• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa dukungan sosial yang efektif memang dibutuhkan dan bermanfaat bagi penderita kanker yang sedang menjalani pengobatan. Pada bagian ini, peneliti akan menyajikan pembahasan terkait dengan dukungan sosial bagi penderita kanker yang mencakup dukungan sosial yang dibutuhkan dan dukungan sosial yang telah diterima. Dukungan sosial yang diterima oleh partisipan dapat berupa dukungan sosial yang efektif maupun tidak efektif, lalu diteruskan dengan dampak dukungan sosial.

Dukungan sosial dibutuhkan terutama dalam menghadapi berbagai efek samping akibat pengobatan dan peran sebagai seorang ibu. Ketiga partisipan berusia antara 41 tahun sampai dengan 52 tahun ketika mendapatkan diagnosa dari

dokter, tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka untuk menjalani berbagai pengobatan seperti mastektomi, kemoterapi, radioterapi, dan ada yang menjalani terapi hormon. Menurut Hurlock (1990) pada rentang usia tersebut peran wanita sebagai ibu menjadi krusial dalam keluarganya.

Begitu pula menurut Jahja (2011), pada karakteristik usia tersebut dewasa madya memiliki tugas perkembangan yang berhubungan dengan keluarga, tanggung jawab umum maupun di lingkungan sosial, juga terhadap kegiatan orang dewasa pada waktu luangnya. Ketika mereka bekerja waktu dan tenaga yang dibutuhkan tentunya sudah banyak terkuras, ditambah lagi dengan kondisi tubuh fisik yang mulai melemah akibat pengobatan. Setelah sampai di rumah partisipan harus mengurus suami dan anak-anak mereka dengan rentang usia anak-anak hingga remaja. Hingga akhirnya, penderita kanker terpaksa mengurangi beban kerja sementara menjalani pengobatan, tak jarang penderita kanker memiliki waktu yang terbatas untuk dirinya sendiri.

Erikson (dalam Feist & Feist, 2010) mengatakan pada rentang usia tersebut partisipan tergolong pada tahap psikososial generativity vs stagnation, yang mana individu pada tahap generativity dikatakan berada pada masa berprestasi, sedangkan individu yang mengalami stagnation akan mengalami hambatan dalam kehidupannya. Pada kenyataannya meski ketiga partisipan tetap menjalani kegiatannya, ada masa di mana P1 dan P2 harus mengurangi beban kerja, mengambil cuti kerja, bahkan P3 menutup usahanya ketika menjalani pengobatan akibat kondisi fisik yang melemah. Kenyataannya, tidak mudah menjalani peran sebagai ibu yang bekerja dan menjadi pasien pada waktu yang bersamaan.

Setiap pengobatan memiliki efek jangka pendek maupun jangka panjang, dengan berbagai kesulitan yang dialami terkait efek samping pengobatan, penderita kanker membutuhkan dukungan sosial ketika menjalani prosesnya. Pemberian dukungan sosial yang tepat dinilai dapat menjadi perisai pelindung bagi penerimanya agar terhindar dari penyakit fisik maupun mental ketika melewati masa genting dalam hidupnya (Cobb, 1976). Dukungan sosial itu sendiri terbukti memengaruhi kesejahteraan psikologis pasien kanker. Dalam temuannya Kim, Han, Shaw, McTavish, dan Gustafson (2010) menyebutkan bahwa semakin banyak dukungan sosial yang diterima oleh seseorang, semakin tinggi pula kesempatan bagi orang tersebut memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik.

Menilik manfaat dukungan sosial terhadap pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan, terdapat beberapa temuan terkait hal-hal yang dibutuhkan ketika menjalani serangkaian pengobatan. Sarafino dan Smith (2011) menyebutkan empat tipe dukungan sosial yang dibutuhkan maupun diterima oleh seseorang yang sedang mengalami peristiwa besar dalam hidupnya, yaitu instrumental support, informational support, emotional atau esteem support, dan companionship support.

Tipe pertama dukungan sosial merupakan instrumental support yang dapat diterima dalam bentuk materi maupun keterlibatan secara langsung. Ketika menghadapi serangkaian pengobatan dengan jadwal tetap yang telah ditentukan oleh dokter, ketiga partisipan membutuhkan anggota keluarga lain untuk memberikan instrumental support yang dengan mengerjakan pekerjaan rumah.

Seperti yang diketahui, efek samping pengobatan terkadang membatasi partisipan untuk dapat berkegiatan bebas, sehingga bantuan untuk dirinya sendiri pun

dibutuhkan. Hasil ini sesuai dengan temuan Berterö (2000) di mana pasien kanker berharap menerima bantuan ketika mereka harus beristirahat total selama beberapa minggu, sehingga membutuhkan bantuan untuk merawatnya. Pada hari-hari tertentu, partisipan juga membutuhkan bantuan anggota keluarga untuk dapat mengantar ke rumah sakit ketika melakukan pengobatan seperti yang dikatakan Mattson dan Hall (2011) bahwa instrumental support dapat diberikan dalam bentuk bantuan transportasi.

Hasil lainnya yang ditemukan dan tak kalah penting bagi mereka adalah informational support. Ketiga partisipan bukan seorang dokter yang dapat menganalisa hasil laboratorium yang diperoleh, sehingga mereka membutuhkan bantuan dokter untuk menjelaskan diagnosa dan rancangan pengobatan yang akan mereka jalani. Kebutuhan ini selaras dengan contoh yang disampaikan oleh Sarafino dan Smith (2011) bahwa dokter akan memberikan informasi terkait dengan upaya penyembuhan untuk pasien. Menurut partisipan informasi dari dokter mengenai rangkaian pengobatan yang akan mereka jalani juga berguna untuk mempersiapkan diri untuk memulai perjuangannya. Tentunya informasi tersebut bermanfaat untuk kepentingan partisipan yang sejalan dengan pengertian Mattson dan Hall (2011), mengenai informational support yang mengatakan bahwa posisi pasien yang tidak memahami hal-hal yang akan dihadapi pada waktu yang akan datang dapat menjadi sumber utama stres.

Selain membutuhkan informasi dari dokter, ketiga partisipan yang tergabung dalam sebuah komunitas kanker payudara juga merasa terbantu dengan informasi-informasi yang disampaikan melalui media sosial seperti whatsapp. Dalam support

group mereka saling berbagi pengalaman satu dengan yang lainnya, tak jarang para partisipan juga menerima perkataan anggota lainnya sebagai sebuah masukan untuk dirinya sendiri. Hal serupa ditemukan dalam penelitian Dakof dan Taylor (1990) bahwa dukungan informasi dari penderita kanker lainnya dan tenaga kesehatan dinilai paling berguna oleh responden penelitiannya.

Emotional support yang dibutuhkan oleh partisipan beragam bentuknya, para partisipan tentunya membutuhkan semangat dari orang-orang disekelilingnya saat menghadapi efek samping pengobatan yang begitu melemahkan. Saat seperti ini semangat dari suami dan anak-anak menjadi salah satu sumber tenaga partisipan untuk menjalani langkah-langkah pengobatan. Dalam penelitian Primono, Yates, dan Woods (1990) mengatakan semakin besar penguatan yang diberikan oleh suami dan anggota keluarga, maka semakin baik pula kualitas pernikahan maupun fungsi keluarga.

Para partisipan menyadari ketika merawat pasien kanker yang sedang menjalani pengobatan membutuhkan pengorbanan waktu dan tenaga. Oleh karena itu, kesabaran orang-orang di sekitar tentu dibutuhkan. Ada waktunya ketika mereka hanya ingin beristirahat dan tidak ingin berinteraksi dengan orang lain, mereka meminta untuk ditinggalkan sendiri agar memperoleh suasana tenang. Hal ini sejalan dengan saran yang Mattson dan Hall (2011) sampaikan yaitu untuk memberikan suasana yang menyenangkan daripada berusaha menyelesaikan masalahnya pada saat yang sama.

Partisipan juga merasa membutuhkan companionship support dari lingkungannya. Berbicara tentang kehadiran, penderita kanker juga berharap

menerima pendampingan dari suami baik saat menjalani pengobatan maupun kontrol rutin dengan dokter. Dakof dan Taylor (1990) menyampaikan temuannya tentang dukungan sosial yang dinilai sangat membantu pasien kanker adalah kehadiran pasangan daripada mengkritik sikap pasien. Para partisipan juga berharap memiliki teman untuk berbagi cerita ketika tidak dapat beraktivitas penuh seperti sedia kala. Bagi P1 ada waktu ia ingin berbagi dengan orang lain pada saat ia berada di rumah, sedangkan P2 merasa kesepian ketika ia harus beristirahat total di rumah sakit dan anak-anaknya masih berada di sekolah. Hal serupa juga terjadi pada P3 yang memiliki kecemasan untuk bepergian keluar rumah karena menyadari daya tahan tubuhnya yang melemah, sehingga P3 memutuskan untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Pada waktu yang bersamaan, anak satu-satunya lebih sering tinggal di rumah mertuanya yang cukup jauh. Hal tersebut semakin membuat P3 merasa kesepian. Oleh karena itu ketiga partisipan membutuhkan orang lain untuk menemani mereka ketika sedang merasa sepi. Seperti penelitian Deckx, Akker, dan Buntinx (2014) yang mengatakan bahwa pasien kanker lebih rentan mengalami kesepian dan risiko ini berbeda dengan pasien yang memiliki jenis penyakit lainnya.

Ketiga partisipan merasa membutuhkan dukungan dalam bentuk doa dalam menjalani pengobatan. Para partisipan merupakan umat yang taat beragama, dalam kesehariannya menjalani pengobatan para partisipan percaya bahwa selalu ada makna yang perlu disyukuri. Hal serupa yang ditemukan dalam Witdiawati, Purnama, dan Eriyani (2017) memberikan gambaran bahwa religi dan spiritual merupakan unsur dari kebudayaan dalam pasien kanker payudara. Agama dalam sebuah budaya pun turut berperan dalam pembentukan identitas pasien kanker.

Para partisipan percaya bahwa melalui doa, mereka dapat menerima kesembuhan. Seperti yang disampaikan oleh Hamilton, Powe, Pollard III, Lee, dan Felton (2007), yang mengatakan bahwa pasien kanker dengan ras Afrika-Amerika mengandalkan Tuhan sebagai pendamping yang membantu mereka dalam pengambilan keputusan. Mereka percaya bahwa Tuhan ada untuk memberikan kesembuhan dan bekerja melalui dokter yang menangani mereka untuk memberikan pemulihan.

Setelah menjalani pengobatan, P3 merasa dirinya berubah menjadi pribadi yang lebih baik. P3 menjadi lebih banyak bersyukur dan mulai mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di Gereja. Hal ini serupa dengan penelitian Balboni, Vanderwerker, Block, Paulk, Lathan, Peteet, dan Prigerson (2007) yang mengatakan bahwa pasien dengan gynecologic malignanciesmenjadi lebih religius setelah menerima diagnosis.

Selain berbicara tentang dukungan sosial yang dibutuhkan oleh para partisipan, mereka tentunya telah menerima dukungan sosial itu sendiri. Dukungan sosial yang diterima oleh partisipan dapat berupa perilaku yang membantu maupun tidak. Dukungan sosial yang diberikan dalam bentuk perilaku yang membantu partisipan akan membentuk dukungan sosial yang efektif, artinya dukungan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan partisipan, sehingga menghasilkan dampak positif bagi penerimanya (Lanza, dkk., 1995). Bentuk pertama dari dukungan sosial efektif yang diterima oleh partisipan merupakan instrumental support. Usaha keluarga maupun kerabat untuk membantu pasien memenuhi kekurangan dana agar pengobatan pasien tetap berjalan merupakan instrumental support yang diterima

oleh ketiga partisipan. Pada saat-saat seperti ini Mattson dan Hall (2011) menyebutkan kiasan actions speak louder than words menjadi begitu berarti karena jenis dukungan yang telah partisipan terima merupakan dukungan yang mereka yang butuhkan. Ketiga partisipan tentunya bersyukur dengan bantuan dana yang diberikan karena besarnya biaya pengobatan yang harus dijalani dalam rentang waktu yang cukup panjang. Selain menerima bantuan dana, ketiga partisipan juga menerima bantuan dari suami dan anak-anaknya terkait dengan pekerjaan rumah tangga ketika pasien menjalani pengobatan, khususnya pada masa kemoterapi.

Bukan hanya berbicara mengenai materi, partisipan juga menerima informational support tentang informasi mengenai kebutuhan yang perlu dipersiapkan sebelum menjalani pengobatan hingga apotek yang menjual obat dengan harga yang lebih murah. Tentunya dokter yang bertanggung jawab atas pengobatan ketiga partisipan juga turut menyampaikan informasi mengenai pengobatan-pengobatan yang akan mereka jalani. Informasi seperti yang telah disebutkan tentunya bermanfaat bagi pasien seperti temuan Dakof dan Taylor (1990) yang mengatakan bahwa informasi-informasi mengenai kesehatan yang diberikan oleh sesama penderita kanker dan dokter dinilai paling membantu pasien.

Partisipan merasa bahwa mereka membutuhkan emotional support dari orang-orang di sekitarnya, kebutuhan ini pun terpenuhi dengan jumlah dukungan emosional yang cukup diberikan kepada partisipan baik dari keluarga, teman, maupun rekan kerja. Seperti pengalaman partisipan yang membutuhkan semangat dari keluarga dan menerima dukungan dari anak-anaknya dalam bentuk perhatian, maka semangat mereka pun bertambah dan dukungan sosial menjadi efektif. Hal

serupa juga disampaikan oleh Bernad, Zysnarska, dan Adamek (2010) yang mana hasil tersebut menyatakan bahwa dukungan yang berasal dari keluarga, teman, maupun tenaga kesehatan dapat memberikan dampak signifikan terutama dalam menghadapi diagnosis. Perasaan dicintai oleh suami yang ditunjukkan melalui kehadiran suami yang terus memberikan pendampingan bagi partisipan juga menumbuhkan semangat lebih untuk berjuang. Seperti temuan Dsouza, dkk. (2017) yang mengatakan bahwa emotional support merupakan salah satu hal yang dibutuhkan penderita kanker payudara di Karnataka, India.

Chou, Lee-Lin, dan Kuang (2016), menemukan bahwa wanita yang terlibat dalam sebuah support group dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka. Hal serupa yang dialami para partisipan yang merasa pendampingan yang diberikan oleh teman-teman komunitas kanker payudara bahkan meningkatkan kepercayaan diri mereka. Kehadiran sahabat komunitas kanker yang berjuang bersama dan sikap saling melengkapi bahkan memahami, membuat partisipan merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas, yang mana dalam pengertian ini partisipan mendapatkan companionship support.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dukungan sosial yang dibutuhkan oleh ketiga partisipan disampaikan lebih sedikit dibandingkan dukungan sosial yang telah diterima. Kebutuhan partisipan akan dukungan sosial ini tidak terlepas dari budaya yang ada di Asia. Hal semacam ini ditemukan dalam penelitian Taylor, Welch, Kim, dan Sherman (2007). Ahli menyampaikan prediksi dalam penelitiannya terkait perbedaan budaya antara masyarakat ras Asia dan Asia-Amerika dengan ras Eropa-Amerika, yang mana respon masyarakat Asia dan Asia-Amerika terhadap tingkat

stres justru lebih tinggi ketika mereka harus meminta atau mencari dukungan sosial itu sendiri secara langsung daripada dukungan sosial yang diberikan secara eksplisit (saran, bantuan instrumental, maupun memberi kenyaman secara emosional).

Lanza, dkk. (1995) menyebutkan dalam penelitiannya banyak responden dapat menjelaskan mengenai dukungan sosial yang mereka anggap membantu dan hanya sedikit dari partisipan yang dapat menceritakan situasi ketika mereka menerima dukungan yang tidak membantu. Kebanyakan responden hanya fokus pada hal positif terkait dukungan sosial efektif yang mereka terima, walaupun dukungan yang tidak efektif itu muncul beberapa kali ketika responden menerima dukungan sosial.

Pada sisi yang berbeda, ketika pertolongan yang diterima oleh pasien tidak sesuai dengan kebutuhannya, maka hal tersebut dianggap tidak membantu atau tidak efektif, bahkan kecil kemungkinannya pertolongan tersebut mengurangi stres (Sarafino & Smith, 2011). Misal, para partisipan membutuhkan kehadiran orang-orang untuk menemani mereka yang merasa kesepian, namun pemberian dukungan sosial tidak sesuai dengan kebutuhan yang partisipan inginkan. Hal ini terjadi pada P2 ketika menerima kunjungan dari orang lain. P2 merasa kebanjiran pertanyaan, bahkan terkadang mereka terkesan menempatkan partisipan sebagai orang paling sengsara dengan kanker yang diderita. Padahal menurut P2 tidak ada gunanya memberondong pasien dengan pertanyaan, karena pada dasarnya ia merasa baik-baik saja bahkan optimis untuk sembuh, walaupun pada akhirnya P2 pun sempat memikirkan perkataan tersebut, sehingga menimbulkan perasaan risi atau justru

menolak kunjungan. Melalui pengalaman P2 terdapat perbedaan antara dukungan sosial yang ia butuhkan dengan dukungan sosial yang ia terima.

Dalam konteks dukungan sosial, beberapa hal yang dapat memengaruhi efektivitas dukungan sosial yaitu jenis dukungan sosial, karakteristik penerima, waktu pemberian, dan sumber dukungan sosial (Cohen & Syme, 1985; Sarafino &

Smith, 2011). Kisah P2 merasa tidak membutuhkan bantuan dana dari orang lain selain dari keluarganya, karena menerima bantuan dana dari orang lain hanya akan menjadi stressor untuk dirinya. Partisipan merasa ketika meminjam uang dari orang lain, maka hal tersebut akan merepotkan orang lain bahkan merasa berhutang budi pada orang tersebut, padahal dengan jumlah biaya pengobatan yang semakin membengkak ia membutuhkan bantuan tersebut.

Hasil ini berbeda dengan yang ditemukan pada P1 dan P3 yang menerima jenis bantuan yang sama tetapi memiliki reaksi yang berbeda, dalam hal ini bantuan yang diterima P2 berasal dari sumber dukungan sosial yang tidak ia harapkan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil yang disampaikan Cobb serta Cohen dan Wills (dalam Lehto-Järnstedt, 2000) bahwa dukungan sosial dapat memberikan perlindungan untuk seseorang dari efek samping yang berbahaya dari stres. Pada kenyataannya dukungan sosial justru menjadi penyebab munculnya stres.

Kasus lainnya, P3 merasa terganggu setelah mendapat kunjungan dari tetangga maupun temannya. Ketika menjenguk pasien, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berkunjung, seperti halnya ketika menjenguk pasien pasca operasi. Menurut partisipan mereka membutuhkan waktu untuk beristirahat sebelum bertemu dengan banyak orang untuk menjenguk, begitu pula setelah

kemoterapi. Menerima kunjungan terus menerus setelah kemoterapi tentunya membuat partisipan merasa kekurangan waktu untuk beristirahat, sedangkan menurut orang lain, kunjungan tersebut merupakan bentuk dukungan bagi mereka yang sedang berjuang dalam pengobatan. Pada situasi ini dukungan sosial berdampak negatif karena partisipan merasa kekurangan waktu untuk beristirahat.

Hal ini disebabkan karena waktu pemberian dukungan sosial tidak tepat, yang mana waktu merupakan salah satu faktor yang memengaruhi efektivitas pemberian dukungan sosial (Cohen & Syme, 1985; Sarafino & Smith, 2011), sehingga alih-alih merasa senang diperhatikan, partisipan justru merasa terusik dengan kehadiran orang lain.

Bagi P1, ia pernah menerima komentar terkait perubahan fisik yang dialami mengenai rambut, tubuh, atau justru kulit yang menghitam sebagai akibat dari pengobatan yang sedang dijalani. P1 merasa komentar tersebut merupakan sarkasme, sehingga melalui ucapan tersebut ia berpikiran buruk mengenai orang yang memberikan komentar tersebut. Kisah yang dialami P1 ini merupakan salah satu contoh pemberian dukungan sosial yang tidak efektif karena faktor karakteristik penerima dukungan sosial yang tidak sesuai, dalam hal ini partisipan tidak siap secara mental ketika bertemu dengan orang lain, sehingga komentar yang awalnya disampaikan dengan maksud lain, ditangkap dengan arti berbeda oleh P1.

Karakteristik penerima merupakan salah satu faktor yang memengaruhi efektivitas dukungan sosial menurut Cohen dan Syme (1985).

Ketika memberikan dukungan sosial bagi penderita kanker payudara, sumber dukungan sosial juga perlu memperhatikan cara penyampaian dukungan itu sendiri.

Ada hal yang dianggap wajar oleh sumber dukungan sosial justru merupakan bagian sensitif badi penderita, atau ada dukungan yang dirasa sumber dukungan sosial sebagai bantuan, akan tetapi penerima dukungan sosial menangkap maksud tersebut justru sebagai hal negatif. Seperti yang dialami P1 ketika ia tidak dapat menerima saran dokter saat di UGD yang memberikan saran dengan cara yang dianggap tidak tepat. Proses komunikasi yang tidak berjalan dengan baik menurut Goldsmith (2008) dapat mengganggu kesuksesan intervensi dukungan sosial yang diberikan untuk seseorang.

Partisipan dalam penelitian ini sudah menerima bentuk dukungan sosial, akan tetapi tidak seluruh pertolongan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan partisipan saat menjalani pengobatan. Ketika dukungan sosial yang diberikan tepat sesuai dengan kebutuhan partisipan, maka dukungan sosial akan menghasilkan dampak positif, sebaliknya jika dukungan sosial yang diterima tidak sesuai dengan kebutuhan partisipan saat itu, maka dukungan sosial tersebut berdampak negatif bagi dirinya sendiri.

Persepsi penderita kanker terhadap dukungan sosial yang dibutuhkan tentunya berbeda-beda, karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk hidup yang kompleks dengan berbagai kebutuhan (Matson & Hall, 2011). Agar dapat memberikan dukungan sosial yang efektif bagi penderita kanker tentu komunikasi dibutuhkan antara sumber dan penerima dukungan sosial. Komunikasi baik yang dibangun dalam keluarga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi peningkatan kualitas hidup, bahkan memberi efek langsung pada kesejahteraan dan penyesuaian emosional bagi pasien kanker (Witdiawati, Purnama, & Eriyani, 2017).

102 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berikut hasil penelitian yang diperoleh mengenai gambaran dukungan sosial bagi penderita kanker payudara, meliputi dukungan sosial yang dibutuhkan dan diterima, serta dampak dukungan sosial. Pertama, hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa dukungan sosial yang dibutuhkan oleh ketiga partisipan mencakup lima hal yaitu, instrumental support yang terutama terwujud dalam bentuk bantuan dalam mengurus rumah tangga oleh suami dan anak-anak, bantuan untuk mengurus administrasi rumah sakit, transportasi menuju rumah sakit, serta pemberian makanan. Informational support berupa rancangan pengobatan dari tenaga profesional maupun saran dari anggota support group untuk mengatasi efek pengobatan.

Tipe ketiga yang dibutuhkan adalah emotional support yang dapat disampaikan dalam bentuk semangat, kesabaran dalam mengurus penderita kanker payudara, memperhatikan waktu ketika berkunjung, menjadi wadah untuk berbagi cerita, dan menyampaikan kata-kata positif. Selanjutnya, tipe yang dibutuhkan penderita kanker payudara yaitu companionship support, berupa kehadiran dan kesediaan keluarga maupun teman untuk meluangkan waktu dan menemani partisipan dalam menjalani pengobatan. Jenis dukungan sosial terakhir yang dibutuhkan partisipan adalah spiritual support yang terwujud dalam bentuk doa yang dipanjatkan untuk kesembuhan mereka.

Kedua, dukungan sosial secara faktual yang telah diterima partisipan selama menjalani pengobatan, meliputi instrumental support dalam bentuk barang maupun pelayanan dan bantuan dari tenaga profesional juga keluarga. Partisipan juga menerima informational support berupa informasi terkait pengobatan dari dokter dan hal-hal yang perlu dipersiapkan selama menjalani kebutuhan dari sesama penderita kanker payudara. Tipe lainnya adalah emotional support yang diterima dalam bentuk perhatian, kepedulian, dan semangat, sedangkan esteem support diterima melalui sikap dan perilaku keluarga yang memperlakukan partisipan sebagai ibu sama seperti sebelum menderita kanker, juga tanggung jawab yang sama terhadap pekerjaan yang masih diberikan pada tiap partisipan yang bekerja.

Setiap partisipan menerima companionship support dalam bentuk kehadiran keluarga dan kerabat untuk datang menjenguk dan menemani mereka saat menjalani pengobatan.

Ketiga, penerimaan dukungan sosial memunculkan dampak positif dan negatif untuk tiga partisipan. Dampak positif dari dukungan efektif yang diterima partisipan dapat membangkitkan semangat mereka untuk berjuang dalam pengobatannya. Dukungan yang tidak efektif akan menimbulkan dampak negatif berupa perasaan risi, kesal bahkan marah, dan penurunan tingkat kepercayaan diri.

Ketiga, penerimaan dukungan sosial memunculkan dampak positif dan negatif untuk tiga partisipan. Dampak positif dari dukungan efektif yang diterima partisipan dapat membangkitkan semangat mereka untuk berjuang dalam pengobatannya. Dukungan yang tidak efektif akan menimbulkan dampak negatif berupa perasaan risi, kesal bahkan marah, dan penurunan tingkat kepercayaan diri.