• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik an-Na’im Terhadap Wacana Politik Islam

Kritik an-Na’im terhadap wacana politik Islam berproses seiring dengan perkembangan intelektualitas dan konteks sosial yang dihadapi seperti telah diungkap sebelumnya. Respon kritis an-Na’im karenanya merupakan bentuk keresahannya sebagai akibat terlibat langsung dengan problem sosio-historis Sudan dan realitas politik Islam secara umum. Di sisi lain, kritik an-Na’im juga didukung oleh horizon—meminjam istilah Gadamer—tradisi politik Barat yang dilihat dan melingkupi alam pikirannya. Dalam konteks wacana, an-Na’im terlibat perdebatan dengan aktifis politik Islam seperti H{asan T{urabi yang berusaha mendirikan negara Islam Sudan. Kritik an-Na’im dalam hal ini bukan hanya sekedar menunjukkan sikap kritis dan perlawanan, tetapi secara teoritis menunjukkan pula posisinya dalam peta pemikiran politik Islam.

92|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

An-Na’im telah mengkritik metode dan pendekatan teologi politik Islam—baik aliran integralistik maupun sekularistik—yang selama ini menghegemoni perdebatan tema Islam dan politik atau relasi Islam dan negara. Bagi an-Na’im, perdebatan relasi Islam dan negara oleh kedua aliran pemikiran politik tersebut merupakan suatu kesalahan konseptual.1 An-Na’im misalnya memandang teori ar-Ra>ziq tidak menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dari teks al-Qur’an dan sunnah yang jelas dan rinci tentang status dan hak perempuan dan non-muslim (his thesis does not resolve the problems raised by some clear and definite texts al-Qur’an and sunna on the status and rights of women and non-muslims). Begitu juga ar-Ra>ziq menurut an-Na’im tidak menjelaskan bagaimana menghindari penerapan aturan-aturan shari’ah tersebut dalam konteks negara sekuler (Abd al-Raziq’s thesis does not explain how to avoid the application of those rules of Shari’a even in an allegedly ‚secular‛ state).2

Kritik an-Na’im terhadap ar-Ra>ziq tersebut dapat dipahami karena orientasi pemikirannya—seperti yang akan ditunjukkan dalam bab empat—adalah lebih pada tataran praktis dan dengan pendekatan yang berbeda. Sementara ar-Ra>ziq telah mendiskusikan hubungan Islam dan negara pada tataran teologis dengan argumentasi rasional. Hanya saja, tidak ditemukan penjelasan yang lebih luas dan rinci mengenai kritik an-Na’im terhadap ar-Ra>ziq dan paradigma sekularistik secara umum. Karena itu, kritiknya terhadap sekularisme bukan pada hal subtansi dan fundamental, tetapi hanya komentar terkait bagian-bagian tertentu saja. Hal ini boleh jadi disebabkan kecenderungan an-Na’im pada dasarnya mendukung teologi politik sekular seperti yang akan ditunjukkan dalam bab ketuju disertasi ini. Namun, untuk kebutuhan paragraf ini, dapat disebutkan secara singkat bahwa an-Na’im sepakat dengan asumsi-asumsi ar-Ra>ziq.

An-Na’im setuju dengan pandangan ar-Ra>ziq yang menekankan persoalan negara merupakan persoalan politik yang berkembang di era modern, bukan persoalan agama Islam. Islam sebagai murni agama tidak mengenal lembaga khilafah, intimidasi, dan kesewenangan. Begitu juga ia sepaham dengan ar-Ra>ziq bahwa Rasulullah tidak mengisyaratkan apapun

1‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Muslims and Global Justice (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2011). ‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Fondasi Islami HAM Religius dalam Religious Human Rights in Global Perspectives: Religious Perspectives, editor John witte, Jr., dan Johan D. Van der Vyver (Den Haag: Matinus Nijhoff, 1966), 377-59.

2‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Rights, and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990), 43.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|93 tentang negara Islam atau negara Arab,3 meski ia juga mengakui pula bahwa Islam tidak menolak eksistensi negara, tidak memerintahkan dan tidak pula melarang. An-Na’im juga sependapat dengan ar-Ra>ziq semua yang terkait dengan politik diserahkan kepada umat Islam berdasarkan akal, pengalaman-pengalaman dan kaidah-kaidah politik modern. Umat Islam dengan bebas memilih sistem apapun sebagai landasan pemerintahan.4 Gambaran tersebut yang disepakati oleh an-Na’im menunjukkan pendekatan ar-Ra>ziq lebih pada upaya menyelesaikan persoalan teologi politik.

Berbeda dengan kritik terhadap paradigma sekularistik yang terbatas, kritik an-Na’im lebih terfokus pada paradigma politik integralistik yang mendukung negara Islam. Hal ini boleh jadi sebab an-Na’im bukan hanya berbeda pandangan dengan paradigma tersebut, namun seperti yang dialami para modernis Islam lain, berhadapan langsung dengan aktifis Islamisme yang pendukung paradigma integralistik. An-Na’im dengan demikian dapat dikatakan berdebat secara teoritis dengan tokoh-tokoh seperti Ibnu Taimiyah,5 al-Maudu>di>, H}asan al-Banna, Sayyid Qut}b, Muhammad Asad, dan Yu>suf al-Qara>d}awi>. Atas dasar ini, pemikiran atau teori an-Na’im tentang relasi Islam dan negara merupakan anti tesis

3Meski ar-Ra>ziq menegaskan Rasulullah tidak mengajarkan politik dan negara, namun bukan bararti ia tidak mengakui kepemimpinan Rasulullah. Dalam pandanganya, kepemimpinan Rasul adalah kepemimpinan agama, bukan duniawi. Karena itu, ia memandang ikatan persatuan Arab ketika itu adalah semata-mata ikatan Islam, bukan ikatan politik duniawi. Begitu juga ketundukan umat Islam kepada Nabi adalah ketundukan akidah dan keimanan, bukan ketundukan terhadap kekuasaan dan pemerintahan. Kebersamaan mereka didasarkan atas tujuan mengabdi kepada Allah swt. semata. Adapun kepemimpinan atas umat Islam setelah Rasulullah wafat merupakan kepemimpinan duniawi. ‘Ali> Abd ar-Ra>ziq, ‚Kekhalifahan dan Dasar-Dasar Kekuasaan‛ dalam John J. Donohue dan John L.Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah terjemahan

Machnun Husein (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 39-54.

4‘Ali> Abd ar-Ra>ziq, ‚Kekhalifahan dan Dasar-Dasar Kekuasaan‛ dalam John J. Donohue dan John L.Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah terjemahan Machnun Husein (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), 39-54.

5An-Na’im menyinggung Ibnu Taimiyah sebagai tokoh pembaharuan Hukum Islam abad ke XIII. Tokoh ini dipandang sebagai ulama yang menjadi icon dan rujukan bagi kaum pendukung Negara Islam. Ibnu Taimiyah menantang tatanan yang mapan dan menegaskan kembali untuk melakukan ijtihad yang selama ini dipahami tertutup oleh sebagian besar umat Islam. Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah dikenal radikal dalam memperjuangkan penerapan shari’ah dalam kehidupan individu maupun publik yang berkaitan dengan persoalan politik seperti terlihat dalam karyanya Siyasah al-Shari’ah. ‘Abdullah Ahmedan-Na’im,

Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Rights, and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990), 36.

94|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

atas paradigma integralistik, sebagaimana juga dibuktikan preferensinya pada negara sekular dan menolak negara Islam.

Kritik an-Na’im terhadap paradigma integralistik secara garis besar dapat dikategori meliputi dimensi politik hukum, yaitu kritik atas konsep negara Islam dan hukum publik. Kedua hal ini secara subtansi pada dasarnya saling bersinggungan dan bahkan tak terpisahkan satu sama lain dalam praksis negara modern. Kritik terhadap konsep negara Islam menyangkut persoalan konsep dan legitimasi dari Islam sebagai agama, sementara kritik terhadap shari’ah menyangkut persoalan hukum publik dan relevansinya dengan paradigma hukum positif dalam negara modern, yakni konstitusionalisme, pidana dan hak asasi manusia yang dianut oleh an-Na’im. Untuk kepentingan diskusi subbab ini, kritik an-Na’im secara subtantif akan dieksplorasi dalam dua kategori berikut:

1. Kritik atas konsep negara Islam

Sebagaimana telah disebutkan, kritik an-Na’im terhadap paradigma integralistik fokus pada wacana negara Islam yang diperjuangkan oleh para aktifis Islamisme. An-Na’im dalam hal ini bukan hanya tidak setuju, tetapi bahkan menentang negara agama atau negara berdasarkan agama, yang dalam kasus masyarakat muslim disebut negara Islam. Pandangan dan sikap ini seperti pandangan para modernis muslim lain dapat dipandang sebagai kritik terhadap konsep negara Islam. Terkait hal yang disebut terakhir ini, argumen an-Na’im dapat dikategorikan menjadi argumen teologi dan filosofis, sejarah, dan hukum. An-Na’im misalnya menegaskan bahwa al-Qur’an tidak menyebut secara spesifik tentang negara. Al-Qur’an memang berbicara tentang muslim sebagai individu dan komunitas, namun tidak secara spesifik menyebut negara atau bentuk pemerintahan tertentu.6

Argumen teologis an-Na’im tersebut pada prinsipnya sama dengan pandangan para modernis lain yang menuntut pembuktian secara tekstual dan eksplisit konsep negara Islam dalam al-Qur’an dan sunnah. Modernis generasi awal seperti ar-Ra>ziq telah dengan serius menela’ah argumen pendukung tradisionalisme seperti Rasyid Ridha tentang persoalan khilafah. Menurut ar-Ra>ziq, tidak ada dalil dalam al-Qur’an dan Hadits tentang khilafah. Argumen-argumen kaum tradisionalis hanya didasarkan pada kesepakatan para sahabat dan ulama serta dalil terkait fungsi imam. Adapun QS. An-Nisa’ ayat 59 dan 83 yang dijadikan sebagai argumen oleh pendukung negara Islam menurut ar-Ra>ziq bukan dalil yang cocok bagi khilafah. Ayat tersebut menurutnya hanya membuktikan keniscayaan

6The Qur’an addresses Muslims as individuals and community, without even mentioning the idea of a state, let alone prescribing a particular form for it. It is also clear that the QurÁan does not prescribe a particular form of government. ‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Islam and the Secular State...267.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|95 sekelompok orang yang menjadi rujukan bagi setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam.7

Argumen an-Na’im juga selaras dengan pandangan Abdurrahman Wahid8 dan Khalil Abdul Karim. Khalil Abdul Karim menegaskan bahwa Islam dalam arti murni sebagai agama tidak mengajarkan apa yang ia sebut sebagai negara sipil. Seperti halnya ar-Ra>ziq, Karim menyatakan bukan tugas Islam mendirikan negara sipil sebagaimana tidak ditemukan penjelasan dalam teks al-Qur’an dan Sunnah. Seandainya kedua sumber ajaran Islam ini menyinggung tentang negara sipil atau urusan pemerintahan, tentu hal tersebut telah dijadikan argumen oleh para sahabat ketika menghadiri pertemuan Saqifah Bani Sa‘idah. Khalil Abdul Karim juga berargumen bahwa Nabi tidak memberi isyarat tentang makanisme mendirikan negara atau pengaturan pemerintahan padahal Nabi telah menyampaikan risalah secara optimal bahkan terkait hal-hal sederhana seperti etika masuk kamar mandi.9

Terkait persoalan tidak adanya konsep negara Islam dalam al-Qur’an, intelektual dari Indonesia Syafi’i Ma’arif memberikan dua alasan. Pertama, al-Qur’an bukan kitab politik tetapi pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia. Kedua, persoalan tatanan kehidupan manusia selalu berubah dari masa ke masa.10 Dengan demikian, al-Qur’an bersifat dinamis dan selalu relevan dengan tatanan kehidupan manusia yang juga bersifat dinamis. Akibatnya adalah tidak adanya benturan antara teks dengan realitas kehidupan manusia, dan secara otomatis al-Qur’an akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman, atau sebaliknya bagaimanapun tatanan struktural sosio-politik manusia akan sesuai dengan al-Qur’an.

Kritik an-Na’im terhadap konsep negara Islam juga menyinggung persoalan sejarah. Dalam hal ini, an-Na’im menegaskan bahwa negara Islam tidak ada dalam sejarah klasik Islam. Kritik an-Na’im tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa konsep negara Islam merupakan produk

7Sebagaimana al-Qur’an, sunnah juga tidak mengungkap masalah khilafah atau imamah. Hadits-hadits seperti pemimpin harus dari kalangan bani Quraish, keharusan tetap dalam jama’ah kaum muslimin, keharusan bai’at, dan lain-lain menurut al-Raziq hanya mengungkap tentang imamah, bai’at dan jama’at. Hadits-hadits tersebut sama sekali tidak mengandung petunjuk yang dapat dijadikan argumen khilafah. Ali> Abd ar-Ra>ziq, Khilafah dan Pemerintaha dalam Islam

terjemahan Afif Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985), 25-27.

8Baca analisis pemikiran Gusdir dalam Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gusdur (Yogyakarta: LkiS, 2010), 190.

9Khalil Abdul Karim, Kontroversi Negara Islam; Radikalisme vs Modernisme terjemahan Aguk Irawan (Yogyakarta: Nusantara Press, 2015), 2. Al-Islam baina ad-Daulah Diniyyah wa ad-Daulah al-Madaniyyah (Cairo: Sina, 1995).

10Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Suokarno versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002), 104-105. Lihat Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan

96|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kolonialisme (Postcolonial discourse) yang tidak ada presedennya dalam sejarah Islam. Konsep negara Islam sebagai wacana setelah kolonialisme didasarkan pada model Eropa yang menerapkan hukum dan kebijakan publik sebagai instrumen rekayasa sosial oleh elit yang berkuasa. An-Na’im juga menjelaskan bahwa ide negara Islam tidak hanya belum pernah terjadi dalam sejarah Islam klasik, tetapi juga secara moral dan politik tidak dapat dipertahankan.11

Negara Islam menurut an-Na’im tidak dapat diterapkan secara praktis dalam konteks modern saat ini. Negara ini seperti yang dipraktikkan saat ini di Iran, Saudi Arabia, Pakistan, dan Sudan tidak dapat dipertahankan secara moral karena pandangan syari’at apapun yang dijalankan oleh orang yang mengontrol negara akan melanggar kebebasan agama orang-orang yang tidak sepakat dengan pandangan itu, selain dari melanggar hak asasi perempuan dan non-muslim.12 Oleh karenanya, an-Na’im juga mengkritik negara Islam dari sisi hukum, dimana negara Islam yang menjadikan shari’ah sebagai hukum dan kebijakan publik sangat problematik menurutnya. Bahkan, an-Na’im menegaskan negara Islam tidak sesuai dengan standar konstitusionalisme modern karena adanya diskriminasi status konstitusional umat Islam dan non-muslim serta persamaan di depan hukum.

Umat Islam menyandang status penuh sebagai warga negara yang secara teoritis memiliki hak penuh terhadap hak-hak sipil dan politik dalam negara Islam. Meski begitu, dalam negara Islam hak sipil dan politik umat Islam tersebut tetap terikat dan terbatas menurut an-Na’im. Pertama, muslim tidak bisa keluar dari Islam atau murtad karena dipandang melemahkan integritas umat Islam dan keamanan negara Islam, dan hal ini menjadi alasan pembenaran untuk menghukum orang yang murtad. Kedua, kebebasan perempuan juga terbatas dalam hak politik dan hak sipil. Ketiga, hak perempuan dalam kehidupan publik tidak diakui oleh shari’ah berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 34 menurut an-Na’im.13 Meskipun point ketiga ini ada alasan pembenaran politik dan sosiologis di masa lalu terkait

11‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Muslim dan Keadilan Global...345. 12‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Muslim dan Keadilan Global...345. 13 QS. An-Nisak ayat 34 berbunyi:

             ...  Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|97 pembatasan dan diskualifikasi terhadap perempuan, namun pembenaran ini tidak sah lagi dalam konteks sekarang menurut an-Na’im.14

Terkait status konstitusionalisme non-muslim, shari’ah menurut an-Na’im tidak memberi izin tempat tinggal yang tetap bagi non-muslim di dalam negara Islam.15 Orang-orang non-muslim tidak memiliki hak sipil dan politik apapun meski lahir dan dibesarkan di wilayah negara Islam. Akibatnya, warga non-muslim, meskipun dijaga keamanan jiwa dan hartanya, namun tidak berhak berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara luas. Begitu juga terkait status persamaan di depan hukum, aspek-aspek shari’ah tentang perempuan dan status dzimmi di atas melanggar prinsip persamaan di depan hukum konstitusional termasuk persoalan ketidakadilan dan diskriminasi berdasar gender dan agama.

Contoh terhadap persoalan ketidakadilan dan diskriminasi antara lain seperti hukum pidana shari’ah yang membedakan warga negara berdasarkan gender dan agama. Hukum diyat atas korban perempuan atau dzimmi tidak sebanyak diyat untuk korban laki-laki muslim. Harga seorang zimmi tidak dinilai dengan cara yang sama dengan seorang muslim. Selain itu, hukum syari’at tentang pembuktian membedakan saksi berdasarkan jenis kelamin dan agama. Kesaksian perempuan muslimat dan dzimmi tidak diterima dalam kasus-kasus pelanggaran kriminal hudud dan qishash. Namun, dalam masalah perdata kesaksian perempuan diterima tetapi dengan syarat dua perempuan untuk satu kesaksian, sementara bagi saksi laki-laki muslim tidak ada batasan apapun.16

Selain itu, kritik an-Na’im terhadap konsep negara Islam adalah kurangnya perhatian terhadap masalah kemutlakan hukum (remedies). Idealnya setiap hak atau jaminan pengaturan harus ada metode pelaksanaan dan implementasi yang jelas dan efektif. Tanpa makanisme kemutlakan yang efektif maka tidak ada artinya pengaturan lain seperti hak dan kebebasan individu dan kelompok, wilayah, pergantian dan penggunaan kekuasaan.17 Shari’ah menurut an-Na’im tidak memiliki prosudur pengangkatan dan pertanggungjawaban khalifah yang teratur dan

14‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Rights, and International Law (New York: Syracuse University Press, 1990).

15‘Abdullah Ahmedan-Na’im, "Religious Minorities under Islamic Law and the Limits of Cultural Relativism." Human Rights Quarterly 9, no. 1 (1987): 1-18. doi:10.2307/761944.

16‘Abdullah Ahmedan-Na’im, "Religious Minorities under Islamic Law and the Limits of Cultural Relativism." Human Rights Quarterly 9, no. 1 (1987): 1-18. doi:10.2307/761944.

17Meski hal ini disadari penting, tapi menurut an-Na’im diperlukan berbagai perangkat struktural dan institusional serta opini publik yang tercerahkan yang mengekspresikan kultur politik yang kondusif bagi konstitusionalisme.

98|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dapat dilaksanakan secara efektif serta tidak menetapkan batas-batas kekuasaannya. Oleh karena itu, batasan-batasan teoritik shari’ah terhadap khalifah tidak berguna karena tidak ada aturan untuk melaksanakannya. Sebagai contoh, meskipun hak memecat khalifah karena melanggar shari’ah ada, namun tidak ada makanisme atau prosedur untuk melaksanakannya.

Meski an-Na’im mengkritik konsep negara Islam, namun ia tidak menyebut batasan yang jelas tentang negara Islam. Ia hanya menyebut negara Islam sebagai negara yang menerapkan syari’at Islam (enforce ShariÀa principles) dalam uraian-uraiannya. Merujuk pada konsepsi para pendukung paradigma integralistik, melaksanakan syari’at memang disebut sebagai salah satu karakteristik dasar negara Islam. Penjelasan Nasim Hasan Shah misalnya,18 negara Islam merupakan negara yang menerapkan prinsip-prinsip sosial politik Islam secara sadar dalam konstitusi dasar negara. Berdasarkan premis ini, negara yang dihuni secara dominan dan bahkan seluruhnya oleh umat Islam tidak selalu identik dengan negara Islam.19 Selain itu, negara Islam adalah negara di mana pemerintah dibentuk dengan persetujuan rakyat, kepala negara dan otoritas lain bertanggungjawab kepada masyarakat. Negara berusaha melakukan yang benar dan memerangi yang salah serta terus berusaha menciptakan tatanan sosial yang dinamis berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kerjasama, persaudaraan dan pengorbanan diri demi kepentingan kesejahteraan seluruh masyarakat.20

18Nasim Hasan Shah, ‚Islamic Concept Of State‛ Islamic Studies, Vol. 26, No. 1 (Spring 1987), pp. 97-115. Published by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/20839817 (Akses 29-03-2018).

19Menurutnya, negara Islam bukan hanya tetap bisa maju dan berkembang sebagaimana negara-negara sekular, tetapi lebih dari itu dalam negara Islam terdapat ruang perselisihan, lebih adil dan bermoral, daripada negara sekular. Nasim Hasan Shah, ‚Islamic Concept Of State‛ Islamic Studies, Vol. 26, No. 1 (Spring 1987), pp. 97-115. Published by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/20839817 (Akses 29-03-2018).

20Legitimasi negara Islam menurut Nasim Hasan Shah berdasarkan perintah dalam al-Qur'an yang menegaskan kewajiban taat kepada Allah dan Rasul-Nya (QS.an-Nisak ayat 59). Berdasarkan ayat ini, terdapat beberapa azas penting menurutnya. Pertama tugas negara adalah menegakkan peraturan shari’ah di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksinya sebagaimana ditegaskan pula dalam surat al-Maidah ayat 45. Kedua, meskipun demikian, negara Islam harus melengkapi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang menjadi perhatian publik dengan membuat undang-undang dengan cara tidak bertentangan dengan surat atau semangat hukum Shariah (QS.33:36). Nasim Hasan Shah, ‚Islamic Concept Of State‛ Islamic Studies, Vol. 26, No. 1 (Spring 1987), pp. 97-115. Published by: Islamic Research Institute, International Islamic

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|99 Penjelasan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Muhammad Asad. Asad menegaskan negara Islam memang harus sesuai dengan syari’at. Syari’at menurutnya tidak dapat diubah karena merupakan hukum Tuhan, dan tidak perlu diubah karena sudah lengkap dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Syariat terdiri dari prinsip-prinsip umum yang aturan-aturan rincinya dapat digali melalui ijtihad, termasuk aturan-aturan rinci dalam masalah yang tidak dipengaruhi oleh perubahan yang disebabkan oleh perkembangan sosial manusia. Asad juga mempertimbangkan ruang untuk