagai landasan analisis dalam konteks perdebatan yang lebih luas.
Bab ketiga mulai masuk ke pembahasan inti dengan mulai membahas tokoh yang menjadi objek kajian. Dalam bab ini, ada dua pokok bahasan yang diungkap; pertama mengungkap genealogi pemikiran an-Na‘im. Perkembangan intelektualitas an-Na‘im dalam hal ini diekplorasi mulai dari pendidikan dalam keluarga, lembaga formal di Sudan dan pendidikan yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|25 ditempuh di luar negeri. Termasuk dalam diskusi genealogi ini adalah mengungkap aktifitas-aktifitasnya selama masa studi dan pasca studi yang turut andil memengaruhi perkembangan intelektualitasnya. Kedua, membahas konteks sosial-politik yang mengitari masa perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini, pertama-tama dibahas realitas sosio-politik Sudan, bukan hanya sebagai negara kelahirannya, namun Sudan merupakan salah satu negara dalam konteks dunia Islam dimana gesekan agama dan politik cukup kuat terjadi. Setalah mengungkap Sudan, pembahasan berikutnya dilanjutkan dengan mengeksplorasi peradaban Barat dengan fokus uraian pada dinamika hubungan agama dan negara. Kedua konteks sosial ini, bagaimanapun memberi pengaruh besar terhadap konstruksi pemikiran an-Na‘im tentang relasi Islam dan negara.
Setelah mengungkap persoalan genealogi dan sosiologi pemikiran an-Na’im, bab keempat berikutnya mengungkap pemikiran kritis an-Na’im terhadap persoalan relasi Islam dan negara. Dalam hal ini terutama kritik an-Na’im terhadap pendekatan teologi politik Islam. Kritik an-Na’im terhadap paradigma-paradigma dalam tema relasi Islam dan negara penting diungkap dalam bab tersendiri karena hal ini merupakan langkah awal memasuki konstruksi teoritis pemikiran an-Na’im tentang relasi Islam dan negara. Bagi an-Na‘im, kritik terhadap pendekatan teologi dan filosofis tampaknya merupakan pijakan dasar konstruksi teori relasi Islam dan negara yang ia bangun. Untuk itu, pembahasan dalam bab ini pertama akan mengungkap kriti an-Na’im terhadap wacana politik Islam. Setalah mengungkap kritiknya, pemebahasan berikutnya adalah mendeskripsikan upaya an-Na‘im, yakni yang disebut sebagai proyek masa depan syari’ah.
Berikutnya bab kelima mengungkap metode dan inti teori an-Na’im tentang relasi Islam dan negara, yakni bagaimana Islam dinegosiasikan sehingga dapat berperan dalam kehidupan publik masyarakat Islam kontemporer. Guna mengungkap hal ini, pembahasan bab lima dimulai dengan mengungkap paradigma politik tradisional yang dikenal dalam ilmu politik. Paradigma politik ini penting dielaborasi di awal guna menjelaskan kerangka pemikiran an-Na’im dalam menegosiasi Islam dan negara, yakni normatif institusional. Setelah mengungkap perspektif yang digunakan oleh an-Na’im, pembahasan berikutnya mengelaborasi perspektif an-Na’im tentang negara dan politik, trilogi norma hukum politik dan pola relasi Islam dan negara yang diidealkan oleh an-Na’im. Semua topik tersebut pada dasarnya merupakan poko-pokok pikiran utama an-Na’im dalam keryanya Islam and the Secualar State.
Setelah mengungkap inti teori dan pokok-pokok pikiran an-Na’im, selanjutnya dalam bab keenam menganalisis konsep kunci teori relasi Islam dan negara yang dikemukakan oleh an-Na’im, yaitu konsep sekularisme. Hal yang paling mendasar dari pembahasan konsep ini adalah bagaimana
26| UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konsepsi an-Na’im tentang sekulairsme yang selama ini atau sejauh ini ditolak oleh sebagaian masyarakat Islam. Karena itu, setidaknya ada dua persoalan yang diungkapkan dalam pembahasan sekularisme yaitu pertama, mengungkap bagaimana an-Na’im merekonstruksi sekularisme secara konseptual. Kedua, bagaimana an-Na’im mengelaborasi lebih jauh sekularisme Islam secara empiris. Lebih dari itu, pembahasan dalam bab ini mencoba melihat Indonesia sebagai negara modern dalam perspektif an-Na‘im.
Bab ketujuh berikutnya menganalisis teori dan pemikiran an-Na’im dari perspektif teologi politik Islam berdasarkan tiga kerangka paradigma yang telah dibahas dalam bab kedua. Selain itu, dalam bab ini diungkap pula kritik dan problematika dalam pemikiran politik an-Na’im. Akhirnya, pembahasan disertasi ini ditutup dengan bab kedelapan yang menyimpulkan dan mensistesiskan uraian-uraian dalam bab-bab sebelumnya, berikut diungkap pula saran-saran dan implikasi penelitian.
27 BAB II
PARADIGMA POLITIK AGAMA DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
Bab kedua ini mendiskusikan pemikiran hubungan Islam dan negara dari perspektif pemikiran politik Islam sebagai kerangka dasar analisis pemikiran ‘Abdullahi Ahmed an-Na’im. Meski demikian, mengingat perdebatan tentang Islam dan negara bersinggungan dengan sejarah politik Barat, maka diakhir uraian bab ini dideskripsikan pula pemikiran agama dan politik dalam konteks sejarah Barat. Namun, penekanan dan kecenderungan diskusi bab ini bukan bersifat sosiologis dan kesejarahan seperti diurai dalam bab ketiga selanjutnya, tapi cenderung bersifat filosofis. Melalui pendekatan ini, pemikiran tentang relasi Islam dan negara dalam pemikiran politik Islam telah dikonstruk oleh para intelektual muslim setidaknya menjadi tiga teori atau tiga tipologi paradigmatik. Ketiga paradigma politik yang dimaksud adalah paradigma integralistik, sekularistik, dan simbiotik, dimana masing-masing paradigma tersebut memiliki asumsi-asumsi dasar, konsekuensi dan tokoh-tokoh intelektual tersendiri. Selain formulasi tersebut, kajian pemikiran politik Islam juga dapat ditinjau dengan pendekatan sejarah. Hanya saja dalam konteks pendekatan ini, diskusi pemikiran Islam dan negara secara garis besar diklasifikasi dalam dua tipologi yaitu pemikiran politik modern dan pra-modern.
Meski bab ini lebih menekankan aspek filosofis, namun secara sosio-historis ketiga paradigma tersebut merefleksikan perkembangan pemikiran dan realitas zaman. Ketiga tipologi pemikiran tersebut bukan hanya berakar pada interpretasi Islam, tapi juga merupakan respon terhadap perubahan sosial dan politik dunia Islam. Hampir semua pengkaji Islam menyatakan perdebatan tentang Islam dan negara dalam pemikiran politik Islam merupakan respon terhadap perubahan sosial.1 Perubahan sosial yang dimaksud adalah modernisasi2 sebagai dampak kolonialisasi oleh Eropa
1Antara lain lihat Derek Howood, ‚Kultur Modernitas di dalam Islam dan Timur Tengah‛ dalam John Cooper, Ronald L. Nettler dan Mohamed Mahmoud,
Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd
terjemahan Wakhid Nur Effendi (Jakarta: Erlangga, 2002), vi-xxi. Lihat juga Nazih N. Ayubi, Nader Hashemi, dan Emran Qureshi, ‚Islamic State‛ Source: The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. http://www.oxfordislamicstudies.com (akses 10 April 2015).
2Modernisasi menurut Derek Howood adalah pengenalan artefak-artefak kehidupan masa kini ke dalam masyarakat. Oleh karena itu, modernisasi merupakan proses yang biasanya mengarah pada modernitas, yakni proses kultural dan proses politik yang timbul dalam upaya mengintegrasikan gagasan baru, sistem ekonomi,
28|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terhadap dunia Islam yang menurut Azyumardi Azra—sejarawan pemikiran politik dari Indonesia—telah berlangsung sejak pertengahan akhir abad 19.3 Respon tersebut dalam pandangan Haurani dan Antoni Black muncul karena dominasi Barat dalam bidang pemikiran politik,4 atau seperti diungkapkan oleh Michaelle Brower, respon muncul ketika umat Islam menyadari telah didominasi secara militer, politik, dan ekonomi oleh penjajah Barat Kristen.5
Sejalan dengan pendapat tersebut, analisis Munawir Sjadzali— seorang intelektual Indonesia—menyebut tiga faktor yang menjadi latar belakang berkembang kecenderungan pemikiran politik Islam modern dan kontemporer, khususnya terkait diskursus Islam dan negara. Pertama, faktor kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh permasalahan internal. Kedua, faktor hegemoni Barat terhadap kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan kolonialisme. Ketiga, faktor keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi. Ketiga faktor tersebut menurut Sjadzali sangat mewarnai orientasi umum pemikir politik Islam modern dan sekaligus mengakibatkan muncul keanekaragaman aliran pemikiran.6
Harus diakui bahwa meski relasi penguasa dan yang dikuasai bukan hal baru dalam sejarah praksis politik Islam, namun perdebatan tema tersebut (Islam dan negara/politik) secara teoritis konseptual muncul sejak era kolonialisme. Masykuri Abdillah misalnya menegaskan wacana Islam dan negara baru muncul di era kontemporer sejak umat Islam berinteraksi dan pendidikan. Derek Howood, ‚Kultur Modernitas di dalam Islam dan Timur Tengah‛ dalam John Cooper, Ronald L. Nettler dan Mohamed Mahmoud,
Pemikiran Islam…, vi-xxi. Analisis sosiologi historis tentang hal ini dapat dibaca misalnya karya Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam
(Jakarta: Pustaka Alfabet, 2011).
3Yang dimaksudkan hampir dua abad di sini adalah proses modernisasi, bukan proses kolonialisasi dunia Islam oleh Eropa. Lihat Azyumardi Azra,
Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 1-26.
4Lihat Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab terjemahan Suparno, Dahrits Setiawan, dan Isom Hilmi (Bandung: Mizan, 2004). Antony Black, The History of Islamic Political Thought From the Prophet to the Present
(London: Edinburgh University Press, 2011), 281-303. Buku ini dalam edisi bahasa Indonesia Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini
terjemahan Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), 503. 5Michaelle Browers, ‚Pemikiran Politik Islam Modern‛ dalam Gerald F. Gaus dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik terjemahan Derta Sri Widowatie (Bandung: Nusa Media, 2012), 834-863. Aslinya karya ini diterbitkan di London oleh Sage Publication pada tahun 2004.
6Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|29 dengan Barat.7 Begitu juga yang diungkapkan oleh Abdelwahab El-Affendi (intelektual dari Sudan) yang8 menyatakan perdebatan relasi Islam dan negara pertama kali muncul ketika terjadi revolusi Turki yang dilakukan oleh Kemal dalam perang dunia pertama.9 Azyumardi Azra menduga penyebab perdebatan tersebut karena negara sebagai konsep politik Barat, merupakan sesuatu yang asing dan a-historis bagi sebagian besar masyarakat muslim. Umat Islam sebelumnya hanya mengenal sistem khilafah atau konsep teritorial politik-religius dalam bentuk dar al-Islam dan dar al-harb.10
Agak berbeda dengan penjelasan di atas, M. Din Syamsuddin— intelektual pemikiran politik dari Indonesia—menganalisa lebih dalam genealogi wacana perdebatan Islam dan negara dalam teologi politik Islam. Menurutnya, wacana Islam dan negara merupakan upaya pencarian landasan intelektual terhadap fungsi dan peran negara untuk memenuhi kepentingan kesejahteraan masyarakat di era modern. Upaya tersebut bertujuan menemukan idealitas Islam tentang negara dan proses penyelenggaraannya. Karena itu, upaya tersebut merupakan ijtihad politik yang menimbulkan keragaman konsepsi karena tidak adanya keterangan yang jelas, pasti dan rinci dalam sumber ajaran Islam utama.11
Penjelasan para intelektual tersebut menunjukkan bahwa terdapat problem dalam proses modernisasi politik Islam, dimana seperti telah disinggung di awal melahirkan keragaman aliran pemikiran tentang relasi Islam dan negara. Keragaman pemikiran yang disebutkan terakhir ini terlihat dari tiga kecenderungan yang dikemukakan oleh sarjana Indonesia seperti Sjadzali, Bahtiar Effendy, dan M. Din Syamsuddin. Pemikiran tentang Islam dan negara berkembang dalam tiga kecenderungan yaitu
7Lihat Masykuri Abdillah, ‚Epistimologi Fikih Siya>sah‛ dalam Jurnal Imu Shari’ah Ahkam vol. XII. 27-36.
8Lihat Abdelwahab El-Affendi, Who Need an Islamic State? (Malaiysia Think Tank London, 2008). Karya ini telah dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Masyarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam
terjemahan Amiruddin Ar-Rani (Yogyakarta: LKiS, 2001), 41.
9Karya atau kajian yang relevan untuk sejarah modernisasi Turki antara lain baca Mukti Ali, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern (Jakarta:Djembatan, 1994). Lihat juga Abdelwahab El-Affendi, Who Need an Islamic State?..., http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0394?_hi=0&_pos=10#
(akses 10 April 2015).
10Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 1-26.
11Lihat M. Din Syamsuddin, ‚Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam‛ dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 43-54. M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos, 2002).
30|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
paradigma integralistik, paradigma sekuler, dan paradigma simbiotik atau moderat.12 Pola klasifikasi yang sama juga diikuti oleh Syukron Kamil, namun dengan istilah yang agak berbeda yaitu tipologi organis tradisional, sekuler, dan tipologi moderat.13
Munawir Sjadzali mengidentifikasi tiga aliran pemikiran politik Islam yang berkembang di era modern terkait dengan tema tersebut. Pertama, aliran yang memandang Islam adalah agama yang paripurna, dalam arti lengkap dengan segala macam petunjuk bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem pemerintahan dengan merujuk pada pola politik khulafaurrasyidin. Kedua, aliran yang memandang Islam adalah murni agama dan tidak ada hubungannya dengan negara. Ketiga, aliran yang memandang dalam Islam tidak terdapat sistem pemerintahan, tetapi memiliki seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.14 Walaupun demikian, Bahtiar Effendy dan Din Syamsuddin dalam karya mereka yang lain agak berbeda dengan model klasifikasi di atas. Bahtiar Effendy membagi pemikiran politik Islam kontemporer menjadi dua spektrum utama yaitu tradisional dan modernis.15 Begitu juga M. Din Syamsuddin dengan berpijak pada kesinambungan sejarah antara tradisional dan modernis, membagi pemikiran politik Islam modern menjadi tiga paradigma yaitu tradisionalisme, modernisme, dan fundamentalisme.16
Berbeda dengan klasifikasi yang dilakukan oleh sarjana Indonesia, sarjana Barat justru tidak memiliki suatu kesepakatan tentang kategorisasi aliran politik Islam modern. Hal ini seperti ditunjukkan oleh M. Din
12Lihat Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005). M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos, 2002). Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, Lihat Idris Thaha, ‚Mendamaikan Agama dan Negara‛ dalam Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat (Jakarta: Kompas, 2002).
13Lihat Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Shari’ah dan HAM, Fundamentalisme, dan Antikorupsi
(Jakarta: Kencana, 2013).
14Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…
15Bahtiar Efendi sebenarnya hanya mendeskripsikan kedua spectrum tanpa menyebut istilah apapun. Istilah tradisional dan modernis sebagaimana disebutkan dalam konten tersebut adalah inisiatif penulis berdasarkan pemahaman penulis terhadap kedua spectrum yang dijelaskan oleh Bahtiar Efendi. Lihat Bahtiar Effendy, ‚Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara Doktrin dan Kenyataan Empirik‛ dalam M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta:Logos, 2001). Bandingkan dengan Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah
(Jakarta: Ushul Press, 2005).
16M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta:Logos, 2001).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|31 Syamsuddin bahwa sarjana Barat beragam dalam mengkategorikan pemikiran Islam, termasuk pemikiran politik. H.A.R. Gibb misalnya membagi pemikiran Islam kepada modernisme murni, nasionalisme, dan kebangkitan Mahdisme. Leonard Binder membagi fenomena politik Islam meliputi aliran tradisionalis, sekularis, dan modernis.17 Perbedaan kategorisasi pemikiran politik Islam juga ditunjukkan oleh Esposito, Svetla Ben Itzhak, dan Michaelle Browers. Esposito misalnya mengidentifikasi empat kecenderungan pemikiran politik Islam modern yaitu konsevatif, neo-tradisionalis, sekularis, dan reformis. Sementara Svetla Ben Itzhak mengidentifikasi pemikiran politik Islam modern melalui beberapa gerakan seperti fundamentalisme tradisionalis, fundamentalisme reformis, Islamisme atau Islam politik, dan liberalisme.18 Adapun Michaelle Browers membagi kepada tiga aliran yaitu modernisme, Islamisme, dan liberalism.19
Sebagaimana telah dikemukakan di awal, elaborasi teori relasi Islam dan negara mengacu pada tiga kerangka filosofis, yakni paradigma integrasi, sekuler, dan simbiosis. Hal ini bukan hanya karena fokus bidang kajian ini adalah aspek pemikiran, namun tipologi ini lebih menekankan kerangka pemikiran yang didasarkan pada konsep, teori, dan argumentasi keagamaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendekatan ini adalah narasi-narasi tentang relasi Islam dan negara seperti penjelasan tentang dasar, prinsip dan bentuk negara secara rasional seperti pemikiran ar-Ra>ziq atau bernuansa ideologis seperti gagasan al-Maududi. Meski demikian, ketiga kerangka filosofis tersebut perlu dikonstruks sesuai dengan pertimbangan historis. Artinya, konstruksi ketiga teori paradigma politik tersebut perlu melibatkan pendekatan sejarah, sehingga seperti tesis M. Din Syamsuddin bahwa genealogi pemikiran politik Islam modern dapat ditelusuri hingga masa pra-modern.