D
wi Komando Rakyat (Dwikora) memantik konflik antara dua bangsa serumpun, Indonesia dan Malaysia. Dwikora diserukan oleh Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 dalam pidatonya di muka apel besar Sukarelawan di Jakarta yang berisi komando pengganyangan Malaysia. “Perhebat ketahanan revolusi dan bantuperjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunai untuk menggagalkan Negara Boneka Malaysia,”
demikian isi komando tersebut.
Menindaklanjuti pelaksanaan Dwikora, pada 16 Mei 1964 Pemerintah membentuk Komando Gabungan yang disebut Komando Siaga dengan Menteri/Pangau Laksamana Madya Udara Omar Dhani sebagai panglima. Komando Siaga selanjutnya disempurnakan menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Dalam kerangka itulah, mencoba mengulang strategi yang dilakukan dalam Trikora, Kolaga melakukan serangkaian infiltrasi ke wilayah Kalimantan Utara maupun Malaysia Barat. Namun hasilnya tak segemilang Operasi Mandala di Irian Barat. Bahkan terjadi peristiwa Usman dan Harun yang membuat konflik semakin memanas.
Memulihkan Hubungan Baik Pasca Dwikora
3
Harun alias Tohir bin Said dan Usman Janatin bin H. Ali Hasan adalah dua prajurit KKO (Korps Komando Operasi-kini Korps Marinir) bersama Gani bin Rauf, seorang sukarelawan terlatih, melakukan penyusupan ke wilayah Singapura untuk melakukan sabotase. Namun usai menjalankan aksinya, Gani berhasil meloloskan diri sementara Usman dan Harun ditangkap penguasa setempat pada 13 Maret 1965 untuk kemudian menjalani pengadilan di Singapura. Jenderal Soeharto yang baru saja menjadi Presiden Kedua RI berusaha dengan berbagai cara agar keduanya mendapatkan pengampunan dan diringankan hukumannya, termasuk mengirimkan surat kepada Presiden Singapura dan PM Lee Kwan Yew. Namun hal itu tak membuahkan hasil. Akhirnya Usman dan Harun dihukum gantung pada 17 Oktober 1968. Seperti dituturkan oleh Tjokropranolo, yang sehari sebelumnya bersama A.R. Ramly diutus Pemerintah untuk menemui keduanya di penjara Changi, Presiden Soeharto menyampaikan salut kepada keduanya. Mereka mengabarkan bahwa Pemerintah siap menjadikan mereka pahlawan nasional dan perjuangannya akan dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia. Pak Harto juga mengabulkan permintaan mereka untuk dimakamkan berdampingan di Indonesia.
Konfrontasi selama Dwikora membuat hubungan antara bangsa Indonesia dan Malaysia serta Singapura semakin memburuk. Ditambah lagi dengan Peristiwa Usman dan Harun. Meski demikian, Pak Harto yang tampil menjadi pejabat Presiden tak ingin turut larut dalam konfrontasi tersebut. Ia berinisiatif menyelesaikan konflik dengan caranya sendiri. Memulihkan hubungan baik adalah pilihan Pak Harto dalam penyelesaian konflik tersebut. Pada 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dibalas oleh pemerintah Singapura dengan mengirimkan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Sementara pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di Bangkok 29 Mei -1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok yang berisi kesepakatan kedua belah pihak untuk menghentikan tindak permusuhan dan memulihkan
15 hubungan diplomatik serta penegasan kembali masyarakat Sabah yang telah memutuskan bergabung dengan Federasi Malaysia. Persetujuan atas hasil perundingan Bangkok ditandatangani di Jakarta pada 11 Agustus 1966 oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Rajak (Malaysia) disaksikan langsung oleh Ketua Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto.
Sebuah kisah dibalik proses pemulihan hubungan ini diungkapkan oleh Des Alwi, diplomat yang pernah bertugas dan sangat dekat dengan peara pemimpin Malaysia saat itu, sebagaimana termuat dalam Pak Harto the Untold Stories (2009). “Suatu ketika, Tun Razak yang waktu itu belum
menduduki jabatan penting meminta saya menemaninya berwisata ke Solo. Saya pun teringat sahabat saya Soeharto yang ketika itu sedang bertugas di Jawa Tengah. Saya mengontaknya agar dapat menemani sahabat Malaysia itu. Pak Harto kemudian mengantarkan Tun Razak berwisata di Solo. Ketika Pak Harto berhasil menggagalkan usaha kudeta G30S/PKI pada tahun 1965 dan kemudian tampil sebagai pemimpin nasional, saya kabarkan berita ini kepada Tun Razak yang saat itu telah menjadi Perdana Menteri Malaysia. Tun Razak pun berkomentar dengan senang,”Oh, Suharto yang menemani kita di Surakarta, ya!” Saya diminta menyampaikan undangan dari Tun Abdul Razak kepada Pak Harto. Ia menyambut baik undangan itu, mereka bertemu di Kesultanan Pahang, Malaysia, dalam suasana penuh persahabatan. Rupanya Tun Razak ingin membalas kebaikan hati Pak Harto yang telah mengantarnya selama di Surakarta beberapa waktu silam. Saya yakin hubungan baik yang kembali tersambung antara Indonesia dan Malaysia pasca Dwikora, salah satunya disebabkan hubungan personal yang bagus di antara kedua tokoh ini.”
Kelak hubungan mereka juga semakin membaik pada masa-masa berikutnya. Bahkan menandai persahabatan kedua pemimpin tersebut, pada tahun 1977 dibangun sebuah felda (kawasan perkebunan) yang terletak di Selangor, Malaysia.Sebagian besar penduduknya berasal dari berbagai suku di Indonesia diberi nama Felda Soeharto.
Akan halnya dengan pemulihan hubungan Indonesia –Singapura pasca peristiwa Usman-Harun, Abdul Rachman Ramly, menuturkan dalam Pak Harto the Untold Stories (2009). A.R. Ramly adalah perwira Angakatan Darat berpangkat Letnan Kolonel yang ditugasi Pak Harto sebagai Liasion Officer untuk menyelesaikan persoalan ini berkisah:”Sebagai panglima tertinggi, Pak Harto berusaha semaksimal
mungkin membela dan menghormati anak buahnya. Pembelaan dan penghormatan kepada anak buah yang gugur sebagai bunga bangsa itu, ditunjukkan Pak Harto ketika PM Lee ingin berkunjung ke Indonesia dua tahun setelah hukuman mati dilaksanakan. Pak Harto mempersilakan PM Lee datang dengan syarat harus meletakkan karangan bunga langsung di makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata, buan di tempat biasanya tamu negara meletakkan karangan bunga, di kaki tugu makam pahlawan. Syarat itu sungguh tidak lazim, namun entah dengan pertimbangan apa.PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun. Baru setelah itu hubungan Jakarta-Singapura membaik.”***
17
50 Inisiatif Pak Harto untuk Indonesia & Dunia