• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Toleransi

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 77-82)

S

ejak awal tampil sebagai pemimpin bangsa, Pak Harto menaruh perhatian terhadap kehidupan beragama di Indonesia. Ini tiada lain karena Pak Harto berkomitmen kuat untuk meletakkan kembali Pancasila sebagai landasan kehidupan di negara yang dipimpinnya. Dengan merujuk kepada pandangan Bung Karno yang menyebut bahwa masyarakat Pancasila adalah masyarakat yang sosialistis religius, Pak Harto lebih jauh menjelaskan: “Ada yang mengatakan masyarakat

Pancasila itu masyarakat religius sosialistis. Saya katakan, tidak ! Saya katakan, masyarakat yang sosialistis religius. Karena apa? Karena religius itu sebetulnya sudah mengandung sosialisme. Ajaran agama juga soal kebersamaan. Tetapi sosialisme belum tentu percaya kepada Tuhan. Pancasila menetapkan dua sifat, individu dan mahluk sosial yang tidak dapat dipisahkan. Monodualistis sifatnya; tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Selalu ada segi keseimbangannya. Selalu ada keserasian antara kebersamaan dan individu, dan jiwa serta semangat sosialistis religius itu bisa dikendalikan. Pandangan ini harus terdapat dimana-mana di semua kehidupan di Indonesia, kalau konsekuen kita mengakui Tuhan menciptakan manusia.”

8

Pandangan ini menjadi basis inisiatif Pak Harto dalam menumbuhkan kehidupan beragama di Indonesia. Secara garis besar, ada dua inisiatif Pak Harto dalam hal ini yakni Pertama, memfasilitasi umat-umat beragama dalam menjalankan ibadahnya. Kedua, membangun keserasian serta toleransi antarumat beragama di Indonesia. Pak Harto menuturkan; “Kita harus percaya kepada Tuhan, harus percaya

dan menghormati bahwa Tuhan itu hanya satu. Tetapi kenyataan bahwa Tuhan telah menurunkan bermacam-macam agama di dunia ini, perlu kita sadari. Hak beragama, sesuai dengan keyakinan masing-masing harus dijamin dan dilindungi. Terlebih-lebih karena Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan naluri hidup yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat dan bangsa Indonesia, dan telah menjadi sila pertama dari Pancasila.”

Sejak awal perhatian cukup besar diberikan Pak Harto kepada umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia. Tak bisa dipungkiri, sebagai figur yang memeluk Islam dan dibesarkan dalam tradisi keislaman yang kuat di Jawa, Pak Harto memiliki inisiatif yang lebih dalam memfasilitasi kehidupan beragama umat Islam. Tercatat, pada tahun 1968 ia mendorong digelarnya kegiatan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat nasional. Acara yang terus berlangsung secara berkala hingga kini. Pada kegiatan MTQ tahun 1977 yang digelar di Manado, Sulawesi Utara Pak Harto menyampaikan pandangannya:”Al

Qur’an tidaklah cukup hanya di musabaqohkan bacaannya, perlu dilakukan usaha ilmiah untuk mengkajinya dalam rangaka untuk mengamalkannya.” Sebuah pandangan yang kelak menginspirasi

menteri agama saat itu, KH. Mohammad Dahlan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang khusus mempelajari ilmu Al Qur’an (PTIQ).

Masih pada tahun yang sama, Pak Harto menyampaikan pemikirannya tentang peran dan pemanfaatan zakat dalam menangani kesejahteraan sosial bangsa. Dalam peringatan isra mi’raj di Istana Negara pada 26 Oktober 1968 Pak Harto menyatakan bahwa banyak dari ajaran Islam mengenai pembangunan masyarakat yang apabila kita amalkan

sebaik-43

Membangun Toleransi

baiknya, dikoordinasikan dan diarahkan setepat-tepatnya akan menjadi usaha yang sangat besar, seperti zakat misalnya. Bahkan Pak Harto pun menyediakan diri bertindak sebagai amil, yang mengkoordinasikan pengumpulan zakat tersebut. Pemikiran ini diwujudkan Pak Harto sebulan kemudian, dengan menerbitkan pengumuman Presiden RI No.1 Tahun 1968 yang memberitahukan bahwa masyarakat dapat mengirimkan zakat, derma atau sedekahnya melalui Presiden Soeharto melalui berbagai mekanisme pengiriman. Zakat yang dikumpulkan itu kemudian disalurkan kepada yang berhak. aktivitas ini kelak melahirkan lembaga yang dikenal sebagai Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqoh (BAZIS) pada tahun itu juga, dan hingga kini terus memainkan peran aktifnya dalam mengelola dana zakat, infaq dan sedekah umat.

Pak Harto juga mendorong peran ulama dalam pembangunan Indonesia. Pada bulan Juli 1975 digelar konferensi nasional ulama seluruh Indonesia yang dibuka di Istana Negara. Pak Harto dalam pidato sambutannya menyampaikan bahwa kerukunan dan persatuannasional hanya dapat diwujudkan apabila ada kerukurnan dan persatuan antara kelompok-kelompok dalam keluarga besar bangsa Indonesia. usaha ke arah itu terus bertambah di kalangan umat Islam. “Saya katakan dalam

kesempatan itu bahwa untuk meningkatkan keserasian dan toleransi beragama, dibutuhkan badan musyawarah agama sebagai satu forum di mana dapat diperbincangkan hal-hal yang menyangkut kepentingan kelompok-kelompok agama.”

Memang, konferensi itu kemudian berhasil melahirkan sebuah lembaga kemasyarakatan yang diberi nama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam hal pemeranan MUI kelak, Pak Harto menyatakan Majelis Ulama tidak perlu bergerak di bidang politik karena wadah untuk itu sudah cukup tersedia berupa dua partai politik dan satu golongan karya. Pak Harto berharap Majelis Ulama dapat memainkan peran besar dalam menggerakkan masyarakat untuk pembangunan. Akan tetapi Pak Harto juga mengingatkan bahwa usaha itu tidak perlu dengan mendirikan madrasah, masjid, dan rumah sakit sendiri, sebab kegiatan ini pun telah ditampung oleh organisasi-organisasi yang bergerak dalam bidang

keagamaan dan sosial. Kelak, MUI banyak memainkan peran penting dalam memfasilitasi umat Islam dalam menjalankan berbagai aktivitas keagamannya, utama melalui penerbitan fatwa-fatwa ulama maupun koordinasi antarkelompok keagamaan.

Inisiatif penting Pak Harto dalam kerangka memfasilitasi umat Islam dalam menjalankan kegiatan beragamanya ialah dengan membangunkan masjid-masjid di seluruh Indonesia. Melalui Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP) yang didirikan pada 17 Februari 1984 Pak Harto bersama sejumlah tokoh lainnya menggerakkan umat Islam Indonesia untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan masjid-masjid di daerah-daerah yang membutuhkan. Pak Harto bersama YAMP berhasil membangun masjid dalam berbagai ukuran di seluruh pelosok negeri. Pada 9 September 1999 masjid yang ke-999 diresmikan di Jakarta oleh puterinya, Siti Hardiyanti Rukmana.

Pada masa-masa selanjutnya, Pak Harto juga memfasilitasi berbagai aktivitas umat Islam lainnhya, diantaranya mendorong terbentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia atau ICMI pada 1990 serta berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada 1991 sebagai bank pertama yang dioperasikan berdasarkan prinsip ekonomi syariah. Kelak ICMI memainkan peran penting dalam proses reformasi politik di Indonesia tahun 1998 sementara Bank Muamalat Indonesia menjadi pembuka gerbang bagi berdirinya bank-bank berbasis syariah serta diterapkannnya prinsip-prinsip syariah dalam berbagai aktivitas perekonomian masa kini.

Akan halnya penumbuhan toleransi antar-umat beragama Pak Harto sejak awal menggagas dibentuknya forum komunikasi antarumat beragama di berbagai tingkatan. Melalui forum tersebut, dilakukan dialog yang semakin menguatkan saling pengertian dan penghargaan antar kelompok keagamaan.

Sementara itu berkenaan dengan aliaran-aliran kepercayaan, Pak Harto menjelaskan duduk perkaranya dalam salah satu tulisan di buku

45

Membangun Toleransi

otobiorgrafinya. Dalam tulisan itu Pak Harto bertutur:” Memang, aliran

kepercayaan itu bukan agama. Seharusnya orang dari aliran kepercayaan itu –memilih salah satu agama. Dan itu sebetulnya dan seharusnya tidak menjadi soal bagi mereka. Dari dulu sudah saya jelaskan bahwa hal ini tidak dipertentangkan. Dalam pada itu, sebaiknya para pemimpin agama itu mengajak mereka yang telah percaya kepada Tuhan untuk mengikuti induk agama yang diakuinya> Dalam hal ini, peranan ulama dan pemimpin-pemimpin agamalah yang dapat menyadarkannya lewat dakwah agama.”***

Kita harus percaya kepada Tuhan, harus

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 77-82)