• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : Mahpudi

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 21-37)

BERLEBIHAN. Boleh jadi itulah yang terlintas pada benak orang yang pertama kali membaca judul buku ini. Sesungguhnya tidak. Setiap orang memiliki kontribusi terhadap peradaban dimana ia hidup. Kontribusi itu bisa berupa pemikiran, gagasan, kiprah, tindakan, atau karya yang dihasilkannya. Kontribusi itu bisa kecil-kecil saja seperti menaati peraturan lalu lintas, atau membuat tempat sampah dari kertas limbah, namun bisa juga sangat besar dan bahkan mempengaruhi jalan pembentukan peradaban bangsanya seperti memproklamasikan kemerdekaan, membuat Undang-Undang Dasar suatu negara, merumuskan GBHN, hingga Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara, atau mengembangkan chip berbasis bioteknologi, menciptakan aplikasi pendeteksi kebohongan dalam media sosial, hingga aksi jual-beli saham merontokkan pasar modal internasional. Setiap kita adalah peletak batu-bata peradaban bangsanya. Tak terkecuali dengan Jenderal Besar TNI Haji Moehammad Soeharto atau lebih akrab dipanggil Pak Harto.

Kontroversi di Balik Apriori

Diakui atau tidak, Pak Harto adalah salah satu putera terbaik Indonesia yang inisiatif-inisiatifnya berkontribusi besar bagi pembentukan peradaban bangsanya. Pak Harto adalah presiden kedua Republik Indonesia yang kiprahnya dalam membentuk peradaban Indonesia sungguh tak bisa diabaikan. Persoalannya, kita sering kali terjebak dengan apriori-apriori, sehingga menganggap pembicaraan tentang kontribusi Pak Harto terhadap bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang berlebihan. Apriori yang mengendap dalam benak sebagian masyarakat Indonesia sebagai buah kontroversi demi kontroversi yang mewarnai sejarah kehadiran Pak Harto dalam memimpin bangsa ini. Setidaknya ada tiga hal yang membuat kehadiran Pak Harto kontroversial. Pertama, Ia berasal dari kalangan militer. Pada periode awal kemerdekaan, stok pemimpin bangsa berasal dari tiga kelompok utama bangsa yakni kelompok sipil abangan yang umumnya berlatar pendidikan tinggi, kelompok sipil santri yang berlatar keislaman yang kuat (ulama dan santri), dan kelompok militer yang berasal dari mantan pejuang kemerdekaan baik abangan maupun santri. Dalam perjalanannya, ketiga kelompok ini bersaing dan berkolaborasi menghadirkan kader-kader kepemimpinan di tingkat nasional maupun daerah. Persaingan dan kolaborasi ini seringkali menimbulkan ketegangan tersendiri dan memuncak dalam persinggungan fisik yang tajam. Tak jarang, para pemimpin yang berasal dari kalangan militer dituduh membawa nilai-nilai miteristik yang tidak relevan diterapkan ditengah masyarakat sipil. Padahal, kelompok militer merasa bahwa mereka juga memiliki andil atas lahir dan tegaknya kemerdekaan Indonesia. Demikian pula, kelompok militer menganggap kelompok sipil kurang cukup patriotik dalam membela dan memperjuangkan tanah airnya. Ketika para tokoh yang berlatar belakang militer aktif tampil menjadi pemimpin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang penuh curiga dan bahkan dituduh mempraktikkan fasisme serta kepemimpinanan yang militersistik. Ini pula yang dituduhkan kepada Pak Harto sejak awal kehadirannya di panggung kepemimpinan negeri ini.

xxiii

Kedua, Pak Harto bersikap sangat tegas dan lugas terhadap PKI yang

menganut ideologi Komunisme. Pak Harto secara berani mengambil inisiatif membubarkan sebuah partai terbesar di dunia. Saat itu menurut pimpinannya sendiri, PKI beranggotakan sekira 30 juta orang, belum termasuk simpatisannya. Mereka juga termasuk dalam empat besar partai politik yang memenangi pemilu tahun 1955. Menyingkirkan PKI serta memberangus ideologi antituhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia menimbulkan dendam tak terperikan bagi para penganut dan simpatisannya.

Ketiga, Ir. Soekarno atau akrab dipanggil Bung Karno adalah tokoh besar

dalam sejarah nasionalisme Indonesia. Kiprah dan pengaruhnya sebagai salah satu founding father begitu kuat serta memiliki pengikut yang juga sangat besar jumlahnya. Bung Karno adalah Proklamator sekaligus Presiden Pertama yang sedang berada di puncak kekuasaannya. Kepiawaian berpidato, kecerdasannya dalam memformulasikan pemikiran, serta riwayat panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya benar-benar membuatnya patron ideal pemimpin nasional. Hampir mustahil menggantikan Bung Karno pada masa itu.

Jalinan ketiga hal ini membuat kehadiran Pak Harto mengganggu stabilitas persepsi patron ideal pemimpin nasional itu. Sehingga dengan mudah publik terseret pada keengganan bahkan penyangkalan atas kepemimpinan Pak Harto. Hal yang entah kebetulan atau tidak, Pak Harto memiliki karakteristik berlawanan dengan patron ideal, Ia dikenal sebagai pendiam, cenderung tertutup, dan tidak pandai beretorika. Mereka yang tidak menyukainya menampilkan figur Pak Harto sebagai sosok yang bengis, kejam, dan licik. Para pembencinya menyebut Pak Harto sebagai orang yang berambisi dengan kekuasaan dan meraihnya dengan istilah bernada olok-olok “kudeta merangkak.”

Kontroversi ini dimulai ketika Pak Harto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) mendapat Surat Perintah dari Presiden Soekarno bertanggal 11 Maret 1966 (kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar). Surat itu berisi perintah untuk mengambil segala tindakan

yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan dan ketenangan serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden demi keutuhan bangsa dan negara dan melaksanakan ajaran pimpinan besar revolusi. Surat ini diberikan menyusul kemelut nasional yang berlanjut pasca kegagalan usaha kudeta yang dilakukan PKI pada 30 September-1 Oktober 1965. Sehari setelah mendapatkan Supersemar, tepatnya pada 12 Maret 1966 Pak Harto mengambil inisiatif dengan mencabut sampai ke akar-akarnya pokok permasalahan yang sebenarnya sudah menjadi tuntutan masyarakat pada saat itu yakni membubarkan PKI dan melarang ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pilihan yang sangat tegas dan lugas, yang Bung Karno sendiri enggan melakukannya, karena risiko-risiko yang dihadapi siapa pun pengambil keputusannya. Pak Harto mengambil tanggungjawab itu. Bagaimana pun PKI memiliki agendanya sendiri yang dilandasi oleh doktrin ideologi Komunisme/ Marxisme/Leninisme, yang sangat bertentangan dengan ideologi yang telah diletakkan oleh para founding father Indonesia yakni Pancasila. Sehingga, ketika Pak Harto membubarkan PKI dan melarang komunisme, ini menjadi pukulan telak yang menghancurkan rencana yang telah mereka susun sejak berpuluh tahun sebelumnya tentang negara Indonesia yang berlandaskan komunisme (Muso pada tahun 1948 menamainya sebagai Republik Soviet Indonesia). Kekecewaan dan sakit hati yang kemudian dibawa dan diturunkan kepada generasi-generasi penerusnya oleh para pengikut yang berhasil meloloskan diri ke luar negeri atau berhasil mentransformasi diri di dalam negeri. Kontroversi tentang tampilnya Pak Harto semakin lengkap dengan munculnya sangkaan bahwa Pak Harto merupakan agen Barat (baca Amerika Serikat dan Sekutunya). Mereka yang menyukai teori konspirasi meyakini bahwa Amerika Serikat sudah jengah dengan Presiden Soekarno yang gigih menentang Barat dan bahkan pada masa-masa terakhir kepemimpinannya justru Pro China yang berhaluan komunis dengan membentuk Poros Jakarta-Peking. Barat memerlukan pemimpin baru yang bisa menjamin kepentingan mereka di Indonesia. Penyokong teori ini kemudian menunjuk sejumlah dokumen dn menyimpulkan tampilnya Pak Harto adalah buah dari grand design

xxv Amerika Serikat dan sekutunya. Dengan mengedepankan tesis bahwa Pak Harto adalah kaki tangan Barat, mereka berusaha mendelegitimasi kepemimpinan nasional Pak Harto.

Pascapelaksanaan Supersemar, meski terdapat spekulasi tentang ketidaksukaan atas inisiatif yang diambil Pak Harto dengan membubarkan PKI dan melarang komunisme, namun faktanya Bung Karno melalui pidato resmi tanggal 17 Agustus 1966 menyatakan bahwa perintahnya dalam Supersemar itu berhasil dilaksanakan dan beliau berterima kasih kepada Pak Harto: “Surat perintah 11 Maret

itu mula-mula, dan nampak dalam kurun waktu- membuat mereka bertempik sorak kesenangan-Dikiranya SP 11 Maret adalah penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority. Padahal tidak! SP 11 Maret adalah suatu perintah pengamanan, perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Demikian kataku waktu melantik kabinet. Kecuali itu, perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik, dan saya mengucapkan terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal itu.” Pada sisi lain,

sikap tegas dan lugas Pak Harto terhadap PKI makin meraih simpati dari kelompok mahasiswa dan masyarakat. Mereka bersama kalangan militer (khususnya angkatan Darat) yang berhasil dikonsolidasikan pasca penyusupan PKI kelak menjadi penyokong utama tampilnya Pak Harto dalam suksesi nasional.

Habis Suksesi Terbitlah Inisiatif

Suksesi nasional dari Bung Karno ke Pak Harto memang tidak berjalan radikal atau melalui Pemilihan Umum terlebih dahulu. Pidato pertanggungjawaban Bung Karno yang ditolak oleh MPRS, utamanya berkenaan dengan peristiwa G30S/PKI, sesungguhnya menjadi penanda bagi berakhirnya jabatan kepresidenan Bung Karno. Sebaliknya kesepakatan MPRS untuk menetapkan Pak Harto sebagai pejabat presiden menjadi penanda dimulai kariernya di pucuk kepemimpinan

nasional. Setahun berikutnya, barulah Pak Harto secara resmi dilantik oleh MPRS menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia.

Apa yang dilakukan Pak Harto ditampuk kepemimpinannya? Semua orang tahu, Pak Harto menjadi presiden RI, sebuah posisi yang terus dijabatnya selama 31 tahun (1967-1998). Dan selama itu pula, Pak Harto mengembangkan berbagai inisiatif yang diyakininya sebagai cara mewujudkan cita-cita yang telah digariskan oleh para founding

father yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945. Bolehlah kita menyebut formulasi cita-cita ini sebagai Peradaban Indonesia.

Hal mula-mula yang dijalankan Pak Harto dalam melakukan kerja peradaban adalah membuat garis yang nyata antara masa lalu dan masa kini. Dalam konteks ini muncul istilah Orde Baru, sebuah tatanan yang rumusannya dikerjakan oleh kelompok cendikiawan dan kalangan militer dalam serangkaian seminar di Universitas Indonesia- Jakarta dan Seskoad di Bandung.

Pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi warna paling kuat pada awal-awal Pak Harto menjadi presiden. Pak Harto berkeyakinan bahwa mewujudkan peradaban hanya bisa dilakukan oleh suatu bangsa yang kehidupan politiknya stabil dan keamanannya terjamin. Untuk Ini, Pak Harto melakukan konsolidasi militer dan kepolisian guna memastikan keamanan dan ketertiban nasional benar-benar stabil dan terjaga. Menempatkan kalangan militer dalam jabatan-jabatan sipil menjadi pilihan tak terhindarkan dalam kerangka ini. Meski Pak Harto mengakui itu bersifat sementara; “nanti kalau sudah

stabil, sipil yang memimpin.”

Pemulihan ekonomi juga menjadi prioritas utama selama masa-masa awal. Untuk melakukan itu Pak Harto meraih para ilmuwan dari sejumlah perguruan tinggi untuk merumuskan serangkaian kebijakan ekonomi yang pro rakyat, selain itu mereka juga ditugasi Pak Harto untuk melakukan negosiasi atas utang pemerintah periode

xxvii sebelumnya dengan sejumlah pihak, meyakinkan sejumlah negara untuk memberikan pinjaman guna mengatasi defisit anggaran yang parah, serta menormalisasi distribusi kebutuhan pokok masyarakat baik melalui impor pangan maupun penerapan revolusi hijau dalam bidang pertanian.

Pemulihan juga dilakukan dalam bidang politik. Pemilihan Umum yang menjadi amanat MPRS sukses diselenggarakan pada tahun 1971 yang menghasilkan formasi baru legislatif dan eksekutif. Golongan Karya (Golkar) mendominasi kursi di DPR sementara kursi MPR ditata mengikuti UUD 1945 dengan diisi oleh kekuatan pendukung Orde Baru. Pak Harto sendiri terpilih menjadi Presiden dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi wakil presiden. Keduanya kelak bahu membahu mengokohkan era baru dalam mewujudkan peradaban Indonesia. Lagkah menyusul dari pemulihan di bidang politik ini dilakukan oleh Pak Harto dengan mengeluarkan suatu inisiatif yang kontroversial yakni menyederhanakan partai politik peserta Pemilu dari jumlah 10 partai politik disederhanakan menjadi tiga saja. Untuk itu, Pak Harto berhasil meyakinkan para pemimpin partai pada masa itu untuk melebur dalam dua partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selain kedua parpol Pak Harto juga meneguhkan kekuatan baru dalam tatanan politik Indonesia yakni Golongan Karya. Ketiganya kelak memainkan peran penting dalam perjalanan Pak Harto dalam membangun peradaban Indonesia. Penetapan Azas Tunggal menjadi inisiatif paripurna dari Pak Harto dalam membangun stabilitas politik ini. Tahun 1985 sebagai Presiden Pak Harto menerbitkan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mewajibkan segenap organisasi kemasyarakatan melandaskan dirinya kepada Pancasila sebagai satu-satunya asas. Reaksi negatif pun bermunculan, terutama dari organisasi-organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik yang menempatkan Islam sebagai cita-cita politiknya. Penentangan ini kerap menimbulkan percik perlawanan dan membuat Pak Harto dimusuhi oleh sejumlah tokoh politik Islam. Ketegangan ini baru mereda pada masa-masa terakhir kepemimpinan Pak Harto menyusul berkembangnya politik akomodatif terhadap Islam

yang ditandai dengan lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Terlepas dari itu semua, kini penolakan Pancasila sebagai satu-satunya asas sudah hampir jauh menurun. Pak Harto berkali-kali menyatakan bahwa penetapan Pancasila sebagai azas tunggal bukan dalam rangka mengebiri demokrasi apalagi menjadikannya sebagai agama, sebaliknya Pak Harto menyatakan hal itu dimaksudkan untuk meletakkan seluruh elemen bangsa pada satu flatform yang sama dalam mewujudkan peradaban Indonesia yakni Pancasila.

Membangun Peradaban Indonesia

Lalu seperti apakah konsepsi peradaban Indonesia diterjemahkan dan dimplementasikan oleh Pak Harto? Pak Harto punya formulasi tentang bagaimana seharusnya peradaban Indonesia itu diwujudkan. Sayangnya, Pak Harto tidak seperti tokoh lain yang menuangkan konsepsinya itu dalam suatu artikel atau buku. Namun begitu, Pak Harto mengungkapkannya dalam pidato tanpa teks yang disampaikannya di hadapan para pedagang di Pasar Klewer, Solo tahun 1970. Setidaknya peristiwa ini diingat betul oleh Pak Harto dan dikemudian hari dituliskannya dalam otobiografinya (1989).

Gagasan di Pasar Klewer secara ringkas berisi formulasi paradigma bagaimana mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Peradaban Indonesia). Paradigma tersebut dikenal sebagai Paradigma Pembangunan Nasional, yang bersifat jangka panjang dan dilakukan secara bertahap, dilandaskan pada pertanian yang tangguh dan industri yang kuat. Konsepsi yang terlihat sederhana, namun dari formulasi inilah Pak Harto kemudian mengembangkan berbagai inisiatif pembangunan yang kompleks, terinci, namun implementatif, dan terbukti efektif menopang kerja peradabannya. Repelita, GBHN, Panca Usaha Tani, Koperasi, Keluarga Berencana, Pekan Imunisasi Nasional, PKK, Posyandu, Wajib Belajar, Transmigrasi, koperasi unit desa (KUD), hinggga Abri Masuk Desa (AMD) adalah sedikit dari inisiatif yang dikembangkan Pak Harto dalam kerangka ini.

xxix Dalam perjalanan kepemimpinannya, Pak Harto melakukan penyem-purnaan atas paradigma pembangunan yang telah berpuluh tahun dilaksanakan. Jika Gagasan di Pasar Klewer lebih mengedepankan cara meraih kemakmuran dalam serangkaian pembangunan yang bertahap-tahapan dan berjangka waktu, maka pada tahun 1984 Pak Harto mengembangkan inisiatif yang disebut Trilogi Pembangunan. Konsep Trilogi Pembangunan merupakan penerjemahan atas ide “adil” dalam frasa “mewujudkan masyarakat adil dan makmur”, sekaligus menjabarkan makna kata “keadilan sosial” dalam sila kelima dari Pancasila (Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia). Trilogi Pembangunan dengan sangat rinci dielaborasi oleh Pak Harto ke dalam apa yang dikenal sebagai Delapan Jalur Pemerataan. Dalam pelaksanaannya, Pak Harto kerap mendapat tentangan dari berbagai pihak. Menyikapi penentangan tersebut, Pak Harto merujuk kepada keyakinannya bahwa; “Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat

untuk oposisi ala Barat. Dalam Demokrasi Pancasila kita mengenal musyawarah untuk memperoleh mufakat rakyat. Tentu saja ada kontrol atas pelaksanaan yang dilakukan oleh Pemerintah. Kesalahan yang dibuat oleh Pemerintah harus dibetulkan. Tetapi semua harus kita ingat atas kesepakatan yang telah ditentukan bersama. Semua terikat oleh kesepakatan yang telah kita ambil bersama. Oposisi seperti di Barat tidak kita kenal disini. Oposisi yang asal saja menentang, asal saja berbeda, tidak kita kenal di sini.” Dan kita menyaksikan sikap tegas yang

diambil Pak Harto terhadap para penentangnya, termasuk penutupan media-media massa yang pada masa itu dianggap melakukan penyiaran informasi yang mengkritisi pemerintah. Pada sisi ini, para pengkritik menuduhnya sebagai totaliter, bahkan sampai ada yang menyebutnya diktator. Tentang hal ini Pak Harto menyampaikan pendiriannya ketika diwawncarai oleh Sukardi Rinakit, Peniliti Ilmu Politik terkemuka : “dalam hal ini, perbuatan baik dan buruk akan

mengikuti sampai ajal. Jika niatnya baik, seorng pemimpin harus ebrani mengambil keputusan. Mungkin ada akibat kurang baik, tetapi kalau mayoritas rakyat mendapatkan manfaatnya, tindakan itu tak perlu diragukan..”

Banyak pihak berpendapat bahwa konsepsi Pak Harto tentang pembangunan berasal dari teori modernisasi yang dikembangkan oleh W.W. Rostow, ilmuwan Amerika, yang menyatakan tahapan perkembangan masyarakat dari yang terbelakang menjadi maju dalam lima tahapan. W.W. Rostow memperkenalkan istilah tinggal landas sebagai salah satu tahap paling penting dalam tahapan yang dimaksud. Masyarakat yang berhasil melakukan tinggal landas adalah masyarakat yang telah bersiap menjadi dewasa dan maju (dicirikan dengan konsumsi massa yang tinggi).

Sesungguhnya, jika mencermati Gagasan di Pasar Klewer maupun Trilogi Pembangunan, dapat dikemukakan bahwa Pak Harto memiliki gagasan sendiri tentang tahapan modernisasi dan bagaimana masyarakat Indonesia menjadi maju, yang sepenuhnya mengacu kepada formulasi Peradaban Indonesia. Meski demikian, harus diakui dalam wacana yang berkembang pada masa-masa setelah formulasi gagasan di Pasar Klewer, bukan tidak mungkin Pak Harto memanfaatkan teori modernisasi yang dikembangkan oleh Rostow. Namun begitu, Pak Harto tidak sepenuhnya menyerap mentah-mentah teori tersebut.

Inisiatif yang Meluas ke Peradaban Dunia

Yang menarik, dalam perkembangannya inisiatif yang dikembangkan Pak Harto bukan saja dipersembahkan guna membentuk peradaban Indonesia, namun telah meluas bagi peradaban dunia. Lagi-lagi, hal tersebut juga tak lepas dari keteguhan Pak Harto dalam menjalankan amanat Pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan berdirinya negara ini antara lain turut menciptakan perdamaian dunia, maka Pak Harto juga mengembangkan inisiatif-inisiatif yang mengarah pada perwujudan dimaksud. Melanjutkan keterlibatan Indonesia dalam organisasi bangsa-bangsa, PBB setelah keputusan Bung Karno keluar dari PBB menjadi penanda awal komitmen Pak Harto akan hal ini. Pada tahapan selanjutnya, Pak Harto melanjutkan tradisi pengiriman pasukan perdamaian di bawah payung PBB ke sejumlah negara atau

xxxi wilayah yang dilanda konflik. Sementara hubungan internasional terus dibangun dengan sejumlah pihak (minus RRC tentu saja yang selama kepemimpinan Pak Harto hubungan diplomatik dengan negara yang diyakini memiliki keterlibatan sangat kuat dengan kudeta PKI tahun 1965 ini praktis dibekukan). Penggelaran hubungan internasional ini dimulai dengan pemulihan hubungan antara Indonesia-Malaysia yang hampir saja terperosok ke dalam konflik antar bangsa serumpun pada masa Dwikora, diperkuat lagi dengan dukungannya terhadap pembentukan ASEAN, Organsisasi bangsa-bangsa Asia Tenggara yang bertekad mengembangkan kawasan Asia Tenggara yang maju, aman, dan makmur dalam ikatan persahabatan yang nyata. Pak Harto juga turut memastikan perjuangan Indonesia untuk menggolkan konsep Wawasan Nusantara diakui dunia, khususnya berkenaan dengan hukum internasional yang ada hubungannya dengan kedaulatan wilayah suatu negara. Pengakuan atas konsepsi ini bukan saja berguna bagi bangsa Indonesia tetapi juga bagi negara-negara lain yang memiliki karakter wilayah yang relatif sama dengan Indonesia. Pak Harto juga berkomitmen kuat dalam menerjemahkan nilai-nilai Dasa Sila Bandung yang dihasilkan dari Konferensi Asia Afrika pada masa kepemimpinan Bung Karno. Bahkan, Pak Harto melangkah lebih maju lagi dengan tampil sebagai ketua Gerakan NonBlok (GNB) yang telah menjelma menjadi sebuah kekuatan internasional yang sangat diperhitungkan. Kontribusi Pak Harto untuk memajukan peradaban dunia mulai mendapat perhatian lebih ketika Indonesia terlibat dalam penataan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Segera setelah pertemuan pertama para pemimpin negara-negara tepian Asia Pasifik (APEC) digelar pertama kali di Seattle, Amerika Serikat, Pak Harto menyatakan Indonesia siap menjadi tuan rumah pada pertemuan selanjutnya. KTT APEC yang kemudian digelar di Istana Bogor tahun 1994 dan diikuti hampir seluruh kepala negara dari kawasan tepian Samudera Pasifik telah menempatkan Pak Harto sebagai sosok yang diperhitungkan dengan berbagai inisiatifnya. KTT APEC sendiri membuahkan sebuah kesepakatan tentang bagaimana menata masa depan, khususnya dalam hal ekonomi, dari bangsa-bangsa yang tnggal di seputaran kawasan tepian Samudera Pasifik. Bagaimana pun, kontribusi Pak Harto melalui

peran-peran dan inisiatif di lembaga-lembaga internasional layak untuk diapresiasi.

Buah-buah dari Inisiatif

Inisiatif demi inisiatif yang dikembangkan Pak Harto setahap demi setahap mulai membuahkan hasil. Jika yang dimaksud hasil itu ukurannya merujuk pada adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka ada sejumlah parameter yang bisa diungkapkan:

a. Kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Pak Harto sangat teguh dan konsisten memastikan bangsa Indonesia hidup dalam satu platform yakni Pancasila. Ini terlihat dari inisiatif-inisiatif yang dikembangkannya dalam penyelenggaraan ketatanegaraan yang merupakan penerjemahan Pancasila dan UUD 1945. Penyederhanaaan Partai Politik, Penerapan Azas Tunggal, dan penyelenggaraan Penataran P4, adalah beberapa bentuk penerjemahan dari indikator dimaksud. Stabilitas politik relatif berhasil dicapai sepanjang masa kepemimpinannya, sementara gangguan keamanan berhasil dilokalisir ntuk tidak meluas ke wilayah-wilayah lainnya.

b. Kemakmuran. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1963 berada pada minus 2,5% dan semenjak Pak harto menjabat Presiden tahun 1969 melonjak menjadi 12% Selanjutnya Selama periode tahun 1967-1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat ditingkatkan dan dipertahankan rata-rata 7,2% pertahun.Padahal untuk negara-negara di kawasan Asia pada saat yang sama tumbuh hanya berkisar tumbuh 4-5% saja. Pertumbuhan Indonesia yang tinggi dan berkelanjutan ini menempatkan Indonesia ke dalam

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 21-37)