• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memulihkan Kehidupan Bangsa

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 72-76)

37

Memulihkan Kehidupan Bangsa

semakin melilit rakyat. Dimana-mana orang antri untuk mendapatkan kebutuhan bahan pangan dan sandang yang sudah semakin sulit didapat dan harganya melambung tinggi. Kemarahan rakyat terhadap pemerintah direfleksikan oleh mahasiswa dan pelajar yang turun ke jalan menyerukan Tritura, dimana salah satunya yakni menuntut diturunkannya harga/perbaikan ekonomi.

Fokus memulihkan kehidupan sosial ekonomi bangsa membutuhkan strategi yang tepat dan waktu yang cukup. Selain itu, pemulihan mensyaratkan stabilitas politik dan keamanan yang terkendali. Pada bagian ini, Pak Harto telah mengambil serangkaian inisiatif yang terbukti efektif menciptakan stabilitas termaksud. Dan pada tahap berikutnya, sambil terus memantapkan stabilitas politik dan keamanan yang telah dicapai Pak Harto harus mengambil inisiatif –inisiatif di bidang berikutnya.

Kabinet Ampera dibentuk Presien Soekarno menyusul lahirnya ketetapan MPRS no. XIII Tahun 1966. Sesuai amanat Tap MPRS itu, Presiden Soekarno menugasi Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban Tap MPRS no.IX tahun 1966 untuk melakukan pembentukan kabinet yang bertugas melakukan stabilisasi politik dan stabilisasi ekonomi atau dikenal sebagai Dwidharma. Program Kabinet Ampera dikenal sebagai Catur Karya yang berisi empat program yakni memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan, melaksanakan pemilihan umum, melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, dan melanjutkan perjuangan anti-imperialisme dan kolonialisme. Program ini dijalankan oleh Presidium Kabinet yang simultan perhatiannya dengan penyelesaian masalah masalah politik dan keamanan. Pada 11 Agustus 1966 dibentuk Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (DSEN) yang bertindak sebagai pembantu Pemerintah yang bertanggungjawab kepada Presiden dan bertugas merumuskan kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi, menyusun program, dan mengendalikan pelaksanannya, dengan tujuan menciptakan stabilitas ekonomi secepatnya. Sejumlah solusi yang dikembangkan ialah melakukan penjadualan kembali hutang-hutang

yang dilakukan oleh Pemerintahan sebelumnya. Hutang Indonesia hingga pertengahn tahun 1966 telah menapai 2.2-2,7 milyar dolar AS. Ini dilakukan dengan menggelar pertemuan dengan negara-negara kreditor di Tokyo, Jepang pada 19-20 September 1966. Pertemuan ini dilanjutkan di Paris , Prancis dengan negara kreditor dari Blok Barat (dikenal sebagai Paris Club) di Paris, Prancis pada 24 April 1970. Kelak dari serangkaian pertemuan ini tercapai persetujuan tentang penjadualan kembali utang dengan mengikuti rumus yang tertentu. Selain itu, Presidium Kabinet Ampera di bawah kepemimpinan Pak Harto pada 3 Oktober 1966 mulai menerapkan kebijakan yang berkenaan dengan pengendalian inflasi, pencukupan kebutuhan pangan dan sandang, rehabilitasi prasarana ekonomi, dan peningkatan kegiatan ekspor. Salah satu terobosan yang signifikan dalam usaha pemulihan ekonomi adalah diterbitkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno disusul kemudian dengan UU no. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto. Keduanya mencerminkan kehendak Pemerintah untuk membuka ruang bagi modal asing dan dalam negeri menggerakkan ekonomi nasional yang sedang terpuruk. Ini tercermin dengan digelarnya pertemuan di Amsterdam Belanda pada 23-24 Februari 1967 antara Indonesia dengan beberapa negara maju. Topik bahasannya adalah kebutuhan Indonesia akan pinjaman luar negeri serta kemungkinan mendapatkannya dengan syarat lunak. Pertemuan ini kemudian berlanjut dengan pertemuan-pertemuan berikutnya, yang dikenal sebagai Inter Governmental Group for Indonesia (IGGI). Salah satu hasil awal dari pertemuan ini ialah disepakatinya bantuan pinjaman senilai 325 juta dolar AS kepada Indonesia pada 24 November 1967. Dalam konteks jangka pendek, serangkaian kebijakan dikeluarkan Pemerintah guna mengatasi masalah ketersedian pangan dan sandang, stabilisasi harga, dan melancarkan distrubusi pangan, termasuk penerbitan uang baru bergambar Panglima Soedirman dan menarik uang lama bergambar Ir. Soekarno. Hal yang tidak kalah pentingnya, mulai tahun 1968 Undang-Undang APBN telah disahkan sebelum tahun anggaran dimulai. Demikian pula untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun terus menrus digunakan sistem defisit spending

39

Memulihkan Kehidupan Bangsa

dalam penerimaan dan pengeluaran negara, dalam APBN tahun 1968 digunakan prinsip anggaran berimbang (balanced budget) yang berarti bahwa besarnya belanja negara berimbang dengan besarnya pendapatan. Perhatian Pak Harto terhadap pemulihan ekonomi dan sosial semakin meningkat seiring dengan menguatnya kedudukannya sebagai kepala pemerintahan. Segera setelah pelantikannya sebagai Presiden RI oleh MPRS, pada 10 Juni 1968 Pak Harto mengumumkan pembentukan dan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Pembangunan. Seperti namanya, kabinet ini merefleksikan semangat Pak Harto untuk lebih bersungguh-sungguh dalam memulihkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menerapkan paradigma pembangunan. Dan memang, hari-hari berikutnya catatan sejarah Indonesia akan sangat banyak diwarnai dengan kisah-kisah bangsa mewujudkan peradabannya sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Setelah pelantikan sebagai Presiden RI itu Pak Harto menyampaikan pidato yang antara lain menyatakan: “Saya tekankan bahwa kita harus

sadar, kemerosotan ekonomi yang kita alami sungguh serius, sementara kita harus ingat bahwa usaha pembangunan tidak mengenal keajaiban; bahwa jalan ke arah pembangunan tidaklah licin dan mudah, dan sangat diperlukan kerja keras, dana dan usaha dan bahkan pengorbanan untuk memungkinkan pembangunan yang sesuai dengan rencana yang kita tetapkan.”

Mengenang hari bersejarah ini Pak Harto menuliskan dalam otobiografinya sebagai berikut: ”Usai saya diangkat menjadi Presiden

RI yang kedua pada tanggal 27 Maret 1968, hampir tengah malam saya meninggalkan gedung MPRS itu. Esok harinya, saya terbang ke Jepang dan terus ke Kamboja. Sementara itu saya menerima sepucuk surat dari Bung Karno yang sudah berada di Istana Bogor, mengucapkan selamat dan menyatakan bahwa beliau tidak berkeinginan menjadi Presiden kembali, serta minta diizinkan untuk pindah ke rumah pribadinya di Batutulis di Bogor. Saya luluskan keinginan Proklamator kemerdekaan kita itu.”***

Saya tekankan bahwa kita harus sadar,

Dalam dokumen 50 Inisiatif Pak Harto Buku 02 [Draft] (Halaman 72-76)