Haruka melangkah turun dari sebuah taksi yang mengantarnya sampai di pinggir jalan depan apartement. Hari ini kegiatan yang dilakukanya sangat padat. Bahkan ia juga bertemu dengan Cassey dan meminta maaf karena sudah membiarkan Cassey menanggung masalahnya sendiri. Semula Cassey agak sedikit marah, tapi pada akhirnya wanita itu mengakui kalau semua itu adalah salahnya dan memintaa maaf karena sudah membuat Haruka terlibat. Satu hal lagi yang membuat Haruka merasa semakin lega. Ia sangat ingin bercerita kepada Kent tapi sayang Kent tidak bisa menjemputnya hari ini.
“Aku masih ada pekerjaan, Kau pulang sendiri ya? Naik taksi dan minta di antar sampai rumah. Jangan lupa sebelum masuk kedalam taksi perhatikan dulu nomor polisinya dan minta supir menunjukkan kartu identitasnya. Jadi kalau terjadi sesuatu, kita bisa tau harus menuntut siapa!”
Kata-kata Kent membuat Haruka tersenyum sepanjang jalan tadi dan ia melakukanya lagi kali ini. Kali ini Kent lebih terdengar seperti seorang Ayah, dan Haruka sudah terlanjur menikmati semua perhatian Kent yang selama ini berusaha dia tolak. Tidak pernah ada seorangpun yang bersikap seprotektif ini kepadanya, bahkan ayahnya sekalipun. Kent adalah orang yang pertama.
“Haruka Asada!”
Seseorang memanggil namanya. Haruka menoleh dan mendapati seorang laki-laki dengan pakaian berwarna gelapnya berdiri di bawah lampu jalan. Tangan kananya menenteng serangkaian minuman kaleng dalam jumlah yang cukup banyak. Laki-laki itu adalah Toby Liguria, orang yang pernah menduduki peran penting dalam hidupnya. Toby membuka topi yang selalu di
kenakanya lalu menyodorkan kaleng-kaleng minuman itu kepada Haruka.
“Kau mau menemaniku minum? Kau tidak sedang kelelahan karena baru pulang kerja, kan?”
Haruka mengusahakan sebuah senyum. Ia menggeleng lalu mendekati Toby dan keduanya duduk di trotoar yang di terangi lampu jalan. Haruka membuka kaleng pertamanya dan minum beberapa tegukan. Toby juga melakukan hal yang sama, tapi frekwensi minumnya nyaris tanpa jeda sehingga dalam waktu yang singkat ia sudah menghabiskan dua kaleng tanpa bicara apa-apa. Sekarang Toby sedang menggenggam kaleng ketiganya.
“Aku mengikutimu beberapa hari yang lalu. Ternyata kau tinggal disini!” Toby akhirnya memulai pembicaraan. “Kau tinggal bersama laki-laki yang menyebut dirinya Papa itu. Apa hubunganmu denganya?”
“Dia,” Haruka tampak memikirkan jawabanya sekejap lalu memandang lurus kedepan jalaanan yang nyaris sepi. “orang yang pernah ku ceritakan waktu itu, ayah dari calon bayiku. Sayangnya anak itu tidak sempat lahir ke dunia!”
Sebuah senyum tipis tersungging di sudut bibir Toby. “Sekarang aku mengerti mengapa dia menyebut dirinya Papa. Dia masih terlalu muda untuk menjadi ayahmu, Kan?”
“Muda apanya? Kau tidak lihat kerutan di wajahnya? Dia juga selalu bersikap seperti seorang ayah.”
Perkataan Haruka membuat Toby tersenyum sekali lagi. Ia lalu menenggak habis kaleng minumanya dan segera menggantinya dengan yang baru. Sesekali ia melirik ke kaleng yang di genggam Haruka, masih kaleng yang sama dengan yang di bukanya pertama kali.
“Belakangan ini kau tidak datang ke coffee shop lagi. Kau kemana saja?”
“Untuk apa aku kesana lagi!” Suara Toby terdengar dingin. “Kopi buatanmu sudah sempurna!”
“Ya?” Haruka tampak kaget. Selama ini Toby tidak pernah memuji kopi racikanya sama sekali.
“Perasaanmu pasti sudah lebih baik. Kopi yang enak hanya bisa di hasilkan oleh perasaan yang bagus. Selama dua tahun aku menanti saat-saat dimana kau menyajikan kopi yang sempurna untukku, kau tidak pernah melakukanya sejak pertama kali.”
Haruka mengangguk-angguk mengerti. Belakangan ini perasaanya memang sudah lebih baik. Selama ini, meskipun semua orang mengatakan kalau kopi racikanya sangat enak, bagi Toby itu sama sekali belum sempurna. Jadi, karena itu Toby terus datang ke coffee shop? Untuk menantikan Haruka menyajikan kesempurnaan itu padanya.
“Kapan aku mulai menyajikannya dengan rasa yang sempurna?” Tanya Haruka.
“Sejak kopi pertamaku di tumpahkan oleh laki-laki yang memaksamu memanggilnya Papa. Kopi pertama itu masih sama seperti sebelumnya, lalu dia menggantinya dengan kopi baru racikanmu sebagai permintaan maaf. Kopi kedua itu, yang terbaik!”
Suasana menjadi hening kembali. Haruka memandangi Toby dengan perasaan yang aneh. Ada sesuatu yang di sembunyikanya. “T-Man!”
Toby spontan memandang Haruka yang juga memandangnya. Ia terkejut karena pertama kalinya setelah dua tahun Haruka memanggilnya dengan sebutan itu lagi.
Ada yang ingin kau katakana padaku? Batin Haruka. Ia hampir
mengatakanya tapi segera mengurungkan niatnya dan menggantinya dengan kata-kata lain. “Aku sudah melihat berita tentang kematian kakakmu di televisi. Aku turut berduka atas kepergian Sbastian, kau pasti sangat kehilangan karena aku tau, kau selalu menyayanginya!”
“Seharusnya kau senang dengan kematianya. Dia yang sudah membuat hidupku kacau, hidupmu juga. Selama ini kita selalu berusaha membenahinya bersama-sama, tapi melihatmu…” Toby terdiam dan menunduk beberapa lama. Ia lalu menengadah ketika merasa kalau ada seseorang yang berdiri di hadapanya. Kent bertolak pinggang memandanginya dan Haruka secara bergantian dengan mata yang membesar.
“Kau siapa!” Tanyanya. “Ini sudah jam berapa? Kenapa kau mengajak seorang perempuan muda minum-minum di pinggir jalan pada jam begini?”
Baik Toby maupun Haruka bediri seketika untuk menyeimbangkan diri dengan Kent yang kelihatanya berang.
“Aku hanya ingin mengajaknya bicara!” Jawab Toby
“Kalau ingin bicara lihat waktu! Kau tidak perlu mengajaknya minum-minum seperti ini.” Kent lalu memandang Haruka. “Kau tau kalau minuman keras tidak baik bagi perempuan?”
“Aku bahkan belum menghabiskan satu kaleng!” Jawab Haruka pelan.
“Tetap saja minum-minuman seperti itu berbahaya. Jangan pernah kau melakukan ini lagi. Aku tidak mau melihatmu minum-minuman seperti ini lagi. Berjanjilah!”
Haruka menunduk. “Baiklah, aku akan jadi anak baik dan tidak akan minum-minuman seperti itu lagi!”
Toby memandangi ekspresi langka Haruka kali ini, sejak kapan Haruka kalah terhadap seseorang? Haruka bahkan tidak pernah seperti ini denganya. “Dia tidak bersalah, aku yang mengajaknya!” Toby berusaha membela.
Tatapan mata Kent kemudian berpindah kepadanya. “Hei anak muda, siapapun kau, apapun hubunganmu dengan Haruka, bersikap baiklah! Kalau ingin bicara denganya datanglah untuk menjemputnya secara baik-baik ke rumah. Kau lihat gedung ini? Kami tinggal di lantai tiga.” Kent lalu mengeluarkan ponselnya
dan memotret wajah Toby dengan blitz yang menyilaukan, Toby terlihat sangat terkejut. “Kau jangan tersinggung! Aku gampang melupakan orang jadi aku mengambil fotomu untuk mengingat-ingat kalau-kalau kau datang ke rumah dan menjemput anak ini! Sekarang sudah saatnya kalian berpisah!”
Toby mengangguk. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Kent memerintahkan Haruka untuk masuk bersamanya dan Haruka benar-benar mengikutinya tanpa paksaan. Ini adalah Eropa, tapi seharusnya Toby bisa maklum jika Kent membawa cara ke-Timuranya untuk membina Haruka. Laki-laki itu tidak tampak seperti laki-laki Eropa pada umumnya dengan kulit putih, rambut hitam legam dan mata sipitnya. Toby lagi-lagi menyunggingkan sebuah senyum sekali lagi dan kembali duduk untuk menghabiskan minuman yang di bawanya.