• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerentanan Sosial Pemulung Asal Desa Di Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerentanan Sosial Pemulung Asal Desa Di Jakarta"

Copied!
316
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

LUKMAN HAKIM Social Vulnerability of Rural Originated Scavengers in Jakarta. Supervised by IVANOVICH AGUSTA

The research was conducted on urban poor, who ara rural originated scavengers in Grogol Selatan, Sub District of Kebayoran Lama, District of Jakarta Selatan, DKI Jakarta. This study has three objectives: 1) to know the life of the urban poor, 2) to measure influence of sosial vulnerability to urban poor’s standard of living, 3) to measure the level of social vulnerability in the urban poor. These three research objectives can be answered by quantitative research methods and supported by qualitative methods. The method is carried out by questionnaire, direct observation, indepth interviews and document serches. Quantitative approach is addressed to 35 respondents. Respondents obtained by incidental sampling. Respondents are urban poor who work as scavengers. Incidental sampling method was conducted in Grogol Selatan. Precisely in Stasiun Kebayoran, Pasar Bata Putih and under of Simprug’s Bridge. The results showed urban poor’s standard of living are very low level. The levels of urban poor’s social vulnerability is very high. In this study proved that kinship (objective), skills (objective), ethnicity (perception), collectivity (the perception of attitude) and collectivity (the perception of the total) have a negative influence on economic conditions. Besides kinship (perception), skills (perception), ethnicity (objective) and collectivity (objective) has a positive effect on economic conditions. In this study also proved that the kinship (objective), skills (objective), ethnicity (perception) and collectivity (the perception of attitude) negatively affect the accessibility of basic needs. Besides kinship (perception), skills (perception), collectivity (objective) and collectivity (the perception of the total) have a positive influence on the accessibility of basic needs. And this study also proves that the kinship (objective), skills (objective), skills (perception), ethnicity (perception) and collectivity (the perception of the total) has a positive effect on participation. Besides kinship (perception), ethnicity (objective), collectivity (objective) and collectivity (perception attitudes) have a negative influence on participation.

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), bahwa masalah kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin kota dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota semata. Di Jakarta, hal ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada kota Jakarta sendiri. Menurut Hizbaron (2008), DKI Jakarta sebagai pusat ekonomi, politik dan administratif menimbulkan daya tarik yang mendorong penduduk pedesaan bermigrasi ke sana. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Suparlan (1984), bahwa daya dorong dari pedesaan muncul karena adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa, sehingga warga desa terpaksa mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota. Hanya saja yang terjadi adalah Jakarta terlalu banyak orang dibandingkan dengan lowongan kerja dan sumber-sumber dayanya (Cohen, 1972 dalam

Suparlan, 1984).

(3)

bermatapencaharian sebagai pedagang kaki lima, penjual pakaian bekas, penyapu jalan, penjaga malam, pengemis, dan pemulung. Hasil dari pekerjaan itu biasanya hanya cukup untuk menjaga diri dan keluarganya tidak mati kelaparan. Menurut Lewis (1988), masyarakat miskin kota hidup pada tingkat untuk menyambung hidup belaka. Masyarakat miskin kota bekerja di hari ini untuk bisa makan hingga esok hari saja.

Dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan masyarakat miskin di kota mungkin dapat terpenuhi, namun dengan keterbatasan. Menurut Rebong et al (1979) dalam Suparlan (1984), air untuk memasak diambil dari sungai dengan memberikan kapur untuk mengendapkan kotorannya. Suparlan (1984) juga mengungkapkan, bahwa masyarakat miskin di Jakarta memenuhi kebutuhan papan mereka dengan mendirikan ‘gubuk setengah permanen’ (gubuk yang permanen, tetapi dengan bahan bangunan yang kebanyakan tidak bisa tahan lama), ‘gubuk setengah sementara’ (gubuk yang dibangun sederhana untuk tempat tinggal sementara) dan bahkan membuat tempat untuk bermalam dengan tumpukan kardus-kardus di depan pertokoan. Dalam memenuhi kebutuhan sandang, mereka seringkali menggunakan pakaian yang sama untuk sehari-hari, dalam keadaan kusut dan sobek, bahkan setengah telanjang. Mereka selalu menggunakan pakaian yang sama untuk melakukan beragam aktivitas dan seringkali pakaian tersebut tidak dicuci selama berhari-hari.

(4)

suku bangsa dan daerah asalnya, serta membentuk berbagai perkumpulan yang beranggotakan orang-orang yang berasal dari suku bangsa dan daerah asal yang sama. Menurut Lewis (1966) dalam Suparlan (1984), masyarakat yang berasal dari suatu golongan suku bangsa tertentu, atau golongan ras tertentu atau kelompok tertentu dan terikat oleh hubungan-hubungan kekerabatan, maka perasaan komunitas setempat hampir menyerupai komunitas di desanya. Hal ini memunculkan daya dukung dan pertolongan terhadap individu dalam menghadapi tekanan dan kondisi kerentanan sosial tidak terjadi kepadanya.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

Terpusatnya perekonomian, politik dan administrasi negara di DKI Jakarta ternyata telah menimbulkan masalah kemiskinan. Menurut Suparlan (1984), kemiskinan di perkotaan tetap ada atau laten karena potensi-potensi yang ada tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru, atau tidak dapat memberikan nafkah yang memadai bagi sebagian besar warganya.

Masalah kemiskinan di perkotaan menimbulkan keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehingga, menurut Lewis (1966) dalam Suparlan (1984), kondisi yang demikian merangsang munculnya cara hidup kelompok miskin perkotaan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dalam bertahan hidup. Kondisi kemiskinan yang dialami individu miskin di perkotaan diperparah dengan tidak adanya kerabat maupun kelompok sedaerah asal yang memiliki latar belakang yang sama dengannya. Pada saat hal ini terjadi dalam kondisi tertekan mereka sulit mendapatkan dukungan dan pertolongan yang dikenal sebagai kerentanan sosial.

Kerentanan sosial adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi suatu tekanan. Kerentanan sosial tersebut sering dialami kelompok miskin kota yang merupakan migran dari daerah pedesaan, sehingga perlu untuk dikaji tingkat kerentanan sosial yang mempengaruhi kehidupan kelompok miskin perkotaan. Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki pertanyaan utama, yaitu:

1. Bagaimanakah kehidupan kelompok miskin kota?

2. Sampai mana pengaruh tingkat kerentanan sosial terhadap taraf hidup kelompok miskin kota?

3. Sampai mana tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin kota?

1.3 Tujuan Penelitian

(6)

terhadap taraf hidup kelompok miskin kota dan mengukur tingkat kerentanan sosial pada kelompok miskin kota.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan untuk mahasiswa selaku pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu:

1. Bagi Akademisi

Penelitian ini memberikan contoh kongkret pengaruh tingkat kerentanan sosial terhadap kehidupan kelompok miskin perkotaan. Selain itu penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan terutama yang terkait dengan topik kerentanan sosial dan kemiskinan perkotaan

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat terkait dengan masalah kemiskinan perkotaan.

3. Bagi Pemerintah

(7)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kerentanan Sosial

Kerentanan sosial menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (Bakornas PB, 2007) dan menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan suatu penduduk terhadap keselamatan jiwanya apabila terjadi bahaya (Davidson, 1997 dalam Suganda, 2000). Menurut Soetomo (2010), gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan nilai, norma dan standar sosial yang berlaku. Hal yang demikian menjadi suatu masalah sosial, yang ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat dan dapat menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian fisik maupun nonfisik. Kerentanan sosial merupakan suatu kondisi yang dialami oleh seseorang atau masyarakat, sehingga mengakibatkan ketidakmampuan suatu masyarakat menghadapi suatu tekanan yang dapat mengancam kehidupan seseorang atau masyarakat tersebut.

Menurut Hizbaron (2008), kerentanan sosial dapat meningkat seiring dengan meningkatnya laju urbanisasi pada suatu daerah. Dalam kasus tersebut, kota yang menjadi pusat pembangunan infrastruktur, kawasan industri dan pusat perekonomian menjadi tujuan migrasi penduduk pedesaan, dengan harapan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Penduduk di kota besar sendiri terdiferensiasi berdasarkan daerah asal, agama, status, pendidikan dan pola-pola tingkah laku (Rahardjo, 1999). Penduduk yang heterogen seringkali menjadi penyebab terjadinya konflik antar-etnis, antar-agama, antar-golongan (Marzali etal, 1989), karena seperti diungkapkan Fukuyama (2007), kepercayaan sangat bergantung dengan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan yang berkembang pada individu dalam masyarakat. Berikut adalah penjelasan hubungan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan dalam menguatkan

(8)

1. Kekerabatan, terkait pada hubungan seseorang dengan seseorang yang berasal dari garis keturunan yang sama, terdapat juga dalam hubungan keluarga. Seseorang memiliki kepercayaan yang lebih besar kepada anak, adik, kakak, bapak, ibu yang memiliki hubungan kekerabatan dibandingkan dengan seseorang di luar kerabat.

2. Kolektivitas, terkait dengan nilai kebersamaan yang memiliki rasa solidaritas komunal yang tinggi dalam masyarakat, cenderung memiliki kekuatan ketika dihadapi suatu tekanan.

3. Etnisitas, terkait dengan persebaran etnik tertentu dalam suatu wilayah. Dalam suatu wilayah kelompok etnik mendukung anggotanya untuk mampu menghadapi tekanan.

4. Keterampilan, terkait dengan keahlian yang dikuasai secara mendalam oleh seseorang untuk membuat dan melakukan aktivitas yang tidak semua orang mampu melakukannya. Penguasaan keterampilan oleh seseorang menjadi modal agar dapat dipercaya orang lain untuk mempekerjakannya, sehingga memberikan output penghasilan guna pemenuhan hidupnya.

Kekerabatan dalam hasil penelitian Marzali et al (1989) menjadi modal kepercayaan seseorang dalam mempekerjakan orang lain pada usaha yang dimiliki. Seringkali suatu usaha dikerjakan oleh anggota suatu keluarga yang berhubungan dekat. Hal ini ada kaitannya dengan tradisi saling membantu di antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga seperti bapak, ibu, mertua, kakak, adik, ipar, anak, keponakan dan menantu. Seseorang juga berusaha bukanlah semata-mata untuk keluarga sendiri, tetapi juga untuk orang banyak lainnya. Prioritas pilihan pertama ialah saudara-saudara dekat sendiri, kemudian orang seasal, lalu orang-orang lain dari etnik lain.

(9)

Etnisitas merupakan fenomena yang muncul dalam interaksi sosial. Etnisitas tergantung pada jenis hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dan kelompok, dengan lingkungan sosial mereka. Menurut Barth dalam

Suparlan (2003), kategorisasi kelompok etnis ditentukan oleh basisnya, identitas secara umum merupakan praduga oleh latar belakang serta asal usulnya. Dalam hal ini, kelompok etnis dilihat sebagai sebuah kategori sosial yang berfungsi sebagai kumpulan sistem acuan untuk mengidentifikasi etnis tertentu dalam hubungan-hubungan antar etnis.

Menurut Fukuyama (2007), keterampilan yang dimiliki seseorang menjadi modal kepercayaan orang lain untuk mempekerjakannya. Selain itu seseorang yang menguasai keterampilan tertentu mampu bertahan dari suatu tekanan ekonomi karena kemampuannya menciptakan produk yang berdaya jual. Fukuyama juga menekankan, bahwa keterampilan tidak dapat tergantikan oleh mesin produksi. Alasan tersebut menjadikan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap seseorang yang memiliki keterampilan.

Konsep trust menurut Fukuyama (2007) tersebut dapat diadopsi ke dalam konsep kerentanan sosial, yang berarti suatu kondisi seseorang atau masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi tekanan. Jika konsep kerentanan sosial diantitesiskan, muncul konsep kemampuan yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat. Menurut Fukuyama (2007), seseorang atau masyarakat akan mampu menghadapi suatu tekanan bila nilai kepercayaan yang dianut dalam masyarakat tersebut besar (high-trust), sedangkan masyarakat dengan kepercayaan yang rendah (low-trust) cenderung tidak memiliki kemampuan menghadapi tekanan. Untuk kepentingan penelitian ini maka kerentanan sosial mengadopsi antitesis konsep trust oleh Fukuyama (2007) yang dapat diidentifikasikan ke dalam empat indikator, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas.

2.1.2 Kemiskinan di Perkotaan

(10)

sosial pada kota dan orang-orang miskin di dalamnya saja, tetapi juga melibatkan masalah yang ada di pedesaan dan di kota-kota lainnya, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan Cohen (1972) dalam

Suparlan (1984), yang menyatakan bahwa masalah kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota tersebut semata. Masalah ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada perkotaan, seperti pada Jakarta. Sistem ekonomi, sistem politik dan administrasi yang terpusat di Jakarta menimbulkan daya tarik bagi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke sana, dengan harapan mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih layak. Motivasi masyarakat pedesaan untuk bermigrasi ke kota bukan semata-mata tertarik dengan kelengkapan fasilitas yang ada di kota, tetapi juga dikarenakan adanya daya dorong dari pedesaan. Pedesaan sangat minim dengan lapangan pekerjaan (Hizbaron, 2008), sehingga menurut Suparlan (1984), hal itu menjadi daya dorong dari pedesaan sebagai akibat dari adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa. Warga desa tersebut terpaksa mencari tempat yang diduga memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik, yaitu di kota.

Daya tarik dan dorong terhadap masyarakat pedesaan dengan harapan mampu mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang lebih baik daripada di pedesaan, kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Meskipun di perkotaan tersedia alternatif-alternatif pekerjaan yang lebih terbuka dari pada di pedesaan, kemiskinan di sana tetap ada dan atau bersifat laten. Menurut Suparlan (1984), kemiskinan tetap ada di perkotaan karena potensi-potensi yang ada seperti lingkungan fisik dan alam, sistem sosial dan kebudayaan tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat menghasilkan penghasilan yang cukup untuk sebagian besar masyarakat perkotaan. Kebudayaan pada masyarakat perkotaan tersebut tidak mampu mendorong dalam pemanfaatan sumber-sumber daya yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam peningkatan ekonomi dan sosial pada masyarakat perkotaan.

(11)

lebih besar dibandingkan dengan masyarakat asli sendiri. Gelandangan sering diartikan sebagai seseorang yang selalu berkeliaran atau tidak pernah memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap. Gelandangan sering distereotipkan sebagai orang yang pemalas, kotor dan tidak dapat dipercaya. Pandangan tersebut keliru, bahkan gelandangan itu adalah pekerja keras dalam upaya mencari nafkah untuk dapat menyambung hidupnya. Beberapa jenis gelandangan memiliki pekerjaan yang dapat dikatakan tetap, yaitu sebagai tukang loak, pedagang kaki lima, penyapu jalan, tukang becak, penjaga malam, pemulung, penjual makanan kecil dan tukang kerajinan tangan. Gelandangan sering dianggap tidak memiliki tempat kediaman yang tetap, namun ternyata memiliki tempat bermalam yang relatif tetap, meskipun di tempat-tempat tersembunyi dan kosong yang ada di tepi jalan dan gang, di depan pertokoan, gerbong kereta, gerobak penjual makan dan di kolong jembatan. Gelandangan lazimnya termasuk dalam golongan sosial terendah di desa asalnya, karena dalam aspek ekonomi mereka tergolong orang-orang yang paling miskin, tidak dihormati oleh anggota masyarakat lain, tidak memiliki kekuasaan politik lokal, dan tidak memiliki tanah.

Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), orang miskin di perkotaan bukan hanya gelandangan tetapi yang menjadi ukuran kemiskinan adalah penghasilannya yang rendah. Melalui argumentasi ini dimungkinkan orang miskin juga memiliki tempat tinggal yang berbeda dari gelandangan, yaitu berbentuk gubuk-gubuk liar. Gubuk-gubuk liar tersebut seringkali didirikan di atas tanah milik pemerintah tanpa izin, seperti di tanah-tanah kosong milik PT KAI (Kereta Api Indonesia), di sepanjang jalur kereta api, dan tanah sepanjang sungai. Jika suatu saat pemerintah membutuhkan tanah-tanah tersebut, maka para pemiliknya akan kehilangan rumah-rumah itu tanpa mendapatkan ganti rugi.

(12)

keputusan. Mereka juga mudah sekali mengikuti anggota masyarakat lain yang mempunyai status dan wewenang lebih tinggi tanpa berpikir lebih lanjut dan tanpa kritik. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan sikap tersebut, yaitu perasaan tidak pasti dan tidak berdaya, pandangan bahwa hidup ini ditentukan oleh nasib, dan pandangan bahwa keputusan-keputusan hanya untuk orang-orang kaya dan terpelajar.

Hasil penelitian Lewis (1988) menunjukkan, bahwa kelompok miskin memiliki efektivitas partisipasi yang rendah dan integrasinya dalam lembaga-lembaga utama masyarakat. Hal tersebut diakibatkan oleh faktor langkanya sumber-sumber daya ekonomi, diskriminasi, rasa takut dan curiga, rendahnya pendapatan, minimnya harta milik berharga dan terbatasnya uang tunai. Semua kondisi tersebut tidak memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dengan efektif ke dalam sistem ekonomi terlebih, untuk urusan bantuan sosial. Pada individu yang miskin terdapat ciri-ciri utama yaitu kuatnya perasaan tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan, rendah diri, perasaan tidak berguna dan pasrah. Akan tetapi mereka mempunyai sikap yang kritis terhadap peraturan yang mendasar yang didominasi oleh kaum yang kaya dan berkuasa, benci kepada polisi, tidak percaya kepada pemerintah dan bahkan bersikap sinis terhadap keagamaan. Kaum miskin ini mempunyai tingkat melek huruf dan pendidikan yang rendah, memiliki akses yang rendah pada rumah sakit dan bank. Mereka seringkali sulit memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan. Hal tersebut dikarenakan jumlah tanggungan keluarga yang sangat banyak. Bahkan dalam satu rumah ditempati hingga sembilan orang yang menjadikan rumah penuh dan sesak, sehingga mereka seringkali berhutang kepada tetangga atau kerabat yang kebetulan juga bertetangga dengannya. Strategi nafkah mereka ialah menjalankan pekerjaan sambilan dengan menangkap sejumlah peluang yang mampu menghasilkan uang.

Menurut Musyarofah (2006), terdapat sembilan strategi nafkah yang dilakukan oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Strategi-strategi nafkah tersebut antara lain:

(13)

2. Pemanfaatan kelembagaan ekonomi, seperti dengan memanfaatkan kelembagaan arisan, sistem kredit dan bank keliling.

3. Pemanfaatan jaringan sosial, dapat berupa jejaring kemitraan bisnis atau berupa ikatan pertetanggaan dan ikatan persaudaraan. Ikatan ketetanggaan dan persaudaraan ini dimaksudkan untuk memberikan akses bagi rumah tangga miskin untuk mendapatkan bantuan ketika membutuhkan sesuatu.

4. Basis perdagangan, seperti berjualan nasi uduk untuk memperoleh pendapatan yang akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau dengan membuka warung kecil untuk membiayai sekolah anak-anaknya. 5. Mengganti jenis makanan, dilakukan ketika rumah tangga miskin berada

dalam kondisi sulit. Strategi ini bagian dari proses penekanan pengeluaran. Mereka mengganti menu makan menjadi makanan yang lebih sederhana. 6. Basis rumah kontrakan, dilakukan dengan memanfaatkan modal mereka

untuk membangun rumah kontrakan.

7. Basis peluang kerja di sektor industri, terkait dengan keberadaan sektor industri di lingkungan mereka yang menimbulkan strategi nafkah berupa peluang kerja di sektor industri.

8. Berhutang, dilakukan ketika kondisi rumah tangga komunitas miskin berada pada kondisi krisis dengan meminjam uang kepada tetangga yang berhubungan baik sehingga menimbulkan sikap saling percaya.

9. Mencairkan aset rumah tangga, dilakukan dengan menjual aset rumah tangga yang dimiliki seperti menjual barang elektronik. Strategi ini dilakukan ketika mereka dalam kondisi krisis.

(14)

1. Rendahnya pendapatan, terkait dengan jenis pekerjaan yang dijalani masyarakat kelurahan Lemahputra Kecamatan Sidoarjo pada tahun 2007, yaitu mayoritas bekerja pada sektor informal yang hanya berpenghasilan antara Rp 300.000,00 sampai Rp 550.000,00 per bulan atau kurang lebih sebesar sepuluh ribu rupiah per hari.

2. Pemenuhan kebutuhan pokok yang rendah, terkait dengan ketidakmampuan komunitas miskin kota untuk memenuhi pangannya dengan baik. Mayoritas mereka hanya mampu makan dua kali per hari bahkan terkadang orang tua harus merelakan jatah makan mereka untuk anaknya. Mereka hanya mampu membeli pakaian satu tahun sekali dengan menggunakan kredit. Bahkan rumah mereka biasanya terbuat dari bambu yang hanya dibatasi oleh sekat dan menggunakan lantai terbuat dari tanah.

3. Akses dalam pendidikan, kesehatan dan permodalan yang rendah, dapat dilihat melalui rendahnya kemampuan komunitas miskin dalam menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari SMP, rendahnya akses kesehatan karena mahalnya biaya berobat ke lembaga kesehatan.

4. Partisipasi yang rendah dalam institusi sosial, timbul karena orang miskin cenderung menutup diri terhadap orang lain dan cenderung tidak berminat ikut dalam kegiatan sosial. Hal tersebut dilakukan karena merasa orang lain lebih baik dan lebih pantas untuk melakukan kegiatan sosial dan mereka takut kalau nantinya mereka mengeluarkan uang untuk kegiatan sosial tersebut.

(15)

sosial. Hal ini terjadi karena persamaan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Hasil penelitian Marzali et al (1989) mengungkapkan, bahwa sesama warga dengan kondisi ekonomi yang rendah memiliki partisipasi yang baik dalam berbagai aktivitas seperti siskamling dan kerja bakti dibandingkan dengan warga yang secara ekonomi mampu meskipun berasal dari etnik yang sama. Untuk kepentingan penelitian ini maka kehidupan komunitas miskin kota dapat diidentifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu kondisi ekonomi, aksesibilitas kebutuhan dasar dan partisipasi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Masyarakat pedesaan, karena desakan ekonomi berupa rendahnya lapangan kerja, bermigrasi ke kota dengan harapan mendapatkan taraf hidup dan pekerjaan yang lebih tinggi. Konsekuensinya, penduduk di kota terdiferensiasi berdasarkan atas daerah asal, agama, status, pendidikan dan pola-pola tingkah laku. Penduduk di daerah kota menjadi heterogen dan mengakibatkan tingginya tingkat kerentanan sosial pada suatu kelompok miskin di kota.

Kerentanan sosial menurut Bakornas PB (2007) diartikan sebagai ketidakmampuan individu atau masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Kerentanan sosial tersebut diukur dari ketiadaan salah satu modal sosial yang dimiliki dalam setiap individu pada kelompok miskin di kota yaitu kepercayaan (trust). Trust ini merupakan modal sosial dalam suatu komunitas untuk dapat bertahan terhadap suatu tekanan. Trust teridentifikasi ke dalam empat indikator yaitu kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan (Fukuyama, 2007). Keempat indikator tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam faktor internal, yaitu modal kepercayaan yang berasal dari individu yaitu kekerabatan dan keterampilan. Kategori kedua adalah faktor eksternal dimana modal kepercayaan berasal dari luar individu seperti kolektivitas dan etnisitas.

(16)

tetapi juga melibatkan masalah-masalah sosial yang ada di pedesaan. Kondisi ekonomi kelompok miskin perkotaan dapat diukur melalui tingkat pendapatan, tanggungan keluarga, dan pemenuhan kebutuhan pokok. Aksesibilitas kebutuhan dasar kelompok miskin perkotaan dapat diukur pada pendidikan, kesehatan dan modal. Partisipasi kelompok miskin kota dapat diukur pada kehadiran, sumbangsih pemikiran, kritik dan saran dalam pertemuan yang mereka ikuti. Ketiga kategori tersebut merupakan wujud dari adaptasi terhadap kondisi kemiskinan yang dihadapi, dan juga menggambarkan kondisi kemiskinan yang dialami kelompok miskin perkotaan itu sendiri. Menurut Suparlan (1984), kondisi kelompok miskin perkotaan dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya diperparah oleh tidak adanya keluarga dan kerabat di kota, sehingga mereka sulit untuk memperoleh bantuan.

(17)

Kerentanan Sosial

Kondisi Ekonomi 1. Pendapatan 2. Tanggungan 3. Pemenuhan kebutuhan pokok Aksesibilitas Kebutuhan Dasar 1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Modal Faktor Internal Kekerabatan 1. Hubungan dengan

generasi orang tua 2, Hubungan dengan

generasi setara 3. Hubungan dengan

generasi anak Keterampilan 1. Kemampuan

komunikasi 2. Teknis

Faktor Eksternal

Etnisitas 1. Bahasa 2. Asal daerah 3. Perilaku Kolektivitas 1. Sikap terhadap

kepentingan bersama

2. Perilaku terhadap kepentingan bersama

Taraf Hidup Kelompok

Miskin Kota

Keterangan:

= mempengaruhi = ruang lingkup

Gambar 1 Kerangka Analisis Pengaruh Tingkat Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Partisipasi

1. Kehadiran 2. Sumbangsih

(18)

2.3Hipotesis Uji

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis uji, yaitu; Kerentanan sosial berpengaruh terhadap taraf hidup kelompok miskin kota. Hipotesis ini dapat didetilkan sebagai berikut:

1. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap kondisi ekonomi orang miskin dalam kelompoknya.

2. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar orang miskin dalam kelompoknya. 3. Kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas berpengaruh

terhadap partisipasi orang miskin dalam kelompoknya.

2.4Definisi Operasional

A. Kerentanan sosial, adalah kondisi individu yang mengakibatkan ketidakmampuan menghadapi suatu tekanan. Variabel yang diteliti antara lain: A.1 Faktor Internal adalah faktor yang berasal dari dalam individu.

A.1.1 Kekerabatan

a.Hubungan generasi orang tua adalah sebaik apakah hubungan responden kepada ayah, ibu, paman, bibi dan mertua. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2

Tidak Baik 1 1

b.Hubungan generasi setara adalah sebaik apakah hubungan responden kepada kakak, adik, sepupu dan ipar. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2

(19)

c.Hubungan generasi anak adalah sebaik apakah hubungan responden kepada anak, menantu dan keponakan. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Baik 0 5

Baik 0,15 4

Cukup Baik 0,5 3

Kurang Baik 0,85 2

Tidak Baik 1 1

Penilaian terhadap kekerabatan yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari hubungan responden dengan generasi orang tua, setara dan bawah. Kekerabatan dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,45 Tinggi 0,45 ≤ X < 1,5

Cukup 1,5

Rendah 1,5 < X ≤ 2,55 Sangat Rendah > 2,55

A.1.2 Keterampilan

a.Kemampuan komunikasi adalah seberapa besar kemampuan komunikasi responden dapat diterima oleh orang lain. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Mampu 0 5

Mampu 0,15 4

Cukup Mampu 0,5 3 Kurang Mampu 0,85 2

Tidak Mampu 1 1

(20)

b.Teknis adalah kemampuan responden dalam mengolah hasil memulung menjadi barang yang dapat dijual. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota

Sangat Mampu 0 5

Mampu 0,15 4

Cukup Mampu 0,5 3 Kurang Mampu 0,85 2

Tidak Mampu 1 1

Penilaian terhadap keterampilan yaitu dengan mengakumulasi indeks dari kemampuan berkomunikasi dan teknis responden. Keterampilan dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,3 Tinggi 0,3 ≤ X < 1

Cukup 1

Rendah 1 < X ≤ 1,7 Sangat Rendah > 1,7

Penilaian terhadap faktor internal yaitu dengan mengakumulasi jumlah indeks dari kekerabatan dan keterampilan. Faktor internal dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,75 Tinggi 0,75 ≤ X < 2,5

Cukup 2,5

(21)

A.2 Faktor Eksternal

Faktor yang berasal dari luar individu. A.2.1 Etnisitas

a.Bahasa adalah seberapa sering responden berkomunikasi dengan bahasa daerah asalnya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2

Tidak Pernah 1 1

b.Asal daerah adalah seberapa sering responden berkumpul dengan sedaerah dengannya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2

Tidak Pernah 1 1

c.Perilaku adalah seberapa besar pola perilaku yang menunjukkan kebersamaan responden dengan orang sesama daerahnya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota Sangat Sesuai 0 5

Sesuai 0,15 4

Cukup Sesuai 0,5 3 Kurang Sesuai 0,85 2

(22)

Penilaian terhadap etnisitas yaitu dengan mengakumulasi indeks dari bahasa, asal daerah dan perilaku responden. Etnisitas dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,45 Tinggi 0,45 ≤ X < 1,5

Cukup 1,5

Rendah 1,5 < X ≤ 2,55 Sangat Rendah > 2,55

A.2.2 Kolektivitas

a.Sikap terhadap kepentingan bersama adalah sebesar apa responden setuju dengan kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota Sangat Setuju 0 5

Setuju 0,15 4

Cukup Setuju 0,5 3 Kurang Setuju 0,85 2

Tidak Setuju 1 1

b.Perilaku terhadap kepentingan bersama adalah sesering apa responden terlibat dalam kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

Indeks Kerentanan Sosial

Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Taraf Hidup Kelompok Miskin Kota Sangat Sering 0 5

Sering 0,15 4

Cukup Sering 0,5 3

Jarang 0,85 2

(23)

Penilaian terhadap kolektivitas yaitu dengan mengakumulasi indeks dari sikap dan perilaku responden terhadap kegiatan kepentingan bersama. Kolektivitas dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,3 Tinggi 0,3 ≤ X < 1

Cukup 1

Rendah 1 < X ≤ 1,7 Sangat Rendah > 1,7

Penilaian terhadap faktor eksternal yaitu dengan mengakumulasi jumlah indeks dari etnisitas dan kolektivitas. Faktor eksternal dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Indeks Sangat Tinggi < 0,75 Tinggi 0,75 ≤ X < 2,5

Cukup 2,5

Rendah 2,5 < X ≤ 4,25 Sangat Rendah > 4,25

B. Taraf hidup kelompok miskin kota adalah kondisi atau keadaan yang dialami oleh kelompok miskin kota. Variabel yang diteliti antara lain:

B.1 Kondisi Ekonomi

a.Pendapatan adalah sejumlah uang yang didapat dari hasil bekerja selama satu hari oleh responden. Hal ini dapat diukur dengan indikator yang mengacu dari UMR kota Jakarta sebesar Rp 1.290.000 per bulan: 1. Sangat tinggi = 5 (> Rp 60.000)

2. Tinggi = 4 (Rp 43.000 < P ≤ Rp 60.000) 3. Cukup = 3 (Rp 43.000)

(24)

b.Tanggungan adalah jumlah orang yang dibiayai responden. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Tidak ada = 5 (0 orang) 2. Sedikit = 4 (1-2 orang) 3. Cukup = 3 (3 orang) 4. Banyak = 2 (4-5 orang) 5. Sangat banyak = 1 (> 5 orang)

c.Pemenuhan kebutuhan pokok adalah kemampuan responden untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5 2. Mampu = 4 3. Cukup = 3 4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

Penilaian terhadap kondisi ekonomi pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari pendapatan, tanggungan dan pemenuhan kebutuhan pokok. Kondisi ekonomi pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor Sangat Tinggi > 12

Tinggi 9 < X ≤ 12

Cukup 6 < X ≤ 9

Rendah 3 < X < 6

Sangat Rendah < 3

B.2 Aksesibilitas Kebutuhan Dasar

a.Pendidikan adalah kemampuan responden untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

(25)

b.Kesehatan adalah kemampuan responden untuk berobat ke lembaga kesehatan. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5 2. Mampu = 4 3. Cukup = 3 4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

c.Modal adalah responden untuk mendapatkan bantuan modal dari orang lain. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Sangat mampu = 5 2. Mampu = 4 3. Cukup = 3 4. Kurang mampu = 2 5. Tidak mampu = 1

Penilaian terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari pendidikan, kesehatan dan modal. Aksesibilitas kebutuhan dasar pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor Sangat Tinggi > 12

Tinggi 9 < X ≤ 12

Cukup 6 < X ≤ 9

Rendah 3 < X < 6

Sangat Rendah < 3

B.3 Partisipasi

a.Kehadiran adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

(26)

b.Sumbangsih pemikiran adalah keterlibatan responden dalam menyumbangkan pemikirannya dalam pengambilan keputusan kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Selalu terlibat = 5 2. Sering terlibat = 4 3. Kadang-kadang terlibat = 3 4. Jarang terlibat = 2 5. Tidak terlibat = 1

c.Kritik dan saran adalah aktivitas kritik, saran atau argumen responden pada kegiatan sosial. Hal ini dapat diukur dengan indikator:

1. Selalu terlibat = 5 2. Sering terlibat = 4 3. Kadang-kadang terlibat = 3 4. Jarang terlibat = 2 5. Tidak terlibat = 1

Penilaian terhadap partisipasi pada taraf hidup kelompok miskin kota yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari kehadiran, sumbangsih pemikiran, kritik dan saran. Partisipasi pada taraf hidup kelompok miskin kota dapat dikategorikan menjadi:

Kategori Akumulasi Skor Sangat Tinggi > 12

Tinggi 9 < X ≤ 12

Cukup 6 < X ≤ 9

Rendah 3 < X < 6

Sangat Rendah < 3

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kelurahan Grogol Selatan merupakan salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Wilayah administrasi Kelurahan Grogol Selatan sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Gunung di Kecamatan Kebayoran Baru. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kebayoran Lama Selatan. Sebelah barat berbatasan dengan Kali Pesanggrahan di Kelurahan Ulujami dan sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Grogol Utara. Kelurahan ini memiliki luas wilayah sebesar 2, 85 Km per segi. Kelurahan Grogol Selatan terdiri dari 5.042 keluarga yang tersebar di 114 Rukun Tetangga (RT) dan sepuluh Rukun Warga (RW).

(28)

Guntur, Jalan Kebayoran Baru, Jalan Terusan Hang Lekir I, II, III, IV, V, VI; Jalan Terusan Sinabung, Jalan Simprug Permata, Jalan Simprug Golf I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, XIV, XV, XVII

Penelitian mengenai kerentanan sosial pemulung asal desa di Jakarta diawali dengan pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus 2011. Pengumpulan data primer dilakukan selama dua minggu pada Bulan Agustus 2011. Dalam kurun waktu tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan dari beberapa sumber kemudian diakhiri dengan penyusunan laporan akhir skripsi dan sidang penelitian yang dilakukan pada Bulan September hingga November 2011.

3.2 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari studi literatur guna mendapatkan data dan informasi yang relevan mengenai penelitian ini. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi penelitian. Lokasi penelitian tersebut dilakukan wawancara mendalam kepada informan dan responden yang mengacu kepada panduan pertanyaan dan kuesioner.

Kuesioner ditanyakan kepada anggota dari kelompok pemulung. Dimana responden didapatkan secara accidental sampling yaitu mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data. Dimana pemulung yang dijadikan responden harus memenuhi persyaratan, yaitu berasal dari daerah pedesaan dan responden yang satu dan yang lainnya tidak dalam satu keluarga. Jumlah responden yang didapatkan dalam penelitian ini sebanyak 35 orang.

3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(29)

Faktor Internal = KR + KT

Keterangan:

KR : Kekerabatan KT : Keterampilan

Faktor Eksternal = ET + KL

Keterangan: ET : Etnisitas KL : Kolektivitas

Kerentanan Sosial = KR + KT + ET + KL

Keterangan:

KR : Kekerabatan ET : Etnisitas KT : Keterampilan KL : Kolektivitas

Data kuantitatif diperoleh dengan menggunakan Indeks Komposit untuk melihat pengaruh kerentanan sosial berdasarkan faktor internal dan faktor eksternal yang dimiliki oleh responden. Adapun rumus yang digunakan sebagai berikut:

(30)

BAB IV

KARAKTERISTIK RESPONDEN

4.1 Jenis Kelamin Responden

Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu laki-laki dan perempuan. Responden yang didapatkan terdiri dari 77 per sen laki-laki dan 27 per sen perempuan seperti tampak pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Jenis Kelamin Jumlah %

Laki-laki 27 77

Perempuan 8 23

Total 35 100

4.2 Agama yang Dianut Responden

Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan agama yang dianut. Agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Hasil penggolongan berdasarkan agama yang dianut adalah 100 per sen responden beragama Islam.

4.3 Status Pernikahan Responden

Responden dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan status pernikahannya. Status pernikahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah belum menikah, menikah, duda dan janda.

Tabel 2 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Pernikahan Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Status Pernikahan Jumlah %

Belum Menikah 5 14

Menikah 28 80

Janda 2 6

(31)

Hasil penggolongan responden berdasarkan status pernikahan adalah 80 per sen responden berstatus menikah, 14 per sen berstatus belum menikah dan enam per sen responden berstatus janda seperti tampak pada Tabel 2.

4.4 Tempat Biasa Tidur Responden

Responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan tempat biasa untuk tidurnya. Pengelompokkan tempat biasa tidur responden adalah pepohonan pinggir rel Pasar Bata Putih, Stasiun Kebayoran, rel non-aktif Stasiun Kebayoran, kolong Jembatan Simprug, trotoar dan rumah kontrakan.

Tabel 3 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tempat Biasa Tidur Tahun 2011

Tempat Biasa Tidur Jumlah %

Pepohonan Pinggir Rel Pasar Bata

Putih 10 29

Stasiun Kebayoran 10 29

Rel Non-aktif Stasiun Kebayoran 6 17

Kolong Jembatan Simprug 5 14

Trotoar 3 8

Rumah Kontrakan 1 3

Total 35 100

Hasil penggolongan responden berdasarkan tempat biasa tidur adalah 29 per sen responden biasa tidur di pepohonan pinggir rel Pasar Bata Putih, 14 per sen responden biasa tidur di kolong jembatan Simprug, 29 per sen responden biasa tidur di Stasiun Kebayoran, 17 per sen biasa tidur di rel non-aktif Stasiun Kebayoran, delapan per sen responden biasa tidur di trotoar dan tiga per sen responden biasa tidur di rumah kontrakan seperti tampak pada Tabel 3.

4.5 Tingkat Pendidikan Responden

(32)

sekolah, 74 per sen responden hingga tingkat SD dan 12 per sen hingga tingkat SMP seperti tampak pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Tingkat Pendidikan Jumlah %

Tidak Sekolah 5 14

SD 26 74

SMP 4 12

Total 35 100

4.6 Status Tempat Tinggal Responden

Responden dalam penelitian ini dapat dikelompokkan berdasarkan status tempat tinggalnya. Status tempat tinggal yang dimaksud adalah bebas sewa, kontrakan, milik sendiri, sewa orang tua/anak/saudara, dan sewa kepada Satpol PP.

Hasil pengelompokkan responden berdasarkan status tempat tinggal adalah 69 per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus bebas sewa, 20 per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus kontrak dan sebelas per sen responden memiliki tempat tinggal berstatus sewa kepada Satpol PP seperti tampak pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Status Tempat Tinggal, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Status Tempat Tinggal Jumlah %

Bebas Sewa 24 69

Kontrakan 7 20

Sewa Kepada Satpol PP 4 11

Total 35 100

4.7 Asal Daerah, Etnis dan Tahun ke Jakarta Responden

(33)

berasal dari kabupaten yang sama yaitu Kabupaten Tegal, Pandeglang dan Brebes. Data responden berdasarkan asal daerah lebih jelas tampak pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Asal Kabupaten, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Kabupaten Jumlah %

Lebak 4 11

Tegal 3 9

Pandeglang 3 9

Brebes 3 9

Pemalang 2 6

Garut 2 6

Kebumen 2 6

Lampung 2 6

Bogor 2 6

Sukoharjo 1 3

Yogyakarta 1 3

Jepara 1 3

4L 1 3

Kediri 1 3

Grobogan 1 3

Demak 1 3

Batang 1 3

Pasawaran 1 3

Solo 1 3

Subang 1 3

Pringsewu 1 3

[image:33.595.114.508.184.632.2]

Total 35 100

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Etnis yang Dimiliki, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan

Etnis Jumlah %

Jawa 26 74

Sunda 8 23

Palembang 1 3

Total 35 100

(34)

murupakan etnis Palembang. Data responden berdasarkan etnis yang dimiliki lebih jelas tampak pada Tabel 7.

Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tahun ke Jakarta, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Tahun ke Jakarta Jumlah %

0 – 5 tahun lalu 14 40

6 – 10 tahun lalu 5 14

11 – 15 tahun lalu 4 11

16 – 20 tahun lalu 3 9

21 – 25 tahun lalu 2 6

>25 tahun lalu 7 20

Total 35 100

[image:34.595.93.515.77.816.2]
(35)

BAB IX

KERENTANAN SOSIAL DAN TARAF HIDUP KELOMPOK

MISKIN KOTA

9.1 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Kondisi Ekonomi Kelompok Miskin Kota

Kerentanan sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas. Masing-masing variabel diakumulasikan berdasarkan data frekuensi (objektif) dan persepsi (subjektif). Maka variabel yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah kekerabatan (objektif), kekerabatan (persepsi), keterampilan (objektif), keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (objektif), kolektivitas (persepsi frekuensi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total). Variabel tersebut dapat diuji pengaruhnya dengan uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear dilakukan dengan memasukkan seluruh variabel independent sekaligus sebagai variabel berpengaruh terhadap variabel kondisi ekonomi. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95 per sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:

v15 = 10,574 - 0,028 v1 + 0,028 v2 – 0,008 v3 + 0,017 v4 + 0,049 v5 – 0,064 v6 + 0,071 v7 – 0,135 v9 – 0,029 v10

Keterangan:

v1 = Kekerabatan (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v2 = Kekerabatan (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v3 = Keterampilan (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v4 = Keterampilan (persepsi) v10 = Kolektivitas (persepsi total) v5 = Etnisitas (objektif) v15 = Kondisi Ekonomi

(36)

kondisi ekonomi sebesar 0,008. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,017. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,049. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,064. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan meningkatkan kondisi ekonomi sebesar 0,071. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,135. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan mengurangi kondisi ekonomi sebesar 0,029. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Coefficients pada Lampiran 2.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa B (-0,028) kekerabatan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,099) dan upper bound (0,042). Maka disimpulkan kekerabatan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Berkurangnya waktu bekerja berkonsekuensi pada berkurangnya pendapatan responden. Selain itu B (0,028) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

lower bound (-0,009) dan upper bound (0,065). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (-0,008) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

(37)

berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,032) dan

upper bound (0,065). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan sebagian persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,049) etnisitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

lower bound (-0,036) dan upper bound (0,134). Maka disimpulkan etnisitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan pergaulan responden dengan sesama asal daerah dapat meningkatkan rasa solidaritas. Sehingga dapat saling memberi makanan dan penghasilan. Meskipun hasil penelitian menunjukkan responden memiliki frekuensi yang sangat rendah pada komunikasi dengan bahasa daerah asal pada teman sekampung, dikarenakan sebagian besar responden tidak hidup berkelompok dengan sesama teman sekampung. Terlebih responden kesulitan untuk mendapatkan teman yang sekampung di kawasan penelitian dilakukan. Selanjutnya B (-0,064) etnisitas (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,154) dan upper bound (0,026). Maka disimpulkan etnisitas (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang merasa tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung karena pada umumnya responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai etnis. Sebagian besar responden merasa sulit untuk menemui teman sekampung di Jakarta. Terlebih untuk menemuinya di kampung halaman.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,071) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

(38)

B (-0,135) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,362) dan upper bound (0,091). Selain itu B (-0,029) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,140) dan upper bound (0,083) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang kesulitan ekonomi. Namun dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang.

Hasil uji Regresi Linear dengan selang kepercayaan sebesar 95 per sen menunjukkan kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak memiliki pengaruh terhadap kondisi ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2 bahwa B kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak berada dalam selang kepercayaan 95 per sen. Tidak berpengaruhnya kolektivitas (persepsi frekuensi) terhadap kondisi ekonomi dikarenakan sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap frekunsi kolektivitas yang relatif seragam.

9.2 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Aksesibilitas Kebutuhan Dasar Kelompok Miskin Kota

(39)

sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:

v25 = 57,049 - 0,680 v1 + 0,250 v2 - 0,315 v3 + 1,115 v4 + 0,870 v5 - 0,434 v6 + 1,464 v7 - 0,850 v9 + 0,690 v10

Keterangan:

v1 = Kekerabatan (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v2 = Kekerabatan (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v3 = Keterampilan (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v4 = Keterampilan (persepsi) v10 = Kolektivitas (persepsi total) v5 = Etnisitas (objektif) V25 = Aksesibilitas kebutuhan dasar

Berdasarkan fungsi di atas dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (objektif) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,680. Selain itu dapat diketahui bahwa setiap kenaikan satu nilai pada kekerabatan (persepsi) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,250. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (objektif) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,315. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 1,115. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,870. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,434. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 1,464. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,850. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan meningkatkan aksesibilitas kebutuhan dasar sebesar 0,690. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel

Coefficients pada Lampiran 2.

(40)

tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Terlebih komunikasi dan silaturahmi relatif sulit dilakukan oleh responden karena sebagian besar kerabat responden berada di kampung halaman. Sebagian besar responden tidak mengandalkan kerabatnya untuk hidup lebih baik di Jakarta seperti dengan meminta pinjaman modal. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya kerabat di Jakarta. Selain itu B (0,250) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,369) dan upper bound (0,869). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (-0,315) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

lower bound (-1,340) dan upper bound (0,710). Maka disimpulkan keterampilan (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan keterampilan yang dibutuhkan bagi pemulung tidaklah sulit dan keterampilan seperti memilah sampah organik dan anorganik relatif dilakukan setiap hari oleh sebagian besar responden. Selain itu keterampilan khusus seperti memperbaiki barang yang rusak sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi jarang dilakukan responden. Selanjutnya B (1,115) keterampilan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (0,295) dan upper bound (1,935). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya. Sehingga kemampuan berbahasa responden mampu meningkatkan kepercayaan orang lain untuk memberikan pinjaman modal.

(41)

lower bound (-0,556) dan upper bound (2,296). Maka disimpulkan etnisitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan pergaulan responden dengan sesama etnis dapat meningkatkan rasa solidaritas. Sehingga dapat saling memberi pinjaman modal. Selanjutnya B (-0,434) etnisitas (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,948) dan upper bound

(1,080). Maka disimpulkan etnisitas (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang merasa tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa daerah asal dengan teman sekampung karena pada umumnya responden hidup berkelompok yang terdiri dari berbagai etnis. Sebagian besar responden merasa sulit untuk menemui teman sekampung di Jakarta. Terlebih untuk menemuinya di kampung halaman.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (1,464) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

lower bound (-1,761) dan upper bound (4,689). Maka disimpulkan kolektivitas (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan rasa solidaritas dalam kelompok dapat meringankan kesulitan responden seperti memberikan pinjaman modal untuk kehidupan sehari-hari. Selanjutnya B (-0,850) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-4,658) dan upper bound (2,959). Selain itu B (0,690) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,191) dan upper bound (2,570) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh negatif terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang kesulitan ekonomi. Namun dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang.

(42)

aksesibilitas kebutuhan dasar. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2 bahwa B kolektivitas (persepsi frekuensi) tidak berada dalam selang kepercayaan 95 per sen. Tidak berpengaruhnya kolektivitas (persepsi frekuensi) terhadap aksesibilitas kebutuhan dasar dikarenakan sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap frekunsi kolektivitas yang relatif seragam.

9.3 Pengaruh Kerentanan Sosial terhadap Partisipasi Kelompok Miskin Kota

Kerentanan sosial dalam penelitian ini terdiri dari empat variabel, yaitu kekerabatan, keterampilan, etnisitas dan kolektivitas. Masing-masing variabel diakumulasikan berdasarkan data frekuensi (objektif) dan persepsi (subjektif). Maka variabel yang menjadi variabel independen dalam penelitian ini adalah kekerabatan (objektif), kekerabatan (persepsi), keterampilan (objektif), keterampilan (persepsi), etnisitas (objektif), etnisitas (persepsi), kolektivitas (objektif), kolektivitas (persepsi frekuensi), kolektivitas (persepsi sikap) dan kolektivitas (persepsi total). Variabel tersebut dapat diuji pengaruhnya dengan uji Regresi Linear. Uji Regresi Linear dilakukan dengan memasukkan seluruh variabel independent sekaligus sebagai variabel berpengaruh terhadap variabel partisipasi. Analisis dilakukan pada selang kepercayaan 95 per sen. Fungsi yang dihasilkan dari uji Regresi Linear tersebut adalah sebagai berikut:

V29 = 12,357 + 0,066 v1 - 0,070 v2 + 0,029 v3 + 0,018 v4 - 0,097 v5 + 0,185 v6 - 0,016 v7 - 0,790 v9 + 0,845 v10

Keterangan:

v1 = Kekerabatan (objektif) v6 = Etnisitas (persepsi) v2 = Kekerabatan (persepsi) v7 = Kolektivitas (objektif) v3 = Keterampilan (objektif) v9 = Kolektivitas (persepsi sikap) v4 = Keterampilan (persepsi) v10 = Kolektivitas (persepsi total) v5 = Etnisitas (objektif) V29 = Partisipasi

(43)

kekerabatan (persepsi) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,070. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (objektif) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,029. Setiap kenaikan satu nilai pada keterampilan (persepsi) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,018. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (objektif) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,097. Setiap kenaikan satu nilai pada etnisitas (persepsi) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,185. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (objektif) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,016. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi sikap) maka akan mengurangi partisipasi sebesar 0,790. Setiap kenaikan satu nilai pada kolektivitas (persepsi total) maka akan meningkatkan partisipasi sebesar 0,845. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel Coefficients pada Lampiran 2.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa B (0,066) kekerabatan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,102) dan upper bound (0,235). Maka disimpulkan kekerabatan (objektif) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan aktivitas komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat dapat mengurangi waktu responden untuk memulung. Terlebih komunikasi dan silaturahmi relatif sulit dilakukan oleh responden karena sebagian besar kerabat responden berada di kampung halaman. Selain itu partisipasi pemulung sangat rendah karena kehidupannya yang menggelandang. Sehingga terlihat bahwa semakin rendah kekerabatan pemulung maka semakin rendah pula tingkat partisipasinya. Selain itu B (-0,070) kekerabatan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,157) dan upper bound (0,018). Maka disimpulkan kekerabatan (persepsi) memiliki pengaruh negatif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan persepsi responden yang menganggap berkomunikasi dan silaturahmi dengan kerabat sudah cukup jika hanya setiap setahun sekali. Komunikasi dan silaturahmi dilakukan pada saat lebaran dan hari raya lainnya.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (0,029) keterampilan (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

(44)

keterampilan yang dibutuhkan bagi pemulung tidaklah sulit dan keterampilan seperti memilah sampah organik dan anorganik relatif dilakukan setiap hari oleh sebagian besar responden. Selain itu keterampilan khusus seperti memperbaiki barang yang rusak sehingga dapat dijual dengan harga lebih tinggi jarang dilakukan responden. Kemudian dari segi keterampilan berkomunikasi pemulung dalam penguasaan bahasa indonesia, bahasa daerah asal dan bahasa daerah lain dapat menjadikan responden lebih partisipatif dalam kegiatan kemasyarakatan. Meski dalam kenyataannya kehidupan menggalandang sangat kecil kesempatannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Selanjutnya B (0,018) keterampilan (persepsi) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-0,097) dan upper bound (0,134). Maka disimpulkan keterampilan (persepsi) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar persepsi responden mampu berbahasa Indonesia, dan bahasa daerah lain. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan suatu konsekuensi yang sangat memungkinkan dikuasai karena hidup di Jakarta yang heterogen masyarakatnya. Sehingga kemampuan berbahasa responden mampu meningkatkan kepercayaan responden untuk berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (- 0,097) etnisitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

(45)

yang tinggi oleh responden menjadikan eksklusif dalam kelompoknya. Sehingga kehidupannya sangat terbatas pada kelompoknya dan keterlibatan atau partisipasi pada kegiatan kemasyarakatan sangat rendah.

Hasil uji Regresi Linear pada Lampiran 2 juga menunjukkan bahwa B (-0,016) kolektivitas (objektif) berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan

lower bound (-0,472) dan upper bound (0,440). Maka disimpulkan kolektivitas (objektif) memiliki pengaruh negatif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan pemulung hidup secara berkelompok dengan rasa solidaritas yang tinggi, hidup saling membentu dalam kelompoknya. Namun kelompok pemulung hidup tidak bergaul dengan masyarakat luas. Sehingga terlihat eksklusif dan keterlibatan kelompok miskin kota ini sangat rendah dalam kegiatan kemasyarakatan. Selanjutnya B (-0,790) kolektivitas (persepsi sikap) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (-1,329) dan upper bound (-0,252). Selain itu B (0,845) kolektivitas (persepsi total) juga berada pada selang kepercayaan 95 per sen dengan lower bound (0,579) dan upper bound

(1,111) Maka disimpulkan kolektivitas (persepsi sikap) memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi. Hal tersebut dikarenakan dominannya responden yang setuju terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja bakti, siskamling, menolong teman yang sesulitan ekonomi. Sehingga sikap terhadap kegiatan untuk kepentingan bersama yang terbentuk oleh responden memberikan pengaruh yang positif pada pembentukan perilaku responden dalam berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Meski dalam realitanya jarang sekali responden yang melakukan kegiatanan untuk kepentingan bersama terutama pada kerja bakti dan siskamling. Kegiatan yang demikian sangat sulit dilakukan oleh responden yang hidupnya menggelandang.

(46)

BAB V

FAKTOR INTERNAL KERENTANAN SOSIAL

5.1 Kekerabatan Pemulung

5.1.1 Hubungan dengan Generasi Orang Tua

Pada umumnya pemulung di Kota Jakarta berasal dari luar Kota Jakarta. Kata lainnya mereka bermigrasi dari kampung ke Jakarta untuk mencari nafkah. Mereka meninggalkan sanak saudara atau kerabat di kampung. Hal tersebut menjadikan hubungan pemulung dengan kerabat menjadi sedikit renggang karena frekuensi komunikasi dan silaturahmi dengan kerabat terbatas. Kerabat yang dimiliki pemulung digolongkan menjadi tiga, yaitu generasi orang tua, generasi setara dan generasi bawah.

Pemulung di Kota Jakarta umumnya memiliki frekuensi komunikasi yang rendah dengan generasi orang tua. Generasi orang tua yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang tua, mertua dan paman-bibi.

Tabel 9 Jumlah dan Persentase Hubungan dengan Generasi Orang Tua menurut Kekerabatan Responden, Kelurahan Grogol Selatan, Kec. Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 2011

Tingkat Kekerabatan

Generasi Orang Tua

Kategori

Sangat Rendah Sangat Tinggi Jumlah % Jumlah % Frekuensi

Komunikasi

Orang Tua 33 94 2 6

Mertua 35 100 0 0

Paman dan Bibi 35 100 0 0 Frekuensi

Silaturahmi

Orang Tua 34 97 1 3

Mertua 35 100 0 0

Paman dan Bibi 35 100 0 0

(47)
[image:47.595.121.436.231.405.2]

tinggi tidak ditemukan. Dominannya responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi yang sangat rendah dikarenakan sebagian besar orang tua responden berada di kampung halaman. Terlebih, sebagian besar responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi orang tua di kampung halaman dan beberapa orang tua responden sudah meninggal dunia.

Gambar 2 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Orang Tua dalam Enam Bulan Terakhir

Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan orang tua menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi responden dengan orang tua. Persentase persepsi tersebut adalah 63 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan orang tua, 26 per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan orang tua, delapan per sen responden mengaku sering berkomunikasi dengan orang tua dan tiga per sen responden mengaku sangat sering berkomunikasi dengan orang tua seperti tampak pada Gambar 2. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan orang tua dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan orang tua dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan orang tua dirasa sudah cukup. Dimana aktivitas komunikasi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.

Sangat Sering 1 3%

Sering 3 8%

Jarang 9 26% Tidak Pernah

(48)
[image:48.595.134.485.357.520.2]

Hasil penelitian pada Tabel 9 menunjukkan bahwa seratus per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan mertua. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar mertua responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi mertua di kampung halaman. Selain itu, beberapa responden belum dan sudah tidak memiliki mertua. Hubungan komunikasi responden dengan mertua terputus ketika mertua mereka telah meninggal dunia dan karena status perceraian. Sehingga tidak memungkinkan bagi responden untuk berkomunikasi dengan mertua mereka. Seperti yang dialami oleh dua responden yang menjanda, yaitu Ibu IL dan Ibu RS.

Gambar 3 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Mertua dalam Enam Bulan Terakhir

Keseluruhan responden yang memiliki tingkat frekuensi komunikasi dengan mertua yang sangat rendah merupakan data objektif. Namun jika responden mengungkapkan persepsi mereka terhadap frekuensi komunikasi dengan mertua yang mereka lakukan, ternyata menunjukan hasil persentase yang berbeda. Persentase persepsi tersebut adalah 66 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan mertua, delapan per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan mertua, enam per sen responden mengaku cukup berkomunikasi dengan mertua, 17 per sen responden mengaku sering

Sangat Sering 1 3%

Sering 6 17%

Cukup 2 6%

Jarang 3 8% Tidak Pernah

(49)

berkomunikasi dengan mertua dan tiga per sen responden mengaku sangat sering berkomunikasi dengan mertua seperti tampak pada Gambar 3. Perbedaan hasil antara persentase frekuensi responden berkomunikasi dengan mertua dan persentase persepsi responden terhadap frekuensi aktivitas komunikasi dengan mertua dikarenakan anggapan umum responden bahwa sekali setahun berkomunikasi dengan mertua dirasa sudah cukup. Aktivitas komunikasi dilakukan ketika sebagian besar responden pulang ke kampung halaman.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa seratus per sen responden memiliki frekuensi berkomunikasi yang sangat rendah dengan paman dan bibi seperti tampak pada Tabel 9. Adapun komunikasi responden dengan tingkat frekuensi yang rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi tidak ditemukan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar paman dan bibi responden berada di kampung halaman. Terlebih sebagian responden tidak memiliki alat komunikasi seperti telepon genggam sehingga tidak dapat menghubungi paman dan bibi di kampung halaman dan beberapa paman dan bibi responden sudah meninggal dunia.

Gambar 4 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Paman dan Bibi dalam Enam Bulan Terakhir

Persepsi responden terhadap frekuensi komunikasi dengan paman dan bibi menunjukan hasil yang berbeda dengan persentase frekuensi berkomunikasi responden dengan paman dan bibi. Persentase persepsi tersebut adalah 57 per sen responden mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan paman dan bibi, 31 per sen responden mengaku jarang berkomunikasi dengan paman dan bibi, enam per

Sering 2 6%

Cukup 2 6%

Jarang 11 31% Tidak Pernah

(50)

Gambar

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Etnis yang Dimiliki,
Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tahun ke Jakarta,
Gambar 2 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi Aktivitas Komunikasi dengan Orang Tua dalam Enam Bulan Terakhir
Gambar 3 Jumlah dan Persentase Persepsi Responden terhadap Frekuensi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulis memanjatkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih sayang, dan karunia-Nya, sehingga penulis diberikan kemampuan untuk dapat

Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan dari penggunaan alat peraga blok pecahan terhadap hasil belajar matematika siswa kelas III SDN 10 Mataram tahun

Uji hipotesis untuk menunjukkan adanya perbedaan peningkatan yang signifikan kortisol serum pada pasien kanker serviks stadium lanjut antara pasien yang diberikan

Konsultasi dengan aparat pembina industri kecil dan menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Banten Bp Dwijo Harsono menghasilkan penentuan lokasi/objek survey

Dengan berbagai alasan banyak negara menolak terhadap organisme transgenik yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai bahan makanan atau sandang organisme transgenik

Buatlah grafik hubungan antara jumlah stomata dengan laju transpirasinya, baik untuk permukaan atas maupun bawah daun.. Grafik ini untuk mengetahui sifat

2) Peserta didik bersama guru menyimpulkan konsep gerakan menendang dan menghentikan bola dengan menggunakan berbagai permukaan bagian kaki.. 3) Peserta didik menerima

Waktu tahan hidup adalah ketika individu dapat diikuti perkembangannya sampai in- dividu tersebut mati, sedangkan untuk in- dividu yang tidak dapat lagi diikuti