• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGERTIAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Dalam dokumen Konsep Manajemen bisnis dunia Outsourcing (Halaman 116-123)

OUTSOURCING DAN UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOL

B.   PENGERTIAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Di atas telah disebutkan, apa-apa saja yang dimaksud dengan perdagangan tidaks ehat menururt Undang-Undang Nomer 5 tahun 1999 tersebut. Marilah kita tinjau satu persatu secara singkat.

Monopoli.

Mengenai monopoli, Pasal 17 dari Undang-Undang tersebut memberikan ketentuan sebagai berikut.

1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) apabila :

a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substansinya; b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau

c. satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (limapuluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bandingkan dengan beberapa definisi lain sebagai berikut ini. Dalam Black’s Law Dictionery, monopoli diartikan sebagai :

‘a privilage or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity’

Selanjutnya, menurut Black’s Law Dictionery pula, sehubungan dengan molopoli yang diatur dalam Sherman Act dikatakan sebagai berikut.

‘Monopoly as prohibited by Section 2 of the Sherman Antitrust Act, has two elements :

1. posession of monopoly power in relevant market, 2. willful acquisition of maintenance of that power.’

Dengan demikian ada perbedaan yang cukup menarik antara UU Nomor 5/1999 dan Sherman Act dimana monopoli dalam UU Nomor 5/1999 tersebut lebih dititik beratkan pada adanya monopoli sedangkan Sherman Act lebih menonjolkan terjadinya monopoli yaitu ada kehendak (willful). Artinya dalam Sherman Act dimungkinkan adanya monopoli yang terjadi bukan atas kehendak atau kesengajaan pelaku, tetapi karena tidak ada orang atau badan lain yang mau atau mampu menghasilkan barang atau jasa yang dimaksud. Dalam praktek jenis monopoli seperti ini cukup banyak terjadi, khususnya karena penguasaan teknologi khusus. Kalau dalam UU Nomer 5/1999, jenis monopoli seperti ini dilarang, lalu bagaimana jalan keluarnya ? Agaknya, menurut pendapat penulis, pengertian Sherman Act ini lebih masuk akal.

Mengenai ayat (2) yang mencantumkan batas 50% sebagai penguasaan produksi atau pemasaran agaknya bertentangan dengan definisi monopoli itu sendiri dan menimbulkan pertanyaan besar. Apakah kalau misalnya ada satu penjual yang menguasai pangsa pasar 51% dan ada ribuan penjual lain yang menguasai sisa 49% dianggap sebagai keadaan atau praktek monopoli ? Apakah Pertamina, PLN atau Perusahaan Gas Negara dianggap melanggar Undang-Undang Nomer 5/1999 tersebut di atas ? Sangat menarik bahwa di perundangan Amerika Serikat, dikenal dan dibedakan apa yang disebut legal monopoly dan natural monopoly.

Legal monopoly. Exclusive right granted by governmental unit to business to provide such services as electric and telephone service. The rates and services of such utilities are in turn regulated by the government.

Natural monopoly. A natural monopoly is one resulting where one firm of efficient size can produce all or more than market can take at remunerative price. For example a market for a particular product may be so limited that it is impossible to profitably produce such except by a single plant large enough to supply the whole demand.

Jelas bahwa monopoli yang termasuk jenis seperti di atas tidak dianggap melanggar undang-undang.

Oligopoli.

Pasal 4 mencantumkan pengertian dan larangan mengenai oligopoli sebagai berikut ini.

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama - sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa lain, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bandingkan dengan definisi oligopoli yang tertera dalam Black Lw’s Dictionery sebagai berikut ini.

‘Oligopoly is an economic condition where only a few companies sell substantially similar or standardized products’

Kalau kita perhatikan, yang dilarang sebetulnya bukan keadaan oligopoli itu sendiri, tetapi oligopoli yang membuat perjanjian sehingga mengarah menjadi monopoli, sehingga yang dilarang sebetulnya adalah monopolinya. Jadi dengan perkataan lain, yang dilarang ialah ‘kehendak’, bukan keadaan, sehingga berlainan dengan konsep monopoli seperti disebutkan di atas, dan lebih mirip dengan ketentuan monopoli di Sherman Act. Dengan demikian, pelaku oligopoli yang tidak melakukan kerja sama atau perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan suatu monopoli, tetapi persaingan oligopolistik, menurut Undang-Undang tersebut, seharusnya tetap boleh. Ketentuan mengenai oligopoli ini lebih masuk akal.

Monopsoni.

Mengenai monopsoni, pasal 18 Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut.

1. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan yang tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (limapuluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Bandingkan pengertian monopsoni sebagaimana dicantumkan dalam Black’s Law Dictionery sebagai berikut ini.

‘Monopsony is a condition of the market in which there is but one buyer for a particular commodity’

Kalau kita perhatikan, yang diatur dalam Undang-Undang tersebut tidak jelas, yaitu ‘kehendak’ atau ‘keadaan’ pembeli yang demikian. Lagipula, seperti pada definisi monopoli, batas 50% bertentangan dengan definisi monopsoni itu sendiri dan menimbulkan pertanyaan besar ? Apakah misalnya ada satu pembeli A menguasai pembelian 51% dan ada ribuan pembeli lain yang mencakup sisanya yang 49% dapat disebut sebagai keadaan dan praktek monopsoni ?

Oligopsoni.

Mengenai oligopsoni, Undang-Undang tersebut memuat ketentuan paada pasal 13 sebagai berikut ini.

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian dan atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Disini secara jelas yang dilarang ialah ‘kehendak’ para pelaku oligopsoni yang mengakibatkan terjadinya monopoli, bukan keadaan oligopsoni itu sendiri. Dengan lain perkataan tentunya para pelaku oligopsoni yang tidak membuat perjanjian untuk mengarah pada keadaan monopoli, menurut Undang-Undang ini, tidak dilarang.

Trust.

Pasal 12 Undang-Undang ini mengatur mengenai trust, yang berbunyi sebagai berikut ini.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

‘Trust is an association or organization of persons or corporations having the intention and power, or the tendency, to create monopoly, control production, interfere with the free course of trade or transportation, or to fix and regulate the supply and the price of commodities.’

Kartel.

Dalam pasal 11 Undang-Undang tersebut, kartel dicantumkan dan diatur sebagai berikut ini.

‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.’

Bandingkan definisi kartel dalam Black’s Law Dictionery yang dituliskan sebagai berikut ini.

‘Cartel is a combination of producers of any product joined together to control its production, sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity.’ Persekongkolan.

Dalam pasal 22, 23 dan 24 Undang-Undang tersebut, diatur mengenai persengkongkolan sebagai berikut.

Pasal 22. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga

dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 23. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang

diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 24. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain

untuk menghambat produksi dan atau pemasarang barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Pemboikotan.

Mengenai hal ini, pasal 10 Undang-Undang tersebut mengatur dengan ketentuan sebagai berikut.

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut :

a. merugikan atau dapat diduga merugikan pelaku usaha lain; atau

b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.

Integrasi vertikal.

Mengenai hal ini, pasal 14 Undang-Undang di atas mengatur dengan ketentuan sebagai berikut.

‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.’

Pembagian Wilayah.

Pasal 9 Undang-Undang tersebut mengatur dan melarang pula pembagian wilayah pemasaran yang mengakibatkan suatu monopoli. Pasal 9 tersebut berbunyi sebagai berikut.

‘Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.’

Perjanjian Tertutup.

Pasal 15 Undang-Undang tersebut mengatur secara agak panjang mengenai larangan terhadap perjanjian tertutup sebagai berikut.

1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

3. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok :

a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau

b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Dengan ketetapan tersebut agaknya barter atau countertrade dilarang, baik dengan potongan harga maupun tidak.

Penetapan Harga.

Mengenai penetapan harga, ada beberapa praktek yang dilarang oleh Undang- Undang tersebut di atas, seperti tertulis pada pasal 5, 6, 7, dan 8.

Pasal 5 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :

a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Pasal 6 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.

Pasal 7 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah pasar ; yang pengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 8 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang telah diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Dalam dokumen Konsep Manajemen bisnis dunia Outsourcing (Halaman 116-123)