• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), bahwa masalah kemiskinan kota dan kedudukan orang miskin kota dalam masyarakat bukanlah masalah pemerintah kota semata. Di Jakarta, hal ini merupakan dilema pemerintah terhadap sistem perekonomian yang terpusat pada kota Jakarta sendiri. Menurut Hizbaron (2008), DKI Jakarta sebagai pusat ekonomi, politik dan administratif menimbulkan daya tarik yang mendorong penduduk pedesaan bermigrasi ke sana. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan Suparlan (1984), bahwa daya dorong dari pedesaan muncul karena adanya tekanan ekonomi dan rasa tidak aman bagi sebagian warga desa, sehingga warga desa terpaksa mencari tempat yang diduga dapat memberi kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota. Hanya saja yang terjadi adalah Jakarta terlalu banyak orang dibandingkan dengan lowongan kerja dan sumber-sumber dayanya (Cohen, 1972 dalam

Suparlan, 1984).

Kenyataan lain yang terjadi ialah, Jakarta sebagai pusat ekonomi, politik dan administratif justru menjadi pemicu munculnya masalah kemiskinan di perkotaan. Sebagaimana diungkapkan Suparlan (1984), walaupun harapan- harapan untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka di daerah perkotaan dari pada di daerah pedesaan, kemiskinan di daerah perkotaan tetap ada atau bersifat laten. Menurut Suparlan, hal ini dikarenakan potensi-potensi yang ada (lingkungan fisik dan alam, sistem sosial dan kebudayaan) tidak atau belum dapat dimanfaatkan guna mewujudkan harapan-harapan (nafkah yang cukup memadai bagi sebagian besar warganya). Kemiskinan di perkotaan Jakarta tersebut dapat digambarkan seperti yang diungkapkan oleh Cohen (1972) dalam Suparlan (1984), bahwa kebanyakan orang terpaksa mengambil jenis-jenis pekerjaan ‘kelas ketiga’ seperti sebagai tukang becak, pedagang kecil, calo, kuli, bahkan pelacur. Hal tersebut juga senada dengan pandangan Suparlan (1984), bahwa kemiskinan di perkotaan Jakarta diidentikkan dengan merebaknya kelompok-kelompok masyarakat yang

bermatapencaharian sebagai pedagang kaki lima, penjual pakaian bekas, penyapu jalan, penjaga malam, pengemis, dan pemulung. Hasil dari pekerjaan itu biasanya hanya cukup untuk menjaga diri dan keluarganya tidak mati kelaparan. Menurut Lewis (1988), masyarakat miskin kota hidup pada tingkat untuk menyambung hidup belaka. Masyarakat miskin kota bekerja di hari ini untuk bisa makan hingga esok hari saja.

Dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan masyarakat miskin di kota mungkin dapat terpenuhi, namun dengan keterbatasan. Menurut Rebong et al (1979) dalam Suparlan (1984), air untuk memasak diambil dari sungai dengan memberikan kapur untuk mengendapkan kotorannya. Suparlan (1984) juga mengungkapkan, bahwa masyarakat miskin di Jakarta memenuhi kebutuhan papan mereka dengan mendirikan ‘gubuk setengah permanen’ (gubuk yang permanen, tetapi dengan bahan bangunan yang kebanyakan tidak bisa tahan lama), ‘gubuk setengah sementara’ (gubuk yang dibangun sederhana untuk tempat tinggal sementara) dan bahkan membuat tempat untuk bermalam dengan tumpukan kardus-kardus di depan pertokoan. Dalam memenuhi kebutuhan sandang, mereka seringkali menggunakan pakaian yang sama untuk sehari-hari, dalam keadaan kusut dan sobek, bahkan setengah telanjang. Mereka selalu menggunakan pakaian yang sama untuk melakukan beragam aktivitas dan seringkali pakaian tersebut tidak dicuci selama berhari-hari.

Menurut Suparlan (1984), bahwa kondisi masyarakat miskin Jakarta dalam pemenuhan kebutuhan dasar diperparah dengan tidak adanya kerabat sehingga mereka sulit untuk memperoleh bantuan. Masyarakat miskin di Jakarta dengan demikian sangat rapuh terhadap berbagai tekanan. Kondisi yang demikian diungkapkan oleh Bakornas PB (2007) sebagai kerentanan sosial, yang diartikan sebagai ketidakmampuan individu atau masyarakat dalam menghadapi suatu tekanan. Ketika individu yang miskin di Jakarta memiliki kerabat, berkelompok dengan sesama daerah asal maka keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak lagi dijumpai. Hal tersebut menunjukkan kemampuan individu menghadapi suatu tekanan yang melalui daya dukung dari kerabat dan teman sedaerah asal. Seperti yang diungkapkan oleh Suparlan (1984), warga desa yang datang dan hidup di kota cenderung untuk tetap mempertahankan kebudayaan asal

suku bangsa dan daerah asalnya, serta membentuk berbagai perkumpulan yang beranggotakan orang-orang yang berasal dari suku bangsa dan daerah asal yang sama. Menurut Lewis (1966) dalam Suparlan (1984), masyarakat yang berasal dari suatu golongan suku bangsa tertentu, atau golongan ras tertentu atau kelompok tertentu dan terikat oleh hubungan-hubungan kekerabatan, maka perasaan komunitas setempat hampir menyerupai komunitas di desanya. Hal ini memunculkan daya dukung dan pertolongan terhadap individu dalam menghadapi tekanan dan kondisi kerentanan sosial tidak terjadi kepadanya.

Persamaan asal daerah dan memiliki kerabat di Jakarta menjadi modal yang kuat untuk dapat bertahan hidup dan menghadapi suatu tekanan bagi orang miskin. Hal tersebut juga diperkuat dengan ungkapan Fukuyama (2007) mengenai kepercayaan atau trust yang membahas tentang kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan seseorang sebagai modal untuk menjadikan seseorang tersebut mampu bertahan dalam suatu tekanan. Fukuyama (2007) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kedekatan dengan kerabatnya cenderung mampu bertahan menghadapi kondisi tekanan. Begitu pula kolektivitas yang tinggi dalam suatu komunitas dapat menjadikan anggota komunitas tersebut kuat terhadap tekanan. Persamaan etnis dalam suatu komunitas menjadi modal seseorang untuk dapat bertahan pada kondisi tekanan. Keterampilan yang dimiliki seseorang dalam mengerjakan suatu hal yang jarang dan tidak dapat dilakukan oleh orang lain dapat meningkatkan kepercayaan orang lain kepadanya sehingga pada akhirnya seseorang tersebut mendapat kepercayaan untuk dipekerjakan orang lain. Hal yang sebaliknya disampaikan Fukuyama (2007), di mana seseorang yang memiliki perbedaan latar belakang kekerabatan dan etnis dari orang lain akhirnya hanya memiliki tingkat kepercayaan yang rendah, dan dukungan orang lain sulit didapatkan ketika ia menghadapi tekanan. Dengan memperhatikan latar belakang di atas, terlihat bahwa isu kerentanan sosial sering kali muncul di perkotaan yang memiliki tantangan di bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan infrastruktur. Kerentanan sosial tersebut lebih sering dialami kelompok miskin kota.