• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ensefalitis Herpes Simpleks

Dalam dokumen IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA 2009 PEDOMA (Halaman 82-87)

Ensefalitis herpes simplek (EHS) disebabkan oleh virus herpes simpleks dan merupakan ensefalitis yang tersering menimbulkan kematian. Angka kematian 70% dan hanya 2,5% pasien kembali normal bila tidak diobati. EHS mendapat perhatian khusus karena dapat diobati, keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simpleks tergantung pada diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Virus herpes simpleks tipe 1 umumnya ditemukan pada anak, sedangkan tipe 2 banyak ditemukan pada neonatus.

Diagnosis

Anamnesis

Ensefalitis herpes simplek dapat bersifat akut atau subakut.

Fase prodromal menyerupai influensa, kemudian diikuti dengan gambaran khas

-

ensefalitis (demam tinggi, kejang, penurunan kesadaran). Sakit kepala, mual, muntah, atau perubahan perilaku. -

Pemeriksaan fisis

Kesadaran menurun berupa sopor-koma sampai koma (40% kasus) dan gejala peningkatan tekanan intrakranial. Hampir 80% memperlihatkan gejala neurologis fokal berupa hemiparesis, paresis nervus kranialis, kehilangan lapangan penglihatan, afasia, dan kejang fokal. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus).

Pemeriksaan penunjang

Gambaran darah tepi tidak spesifik

-

Pemeriksaan cairan serebrospinal memperlihatkan jumlah sel meningkat (90%) yang -

berkisar antara 10-1000 sel/mm3 dengan predominan limfosit. Pada 50% kasus dapat ditemukan sel darah merah. Protein meningkat sedikit sampai 100 mg/dl sedangkan

glukosa normal.

Elektroensefalografi (EEG) dapat memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu

- periodic

lateralizing epileptiform discharge atau perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal. Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang

Computed tomography

- (CT-Scan) kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah

timbulnya gejala neurologi, kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal. T2-

- weight magnetic resonance imaging (MRI) dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling cepat dua hari setelah munculnya gejala. Dapat pula memperlihatkan peningkatan intensitas signal pada daerah korteks dan substansia alba pada daerah temporal dan lobus frontalis inferior.

Polymerase chain reaction

- (PCR) likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes

simpleks (VHS) dengan cepat. PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar kasus tetap positif selama 2 minggu atau lebih.

Pemeriksaan titer serum darah terhadap IgG - IgM HSV-1 dan HSV-2 dapat menunjang -

diagnosis walaupun tidak dapat menyingkirkan diagnosis pasti.

Tata Laksana

Medikamentosa

Asiklovir 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama 10-14 hari, diberikan dalam infus 100 ml

-

NaCl 0,9% minimum dalam 1 jam. Dosis untuk neonatus 20 mg/kgBB setiap 8 jam

selama 14-21 hari.

Pada kasus alergi terhadap asiklovir atau VHS resisten, dapat diberikan vidarabin 15 -

mg/kgBB/hari selama 14 hari.

Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit, tata laksana kejang dan peningkatan -

tekanan intrakranial.

Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif. Jika keadaan umum pasien sudah -

stabil, dapat dilakukan konsultasi ke departemen rehabilitasi medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas, serta mencegah kontraktur.

Pada keadaan yang meragukan pasien dapat diberikan tata laksana ensefalitis herpes -

simpleks sampai terbukti bukan. Pemantauan Pasca Rawat

Gejala sisa yang sering ditemukan adalah epilepsi, retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait sesuai indikasi. Kadang dijumpai sindrom koreoatetosis 1 bulan pasca perawatan.

Kepustakaan

1. Whitley RJ, Kimberlin DW. Viral encephalitis. Pediatr Rev. 1999;20:192-8.

2. Waggoner-Fountain LA, Grossman LB. Herpes simplex virus. Pediatr Rev. 2004;25:86-92. 3. Lewis P, Glaser CA. Encephalitis. Pediatr Rev. 2005;26:353-63

4. Bale JF. Viral infection of the nervous system. Dalam : Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric neurology principles and practice. Edisi ke-4. Philadelphia:Mosby; 2006. h. 1595-1630. 5. Maria BL, Bale JF. Infection of the nervous system. Dalam : Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting.

Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin;2006. h. 433-526.

72 Enuresis

Enuresis

Enuresis adalah istilah untuk anak yang mengompol minimal dua kali dalam seminggu dalam periode paling sedikit 3 bulan pada usia 5 tahun atau lebih, yang tidak disebabkan oleh efek obat-obatan. Enuresis berlangsung melalui proses berkemih yang normal (normal voiding), tetapi pada tempat dan waktu yang tidak tepat, yaitu berkemih di tempat tidur atau menyebabkan pakaian basah, dan dapat terjadi saat tidur malam hari (enuresis nokturnal monosimtomatik), siang hari (enuresis diurnal) ataupun pada siang dan malam hari. Istilah enuresis primer digunakan pada anak yang belum pernah berhenti mengompol sejak masa bayi, sedangkan enuresis sekunder digunakan pada anak berusia lebih dari 5 tahun yang sebelumnya pernah bebas masa mengompol minimal selama 12 bulan.

Pada umumnya anak berhenti mengompol sejak usia 2½ tahun. Pada usia 3 tahun, 75% anak telah bebas mengompol siang dan malam hari. Pada usia 5 tahun, sekitar 10-15% anak masih mengompol paling tidak satu kali dalam seminggu. Pada usia 10 tahun masih ada sekitar 7%, sedang pada usia 15 tahun hanya sekitar 1% anak yang masih mengompol.

Langkah promotif/preventif

Perlu ditekankan pada orangtua bahwa enuresis, terutama enuresis nokturnal bukan -

kelainan psikogenik.

Jangan menghukum anak bila mengompol. -

Tingkatkan motivasi anak agar tidak mengompol. Perlu diberi pujian atau penghargaan -

pada setiap keberhasilan bebas mengompol.

Bila mengalami kegagalan penanganan jangan sampai putus asa atau menyerah, coba -

lagi dengan berbagai metode alternatif.

Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis yang cermat memakai check list yang berisi antara lain:

Pola berkemih yang rinci, sejak kapan anak dapat berkemih sendiri, frekuensi dan lama -

berkemih, pancaran urin, keluhan saat berkemih, bangun malam untuk berkemih, dsb.

Perihal mengompol: siang atau malam, frekuensi dalam satu malam atau seminggu,

-

rasa malu akibat mengompol, pola tidur, mengorok atau tidak, riwayat keluarga, upaya yang telah dilakukan orangtua untuk mengatasi masalah tersebut.

Gejala yang mengarah pada ISK. -

Kelainan pancaran urin saat berkemih. -

Kebiasaan defekasi. -

Pemeriksaan fisis

Pemeriksaan fisis harus meliputi inspeksi dan palpasi daerah abdomen dan genitalia serta pengamatan saat berkemih. Pemeriksaan neurologis meliputi refleks perifer, sensasi perineal, tonus sfingter ani, pemeriksaan daerah punggung, dan refleks lumbosakral.

Pemeriksaan penunjang

Urinalisis meliputi berat jenis urin, kandungan protein, glukosa, dan sedimen urin. Bila

ada dugaan infeksi maka biakan urin perlu dilakukan. Ultrasonografi kadang-kadang

diperlukan terutama pada enuresis diurnal.

Tata laksana

Penanganan enuresis didasarkan pada 4 prinsip berikut di bawah ini. Tata laksana harus dimulai dengan terapi perilaku. Farmakoterapi merupakan terapi lini kedua dan hanya diperuntukan bagi anak yang gagal di tata laksana dengan terapi perilaku.

Meningkatkan motivasi pada anak untuk memperoleh kesembuhan, antara lain dengan -

sistem ganjaran atau hadiah (reward system). Menghukum atau mempermalukan anak, baik oleh orangtua atau orang lain, tidak boleh dilakukan. Faktor-faktor perancu seperti anak dalam keluarga broken home, masalah sosial, orangtua yang kurang

toleran, serta masalah perilaku anak harus diidentifikasi sebagai faktor yang mungkin

mempersulit penyembuhan. Pengaturan perilaku (

- behavioral treatment)

- Minum dan berkemih secara teratur dan berkemih sebelum tidur. - Lifting dan night awakening

- Retention control training - Dry bed training

- Hipnoterapi

Penggunaan enuresis alarm. Metode ini cukup efektif dalam penanganan enuresis -

nokturnal, lebih baik dibandingkan dengan dry bed training.

Farmakoterapi antara lain dengan desmopresin (DDAVP) dengan dosis 5-40 µg sebagai -

obat semprot hidung. Imipramin meskipun cukup efektif tapi angka kekambuhan cukup tinggi dan mudah terjadi efek samping dan kelebihan dosis sehingga pemakaiannya sangat dibatasi yaitu khusus pada kasus attention déficit hyperactivity disorders (ADHD). Obat lain seperti Oksibutinin (5-10 mg) cukup efektif, namun harus hati-hati terhadap efek samping seperti mulut terasa kering, penglihatan kabur, konstipasi, dan tremor. Obat lain yang mirip Oksibutinin yaitu Tolterodin, namun pemakaiannya pada anak belum diakui secara resmi.

74 Enuresis Pemantauan

Penanganan enuresis sangat kompleks dan berlangsung lama, oleh sebab itu perlu informasi -

yang adekuat dan rinci kepada anak dan orangtuanya serta kerja sama yang baik.

Untuk menilai respons pengobatan perlu memakai kartu catatan harian. Respons -

pengobatan disebut komplit bila diperoleh keberhasilan berkurangnya hari–tidur

bebas mengompol sampai 90% dalam pengamatan minimal 2 minggu pengobatan. Respons parsial adalah bila keberhasilan antara 50-90%. Bila keberhasilan kurang dari 50% disebut non responder. Bila respons komplit masih berlanjut 6 bulan atau lebih setelah pengobatan dihentikan maka disebut respons berlanjut.

Tumbuh kembang

Bila diagnosis enuresis sudah ditegakkan dengan tepat dan diyakini tidak ditemukan -

kelainan organik yang nyata, anak dan orangtua perlu diyakinkan bahwa masalah enuresis bukan masalah psikogenik, tidak ada masalah pelik, dan semua bisa ditangani dengan kerja sama yang baik antara dokter, pasien, dan keluarganya sehingga diharapkan enuresis tidak akan mengganggu tumbuh kembang anak.

Beberapa petunjuk praktis -

Pengobatan berlangsung lama, perlu kepatuhan terhadap instruksi pengobatan. -

Bila monoterapi kurang berhasil, terapi kombinasi dapat dianjurkan. -

Jangan memakai antidepresan trisiklik seperti Imipramin. -

Jangan menyerah. Bila menemui kegagalan, berikan waktu 3-6 bulan istirahat -

sebelum memakai metode pengobatan lainnya.

Kepustakaan

1. Boris NW, Dalton R. Vegetative disorder. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h. 113-5. 2. Evans J, Shenoy M. Disordrs of micturition. Dalam: Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical

paediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford: University Press; 2003. h. 163-78.

3. Sekarwana N. Enuresis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta; IDAI: 2002. h. 291-308.

4. Robson WL. Clinical practice, evaluation, and management of enuresis. N Eng J Med. 2009;14:1429- 36.

Dalam dokumen IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA 2009 PEDOMA (Halaman 82-87)