• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membuka Mata Dunia

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 37-43)

Sekutu AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang memenangi Perang Dunia Kedua dan berdalih hendak melucuti tentara Jepang mereka kembali ke Bumi Nusantara. “Sekali Merdeka Tetap Merdeka!” menjadi pekik patriotik yangterdengar dimana-mana, saling bersahutan dengan pekik, “Merdeka atau Mati!” . Coretan “Indonesia Never Again the “Life Blood” of Any Nation!” digoreskan pejuang di dinding-dinding kota Jakarta.

Lalu pertempuran demi pertempuran terjadi dimana-mana. Pertempuran fisik yang tak seimbang. Belanda menggunakan senjata modern nan lengkap, sementara bangsa Indonesia menggunakan senjata apa adanya, sebagian berasal dari hasil rampasan dari tentara Jepang, dan tak sedikit yang bersenjatakan bambu yang diruncingkan saja. Namun bangsa Indonesia memiliki kelebihan lain. Pejuang Indonesia berbekal semangat dan moral yang tinggi. Sebagian besar pejuang yang muslim memenuhi seruan jihad para tokoh ulama panutan mereka. Berbekal doa dan tekad syahid, mereka dengan gagah berani tampil di medan-medan laga. Pertempuran Lima hari di Semarang 15-20 Oktober 1945, Palagan Ambarawa 21 November 1945, Pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945, Pertempuran Medan Area 10 Desember 1945, Peristiwa Bandung Lautan Api 24 Maret 1946, dan Pertempuran Margarana-Bali November 1946 hanya beberapa saja yang tercatat dalam buku-buku sejarah. Di medan politik dan diplomasi pun tak kalah seru, putera-puteri terbaik bangsa berkeliling menggalang pengakuan dan dukungan dari dunia internasional. Sedangkan para seniman dan seperti Chairil Anwar, Idrus, WR Supratman, Ismail Mardjuki, Affandi memacu semangat bangsa dengan karya-karya mereka yang dipenuhi gelora patriotisme.

Jakarta secara resmi ditetapkan sebagai Ibukota Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Namun kedatangan Pasukan Sekutu bersama NICA (Netherland Indie Civil Administration) yang membonceng di dalamnya, memaksa pemerintahan RI mencari tempat yang aman guna menjalankan kekuasanannya. Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX, telah menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.

3 Dan menghadapi situasi yang memburuk di Jakarta, Sri Sultan pun membuka pintu bagi negara RI yang baru merdeka. Sejak 4 Januari 1946 Presiden Seokarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta bersama para pemimpin negara lainnya pindah ke Yogyakarta.

Tentu saja Belanda tak tinggal diam. Meski sejumlah perundingan demi perundingan diplomasi dilakukan seperti perundingan di atas kapal Renville, serta usaha memecah belah bangsa Indonesia dilakukan dengan mendirikan negara-negara boneka berbasis kedaerahan, mereka melihat bahwa bangsa Indonesia, terutama dari kelompok perjuangan fisik terus menguat. Para pejuang ini mulai menjelmakan dirinya mula-mula ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 selanjutnya menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 26 Januari 1946 dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Juni 1947. Mereka terus menerus melakukan perlawanan yang kian hari kian membahayakan.

Sebuah serangan militer pun disiapkan oleh Belanda untuk menduduki ibukota RI di Yogyakarta. Sebuah agresi militer yang kedua kalinya dan mereka sebut sebagai aksi polisionil bersandi Operatie Kraai (Operasi Gagak) dilakukan pada 19 Desember 1948. Mereka dengan cepat menguasai sejumlah wilayah kota Yogyakarta. Para pemimpin RI berhasil mereka tangkap, lalu mereka terbangkan keluar Yogyakarta untuk diasingkan.

Namun demikian, sidang kabinet yang digelar pada hari itu juga mengambil keputusan untuk mengirim radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat yang saat itu sedang berada di wilayah Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), serta kepada Mr. A.A. Maramis (Menteri Keuangan), L.N. Palar dan Dr. Sudarsono yang tengah berada di India untuk membentuk pemerintahan di pengasingan jika Syafrudin gagal membentuk pemerintahan daruratnya. Sjafrudin memenuhi perintah dan berhasil membentuk PDRI di Bukittinggi pada 22 Desember 1948.

Akan halnya di kota Yogyakarta, Belanda menghadapi perlawanan terus menerus. Sebelumnya Pemerintah RI telah membangun kesepakatan dengan pimpinan TNI, bahwa apabila Belanda menyerang, maka pemerintah akan menyingkir keluar kota serta memimpin perang gerilya. Oleh karena itu, ketika Belanda menduduki Yogyakarta dan menawan para pemimpin negara, para menteri dan anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) tidak lah panik. Angkatan Perang telah membagi wilayah pertahanan Republik menjadi dua komando, yaitu Jawa dan Sumatera, siap melaksanakan rencana tersebut. Di Jawa, panglima Tentara dan Teritorium Jawa, Kolonel A.H. Nasution pada 22 Desember 1948 mengumumkan berdirinya pemerintahan militer untuk Jawa. Pada bulan sebelumnya, tepatnya 9 November 1948 Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Siasat No.1 tahun 1948 yang bersifat rahasia dan ditujukan kepada Komandan Divisi dan Komandan Brigade. Perintah Siasat ini berisi pokok-pokok perlawanan dan pertahanan jika Belanda melakukan agresinya.

Menghadapi agresi militer kedua Belanda para pejuang yang tergabung dalam TNI di bawah kepemimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman tidak menyerah. Mereka menyingkir ke luar kota dan memulai perang gerilya. Dari basis gerilyanya Panglima Besar Jenderal Soedirman terus menjalin komunikasi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, penguasa Yogyakarta sekaligus Menteri Negara RI yang tidak ditangkap Belanda. Sepucuk surat dikirim Panglima Soedirman kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dibawa oleh pengawalnya Kapten Tjokropranolo, untuk selanjutnya diantarkan kepada Letkol Soeharto, yang kemudian menyerahkannya kepada Sri Sultan di dalam Keraton Yogyakarta. Tak hanya menyerahkan surat, kedua tokoh ini berbincang banyak hal tentang situasi saat itu, utamanya melemahnya semangat dan moral perjuangan tentara dan rakyat Indonesia.

Letkol Soeharto, yang pada saat itu baru saja ditetapkan sebagai Komandan Wehrkreise (Wilayah pertempuran) III, terus melakukan konsolidasi kekuatan perjuangan yang tersebar di penjuru wilayah kota Yogyakarta dan sekitarnya. Usaha ini dilakukan sesuai dengan

5 sistem pertahanan yang dijalankan dengan menerapkan Sistem Wehrkreise (Wilayah Pertempuran), yang memberi kekuasaan kepada komandannya untuk mengambil inisiatif sesuai keadaan dan kemampuan masing-masing.

Tercatat empat kali pasukan yang dipimpin Letkol Soeharto melakukan penyerangan pada malam hari terhadap pos-pos militer Belanda. Namun demikian serangan-serangan tersebut dirasa kurang signifikan dalam strategi perjuangan menyeluruh bangsa Indonesia sehinga perlu strategi baru yang lebih berdampak psikologis maupun politis. Seperti dikemukakan oleh salah satu pelakunya, Letnan Kolonel Soeharto dalam otobiografinya Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), setelah mendengar siaran radio tentang perdebatan di PBB yang mengabarkan pernyataan Belanda bahwa tindakan aksi polisionilnya telah berhasil menguasai Yogyakarta; “Seketika itu saya

berpikir, ‘bahan apa yang akan digunakan Palar, Wakil RI di PBB, untuk menjawab pernyataan pihak Belanda itu?’ Maka muncullah keputusan dalam pikiran saya: Kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan pada dunia kebohongan si Belanda itu.”

Setelah segala sesuatunya direncanakan, dikoordinasikan dengan sejum lah pihak, dan disiapkan dengan matang, tepat pukul 06.00 tanggal 1 Maret 1949 digelarlah sebuah serangan umum oleh Pasukan TNI dengan dukungan penuh dari rakyat Yogyakarta yang mendapat restu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Letkol Soeharto yang dijuluki oleh Panglima Soedirman sebagai “Bunga Pertempuran” memimpin langsung ribuan pejuang dan rakyat dengan janur kuning terikat di lengan. Serangan yang bersifat pendadakan itu berhasil menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam. Belanda sangat terdesak dan tak mampu berbuat banyak, dan terpaksa meminta bantuan dari pasukan lainnya, yang kemudian datang pada siang hari dari Salatiga - Semarang melalui utara. Pada pukul 13.00 Letkol Soeharto memerintahkan para pejuang untuk keluar dari kota Yogyakarta, meninggalkan basis pasukan Belanda yang porak poranda.

Inisiatif Letkol Soeharto untuk menggelar serangan yang lebih besar dan lebih signifikan di siang hari, yang kelak dikenal sebagai Serangan Oemoem 1 Maret 1949, benar-benar memenuhi harapan. Laksana strategi Public Relations, serangan tersebut telah menimbulkan efek yang diinginkan yakni membuka mata dunia. Segera setelah peristiwa tersebut, moral perjuangan rakyat dan tentara Indonesia kembali bangkit, dunia internasional pun kembali menaruh perhatian terhadap perjuangan Indonesia. SO 1 Maret 1949 menjadi berita utama di koran-koran internasional baik di India, Singapura, maupun Malaysia. Berita pertempuran yang disiarkan dari Sumatera sampai juga ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tengah bersidang di New York. Serangan itu akhirnya memaksa Belanda untuk datang ke meja perundingan (yang kelak hasilnya dikenal sebagai Perjanjian Roem-Roiyen) pada Mei 1949, disusul dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Agustus 1949, dan berujung pada pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.

Mengomentari terjadinya SO 1 Maret 1949 Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution yang pada masa Perang Kemerdekaan menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Djawa, menulis dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas – Jilid2 – Kenangan Masa Gerilya (1990) : ”…dalam rangka

tahap ke 2 perlawanan kita maka Letnan Kolonel Soeharto mengambil keputusan untuk menyerang kota Yogya tanggal 1 Maret, sehingga mata internasional, melalui KTN, dan lain-lain dapat langsung menyaksikan. Terjadilah Serangan umum 1 Maret, Enam Jam di Yogya.”

Akhir-akhir ini muncul wacana yang berusaha saling meniadakan peran dan inisiatif dari tokoh-tokoh sentral dalam keberhasilan SO 1 Maret 1949. Haruslah dikemukakan bahwa sukses SO 1 Maret 1949 merupakan buah kerjasama sinergi harmonis antara para tokoh dan pejuang serta rakyat Indonesia pada masa itu. Setiap tokoh memainkan perannya dengan sangat baik dan membuahkan hasil yang kini menjadi salah satu batu berharga dari fondasi peradaban bangsa Indonesia.***

7

50 Inisiatif Pak Harto untuk Indonesia & Dunia

Seketika itu saya berpikir, ”bahan apa

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 37-43)