• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membubarkan PKI dan Melarang Komunisme

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 54-62)

19

Membubarkan PKI dan Melarang Komunisme

kepada saya, “Agar tahu, saya telah mengambil alih langsung Pimpinan Angkatan darat dan mengangkat Pranoto sebagai pelaksana harian. Saya diam sesaat, tetapi mampu menahan diri. “Bapak Presiden,”kata saya, “pada kesempatan ini saya juga ingin melaporkan bahwa inisiatif saya sendiri, saya telah mengambil Komando dan mengambil alih sementara Pimpinan Angkatan Darat. Inisiatif ini saya ambil karena biasanya, apa bila jenderal A. Yani berhalangan, saya yang ditunjuk mewakili beliau. Selain daripada itu, untuk menjaga kekosongan Pimpinan Angkatan Darat, dan untuk memberi ketenangan kepada umum dan para panglima kodam. Insiiatif saya itu sudah saya umumkan lewat RRI.”

Diam sejenak. Tetapi lalu saya sambung lagi, “Saat ini, karena Bapak Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian, dan supaya jangan menimbulkan dualisme pimpinan dalam angkatan Darat, saya serahkan tanggungjawab keamanan ini dan ketertiban umum pada pejabat baru.”

Segera presiden bereaksi,”Jangan, bukan maksud saya begitu. Harto tetap bertanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban.”

Saya balik bertanya, “Lantas, dasar saya apa? Dengan tertulis Bapak telah mengangkat Mayor Jenderal pranoto dan harus ditaati.” Saya bernafas sebentar untuk mengendalikan emosi. “Orang bisa mengira, saya ini tidak tahu diri, ambisius dan tidak patuh. Kan repot, Pak”

Semua diam sebentar. Tetapi lalu Presiden bertanya,”Lantas bagaimana caranya?”

“Satu-satunya cara ialah dengan pidato radio kepada rakyat bahwa saya diberi tugas bertanggung-jawab mengenai pemulihan kemanan dan ketertiban oleh Bapak Presiden,” saya tegaskan. Saya merasa bertanggung jawab.

“Mana Sabur, panggil kemari!” kata Presiden Soekarno menanggapi ucapan saya.

“Sabur,” kata Bung Karno kepada pimpinan Cakrabirawa itu. “Kamu siapkan pidato saya. Jelaskan bahwa saya memberi tugas kepada Jenderal Soeharto. Jenderal Soeharto bertanggung jawab mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban di samping Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian. Siarkan itu nanti, segera, melalui RRI.”

Pertemuan yang memakan waktu dua jam lebih itu pun selesai dan saya kembali dari istana Bogor dengan membawa reel pita suaraberisi rekaman pidato Presiden Soekarno yang dibuat di Istana itu. Jam empat sore saya meninggalkan Bogor.”

Dengan kata lain, inisiatif yang dilakukan Pak Harto dalam melakukan langkah-langkah guna mematahkan G30S/PKI sesungguhnya memper-oleh kewenangan yang legal dari Presiden sebagai Panglima Tertinggi pada masa itu.

Kemelut semakin meninggi ketika masyarakat yang anti-PKI berusaha melakukan pembalasan terhadap kekejaman yang berpuluh-puluh tahun sebelumnya telah dipraktikkan para penyokong ideologi Marxisme/ Leninisme itu. Sementara kesulitan ekonomi semakin melilit dan mahasiswa turun ke jalan menyerukan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yakni Bubarkan PKI beserta Ormas-Ormasnya, Perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga dan perbaiki sandang pangan. Meski demikian Presiden Soekarno tidak juga bergeming dengan tekanan-tekanan yang datang dari kelompok masyarakat dan mahasiswa. Bung Karno dan Pak Harto sudah memiliki hubungan yang erat secara personal. Bung Karno sudah mengenal Pak Harto di Yogyakarta sejak masa Revolusi Kemerdekaan tahun 1946. Pak Harto dijuluki oleh Bung Karno sebagai Opsir Koppig karena kerasnya pendirian. Meski demikian, Bung Karno mempercayai Pak Harto. Terlebih sejak Pak Harto sukses menjalankan Trikora dalam tugas sebagai Panglima Komando Mandala dalam Operasi Pembebasan Irian Barat.

21

Membubarkan PKI dan Melarang Komunisme

oleh Bung Karno sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengisi kekosongan jabatan akibat gugurnya Jenderal Ahmad Yani, Menpangad sebelumnya. Pelantikan dilakukan di Istana Negara oleh Bung Karno pada 16 Oktober 1965. Dengan posisinya sebagai menteri memungkinkan Pak Harto dapat berkomunikasi secara intensif dengan Bung Karno, terutama berkait dengan tuntutan rakyat tentang pembubaran PKI.

Dalam buku biografinya, Soeharto secara rinci menuturkan perdebatannya dengan Bung Karno tentang tuntutan pembubaran PKI oleh kelompok masyarakat dan mahasiswa itu: ”Sewaktu kami berdua,

Bung Karno bertanya dalam bahasa Jawa, ‘Harto, Jane aku iki arep kok apakake?’ (Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?) Aku ini pemimpinmu.”

Saya memberikan jawaban dengan satu ungkapan yang khas berakar dari pada latar belakang kehidupan saya.

“Bapak Presiden,” jawab saya, “saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero (memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya; menghormat) terhadap orang tua.”

“Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orang tua saya. Bagi saya, Bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orang tua saya. Saya ingin mikul duwur terhadap bapak. Sayang, yang mau di-pikul dhuwur mendem jero tidak mau,” kata saya. Saya yakin, Bung Karno paham benar akan ungkapan yang saya kemukakan.

Sebentar Bung Karno diam, menarik muka serius seperti semula. “Betul begitu, Harto?” tanyanya kemudian. “Betul Pak. Isnyaallah. Soalnya bergantung pada Bapak.”

“Nah, kalau betul kamu masih menghormati aku dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau menghentikan

demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka keterlaluan. Tidak sopan! Liar! Mereka sudah tidak sopan dan tidak hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.”

“Maaf, Pak. Saya pikir masalah ini berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud, penyelesaian politik mengenai Gestapu/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau sekarang Bapak presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena saya juga dituntut oleh mereka.”

“Penyelesaian politik Gestapu, Gestok, PKI lagi yang kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan, tetap menghormati kepemimpinanku.” Jawab saya: ”Tak pernah goyah, Pak.”

“Kalau begitu laksanakan perintahku,” kata Bung karno. Saya tidak menjawab, Bung karno juga diam.

Pada kesempatan lain. Bung Karno kembali berdialog dengan Pak Harto. “Saya pernah mengatakan kepada beliau. ”Pak, alangkah baiknya kalau memang kita sudah salah kita kemudian mundur. Mundur tetapi untuk menang. Mundur selangkah, tetapi untuk maju lebih jauh lagi.

Masalahnya amat sepele, yakni membubarkan PKI. Tetapi beliau mempunyai keyakinan tersendiri, dan beliau tidak mamu membubarkan PKI, tidak bergeser sedikit pun. Apa sebabnya? Bung Karno berpendirian bahwa PKI tidak bisa dibubarkan. Kalau dibubarkan dan dilarang akan bergerak di bawah tanah dan akan lebih berbahaya.

Saya memberikan argumentasi lain. PKI bisa dilarang, tidak berbahaya, asal rakyat kita ajak. Kita harus memisahkan PKI dari rakyat. Dan ini pernah terjadi pada waktu menghadapi pemberontakan PKI/Muso di Madiun tahun 1948. Ketika itu Bung Karno berseru : ”Pilih Muso atau

23

pilih Sukarno. Apalagi sekarang Bung Karno bisa tanya pada rakyat: ‘Pilih PKI atau Pancasila.’ Pasti rakyat pilih Pancasila.”

Pada kesempatan lain, lagi-lagi Pak Harto berdialog dengan Bung Karno tentang pembubaran PKI.

“Har, saya ini sudah diakui sebagai pemimpin dunia, konsep Nasakom sudah saya jual kepada bangsa-bangsa di dunia. Sekarang saya harus membubarkan PKI, dimana Har, saya harus menyembunyikan muka saya.”

Dengan tenang dan hormat tetapi sungguh-sungguh saya menjawab: ”Pak kalau masalahnya untuk konsumsi dunia luar, jadikan saya bumper, saya yang akan membubarkan PKI, bukan Bapak, tetapi ke dalam negeri Bapak harus ngegongi (menyetujui).” Namun beliau tetap pada pendiriannya, dan rupanya belum bisa menangkap sikap saya yang sebenarnya.

Kisah-kisah tersebut memberi ilustrasi sikap dan pandangan Pak Harto tentang bagaimana kemelut nasional ini harus diselesaikan, yang sudah barang tentu sangat dipahami oleh Bung Karno. Sehingga dapat dimengerti manakala kemelut semakin memuncak, dan Bung Karno harus memutuskan kepada siapa pemulihan ketertiban dan keamanan diserahkan ia tak ragu untuk mempercayakannya kepada Pak Harto. Surat Perintah 11 Maret 1996, biasa disingkat Supersemar, adalah surat perintah yang dikeluarkan oleh Bung Karno untuk Letjen Soeharto sebagai Menpangad, melalui tiga jenderal yang menemuinya di Istana Bogor. Ketiga Jenderal tersebut yakni Brigjen M. Yusuf (Menteri Perindustrian), Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Veteran dan Demobilisasi), dan Brigjen Amir Mahmud (Pangdam V Jaya) berinisiatif menemui Bung Karno dengan terlebih dahulu meminta ijin Pak Harto yang merupakan atasan mereka. Hal ini dilakukan setelah terjadi penghentian Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Negara, Jakarta, pada pagi harinya. Dalam pertemuan dengan ketiga Jenderal inilah akhirnya Bung Karno membuat Surat Perintah kepada

Pak Harto yang dalam salah satu diktumnya adalah memberikan kewenangan untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan”.

Berbekal Supersemar, Pak Harto segera mengambil inisiatif dengan membubarkan PKI. Inisiatif ini diwujudkan melalui penerbitan Keputusan Presiden No.1/3/1966 tentang Pembubaran PKI Termasuk Bagian-Bagian Organisasinya Tingkat Pusat Sampai Daerah. Keppres terebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 oleh Presiden/ Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR atas nama beliau, ditandatangani oleh Letnan Jenderal TNI Soeharto.

Sesungguhnya Supersemar praktis hanya digunakan Pak Harto untuk melakukan dua hal, yakni pertama, membubarkan PKI beserta underbouw-nya; kedua, menangkap menteri-menteri yang terindikasi terlibat G30S/PKI. Respon Bung Karno tentang pelaksanaan Supersemar disampaikan dengan jelas dalam pidatonya pada 17 Agustus 1966 yang diberi judul Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah. Antara lain Bung Karno mengatakan:

“Surat perintah 11 Maret itu mula-mula, dan nampak dalam kurun waktu- membuat mereka bertempik sorak kesenangan-Dikiranya SP 11 Maret adalah penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority. Padahal tidak! SP 11 Maret adalah suatu perintah pengamanan, perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Demikian kataku waktu melantik kabinet. Kecuali itu, perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik, dan saya mengucapkan terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal itu.”

Keberhasilan Pak Harto menjalankan Supersemar membuka babak baru dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sidang Umum MPRS IV yang

25 digelar 20 Juni 1966 bahkan menghasilkan ketetapan MPRS No. IX/ MPRS/1966 yang menguatkan Supersemar sebagai payung hukum. Dengan demikian, surat perintah tersebut tidak bisa dicabut lagi oleh siapapun, kecuali oleh MPRS itu sendiri. Selain itu, dengan Tap MPRS no. IX/MPRS/1966, maka pembubaran PKI yang dilakukan dengan Supersemar, juga dikukuhkan menjadi produk hukum. Termasuk dalam TAP itu, larangan untuk kegiatan menyebarkan atau mengembangkan paham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme di Indonesia. mengomentari hal ini, Bung Karno dalam acara pelantikan menteri Kabinet Ampera beberapa waktu kemudian menyatakan bahwa hatinya mendapat 3 plong. Plong pertama, Kabinet Ampera dibentuk bersama-sama oleh Presiden Soekarno dan Letnan Jenderal Soeharto. Plong kedua, program Kabinet Ampera adalah Catur Karya. Dan Plong ketiga, MPRS telah mengukuhkan Surat perintah 11 Maret. “Surat Perintah 11

Maret diambil oper oleh MPRS. Itu membuat saya paling plong!”***

Surat perintah 11 Maret itu mula-mula, dan

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 54-62)