• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fadilah alias Sugito

14 “Dikubur” Sampai Sebatas Leher

Bab 11-01 Tokoh-Tokoh Utama Peristiwa Talangsari 1 Anwar Warsidi sebagai Imam.

3. Fadilah alias Sugito

Fadilah alias Sugito bin Wiryopoerwito lahir pada tanggal 13 Desember 1959 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Ia didakwa oleh Jaksa Effendi Pane, SH telah memutarbalikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila. Merongrong kewibawaan pemerintah atau aparatur negara serta telah menyebarkan rasa permusuhan, kegelisahan dalam masyarakat. Dengan sebab itu ia dituntut hukuman mati.

Dalam vonisnya setebal 64 halaman yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum secara gamblang, menguraikan bahwa tindakan yang pernah dilakukan oleh Fadilah—baik fakta yang diperoleh selama di persidangan dari 12 orang saksi maupun keterangan yang diberikan secara langsung sebelum resmi menjadi anggota kelompok Warsidi dengan terlebih dahulu di-bai’at20 oleh Imam Warsidi—untuk memusuhi negara Republik Indonesia. Pem-bai’at-an ini sendiri amat penting, karena merupakan suatu ikatan janji setia para anggota kelompok tersebut untuk terus patuh dan menjalankan segala perintah sang Imam. Setelah menjadi anggota kelompok Warsidi, ia secara aktif mengikuti setiap pengajian yang dilangsungkan di Masjid Mujahidin di Cihideung. Serangkaian kegiatan itu merupakan manifestasi dan cita-cita anggota jama’ah untuk mendiri-kan Negara Islam yang berdasarkan Al Quran dan Hadist. Yang membe-ratkan hukuman Fadilah karena ia tidak menyesali perbuatannya, tidak mengakui Pancasila dan peraturan pemerintah. Selain itu, juga melaku-kan persiapan perang melawan pemerintah RI.

Mengenai keterlibatan Fadilah menurut Majelis Hakim, dialah yang memimpin “kelompok 12”21 yang menyerang kantor Koramil dan membakar pasar Way Jepara dalam rangka

membebaskan lima peronda malam anggota jama’ah Cihideung yang ditangkap 5 Februari 1989 di markas Koramil Way Jepara. Akan tetapi tugas ini gagal dilakukan karena kesiangan, kemudian dia membawa kelompoknya ke desa Sidorejo. Melalui Benny, Fadilah mendapat perintah lagi dari Imam Warsidi untuk mengacau Sidorejo dan Bandar Lampung. Dalam rangka melakukan pengacauan ini, anggota jama’ah di Sidorejo melakukan musyawarah di Mushola Al- Barokah22 milik Zamzuri. Musyawarah ini disepakati pembentukan kelompok aksi yang

kemudian dibagi dua: satu kelompok mengacau di Sidorejo sedangkan kelompok lainnya—yang di pimpin Riyanto—melakukan pengacauan di Bandar Lampung dengan melempar bom-bom molotov di markas Kodim 043 Garuda Hitam.

Terhadap putusan Majelis Hakim, Fadilah dengan tegas mengatakan “Saya hanya ta’at kepada hukum Allah. Soal hukuman yang dijatuhkan hakim, terserah”. Inilah sejatinya sikap seorang fundamentalis, begitu legowo menerima risiko apapun yang akan menimpa dirinya.

4. Marsudi

Marsudi alias Pak Su bin Martoperwiro mengakui kepada Majelis Hakim bahwa ia telah membacok Danramil Way Jepara, Mayor Inf Suti-man hingga tewas,23 sewaktu rombongan

Kasdim 0411 Lampung Tengah mengunjungi Desa Cihideung, Way Jepara, Lampung Tengah.24

Marsudi diancam dengan hukuman oleh pasal 110 (1) jo 107 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Tentang Marsudi, Soerjadi memiliki memori sebagai berikut:25

Marsudi adalah kakak kandung Warsidi yang berwatak sangat keras, pemberani dan nekat. Ia tidak peduli atau tidak ada rasa takut kepada siapapun. Siapapun umaro tidak ditakutinya, Ketua RT, Hansip dilawan. Tak ada seorangpun di Way Jepara yang berani berurusan dengannya. Yang ditakutinya hanya Allah SWT sahaja. Bahkan jago-jago manapun tidak ingin berharap berurusan dengannya. Sering pula terlihat Marsudi cekcok dan berkelahi dengan Warsidi, adiknya sendiri. Sebuah gambaran sosiologis keluarga kelas bawah Jawa di mana ketidakharmonisan memang sering terjadi antara adik dan kakak. Marsudi seringkali ditangkap oleh pihak polisi karena tindakan-tindakan tertentu yang merugikan banyak pihak dan ia dikenakan wajib lapor. Memang Marsudi mempunyai keunikan, hidup sendiri di tengah hutan tanpa tetangga. Kalau bicara dalam keadaan marah, selalu mengungkapkan kata “tak pateni”, jika ada golok ketika ia sedang marah, seseorang bisa ditebas oleh dia.26

Mungkin masyarakat sekitar menaruh dendam terhadap Marsudi. Kepribadian unik dan ganjil Marsudi ini merupakan sikap eksklusif dan memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan karakter umum jamaah Warsidi lainnya. Shalat selalu disertai dengan menari-nari dan berlari- lari27 (diduga ia mempunyai kepercayaan tersendiri, yaitu aliran Lelampah). Kepribadiannya yang

nekat menjadikannya sebagai seorang yang tujuan hidupnya mencari mati. Tak ada seorangpun di Way Jepara yang berani berurusan dengannya. Ia tidak peduli atau tidak ada rasa takut kepada siapapun. Kapten Sutiman sendiri ditebas dengan memakai golok oleh Marsudi. Hubungan dengan warga di sekeliling desa Cihideung pun berjalan kurang harmonis karena beberapa sikap yang tidak berkenan dari Marsudi terhadap penduduk desa sekitarnya. Ada tiga desa yang mengelilingi lokasi jama’ah Warsidi. Konflik dengan penduduk desa pernah ada, yaitu dulu

pernah jama’ah Warsidi mendatangi penduduk di daerah Amir Puspamega. Peristiwa ini terjadi karena keinginan Marsudi mengambil bambu untuk membuat gubuk. Tapi dilarang oleh pihak warga desa tersebut.

Mengenai peristiwa pembacokan Kapten Inf. Sutiman, menurut Soerjadi, setelah mendengar penuturan yang disampaikan oleh Sugeng Yulianto, ia mendengar ada suara tembakan peringatan pada tanggal 6 Pebruari 1989. Tetapi santri Parjoko yang tertembak di tempat. Parjoko tertembak pahanya. Kapten Sutiman tidak menyangka ada seorang jama’ah yang kena tembak di pahanya. Kapten Sutiman yang sedang bengong dengan tembakan peringatan yang tak terduga itu, tiba-tiba terkena panah di kepala dan di dekat dadanya. Kapten Sutiman pun roboh seketika yang kemudian dikejar oleh Pak Marsudi dan membacoknya dengan badik.28 Menurut Riyanto yang

seruangan dengan Marsudi dalam tahanan, Marsudi trauma dengan Yulianto yang memfitnah Marsudi sebagai PKI. Tuduhan teman terkadang lebih menyakitkan ketimbang tuduhan resmi dari pemerintah. Fitnah —meskipun fitnah yang tidak menyangkut tentang pembunuhan— di mana- mana terasa lebih kejam dari pembunuhan itu sendiri. Ia tidak mau lagi mengungkapkan apa yang terjadi. Ia mengalami tekanan yang luar biasa selama berada di dalam penjara. “Stress terus di dalam sel, kalau sholat sambil lari-lari,” kata Soerjadi.

Dari penuturan Riyanto,29 Marsudi mempunyai keanehan tersendiri. Hidup sendiri di tengah

hutan tanpa tetangga. Banyak keanehan-keanehan pada diri Marsudi. Namun, oleh banyak orang, ia diyakini mampu mengobati orang gila. Pernah Marsudi berdiri di tengah-tengah tanah lapang, kemudian ia membuat gerakan tertentu yang membuat ia dihampiri dan dikelilingi beberapa ekor kerbau dan kemudian ia menggerakkan sesuatu dan kerbau itu kembali berpencar.30 Tak ada

orang yang ditakuti olehnya. Sehingga, semua orang tidak mau berurusan dengan dia. Jago-jago manapun tidak ada urusan dengan dia. Yang dia cari mati dulu, bukan hidup. Beberapa orang yang ingin mengesankan tentang dirinya, seperti Riyanto, hanya dengan sebuah adagium yang populer: “Biarlah yang tua dulu mati”. Di Nusakambangan pun tidak ada yang berani dengan Marsudi. Sewaktu dia hidup bertani, orang yang tinggi besar yang pernah nyepelekannya sebagai orang yang berbadan kecil. Tidak lama kemudian orang itu dibuat nyungsep KO tidak bangun- bangun sekali kena tempeleng oleh Marsudi di Nusakambangan. Semen-tara itu, suasana sedikit agak paradoks akan ditemukan jika sedang sadar, maka kita akan menemukan segala nasehatnya akan sangat bagus.

Marsudi ternyata, menurut Riyanto, sering berkelahi dengan saudara kandungnya, Warsidi. Ia, sebagaimana halnya dengan almarhum Warsidi, adalah juga pengikut Anwar, dan pernah ditangkap karena beberapa kasus-kasus politik sehingga ia dikenakan wajib lapor. Suryadi sendiri mengambil keputusan untuk pergi dari Cihideung gara-gara terlibat konflik dengan Marsudi. Pihak aparat sipil seperti RT, Hansip tidaklah segan-segan untuk dilawan olehnya.

5. Musdi.

Musdi yang pernah dihukum kurang lebih 7 tahun adalah anak asli daerah Sidorejo. Dia lahir pada tanggal 10 November 1980 yang ketika dilahirkan daerahnya masih hutan. Masa-masa pendidikannya dilalui di Cihideung, SD-nya di madrasah Muhammadiyah Al Barokah dan menamatkan SMP-nya di Tsanawiyah. Pada waktu kejadian dia baru berumur 15 tahun dan masih duduk di kelas tiga Tsanawiyah.31 Sebelum peristiwa berdarah, dia pernah ditempa aqidah dan

pengetahuan agama lainnya dalam kelompok pengajian Warsidi selama dua bulan. Yang pertama membinanya adalah Kardi, kemudian Herdiawan, dr. Murdia-wan, Mursyid, Abdullah Abdurrahman, dan terakhir Ir. Usman.32 Karena rutinitasnya di pengajian itu pada akhirnya

sekolah di Tsanawiyahnya jadi terbengkalai, selanjutnya dia dikeluarkan karena sering tidak masuk sekolah dan lebih sering mengikuti pengajian di Cihideung.

Sebelum tanggal 6 Februari 1989—ketika lima orang kelompok pengajian Anwar ditangkap Koramil—Musdi langsung dibawa ke Koramil. Tanpa proses apa-apa langsung saja dia digebuki oleh anggota Koramil, setelah itu dia dikirim ke Kodim Metro Bandar Lampung. Begitupun ketika berada di Kodim, dia mendapat perlakuan yang tidak wajar, yaitu disiksa tanpa diproses hukum terlebih dahulu. Mungkin, karena usianya yang masih sangat muda, maka akan sulit didelik dengan menggunakan KUHP, maka jalan satu-satunya disiksa tanpa proses hukum. Siksaan demi siksaan diterimanya, dari ujung kaki sampai ujung kepala dipukuli sampai babak belur tanpa rasa kemanusiaan sedikitpun, kemudian dimasukkan ke dalam sel yang luasnya hanya satu meter. Padahal, menurut pengakuannya sendiri, dirinya tidak tahu menahu terjadinya peristiwa Talangsari itu. Ia adalah korban tindakan oknum yang berusaha menunjukkan prestasi di hadapan pimpinan. Dan, setelah diketahui oleh Danrem 043 Gatam, ia dilepas.

Perlakuan serupa terus berlanjut ketika berada di ruang tahanan, sampai hendak wudlu pun dilarangnya. Tentu saja membuat dirinya tidak berdaya lagi menghadapi penyiksaan yang begitu kejam dan kejinya. Bahkan sudah berada di LP pun sama saja nasibnya, yaitu menerima hukuman-hukuman yang kelewat batas. Musdi dipaksa harus mengakui bahwa kelompok pengajian yang diikutinya itu sesat. Tuduhan aneh lainnya adalah tentang cara jamaah Warsidi melakukan shalat telanjang bulat. Pengakuan lainnya yang harus dilakukannya di bawah paksaaan militer adalah: jika anggota jamaah punya istri bisa digilir sesama jama’ah lainnya. Sesuatu yang tidak pernah ada ini harus diakuinya, walaupun Musdi sendiri mengetahuinya bahwa perbuatan terlarang seperti itu tidak pernah dilakukan dalam kelompok pengajian Warsidi.

Sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang setelah keluar dari penjara, Musdi pun merasakannya. Ketika orangtuanya menyuruh untuk menamatkan sekolahnya, dia tidak bisa melanjutkan studinya. Cemoohan dan ejekan yang selalu dilontarkan masyarakat ketika bertemu membuat dirinya tidak tahan juga. Siksaan psiko-sosial dari peristiwa Talangsari ini begitu dahsyatnya. Hari-hari selanjutnya menjadi kelam entah apa yang harus diperbuatnya. Belum lagi tugas apel tiap minggu yang mesti dijalankannya di kantor Koramil dan Korem. Karena letak kedua instansi itu yang amat jauh membuat dirinya semakin menderita. Protes yang diajukan kepada aparat pada akhirnya meringankan tugas apelnya. “Sekarang tidak jauh lagi, mas.”33

Dari cerita Musdi membuat diri kita mempunyai beberapa gambaran tentang kekejaman penguasa dan penderitaan rakyat yang tak berdosa. Fakta menunjukkan bahwa dalam operasi militer tersebut telah terjadi tindakan represif dan kekerasan militer yang tidak menghormati hak- hak rakyat di sekitar lokasi. Banyak rakyat yang menjadi korban tidak hanya rakyat yang ada dilokasi pengajian Warsidi tetapi juga rakyat yang ada di sekitar lokasi yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan kelompok pengajian Warsidi baik secara langsung ataupun tidak langsung.34

Bentuk represi dan kekerasan militer yang dialami rakyat korban berupa penangkapan dan penahanan—seperti Musdi yang dicurigai sebagai anggota pengajian tanpa proses hukum— intimidasi paska pem-bantaian dan stigmatisasi melalui penyebutan GPK Warsidi yang seolah- olah menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok pemberontak yang akan melakukan penggulingan terhadap pemerintahan dan akan membentuk negara sendiri.35