• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnisitas, terkait dengan persebaran etnik tertentu dalam suatu wilayah Dalam suatu wilayah kelompok etnik mendukung anggotanya untuk mampu

PENDEKATAN TEORITIS

3. Etnisitas, terkait dengan persebaran etnik tertentu dalam suatu wilayah Dalam suatu wilayah kelompok etnik mendukung anggotanya untuk mampu

menghadapi tekanan.

4. Keterampilan, terkait dengan keahlian yang dikuasai secara mendalam oleh seseorang untuk membuat dan melakukan aktivitas yang tidak semua orang mampu melakukannya. Penguasaan keterampilan oleh seseorang menjadi modal agar dapat dipercaya orang lain untuk mempekerjakannya, sehingga memberikan output penghasilan guna pemenuhan hidupnya.

Kekerabatan dalam hasil penelitian Marzali et al (1989) menjadi modal kepercayaan seseorang dalam mempekerjakan orang lain pada usaha yang dimiliki. Seringkali suatu usaha dikerjakan oleh anggota suatu keluarga yang berhubungan dekat. Hal ini ada kaitannya dengan tradisi saling membantu di antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga seperti bapak, ibu, mertua, kakak, adik, ipar, anak, keponakan dan menantu. Seseorang juga berusaha bukanlah semata-mata untuk keluarga sendiri, tetapi juga untuk orang banyak lainnya. Prioritas pilihan pertama ialah saudara-saudara dekat sendiri, kemudian orang seasal, lalu orang-orang lain dari etnik lain.

Kolektivitas menurut Milgram dan Toch dalam Horton dan Hunt (1999) merupakan suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif tidak terorganisasi dan hampir tidak bisa diduga sebelumnya. Proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya.

Etnisitas merupakan fenomena yang muncul dalam interaksi sosial. Etnisitas tergantung pada jenis hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dan kelompok, dengan lingkungan sosial mereka. Menurut Barth dalam

Suparlan (2003), kategorisasi kelompok etnis ditentukan oleh basisnya, identitas secara umum merupakan praduga oleh latar belakang serta asal usulnya. Dalam hal ini, kelompok etnis dilihat sebagai sebuah kategori sosial yang berfungsi sebagai kumpulan sistem acuan untuk mengidentifikasi etnis tertentu dalam hubungan-hubungan antar etnis.

Menurut Fukuyama (2007), keterampilan yang dimiliki seseorang menjadi modal kepercayaan orang lain untuk mempekerjakannya. Selain itu seseorang yang menguasai keterampilan tertentu mampu bertahan dari suatu tekanan ekonomi karena kemampuannya menciptakan produk yang berdaya jual. Fukuyama juga menekankan, bahwa keterampilan tidak dapat tergantikan oleh mesin produksi. Alasan tersebut menjadikan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap seseorang yang memiliki keterampilan.

Konsep trust menurut Fukuyama (2007) tersebut dapat diadopsi ke dalam konsep kerentanan sosial, yang berarti suatu kondisi seseorang atau masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tekanan. Jika konsep kerentanan sosial diantitesiskan, muncul konsep kemampuan yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat. Menurut Fukuyama (2007), seseorang atau masyarakat akan mampu menghadapi suatu tekanan bila nilai kepercayaan yang dianut dalam masyarakat tersebut besar (high-trust), sedangkan masyarakat dengan kepercayaan yang rendah (low-trust) cenderung tidak memiliki kemampuan menghadapi tekanan. Untuk kepentingan penelitian ini maka kerentanan sosial mengadopsi antitesis konsep trust oleh Fukuyama (2007) yang dapat diidentifikasikan ke dalam empat indikator, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas.

2.1.2 Kemiskinan di Perkotaan

Menurut Suparlan (1984), kemiskinan di perkotaan adalah masalah sosial yang laten dan kompleks yang berimplikasi pada bidang sosial dan kebudayaan. Implikasi tersebut tidak hanya melibatkan dan mewujudkan berbagai masalah

sosial pada kota dan orang-orang miskin di dalamnya saja, tetapi juga melibatkan masalah yang ada di pedesaan dan di kota-kota lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan Cohen (1972) dalam

Suparlan (1984), yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota tersebut semata. Masalah ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada perkotaan, seperti pada Jakarta. Sistem ekonomi, sistem politik dan administrasi yang terpusat di Jakarta menimbulkan daya tarik bagi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke sana, dengan harapan mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih layak. Motivasi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke kota bukan semata-mata tertarik dengan kelengkapan fasilitas yang ada di kota, tetapi juga dikarenakan adanya daya dorong dari pedesaan. Pedesaan sangat minim dengan lapangan pekerjaan (Hizbaron, 2008), sehingga menurut Suparlan (1984), hal itu menjadi daya dorong dari pedesaan sebagai akibat dari adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa. Warga desa tersebut terpaksa mencari tempat yang diduga memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik, yaitu di kota.

Daya tarik dan dorong terhadap masyarakat pedesaan dengan harapan mampu mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih baik daripada di pedesaan, kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Meskipun di perkotaan tersedia alternatif-alternatif pekerjaan yang lebih terbuka dari pada di pedesaan, kemiskinan di sana tetap ada dan atau bersifat laten. Menurut Suparlan (1984), kemiskinan tetap ada di perkotaan karena potensi-potensi yang ada seperti lingkungan fisik dan alam, sistem sosial dan kebudayaan tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat menghasilkan penghasilan yang cukup untuk sebagian besar masyarakat perkotaan. Kebudayaan pada masyarakat perkotaan tersebut tidak mampu mendorong dalam pemanfaatan sumber-sumber daya yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam peningkatan ekonomi dan sosial pada masyarakat perkotaan.

Kemiskinan di perkotaan sering dialami oleh masyarakat pedesaan yang bermigrasi ke perkotaan. Menurut Suparlan (1984), jumlah gelandangan yang berasal dari daerah pedesaan di lingkar DKI Jakarta dan juga dari luar Pulau Jawa

lebih besar dibandingkan dengan masyarakat asli sendiri. Gelandangan sering diartikan sebagai seseorang yang selalu berkeliaran atau tidak pernah memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Gelandangan sering distereotipkan sebagai orang yang pemalas, kotor dan tidak dapat dipercaya. Pandangan tersebut keliru, bahkan gelandangan itu adalah pekerja keras dalam upaya mencari nafkah untuk dapat menyambung hidupnya. Beberapa jenis gelandangan memiliki pekerjaan yang dapat dikatakan tetap, yaitu sebagai tukang loak, pedagang kaki lima, penyapu jalan, tukang becak, penjaga malam, pemulung, penjual makanan kecil dan tukang kerajinan tangan. Gelandangan sering dianggap tidak memiliki tempat kediaman yang tetap, namun ternyata memiliki tempat bermalam yang relatif tetap, meskipun di tempat-tempat tersembunyi dan kosong yang ada di tepi jalan dan gang, di depan pertokoan, gerbong kereta, gerobak penjual makan dan di kolong jembatan. Gelandangan lazimnya termasuk dalam golongan sosial terendah di desa asalnya, karena dalam aspek ekonomi mereka tergolong orang- orang yang paling miskin, tidak dihormati oleh anggota masyarakat lain, tidak memiliki kekuasaan politik lokal, dan tidak memiliki tanah.

Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), orang miskin di perkotaan bukan hanya gelandangan tetapi yang menjadi ukuran kemiskinan adalah penghasilannya yang rendah. Melalui argumentasi ini dimungkinkan orang miskin juga memiliki tempat tinggal yang berbeda dari gelandangan, yaitu berbentuk gubuk-gubuk liar. Gubuk-gubuk liar tersebut seringkali didirikan di atas tanah milik pemerintah tanpa izin, seperti di tanah-tanah kosong milik PT KAI (Kereta Api Indonesia), di sepanjang jalur kereta api, dan tanah sepanjang sungai. Jika suatu saat pemerintah membutuhkan tanah-tanah tersebut, maka para pemiliknya akan kehilangan rumah-rumah itu tanpa mendapatkan ganti rugi.

Hasil penelitian Cohen (1972) dalam Suparlan (1984) menunjukkan, bahwa golongan-golongan berpenghasilan rendah memiliki partisipasi yang tinggi pada gotong royong untuk memperbaiki keadaan mereka. Baginya gotong royong dipandang sebagai kegiatan untuk mempertahankan suatu taraf hidup tertentu. Gotong royong jarang dianggap sebagai salah satu cara untuk mendatangkan perbaikan-perbaikan besar. Selain itu golongan miskin tersebut cenderung untuk mengikuti instruksi-instruksi dari pada berpartisipasi dalam pengambilan

keputusan. Mereka juga mudah sekali mengikuti anggota masyarakat lain yang mempunyai status dan wewenang lebih tinggi tanpa berpikir lebih lanjut dan tanpa kritik. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan sikap tersebut, yaitu perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, pandangan bahwa hidup ini ditentukan oleh nasib, dan pandangan bahwa keputusan-keputusan hanya untuk orang-orang kaya dan terpelajar.

Hasil penelitian Lewis (1988) menunjukkan, bahwa kelompok miskin memiliki efektivitas partisipasi yang rendah dan integrasinya dalam lembaga- lembaga utama masyarakat. Hal tersebut diakibatkan oleh faktor langkanya sumber-sumber daya ekonomi, diskriminasi, rasa takut dan curiga, rendahnya pendapatan, minimnya harta milik berharga dan terbatasnya uang tunai. Semua kondisi tersebut tidak memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dengan efektif ke dalam sistem ekonomi terlebih, untuk urusan bantuan sosial. Pada individu yang miskin terdapat ciri-ciri utama yaitu kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan, rendah diri, perasaan tidak berguna dan pasrah. Akan tetapi mereka mempunyai sikap yang kritis terhadap peraturan yang mendasar yang didominasi oleh kaum yang kaya dan berkuasa, benci kepada polisi, tidak percaya kepada pemerintah dan bahkan bersikap sinis terhadap keagamaan. Kaum miskin ini mempunyai tingkat melek huruf dan pendidikan yang rendah, memiliki akses yang rendah pada rumah sakit dan bank. Mereka seringkali sulit memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan. Hal tersebut dikarenakan jumlah tanggungan keluarga yang sangat banyak. Bahkan dalam satu rumah ditempati hingga sembilan orang yang menjadikan rumah penuh dan sesak, sehingga mereka seringkali berhutang kepada tetangga atau kerabat yang kebetulan juga bertetangga dengannya. Strategi nafkah mereka ialah menjalankan pekerjaan sambilan dengan menangkap sejumlah peluang yang mampu menghasilkan uang.

Menurut Musyarofah (2006), terdapat sembilan strategi nafkah yang dilakukan oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Strategi-strategi nafkah tersebut antara lain:

1. Pola nafkah ganda, yaitu dalam satu keluarga terdapat dua atau lebih