• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian

3. Ethical considerations

Pada penelitian ini peneliti menggunaan informed consent sebagai bentuk persetujuan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Informed consent ditujukan sebagai upaya peneliti untuk meyakinkan partisipan bahwa informasi yang diberikan akan dijamin kerahasiaannya guna melindungi

hak-hak partisipan yang sudah berkontribusi (Grady dalam Supratiknya, 2019).

Sebagai tanda bahwa tidak ada unsur pemaksaan dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan pada calon partisipan terlebih dahulu bahwa keterlibatannya dalam penelitian ini bersifat sukarela. Apabila partisipan merasakan hal-hal yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan baik secara fisik maupun mental dalam proses pengambilan data, partisipan dapat mengundurkan diri dari penelitian.

Keterangan tersebut telah dicantumkan dalam bentuk perizinan bahwa partisipan dapat mengundurkan diri atau bahkan menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Peneliti menyadari bahwa data penelitian yang diperoleh wajib dilindungi kerahasiaannya (HIMPSI, 2010). Data yang diperoleh berupa hasil wawancara hanya dapat diakses oleh peneliti. Proses mengubah data berupa audio menjadi bentuk teks juga dilakukan oleh peneliti sendiri, sehingga kerahasiaan partisipan dalam hal ini terjamin. Ketika proses wawancara, partisipan melakukan refleksi diri terhadap bantuan yang telah diterima maupun keadaan yang telah mereka lewati dalam proses pengobatan. Setelah partisipan melakukan refleksi, peneliti akan menyampaikan kembali hasil refleksi tersebut dalam bentuk kesimpulan, sebagai peneguhan atas hal baik yang diperoleh dari situasi yang sedang mereka hadapi.

Selain itu, peneliti menyadari akan bahaya maupun risiko yang dapat muncul selama proses pengambilan data, oleh karena itu terdapat upaya pemulihan yang peneliti lakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban. Ada kalanya partisipan memberikan respon emosi negatif (seperti marah) terhadap

pertanyaan, sehingga peneliti perlu menghentikan wawancara untuk beberapa saat. Pada saat seperti itu, peneliti menggunakan humor sebagai salah satu bentuk upaya pemulihan terhadap situasi yang kurang kondusif. Nezlek dan Derks (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa orang-orang yang menggunakan humor sebagai coping dapat memandang masalahnya menjadi lebih ringan, bahkan dapat memberikan dukungan yang lebih tepat bagi orang lain. Humor membuat orang-orang dapat menikmati kehidupan mereka. Jaffe (2013) dalam artikel yang ia tulis, menyampaikan bahwa kemampuan seseorang untuk tertawa saat berada dalam masa yang sulit dapat mengurangi emosi negatif terhadap masalah yang sedang dihadapi.

Selain menggunakan humor, peneliti juga menggunakan pengalihan sebagai upaya pemulihan. Pengalihan merupakan salah satu bentuk dari attentional deployment, yang mana merupakan salah satu strategi regulasi emosi.

Attentional deployment menurut Lewis, Haviland-Jones, & Barret (2008) adalah sebuah bentuk strategi regulasi emosi yang digunakan untuk memengaruhi respon emosi seseorang dengan mengarahkan kembali perhatian pada sebuah situasi tanpa mengubah keadaan lingkungan. Pengertian pengalihan atau distraction dalam Lewis, Haviland-Jones, & Barret (2008) merupakan sebuah usaha untuk mengalihkan atau mengubah perhatian dari situasi emosional yang sedang terjadi. Pengalihan dilakukan dengan mengganti topik pembicaraan menjadi hal lain, seperti aktivitas partisipan dalam kesehariannya. Cara ini dilakukan agar partisipan mengalihkan fokus dari topik sensitif menjadi topik yang membuat partisipan kembali pada keadaan nyaman.

B. Partisipan Penelitian 1. Data partisipan

Tabel 5.

Data partisipan

No. Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

1. Insial CR D Y

2. Daerah asal Salatiga Magelang Yogyakarta 3. Usia saat ini 54 tahun 45 tahun 45 tahun 6. Tempat tinggal Bumijo Parangtritis Yudonegaran 7. Pekerjaan saat

ini

PNS Ahli gizi Wiraswasta

8. Jumlah anak 2 2 1

2. Latar belakang partisipan a. Partisipan 1

P1 merupakan seorang ibu berusia 54 tahun dan berasal dari Yogyakarta. P1 sudah menikah dan memiliki dua anak masing-masing berusia 22 tahun dan 16 tahun. P1 bekerja di salah satu badan pemerintahan pemberdayaan perempuan dan masyarakat. Saat ini P1 tinggal bersama suami, kedua anak, dan adik laki-lakinya di daerah Bumijo. P1 menderita kanker payudara pada usia 52 tahun. P1 sudah menyadari risiko kanker payudara sejak ibunya menderita jenis kanker yang sama, yaitu kanker payudara.

P1 memeriksakan diri ke dokter setelah menemukan benjolan pada payudaranya di bulan Maret 2016. Sebelum melakukan pemeriksaan, P1 menyadari bahwa ia memiliki genetik kanker dari ibunya. Setelah melakukan pemeriksaan, P1 melakukan pembedahan pada bulan April 2016 untuk memeriksa jaringan yang telah diangkat. Hasil dari pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa P1 memiliki tumor ganas atau kanker payudara yang disebabkan oleh HER-2 dan dianjurkan untuk melakukan mastektomi. Pada tanggal 28 Juni 2016, P1 melakukan mastektomi dan melanjutkan pengobatan lainnya sesuai anjuran dokter. Setelah bekas operasinya mengering, P1 melakukan kemoterapi sejumlah 24 kali yang terdiri dari enam kemoterapi dasar dan delapan belas kemoterapi tambahan akibat jenis kanker yang dideritanya. Pengobatan selanjutnya merupakan radioterapi yang dilakukan sebanyak 30 kali, kemudian konsumsi obat oral untuk menguatkan jantung, dan kontrol setiap tiga bulan.

Selama menjalani pengobatan, P1 merasakan dampak-dampak bagi tubuhnya. Pada awal kemoterapi, P1 tidak menjalani kemoterapi dengan cara diinfus seperti pasien kanker pada umumnya, karena pembuluh darah P1 begitu tipis, sehingga P1 memasang sebuah alat yang ditanam di dadanya selama periode kemoterapi. Alat tersebut akan langsung terhubung dengan salah satu vena yang berada dekat jantung. Setelah kemoterapi, P1 merasakan mual bahkan muntah. Tak jarang P1 kehilangan selera makan namun tetap memaksa dirinya untuk mengkonsumsi makanan meski pada akhirnya ia tetap muntah. Selain muntah, P1 juga harus kehilangan rambutnya dalam proses

pengobatan tersebut. Obat dalam kemoterapi dikenal sebagai obat yang memiliki efek samping kuat, sehingga dapat memengaruhi tubuh dalam jangka waktu yang cukup panjang meski kemoterapi tersebut sudah selesai.

Salah satu dampak dari kemoterapi dapat memengaruhi kerja jantung. Setiap pemeriksaan rutin P1 melakukan EKG dan mengkonsumsi obat penguat jantung. Kemoterapi juga dapat memengaruhi kadar vitamin D pada tubuh pasien. P1 rutin mengkonsumsi suplemen yang mengandung vitamin D dan mengimbanginya dengan berjalan di pagi hari. Selain kemoterapi, pengobatan radioterapi juga memberikan efek samping bagi tubuhnya. Kulit pada bagian leher dan dada P1 berubah warna menjadi lebih gelap, sehingga P1 harus menggunakan syal ketika berada di luar rumah. Selain itu, P1 merasa kesulitan ketika ia harus menelan makanan selama menjalani radioterapi.

Menjalani pengobatan jelas memengaruhi suasana hati P1, ia merasa pengobatan yang dijalani membuat tubuhnya tidak nyaman. Meski tidak memengaruhi relasi maupun pekerjaannya, ada waktu P1 merasa ingin diberi jarak agar ia memiliki waktu sendiri, bahkan P1 sempat merasa tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang menjenguknya. P1 mencoba untuk tetap semangat menjalani pengobatan.

b. Partisipan 2

Partisipan kedua merupakan seorang ibu berusia 45 tahun dan berasal dari kota Magelang. P2 sudah menikah dan memiliki dua anak laki-laki yang berusia 14 tahun dan tujuh tahun. P2 bekerja sebagai ahli gizi di salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta. Saat ini ia tinggal bersama suami, kedua

anaknya, dan mertuanya. P2 mendapat diagnosa kanker payudara pada tahun 2014 ketika ia berusia 41 tahun. Pada garis keturunan keluarganya, beberapa saudara P2 juga mengalami beberapa jenis kanker, salah satunya merupakan kanker payudara.

Partisipan sudah menyadari bahwa ia memiliki benjolan pada payudara kanannya, namun memilih untuk mengabaikannya. Setelah menunggu enam bulan, P2 memeriksakan diri ke dokter dan mendapatkan diagnosa Fibroadenoma mammae (FAM) yang berarti P2 memiliki tumor jinak pada payudaranya. P2 memutuskan untuk melakukan operasi pada 7 Februari 2014. Setelah dilakukan patologi anatomi pada hasil operasi, ditemukan hasil bahwa P2 memiliki tumor ganas. Sebelum mendapatkan hasilnya, P2 memiliki firasat karena beberapa keluarganya juga menderita kanker. Pada bulan April, P2 menjalani kemoterapi dasar sebanyak enam kali setiap 21 hari. Setelah menjalani rangkaian kemoterapi, pada bulan Agustus P2 melakukan radioterapi sebanyak 25 kali. Oktober 2014 P2 mulai mengkonsumsi obat tamoxifen yang berguna untuk menekan hormon yang dihasilkan oleh tubuh. Enam bulan berlalu, P2 sering kali mengalami pendarahan dan dokter memutuskan untuk mengganti obatnya menjadi letrozole yang harus dikonsumsi selama lima tahun. Setelah itu P2 hanya perlu melakukan kontrol setiap tiga bulan dan melakukan penyuntikan vitamin D.

Efek kemoterapi yang dirasakan pasien kanker pada umumnya juga dirasakan oleh P2. Penurunan selera makan, lemah, mual, bahkan muntah

pernah ia alami. P2 pernah mengalami diare hingga leukosit pada tubuhnya turun dan ia harus disuntik leukogen. Setelah penggunaan obat oral selama dua tahun, P2 merasakan nyeri pada persendiannya. Nyeri tersebut merupakan salah satu efek samping penggunaan letrozole dan dapat diatasi dengan menyuntikkan solenix setiap tiga bulan. Selain itu penggunaan obat oral mengakibatkan pendarahan terus menerus, sehingga dokter menyarankan P2 untuk melakukan histeraktomi total (pengangkatan rahim). Efek lain yang ditimbulkan adalah pengeroposan tulang, oleh karena itu P2 juga harus menjaga kadar vitamin D pada tubuhnya. Beberapa tahun tidak melakukan pap-smear setelah menjalani histeraktomi, P2 menemukan bahwa saat ini ia mengalami peradangan pada serviks dan hasil akhir menunjukkan bahwa P2 memiliki kanker serviks.

P2 merasa selain berdampak pada kondisi tubuhnya, pengobatan juga memengaruhi suasana hatinya. P2 memiliki ekspektasi ketika ia menjalani pengobatan, maka ia akan merasa lebih nyaman, yang mana hal tersebut berbeda dengan kenyataannya. Pengobatan yang dijalani P2 ternyata juga memengaruhi anak sulungnya. P2 menceritakan bahwa salah satu anaknya diolok-olok oleh teman-teman sekolahnya karena ibunya yang hanya memiliki satu payudara.

c. Partisipan 3

P3 adalah seorang ibu yang berusia 45 tahun dan berasal dari kota Yogyakarta. P3 sudah menikah dan dikaruniai anak laki-laki berusia 19 tahun.

Kegiatan P3 sehari-hari adalah mengikuti seminar kesehatan yang

berhubungan dengan kanker, terkadang ia terlibat dalam kegiatan seminar sebagai pengisi stand menjual barang-barang rajutan yang ia kerjakan sendiri.

P3 juga memiliki bisnis penjualan bahan makanan organik. Sebelum menjalani pengobatan P3 memiliki usaha catering, namun harus terhenti karena keterbatasan tenaga. Saat ini P3 tinggal berpindah-pindah, terkadang ia tinggal di rumahnya yang berada di daerah Kalasan maupun tinggal di daerah Yogyakarta kota bersama kedua mertuanya, suami, dan anak laki-lakinya.

Pada mulanya P3 menyadari bahwa dirinya memiliki benjolan pada payudara kanan, namun tak merasa sakit. Hal tersebut membuat P3 mengurungkan dirinya untuk memeriksakan diri pada dokter. P3 mengatakan dirinya terketuk untuk memeriksakan diri ke dokter setelah melayat orang tua salah seorang teman anaknya yang meninggal di usia yang terbilang cukup muda karena kanker. Melihat ukuran benjolan yang sudah cukup besar, dokter merujuk P3 untuk bertemu dengan dokter spesialis onkologi agar mendapat tindakan secepatnya. P3 menuruti keinginan dokter dan menjalani pembedahan pertamanya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa P3 memiliki tumor ganas atau yang dikenal juga dengan kanker. Dokter pun memberikan pilihan pada P3 ingin melanjutkan pengobatan di rumah sakit yaitu melakukan pembedahan atau beralih ke pengobatan alternatif. Dalam waktu dua minggu P3 memutuskan untuk melakukan pembedahan meski ia sendiri mengakui tidak begitu memahami pilihan yang ia ambil. P3 begitu terkejut, bahkan ia menangis ketika melihat perban yang menutupi bekas operasinya

terbuka, ia tidak menyadari bahwa pembedahan yang dimaksud adalah pengangkatan seluruh payudara bagian kanan. Setelah menjalani mastektomi, P3 melanjutkan pengobatannya dengan menjalani kemoterapi, ia pun kembali mengutarakan bahwa sebelum menjalaninya ia tidak memahami kemoterapi itu sendiri. P3 melanjutkan pengobatan berikutnya yaitu radioterapi sebanyak 25 kali. Saat ini P3 sudah menyelesaikan rangkaian pengobatan dan sedang mengkonsumsi obat oral yang sudah berjalan selama dua tahun.

Selama menjalani pengobatan P3 merasakan dampak cepat lelah ketika melakukan rutinitasnya seperti biasa. Hal ini menjadi salah satu penyebab P3 tidak melanjutkan usaha catering yang pernah digelutinya. Akibat pembedahan yang dialaminya, P3 merasa terbatas ketika menggerakan tangannya, bahkan P3 harus menjalani fisioterapi karena ototnya terasa sakit ketika mengangkat beban. Selama menjalani kemoterapi, P3 juga merasakan beberapa efek seperti sulit tidur dan merasakan mual. Selain itu, P3 juga mengalami penurunan berat badan selama kemoterapi dan mengalami peningkatan berat badan setelah mengkonsumsi obat oral. P3 juga harus menjalani suntik vitamin D karena kadar vitamin dalam tubuh berada di bawah ambang normal. Penurunan kadar vitamin D dalam tubuh ini disebabkan oleh obat oral yang P3 konsumsi. Tidak hanya itu saja, P3 juga mengalami kesulitan ketika berhubungan seksual dengan suaminya. P3 mengatakan ia merasakan sakit, terutama pada bagian vagina yang terasa begitu kering. Pada masa radioterapi, P3 mengalami perubahan pada fungsi

matanya, yang mana ia sulit untuk melihat benda maupun tulisan pada jarak dekat. P3 menderita rabun dekat ketika ia menjalani radioterapi.

Ketika menjalani pengobatan, P3 tidak hanya merasakan perubahan pada tubuhnya saja. P3 merasa pengobatan yang ia jalani ini tentunya memengaruhi suasana hatinya. Ketika menjalani mastektomi, meragukan kekuatannya, ia bertanya-tanya apakah saat itu adalah perjuangan akhirnya.

Setelah mengetahui bahwa pengangkatan yang dimaksud oleh dokter adalah mengangkat seluruh payudara kanannya, P3 terkejut dan menangis. P3 merasa tidak sempurna sebagai seorang perempuan karena hanya memiliki satu payudara, ia bahkan tidak berani melihat dirinya di depan cermin.

Kekhawatiran pun terus berdatangan, termasuk kekhawatiran bahwa suaminya akan meninggalkan dirinya yang sudah tidak sama seperti sedia kala. Cerita penyintas kanker payudara yang ditinggalkan oleh suaminya di luar sana pun turut menambah kecemasan P3. Pada saat menjalani pengobatan, P3 sempat bertanya-tanya pada Tuhan atas kejadian demi kejadian yang harus ia alami.

C. Hasil Penelitian 1. Analisis data partisipan 1

a. Dukungan sosial yang dibutuhkan

Menjalani serangkaian pengobatan kanker payudara dengan kurun waktu yang panjang, mengarahkan para partisipan pada dukungan sosial yang mereka butuhkan. Setiap partisipan tanpa terkecuali membutuhkan bantuan ketika melewati masa-masa yang mereka akui sebagai waktu yang cukup

berat. Beberapa hal yang dibutuhkan P1 selama ia menjalani pengobatan, yaitu perhatian, bantuan yang tulus, dan kasih sayang dari keluarga.

Sebagai seorang wanita, P1 membutuhkan dukungan yang besar terutama dari pasangannya. P1 membutuhkan suaminya dapat memberikan perhatian padanya, seperti memahami rangkaian pengobatan yang akan dijalani. P1 membutuhkan kehadiran suaminya ketika melakukan kontrol rutin bersama dokter, agar setiap pengobatan yang akan dijalani juga diketahui dan dipahami oleh suaminya. Berbicara tentang pengobatan, penderita kanker dan keluarganya tentu akrab dengan biaya besar yang harus dipersiapkan untuk kelancaran pengobatan baik untuk yang sedang berjalan maupun di waktu yang akan datang. P1 membutuhkan bantuan terkait dana, namun ia tidak membutuhkan keluhan terkait hal tersebut.

Setelah menjalani pengobatan, P1 menyadari bahwa merawat penderita kanker seperti dirinya bukan hal yang mudah, ada kalanya ia dapat merasakan orang-orang di sekelilingnya menjadi lelah saat merawatnya. Memiliki komunikasi yang baik akan membantu keluarganya untuk memahami perasaan maupun rasa sakit yang ia derita. Komunikasi yang tepat tentunya akan membantu P1 menerima perhatian yang tepat sesuai dengan kebutuhannya. Perhatian dari keluarga dapat diberikan dalam bentuk kesediaan diri untuk meluangkan waktu mengantar P1 ke rumah sakit, maupun sekadar memberi kabar ketika P1 berada di kota yang berbeda ketika menjalani pengobatan.

Perubahan yang terjadi pada tubuh membawa P1 pada kebutuhan agar orang lain menjadi lebih peka atau sensitif tentang keadaannya. Bagi P1 ia membutuhkan komentar positif mengenai hal besar yang sedang ia jalani, bukan komentar negatif maupun tatapan aneh terkait perubahan fisik yang ia alami akibat menjalani pengobatan. Komentar yang berkaitan tentang hal tersebut pada akhirnya menimbulkan perasaan risi pada P1 terhadap orang tersebut. Bersikap menjadi lebih peka juga berkaitan dengan waktu untuk berkunjung. Menurut P1 kunjungan yang mendadak atau tanpa pemberitahuan membuat dirinya merasa tidak siap, karena ada waktu di mana ia hanya ingin beristirahat atau bahkan sendiri, memberi kabar terlebih dahulu tentunya lebih baik.

Menjadi seorang ibu saat menjalani pengobatan dan menjadi karyawan pada saat yang bersamaan juga menjadi tantangan tersendiri bagi P1. Dalam hal pekerjaan, P1 membutuhkan rekan-rekan kerjanya untuk bersikap kooperatif ketika ia tidak berada di kantor. Sikap kooperatif dari rekan-rekan kerja dapat berupa kesediaan mereka untuk melaksanakan tugas sesuai dengan instruksi yang diberikan, kemudian mengantarkan pada P1 yang sedang berada di rumah.

b. Dukungan sosial efektif yang diterima

Dalam dukungan sosial, terdapat empat tipe dukungan yang dapat diberikan pada orang lain. Berdasarkan hasil yang diterima, P1 menerima keempat tipe dukungan sosial, yaitu instrumental support, informational

support, emotional support atau esteem support, dan companionship support, yang dapat diuraikan sebagai berikut.

Instrumental support merupakan salah satu tipe dukungan sosial yang dapat disampaikan pada penerima dalam bentuk pendampingan dan kehadiran secara langsung, juga bantuan yang tampak seperti materi. P1 menerima bantuan ini baik dari keluarga maupun orang lain di sekitarnya.

Semasa pengobatannya P1 menerima pelayanan dan beragam materi, baik dari keluarga, teman, maupun rekan kerja. Awal mula P1 mengalami kerontokan pada rambutnya, P1 menerima topi rajutan dari salah satu adik iparnya sebagai penutup kepala. Selain itu, P1 juga menerima makanan seperti sukun goreng sebagai camilan dan buah-buahan sebagai bahan jus.

Selain menerima materi, P1 juga menerima pelayanan dari rumah sakit.

Pelayanan kesehatan ini tentunya diterima P1 melalui kontrol dengan dokter maupun interaksi dengan tenaga kesehatan lainnya seperti perawat maupun ahli radiologi. Beberapa kali, suami maupun anaknya bergantian untuk mengantarkan P1 berobat ke rumah sakit.

P1 juga menerima informational support dari berbagai pihak.

Informational support merupakan dukungan yang diberikan dalam bentuk informasi, nasihat, maupun saran. Sebelum menjalani pengobatan, P1 menerima informasi terkait pengobatan yang akan dijalani dari orang-orang yang sudah lebih dulu melewati pengobatan kanker payudara. Selain untuk mempersiapkan dirinya sendiri, P1 juga memperoleh informasi mengenai

asupan gizi yang tepat untuk penderita kanker payudara dari salah seorang temannya yang merupakan ahli gizi dan juga penderita kanker payudara.

Selain menerima makanan, pelayanan, maupun informasi, P1 juga mendapatkan emotional support dari orang-orang di sekitarnya. Emotional support dikenal sebagai dukungan yang diterima dalam bentuk perhatian, semangat, maupun kata-kata positif. Rekan-rekan P1 di kantor menjadi salah satu penyemangat yang semakin membuat dirinya kuat dalam menjalani setiap prosesnya. Beberapa kali rekan kerjanya bahkan mempersilahkan dirinya untuk pulang lebih awal dan beristirahat, terutama setelah menjalani kemoterapi. Bukan hanya rekan kantornya, P1 juga menerima dukungan dari teman-teman komunitas kanker payudara yang saling menguatkan, bahkan pada titik terendah mereka, seperti ketika salah satu pejuang kanker lebih dulu meninggalkan mereka. Selain emotional support, P1 juga menerima esteem support, yang mana dukungan tersebut dapat disampaikan melalui perilaku yang menunjukkan bahwa penerima masih berharga dan pantas menerima bantuan dari orang lain. Mengambil keputusan besar untuk tetap bekerja dalam proses pengobatannya, membawa P1 menerima esteem support melalui rekan kerjanya. Menurut P1 ketika rekan-rekan kerjanya membutuhkan dirinya dalam pengambilan keputusan, ia merasa berguna meski ketika menjalani pengobatan kondisinya melemah. Selain itu, melalui aktivitas seksual dengan suami, juga sikap kedua anaknya yang terus memberi kabar mengenai hari mereka ketika mereka berjauhan, membuat P1

merasa bahwa pengobatan kanker tidak mengubah relasinya dengan suami maupun perannya sebagai ibu untuk anak-anaknya.

Selama menjalani pengobatan juga ditemukan bahwa P1 menerima jenis dukungan lain dari orang di sekitarnya berupa companionship support.

Kesediaan orang-orang untuk hadir, meluangkan waktu membuat penerima merasa masih menjadi bagian dari sebuah kelompok. Dalam menjalani proses pengobatan P1 sering kali ditemani oleh keluarga besarnya bahkan yang berasal dari luar kota Yogyakarta, seperti Jakarta dan Semarang yang datang menemani P1 saat menjalani operasi. Ketika menjalani kemoterapi pun P1 tidak sendirian, salah satu adik ipar P1 datang dari Jakarta menuju Yogyakarta untuk menemani dirinya menjalani masa awal kemoterapi, tidak ketinggalan, salah satu anaknya juga menyempatkan diri untuk menemani P1 disela jadwal kuliah. Tidak hanya ditemani oleh keluarga, rekan-rekan kerja dan tetangga P1 juga datang menjenguknya di rumah sakit maupun di rumah. Pada kesempatan lainnya rekan-rekan di kantor juga menjenguk P1 yang berada di Ungaran ketika menjalani radioterapi. Selain itu, teman-teman dari komunitas kanker payudara yang juga menemani P1 ketika menjalani kemoterapi di rumah sakit.

Selain menerima keempat dukungan di atas, P1 juga menerima dukungan dalam bentuk doa yang termasuk dalam dukungan spiritual. P1 merupakan salah satu umat yang berusaha untuk selalu mengikuti misa pagi.

Selain itu, P1 juga menerima doa yang tercantum pada daftar ujud doa yang dilakukan pada saat misa. Tentunya ketika keluarga dan teman-temannya

berkunjung, P1 juga menerima doa untuk kesembuhan dan kekuatan menjalani pengobatan.

Berdasarkan keterangan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa P1 menerima berbagai jenis dukungan yang tercakup dalam empat tipe dukungan sosial, yaitu instrumental support, informational support, emotional atau esteem support, dan companionship support. P1 menerima lebih banyak dukungan dalam bentuk materi (instrumental support) dan kehadiran orang-orang untuk menemani (companionship support) dibandingkan dua tipe lainnya. Pada hasil ini juga ditemukan bahwa P1 menerima dukungan spiritual dari orang-orang di sekitarnya.

c. Dukungan sosial tidak efektif yang diterima

Menerima dukungan sosial tidak selalu berarti bantuan tersebut diterima secara baik oleh penerimanya. Dalam hal ini, P1 menerima bentuk dukungan sosial yang tidak efektif dari berbagai sumber lewat beragam tipe dukungan sosial yang diterima. Dukungan sosial yang tidak efektif ini

Menerima dukungan sosial tidak selalu berarti bantuan tersebut diterima secara baik oleh penerimanya. Dalam hal ini, P1 menerima bentuk dukungan sosial yang tidak efektif dari berbagai sumber lewat beragam tipe dukungan sosial yang diterima. Dukungan sosial yang tidak efektif ini