• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dualisme Kepemimpinan

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 66-71)

31

Mengakhiri Dualisme Kepemimpinan

seperti menko Hankam/Kasab pada 12 November 1965, maupun Instruksi Presiden No. 22/KOTI/1965.

Namun demikian, kelompok masyarakat dan mahasiswa tidak puas. Mereka berdemonstrasi dan menuntut Pemerintah bersikap lebih tegas. Muncullah Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang dideklarasikan Front Pancasila pada 10 Januari 1966 dengan motornya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI. Deklariasi dilakukan di Halaman gedung DPR-GR yang berisi tuntutan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI, dan menurunkan harga/perbaikan ekonomi. Tritura menjadi artikulasi pesan yang terus menekan Bung Karno sebagai presiden saat itu.

Ketika Pak Harto mendapat Supersemar, tanpa ragu ia mengambil inisiatif untuk memenuhi tuntutan tersebut. Setelah membubarkan PKI pada 12 Maret 1966, ia pun melakukan pembersihan di tubuh kabinet pemerintahan dengan mengamankan menteri-menteri yang terindikasi terlibat G30S/PKI. Tak berhenti sampai di sana, Para mahasiswa (KAMI) juga menekan DPR-GR dengan mengirim nota politik yang isinya tidak membenarkan pendapat bahwa lembaga-lembaga negara seperti DPR-GR, MPRS, dan DPA tidak sah dan tidak mempunyai dasar hukum karena pembentukannya tidak sesuai dengan UUD 1945. Nota politik KAMI berimplikasi dengan pergantian pimpinan DPR-GR yang tidak lagi pro Bung Karno. Hal ini juga berlangsung di lembaga tertinggi negara saat itu, MPRS. Pada 20 Juni 1966 MPRS menggelar Sidang Umum IV yang berlangsung hingga 5 Juli 1966 dan menghasilkan tidak kurang 24 ketetapan serta sebuah keputusan berkenaan dengan pertanggungjawaban presiden, sebuah resolusi tentang Pembinaan kesatuan bangsa, serta nota kepada DPR-GR mengenai politik luar negeri berdasarkan Pancasila. Produk-produk hukum dari lembaga tertinggi negara ini kelak menjadi landasan lahirnya apa yang disebut pemerintahan Orde Baru.

Dinamika kebangsaan ini juga melahirkan dualisme kepemimpinan yang tidak kalah rumitnya. Bung Karno masih diakui sebagai pemimpin

bangsa secara formal telah mengalami penurunan pengaruhnya. Beliau masih menjadi Presiden namun aksesibilitasnya terhadap menteri-menterinya sudah tidak leluasa lagi, karena kini ada Presidium Kabinet yang harus dilibatkan dalam berbagai pengambilan kebijakan. Ini semakin menguat dengan dicabutnya sejumlah simbol kepemimpinannya seperti penggantian sebutan paduka yang mulia, yang mulia, paduka tuan dengan sebutan Bapak atau Saudara/Saudari (Tap MPRS No.XXXI/MPRS/1966). Dan memuncak ketika laporan pertanggungjawaban Bung Karno sebagai Presiden ditolak MPRS, menyusul pidato pelengkap Nawaksara yang disampaikan pada 17 Agustus 1966 menimbulkan pertentangan politik yang semakin tajam di tengah masyarakat.

Pada sisi lain, Pak Harto menjadi figur kepemimpinan baru yang mulai menjadi tumpuan harapan masyarakat. Meski menurut pengakuan Pak Harto bahwa dirinya tidak lah memiliki kemampuan untuk mengemban tugas sebagai pemimpin bangsa, namun ada banyak pihak yang mendorong-dorong agar ia bersedia tampil mengambil kepemimpinan tersebut. Ia juga menyadari bahwa kehadirannya sebagai Ketua Presidum Kabinet disuka atau tidak menimbulkan dualisme kepemimpinan dengan Bung Karno sebagai Presiden. Mengingat sikap dan pendirian Pak Harto dalam penyelesaian kemelut nasional berbeda dengan Bung Karno. Pak Harto sangat tegas mengikuti tuntutan hati nurani rakyat sementara Bung Karno masih ingin berkompromi dalam hal PKI. “Tanggal 20 Februari 1967 Presiden memanggil para Panglima dan saya pun hadir dalam pertemuan yang sangat serius itu. Pertukaran pikiran yang menegangkan mengisi suasasna pertemuan itu. Cukup melelahkan, lebih sulit daripada mendaki gunung yang terjal. Kami mengusulkan dengan hormat, agar Bung Karno tetap menjadi Presiden, tetapi dengan menyatakan diri tidak sanggup melakukan tugas, artinya tidak lagi duduk dalam kekuasaan seperti sebelumnya. Bung Karno tidak mau. Tetapi kemudian, dengan dukungan dari Panglima angkatan lain, di luar Angkatan Darat, Bung karno menyetujui untuk mengalihkan kekuasaan pemerintahan kepada saya pada hari itu juga, dengan ditegaskannya,

33

Mengakhiri Dualisme Kepemimpinan

bahwa saya harus melaporkan pelaksanaan tugas itu bila dirasa perlu. Saya terima keinginan Presiden, hasrat orang tua itu,” demikian Pak Harto menulis proses awal penyelesaian dualisme kepemimpinan tersebut. Presiden Soekarno pada 20 Februari 1967 mengeluarkan pengumuman Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI tentang penyerahan kekuasaan pemerintahan yang didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV tahun 1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, maka pemegang Surat Perintah 11 Maret memegang jabatan Presiden.

Pada tanggal 22 Februari 1967 dilakukanlah penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada pengemban ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, Jenderal Soeharto. Penyerahan kekuasaan pemerintahan dilakukan di Istana Merdeka dihadiri oleh seluruh Kabinet Ampera. Dalam kesempatan berbicara di hadapan media massa usai penyerahan kekuasaan itu Jenderal Soeharto menyatakan bahwa ini hanya merupakan salah satu usaha dalam rangka penyelesaian konstitusional untuk mengatasi situasi konflik demi keselamatan rakyat, negara, dan bangsa, dan pemerintah berpendirian bahwa tetap perlu penyelesian konstitusional lewat sidang MPRS.

Dan Sidang Istimewa MPRS yang digelar di Jakarta pada 7-12 Maret 1967 menuntaskan pengakhiran dualisme kepemimpinan ini. Sidang menghasilkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 yang memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan menarik kembali mandat MPRS dari Presien Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD 1945, dan mengangkat pengemban ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, Jenderal Soeharto, sebagai pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum. Pada hari terakhir Sidang istimewa, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.

Mengenang desakan yang terus dilakukan agar dirinya mengambil tanggung jawab itu dituliskan Pak Harto dalam buku otobiografinya:”

Kepercayaan itu mesti saya tanggapi. Dan akhirnya saya jawab dengan mengatakan bahwa saya akan mencoba. Satu-satunya jawaban mengapa saya berani memikul tanggung jawab yang begitu besar adalah kepercayaan yang dibereikan kepada saya itu. Kepercayaan, itu yang harus saya hargai. Seperti juga pada waktu-waktu yang lampau, sewaktu saya diberi tugas memimpin di lapangan. Sewaktu diangkat jadi Panglima, sewaktu menghadapi Trikora. Saya katakan,”kalau benar ada kepercayaan kepada saya, akan saya coba. Boleh saya memenuhi desakan Saudara-saudara, Bapak-bapak, tetapi dengan syarat sebagai pejabat saja dulu. Untuk satu tahun.”

Dalam pandangan Pak Harto, dengan dirinya diangkat sebagai Pejabat Presiden: ”maka tidak ada satu golongan pun yang menang terhadap

yang lain. Sebab yang menang adalah kita bersama. Yang menang adalah kepentingan rakyat, yang menang adalah keadilan dan kebenaran, yang menang adalah kita semua dalam menegakkan kembali UUD 1945. Yang menang adalah Orde Baru.***

35

50 Inisiatif Pak Harto untuk Indonesia & Dunia

Maka tidak ada satu golongan pun yang

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 66-71)