• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA DALAM OUTSOURCING

Dalam dokumen Konsep Manajemen bisnis dunia Outsourcing (Halaman 111-113)

MASALAH ETIKA DALAM OUTSOURCING

D.   ETIKA DALAM OUTSOURCING

Bagaimana hal itu semua, yaitu isu etika dapat menyangkut outsourcing ? Seperti telah di singgung di atas, outsourcing pada hakekatnya adalah suatu kegiatan pembelian, yaitu kegiatan pembelian jasa dengan tujuan strategis berjangka panjang. Salah satu tujuan yang penting dari outsourcing adalah untuk meningkatkan efisiensi perusahaan dengan menekan biaya operasi. Oleh karena itu banyak wujud outsourcing yang berupa mengganti mempekerjakan karyawan tetap dan purna waktu dengan karyawan tidak tetap dan paro waktu, karyawan kontrak atau bentuk lain dimana para karyawan tidak atau lebih sedikit menerima fringe benefit. Dengan lain perkataan outsourcing dapat berupa penggantian memperkerjakan karyawan secara tetap dengan gaji tinggi dengan mempekerjakan karyawan secara temporer dengan gaji lebih rendah. Meskipun outsourcing secara historis merupakan elemen utama ekonomi Jepang, namun konsep bahwa karyawan tidak memperoleh pekerjaan selama dan karier yang lama dalam suatu perusahaan sampai baru-baru ini merupakan hal yang asing di Amerika. Namun perusahaan yang secara historis yang bersikap paternalistik, cenderung berubah dan secara aktif mempekerjakan karyawan atas dasar sementara. Hal-hal inilah yang menyebabkan outsourcing bersinggungan dengan etika. Lagipula, banyak kritik yang dilontarkan bahwa outsourcing merupakan pengkhianatan para pimpinan perusahaan pada karyawannya dimana para pimpinan menerima gaji rata-rata 100 atau 150 kali lipat dari rata-rata penerimaan karyawan rendahnya. Adalah tidak etis, beberapa orang menganggap, apabila perusahaan di Amerika yang walaupun menghadapi persaingan ketat, membebani penurunan biaya dalam bentuk pengurangan gaji dan peniadaan asuransi kesehatan sementara para eksekutif menerima gaji yang sedemikian besarnya.

Dalam ensiklik Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII tahun 1891, tertulis bahwa : ‘Pekerja yang ….. karena terpaksa atau takut akan akibat yang lebih buruk lagi…. menerima kondisi yang lebih berat karena pemberi kerja atau kontraktor tidak memberikan mereka hal yang lebih baik lagi, merupakan korban kekerasan dan ketidak-adilan….’

Seratus tahun kemudian, dalam ensikliknya yang bernama Laborem Exercens, Paus Johanes Paulus II mendifinisikan kerja sebagai suatu tugas, tetapi juga sebagai sumber hak-hak seorang pribadi.

‘Remunerasi yang adil untuk orang dewasa yang bertanggung jawab atas suatu keluarga berarti suatu remunerasi yang cukup untuk menjaga kehidupan suatu keluarga dan menjamin hari depannya’.

Jadi konsep Paus Johanes Paulus II tentang remunerasi melampaui sekedar gaji. Itu termasuk hak untuk pemeliharaan kesehatan, bantuan medis, cuti dan jaminan hari tua. Tuntutan akan perlakuan dan hak-hak yang adil bagi pekerja tidak hanya terbatas pada pendapat dan anjuran para Paus tersebut, tetapi juga merupakan pandangan para pemerhati masalah sosial.

John Rawls, dalam bukunya Theory of Justice mengatakan, bahwa : ‘Perhaps the most important primary good is self respect, and without it nothing may seem worth doing, or if somethings have value on us, we will lack the will to strive for them. All desire and activity becomes empty and vain, and we sink into apathy and cynicism.’

Walaupun konsep mengenai remunerasi dan hak-hak karyawan di atas merupakan hal yang cukup jelas namun dalam pelaksanaan tidaklah semudah itu. Dalam banyak hal cukup sulit untuk memberikan gaji karyawan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut di atas, karena kemampuan perusahaan. Hal ini banyak dialami oleh perusahaan di negara yang sedang berkembang. Memang tidak semua hal berlaku demikian, artinya tidak semua perusahaan terpaksa memberikan gaji rendah karena faktor mempertahankan hidup perusahaan. Ada sementara perusahaan yang memang terlalu serakah dalam mendapatkan keuntungan yang sangat besar dengan mengorbankan kepentingan pokok para karyawannya. Dalam negara yang sedang berkembang, persoalannya juga tidak hanya itu. Selalu ada persoalan dilematis antara mempekerjakan sedikit orang dengan gaji cukup atau mempekerjakan banyak orang dengan gaji kurang sementara angka pengangguran begitu tinggi. Oleh karena itu sekali lagi persoalan di lapangan tidak semudah harapan yang dimiliki oleh para pemerhati masalah sosial, termasuk harapan para pimpinan perusahaan sendiri. Memang persoalan etis sebaiknya tidak dikompromikan dengan persoalan non etis. Tetapi barangkali persoalannya tidak disitu, karena masalahnya adalah dilematis antara masalah etis. Oleh karena itu mungkin persoalannya ialah etiskah apabila sedikit mengorbankan suatu persoalan etis demi mempertahankan masalah etis yang lebih besar. Namun bagaimanapun juga, isu etika dalam outsourcing tetap ada dan tetap wajib untuk dicermati, diperhatikan dan diindahkan secara sangat serius.

Meskipun keuntungan merupakan motivasi yang sangat penting dalam masyarakat dewasa ini, namun pencariannya tidak boleh membenarkan pengingkaran terhadap komitmen terhadap kepentingan dan hak-hak karyawan. Dalam mengeterapkan outsourcing, manajemen harus memikirkan dan mempertimbangkan masak-masak pentingnya kesetiaan dan keamanan kelangsungan kerja. Pengurangan biaya yang dicari dengan cara outsourcing haruslah pertama-tama dengan cara-cara lain dan cara-cara pengurangan gaji dan hak-hak karyawan hanyalah merupakan opsi terakhir. Dapatkah hal itu dijalankan, karena biaya karyawan adalah porsi biaya yang cukup besar dan biasanya merupakan sasaran pertama untuk mengurangi biaya? Pengalaman berikut mungkin memberikan gambaran kemungkinan itu. Pada tahun 1996, Pertamina mulai mengoutsourcekan pemeliharaan refinerynya kepada PT Elnusa. Dalam persyaratan outsourcing tersebut, salah satu persyaratan yang disetujui dua belah pihak ialah bahwa semua karyawan yang semula mengerjakan tugas pemeliharaan di Pertamina, ditransfer dan diterima PT Elnusa dengan tetap memperoleh gaji dan kemudahan paling sedikit sama dengan yang diterima sewaktu di Pertamina. Dalam kenyataannya, Pertamina tetap memperoleh keuntungan berupa penghematan biaya pemeliharan yang cukup signifikan. Meskipun motivasi utama dalam kebijakan tersebut bukan motivasi etis, namun tetap secara etis memang baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Ini sekedar suatu contoh bahwa masih banyak cara lain

dalam outsourcing dalam menghemat biaya tanpa harus mengurangi pendapatan dan hak karyawan.

Dalam dokumen Konsep Manajemen bisnis dunia Outsourcing (Halaman 111-113)