• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecenderungan pemikiran politik Islam pertama tentang relasi Islam dan negara adalah paradigma integralistik.20 Paradigma ini memandang dan

17M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik…

18Svetla Ben Itzhak, ‚Pemikiran Politik Islam‛ dalam John T. Ishiyama dan Marijke Breuning, Ilmu Politik dalam Paradigma Abad 21 terjemahan Trib Wibowo (Jakarta: Kencana, 2013), 918-930.

19Michaelle Browers, ‚Pemikiran Politik Islam Modern‛ dalam Gerald F. Gaus dan Chandran Kukathas, Handbook Teori Politik…,834-863.

20Dalam kamus bahasa Indonesia, integral dimaknai–mengenai keseluruhannya, meliputi seluruh bagian yang perlu untuk menjadikan lengkap, utuh, bulat, sempurna. Sementara integrasi dimaknai penyatuan hingga menjadi utuh dan bulat. Oleh sebab itu istilah ini dari sudut kebahasaan bermakna menggabungkan meliputi seluruh bagian, lengkap, utuh, dan sempurna. Istilah lain yang sinonim maknanya adalah kata inheren dan organis. Inheren yaitu sesuatu

32|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

meyakini hubungan antara Islam dan negara tidak terpisahkan, atau dengan kata lain memandang hubungan antara Islam dan negara bersifat integral, inheren, dan organis. Asumsi dasar paradigma ini adalah Islam merupakan agama yang sempurna mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk masalah politik. Islam diyakini bukan hanya ajaran yang mengatur ritual ibadah individu dengan Tuhan, namun dipahami pula mengajarkan moral berbagai aspek sosial kehidupan seperti ekonomi, politik, dan hukum. Islam seperti yang dijelaskan oleh Azra, memberikan pandangan dunia dan kerangka makna bagi individu maupun masyarakat termasuk dalam bidang politik.21 Oleh karena itu, paradigma ini memposisikan negara sebagai subordinasi agama, atau dalam perspektif sosiologi politik kekuasaan agama lebih besar daripada negara, atau agama mengatur dan menguasai negara.

Donald Eugene Smith dalam karyanya Religion and Political Development menjelaskan paradigma organis atau integrasi Islam berbeda dengan model gereja.22 Paradigma ini menurutnya merupakan sistem politik tradisional23 yang ditandai dengan konsepsi penggabungan fungsi agama dan politik dalam suatu struktur tunggal, dimana penguasa menjalankan kekuasaan dunia dan agama secara sekaligus, dan fungsi utamanya adalah menegakkan tata sosial yang bersifat religius sesuai dengan hukum dan tradisi yang sakral. Smith lebih jauh menjelaskan bahwa paradigma integrasi memiliki tiga karakteristik yaitu pertama, ideologi keagamaan yang berhubungan erat, melekat, dan tidak dapat diceraikan. Sementara organis menunjukkan sesuatu yang saling terkait satu sama lain. Hanya saja kata yang disebut terakhir ini sering digunakan dalam konteks tumbuhan untuk menunjukkan bagian organ tertentu. Berdasarkan makna kebahasaan tersebut, paradigma integrasi dapat dipahami sebagai pemikiran yang menggabungkan sesuatu sehingga menjadi menyeluruh, utuh dan sempurna. Lihat Sri Sukesi Adiwimarta, dkk. Kamus Bahasa Indonesia I (Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983), 803, 810. dan 1483.

21Azra mengungkapkan hal ini ketika mendiskripsikan sejarah awal modernism dalam Islam yang salah satu wacana yang berkembang adalah Islam dan negara. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam…,2.

22Model geraja ditandai dengan ikatan erat antara dua lembaga yang berbeda satu sama lain yaitu pemerintahan dan lembaga keagamaan, yang satu sama lain dapat bertukar fungsi secara ekstensif di bidang politik dan keagamaan. Struktur gereja mempunyai landasan tersendiri yang terpisah dari masyarakat ataupun pemerintah. Oleh karena itu, hubungan gereja dengan pemerintah dapat terjalin dalam tiga bentuk yaitu (1) gereja di atas pemerintah, (2) pemerintah di atas gereja,dan (3) hubungan seimbang antara keduanya. Lebih lanjut lihat Donald Eugene Smith, Religion and Political Development; An Analytic Study (Boston: Brown and Company, 1970).

23Istilah tradisional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun. Karena itu, tradisionalisme diartikan sebagai paham berdasarkan tradisi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|33 bersifat integralis. Kedua, makanisme pengendalian keagamaan di dalam masyarakat dan ketiga, kekuasaan politik yang dominan. Sifat integral atau organis Islam menurut Smith ditunjukkan oleh al-Qur’an sebagai wahyu bersifat progresif yang menuntut semua orang untuk beriman dan beramal saleh. Amal saleh berarti membangun suatu tatanan sosial Islami di bumi dan pada hari kiamat manusia akan dituntut pertanggungjawaban terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan.24

Berbeda dengan Smith yang cenderung empiris, Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara menyebut dua kriteria paradigma integralistik yaitu; pertama memandang dan meyakini Islam adalah agama yang sempurna termasuk mengajarkan masalah sistem politik. Kedua, memahami bahwa politik Islam adalah politik yang praktikkan oleh Nabi Muhammad saw. dan para sahabat khulafaurrasyidin.25 Kriteria lain paradigma integralistik seperti yang disebutkan oleh M. Din Syamsuddin, adalah cita-cita dan perjuangan shari’ah sebagai dasar negara.26

M. Din Syamsuddin lebih jauh menjelaskan bahwa paradigma integralistik memandang domain agama juga meliputi wilayah negara atau politik. Negara dipandang merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus, dan penyelenggaraan negara atau pemerintah didasarkan pada kedaulatan ilahi (devine sovereignty) sebagai pemilik kedaulatan, bukan manusia. Model paradigma ini menurutnya antara lain dianut oleh Syi’ah dan fundamentalisme Islam. Menurut perspektif Syi’ah, negara adalah lembaga keagamaan karena legitimasinya berasal dari Allah swt. yang diturunkan khusus melalui keturunan Muhammad saw.27 Berdasarkan hal ini teologi politik Syi’ah tampak bukan hanya bertolak dari asumsi kesempurnaan Islam, tetapi lebih dari itu berdasarkan pula pada legitimasi Tuhan melalui Nabi dan keturunannya.28

24Lihat Donald Eugene Smith, Religion and Political Development; An Analytic Study (Boston: Brown and Company, 1970).

25Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara…205

26Lihat M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik…,113-114.

27M. Din Syamsuddin lebih jauh menjelaskan bahwa paradigm Syi’ah menekankan wilayah dan ‘ismah yang hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi. Oleh karena itu, negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis yang mengandung unsur kekuasaan mutlak dari Tuhan dan konstitusi berdasarkan wahyu atau shari’ah. Selain Syiah, paradigma integrasi juga dianut oleh fundamentalisme Islam yang cenderung berorientasi nilai-nilai Islam. Islam dipahami meliputi seluruh aspek kehidupan. Lihat Din Syamsuddin, ‚Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam‛…, 43-54. Lihat juga M. Din Syamsuddin,

Etika Agama…, 58.

28Penjelasan tentang paradigma politik Syiah dapat dilihat misalnya dalam tulisan Ali Asgar Nusrati, Pemikiran Politik Islam: Sebuah Pengantar terjemahan Musa Mouzawir (Jakarta: Nur Al-Huda, 2014).

34|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berbeda dengan teologi politik Syi’ah, dalam teologi politik Sunni legitimasi politik tidak mutlak berasal dari Tuhan. Hal ini terlihat dari beberapa konsep politik yang berkembang dikalangan pemikir politik Sunni, seperti ijma’, bai’at, dan ahlul h}alli wal ‘aqdi. Al-Mawdu>di> misalnya, meskipun meyakini keharusan negara berdasarkan kedaulatan Tuhan, namun akalnya tidak dapat menolak ada peran manusia dalam proses politik. Oleh sebab itulah pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa konsep yang relevan dengan politik Islam adalah teo-demokrasi.29

Corak paradigma integratif dapat ditemukan pada tokoh-tokoh pemikir Islam seperti al-Maudu>di>, organisasi-organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir,30 dan aliran pemikiran Islam seperti tradisionalisme dan fundamentalisme. Aliran tradisionalisme seperti dijelaskan menganggap sakral tradisi dan karena itu lebih mempertahankan tradisi yang ada yakni shari’ah, dan sebaliknya menolak budaya Barat atau westernisasi. Sementara fundamentalisme atau terkadang disebut neotradisionalisme meskipun mempertahankan dan berpegang teguh pada shari’ah, tetapi terkadang dalam hal-hal tertentu menerima dan memodifikasi sesuatu yang datang dari Barat. Meskipun demikian, harus diakui bahwa diantara kategori-kategori tersebut atau aliran-aliran tersebut saling tumpang tindih walaupun terdapat signifikansi yang membedakan antara satu sama lain.

Ditinjau dari segi tokoh pemikirnya, paradigma integrasi mencakup intelektual seperti Rashi>d Rid}a>31, H{asan al-Banna> dan Sayyid Qut}b di Mesir. Di Pakistan dan India terdapat pemikir seperti al-Maudu>di> dan ‘Abd al-Kalam Azzad.32 Di Iran ada tokoh seperti Khumaini dan Ali Syari’ati, sementara di Indonesia ada intelektual seperti Muhammad Natsir dan Zainal Abidin Ahmad. Selain dari itu, masih banyak pemikir-pemikir yang tergolong paradigma integralistik baik tradisionalisme maupun fundamentalisme yang tersebar di berbagai negara seperti Hasan Turabi di Sudan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, paradigma integralistik didasarkan pada pemikiran teologis kesempurnaan Islam. Pandangan seperti ini antara lain dikemukakan oleh Maudu>di> dan H{asan Banna>. H{asan

29Lihat Abul ‘Ala al-Maudu>di>, The Islammic law and Constitution (Lahore-Pakistan: Islamic Publication, 1975).

30Selain Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin termasuk dalam kategori paradigm ini. Kedua organisasi Islam ini meskipun berbeda dalam strategi, namun tetap memperjuangkan terwujudnya negara Islam dan kekhalifahan Islam modern berdasarkan shari’ah.

31Karya yang mengkaji pemikiran tokoh ini antara lain Antony Black,

Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini terjemahan Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), 565.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|35 Banna> misalnya mengungkapkan bahwa hukum dan ajaran Islam sempurna dan menyeluruh yang mengatur seluruh urusan manusia di dunia dan akhirat.33 Oleh Karena itu Islam meliputi akidah dan ibadah, tanah air dan kewarnegaraan, agama dan negara, spritualisme dan amal, serta mushaf dan pedang.34Dalam kesempatan lain ia juga menyatakan Islam meliputi negara dan kewarnegaraan, toleransi dan kekuaatan, moral dan materi, kebudayaan dan undang-undang.35 Pemahaman Islam seperti ini menurut al-Banna> diadopsi dari kitabullah dan sunnah rasul, serta dari sejarah salafusshalih dengan proses proporsional dan objektif.36

33Al-Banna> membuktikan konfrehensifitas Islam dengan menunjuk sejumlah dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits seperti QS. Al-Ma>idah ayat 48-50, dan hadits tentang agama adalah nasehat. Contoh lain ayat al-Qur’an yang dikutip oleh H{asan al-Banna> misal tentang akidah dan ibadah al-Bayyinah ayat 5, tentang politik hukum dan pemerintahan an-Nisa>’ ayat 65, tentang ekonomi dan keuangan al-Baqa>rah ayat 282, tentang jihad dan peperangan an-Nisa>’ ayat 102. Selain itu, ia menunjukkan pula bagaimana Islam dipraktikkan dalam sejarah. Generasi salaf menurutnya menjadikan Islam sebagai referensi hukum, dasar perjuangan, kaidah berinteraksi dan batasan dalam setiap urusan kehidupan praktis di dunia sebelum urusan akhirat yang bersifat utuh. Lihat H{asan al-Banna>, Majmu>‘at Rasa>’il

(Jakarta: al-I’tishom, 2007 dan 2008), 185-188 dan 254.

34H{asan al-Banna> menyatakan hal tersebut dalam beberapa acara yang dilaksanakan oleh Ikhwanul Muslimin seperti dalam muktamar kelima yang dilaksanakan pada Desember 1938-Januari 1939 (13 Dzulhijjah 1357 hijriah). Dalam kumpulan tersebut ia menyatakan: ىظتُت ٌحهياش ًّْٛناعتٔ ِولاسلإا َواكحأ ٌأ ُذقتعَ ٍحَ

ِجشخٜأ اَٛذنا ٙف ِساُنا ٌٔؤش ْٔسٔ ,ٌحن َْٔدٔ ٌٍْٚدٔ ,ٌحٛسُْجٔ ٌٍطٔٔ ,ٌجداثعٔ ٌجذٛقع ُولاسلإاف...

,ٌمًعٔ ٌحَٛاح

.ولاسلاا ةن ٍي ِشثتعٚٔ ِّهُك كنزت ُقِطُْٚ ىٚشكنا ٌأشقنأ , ٌف َْ ََََٙسٔ ٌفحصئ ‚Kami meyakini bahwa hukum dan ajaran Islam itu menyeluruh; ia mengatur seluruh urusan manusia di dunia dan akhirat… Islam adalah akidah dan ibadah, tanah air dan kewarnegaraan, agama dan negara, spritualisme dan amal, serta mushaf dan pedang. al-Qur’an al-karim mengungkap itu semua dan mengkategorikannya sebagai inti dan hakikat agama Islam…‛ Lihat H{asan al-Banna>, Majmu>‘at Rasa>’il (Jakarta: al-I’tishom, 2007), 184.

35Ia menyatakan bahwa: ,ٌجٕقٔ ٌححاًسٔ ,ٌحٛسُجٔ ٌٍطٔٔ ,ٌجداثعٔ ٌجذٛقع َولاسلإا ٌَِأَٔ ... . ٌٌ َْٕاقٔ ٌحفاقثٔ ,ٌجدائ ٌقهخٔ ‚Islam mencakup akidah dan ibadah, negara dan kewarnegaraan, toleransi dan kekuaatan, moral dan materi, kebudayaan dan undang-undang‛. Lihat H{asan al-Banna>, Majmu>‘at Rasa>’il (Jakarta: al-I’tishom, 2008), 253. 36 ,ىيلأا خاجاحت ٙفٚٔ سٕصعنا شٚاسٚ ,اٛفٔٔ اٛفاك ,لاياش لآس ,اٛفاص اٛقَ ًآًف ولاسلإا ىٓتًٓفف ًنا ذٛقعتٔ ٍٛٛحاتلإا مهحتٔ ٍٚذياجنا دًٕج ٍع اذٛعت ,ساُهن جداعسنا ةهجٚٔ ,طٚشفت لأ ّٛف ٕهغ لا ,ٍٛفسهفت اقثطُي اداذًتسا ٍٛحناصنا فهسنا جشٛسٔ ّنٕسس حُسٔ الله باتك ٍي اذًتسي . Mereka memahami

Islam dengan pemahaman yang bersih dan jernih, mudah, menyeluruh dan komprehensif, dan relevan dengan perkembangan zaman, menjawab kebutuhan umat dan mendatangkan kebahagian kepada manusia. Pemahaman yang jauh dari kejumudan dan skripturalis, bebas dari kelonggaran dan keruwetan, bebas dari sikap ekstrem dan sikap menyepelekan‛. Lihat H{asan al-Banna>, Majmu>‘at Rasa>’il

36|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penegasan al-Banna> tentang kesempurnaan Islam tersebut secara sosiologis dapat dipahami sebagai respon dan kritik terhadap kekeliruan pemahaman masyarakat Mesir dan umat Islam secara umum yang membuat mereka tidak peduli terhadap kondisi sosial dan politik. Bahkan, secara khusus argumentasi tersebut mengindikasikan penolakan terhadap faham-faham sekuler37 yang sudah berkembang pada masanya di Mesir dan dunia Islam. Ia mengkritik pemikiran-pemikiran yang memaknai Islam terlalu sempit. Al-Maudu>di> juga memiliki pandangan yang sama dengan H{asan al-Banna> bahwa Islam adalah sistem yang sempurna dan organik. Hal ini diungkapkan al-Maudu>di> dalam bukunya Islamic Law and Constitution bahwa Islam bukanlah kumpulan ide-ide yang tidak saling terkait dan bentuk-bentuk perilaku yang tidak ajek. Sebaliknya, Islam adalah sistem yang teratur dan sempurna serta bertolak pada postulat yang jelas dan pasti.38

Berdasarkan pandangan tersebut, landasan sistem moral dan sosial-politik, atau filsafat politik Islam menurut al-Maudu>di> adalah tauhid. Allah adalah penguasa dan pemilik alam semesta ini dan karenanya ia berhak secara mutlak memerintah dan menetapkan hukum, bukan manusia.39 Manusia, termasuk Nabi tidak berhak dan tidak memiliki wewenang memerintah manusia lain, dan tidak ada kewajiban mematuhi perintahnya. Oleh sebab itu, negara Islam menurut al-Maudu>di> adalah negara berdasarkan kedaulatan Tuhan, sementara manusia hanyalah sebagai subjek.40 Hakikat negara ini merupakan antithesis filsafat politik Barat yang melandaskan kedaulatan pada rakyat. Artinya, filsafat politik Barat

37Isme yang dimaksud seperti pemikiran bahwa Islam dan masalah sosial adalah dua hal yang berbeda, Islam dan undang-undang adalah dua masalah yang berbeda, Islam dan masalah-masalah ekonomi adalah dua wilayah yang terpisah, dan Islam dan kebudayaan masyarakat adalah dua perkara yang berbeda, serta Islam adalah sesuatu yang harus dijauhkan dari politik. H{asan al-Banna>, Majmu>‘at Rasa>’il (Jakarta: al-I’tishom, 2008), 252.

38‚it should be clearly understood in the very beginning that Islam is not a jumble of unrelated ideas and incoherent modes of conduct. It is rather a well ordered system, a consistent whole, resting on a definite set of clear-out postulates. Its major tenets as well as detailed rules of conduct are all derived from and logically connected with its basic principles‛. Lebih lanjut lihat Abul ‘Ala al-Maudu>di>, The Islamic Law and Constitution translated by Khurshid Ahmad (Lahore-Pakistan: Islamic Publications, 1960).

39‚Aku hanya mengikuti apa yang telah diwahyukan kepadaku‛ Lihat QS. 6: 50.

40Al-Maudu>di> mengajukan sejumlah ayat al-Qur’an seperti QS. 12:40, QS. 3:154, QS. 5:44. Lihat Abul ‘Ala al-Maudu>di>, The Islammic law and Constitution

(Lahore-Pakistan: Islamic Publication, 1975). Edisi bahasa Indonesia Abul ‘Ala al-Maudu>di>, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam terjemahan Asep Hikmat (Bandung: Mizan, 1998), 157.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|37 menjadikan watak, pemikiran, budaya, kepentingan dan suasana hati manusia sebagai landasan mutlak pengaturan negara dan masyarakat.

Lebih jauh al-Maudu>di> menjelaskan, sistem politik Islam tersebut cocok disebut dengan teokrasi. Namun, teokrasi yang dimaksudkan adalah teo-demokrasi yaitu penyelenggaraan negara dan pemerintahan dilakukan oleh seluruh rakyat berdasarkan tauhid, atau sesuai dengan shari’ah (al-Qur’an dan Sunnah). Teokrasi ini berbeda dengan yang dipahami oleh Barat yang menurutnya bersifat satanic bukan divine. Sebab, pengelolaan negara dikuasai oleh sekelompok masyarakat dengan mengatasnamakan Tuhan. Selain itu, karena negara berlandaskan tauhid dan kedaulatan Tuhan, maka tujuan negara Islam menurut al-Maudu>di> berorientasi positif, bukan negatif. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah seperti surat 57: 25. Keberadaan negara bertujuan antara lain mencegah rakyat saling memeras, melindungi kebebasan mereka, dan melindungi bangsa dari invasi pihak asing. QS. 57:25. Untuk itu, negara harus dipimpin oleh orang-orang yang berideologi Islam. Orang-orang yang membela dan menjunjung tinggi hukum Islam yang bersifat ilahiah.41

Meskipun negara berdasarkan kedaulatan Tuhan, namun tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki eksistensi apapun dalam kehidupan sosial politiknya menurut al-Mawdu>di>. Hal ini seperti yang ditegaskan olehnya bahwa kedaulatan Tuhan hanya bisa terealisasi dalam kehidupan manusia manakala terdapat orang-orang atau aktor-aktor politik berusaha merealisasikan shari’ah. Dengan demikian manusia memiliki posisi penting sebagai wakil Allah di bumi guna merealisasikan kehendak Allah. Pandangan al-Maudu>di> tersebut di dasarkan pada QS. 24 ayat 55 yang dimaknai sebagai dasar teori Islam tentang negara. Menurut al-Maudu>di>, ada dua hal yang mengemuka dalam ayat tersebut: pertama, Islam tidak menggunakan istilah kedaulatan, tetapi istilah kekhalifahan. Hal ini menegaskan bahwa kedaulatan benar-benar hanya milik Allah, dan kekuasaan di bumi seperti negara atau pemerintahan yang sesuai dengan hukum ilahiah merupakan khalifah dari penguasa tertinggi. Dengan demikian, kekuasaan manusia di muka bumi merupakan wewenang yang diberikan dan diamanahkan kepada manusia sebagai khalifahNya.

Kedua, ayat tersebut mengungkap bahwa kekuasaan di bumi dijanjikan kepada seluruh masyarakat muslim. Berdasarkan hal ini maka

41Sementara warga negara yang tidak seideologi dengan negara tidak diberi hak istimewa berpartisipasi dalam pembentukan dasar negara. Meskipun demikian, mereka dapat tinggal dan menjadi warga negara Islam, dan kepada mereka diberikan hak-hak khusus seperti perlindungan terhadap kehidupan, harta, dan kehormatannya. Hal ini karena negara Islam menurutnya tidak memaksa prinsip-prinsip sosialnya kepada pihak lain dengan cara kekerasan, dan tidak pula merampas harta kekayaan mereka serta tidak membasmi minoritas.

38|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

semua orang yang beriman adalah khalifah sesuai dengan kemampuan individunya, bukan suatu ras, kelompok tertentu. Setiap individu muslim bertanggungjawab kepada Allah, dan khalifah yang satu tidak lebih rendah atau tinggi dari khalifah lainnya. Bertolak dari teori kekhalifahan tersebut muncullah teori demokrasi perspektif Islam menurut al-Maududi. Demokrasi yang dimaksud yaitu pertama, Islam menolak kediktatoran oleh seseorang maupun kelompok. Kedua, Islam memberikan kebebasan kepada setiap muslim untuk mengemukakan pendapatnya. Ketiga, kesetaraan sosial dan hokum, dan keempat kesejahteraan ekonomi dan sosial.

Selain al-Maudu>di> dan al-Banna>, paradigma integralistik juga terlihat pada tokoh sebelum meraka yaitu Muh}ammad Rashi>d Rid}a>.42 Menurut Rid}a>, menegakkan khilafah merupakan suatu kewajiban berdasarkan al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.43 Umat Islam akan berdosa dan dipandang jahiliah bila meninggalkan kewajiban menegakkan khilafah tersebut.44 Khalifah adalah kepala negara Islam secara totalitas demi kemaslahatan agama dan dunia.45 Hal ini penting karena Islam akan tersebar ke seluruh dunia dan tidak akan timbul fitnah dan bencana jika umat Islam berpegang teguh kepada dasar-dasar syari’at Islam seperti yang dipraktikkan oleh khulafaurrasyidin.46 Meskipun demikian, Rid}a>47 tetap mengkritik khilafah Utsmani karena bertentangan dengan Islam dan bisa dijatuhkan. Sultan Utsmani menurutnya tidak memenuhi kualifikasi sebagai khalifah sebab cara pengangkatannya dengan kekerasan dan paksaan serta sistem warisan.

Paradigma integrasi seperti yang diuraikan di atas memiliki benang merah dengan pemikiran politik Islam klasik dan abad pertengahan. Hubungan antara kedua tipologi ini dapat dikatakan merupakan kesinambungan sejarah, dimana paradigma integrasi menjadikan model praktik sejarah politik Islam klasik sebagai contoh dan bukti tidak adanya pemisahan antara Islam dan negara atau politik. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Svetla Ben Itzhak-seorang pakar politik kontemporer dari Universitas Kansas Amerika Serikat-bahwa kecenderungan pemikiran politik Islam pramodern (622-1500 M) adalah tidak adanya paradigma dikotomis antara Islam dan kepemimpinan masyarakat seperti halnya yang

42Muh}ammad Rashi>d Rid}a> Lahir 27 Jumad al-awal 1282 H/1865 M. Lihat Ibra>hi>m Ah}mad al-‘Adawi>, Rashi>d Rid}a> Ima>m al-Muja>hid (Cairo: Mu’assasat al-Mishriyat al-Amat}, 1341 H), 19. Lihat juga Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2001), 104-124.

43Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Al-Khila>fat…,10. 44Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Al-Khila>fat…,57.

45Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Al-Khila>fat…,10. Lihat Maidir Harun, Khilafah Menurut Rasyid Rida dan Relevansinya dengan Masyarakat Islam Modern,

Disertasi ( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989). 46Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Al-Khila>fat…,35. 47Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Al-Khila>fat.…37.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|39 terjadi pada era modern. Realitas kehidupan baik individu maupun kemasyarakatan difahami dan dibentuk dalam kerangka keyakinan Islam.

Corak Islam sebagai agama yang bersifat organis juga tanpak dalam sejarah praksis politik Islam klasik, yaitu pada pembentukan masyarakat di Madinah. Nabi pada saat itu tidak hanya berfungsi sebagai imam pada waktu shalat, tetapi juga sebagai hakim yang menjalankan hukum Allah,