• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekelumit Kisah Getir Umat Islam Aceh

20 Sudah Jadi Korban, Keluarganyapun Ditipu

Bab 09-02 Sekelumit Kisah Getir Umat Islam Aceh

Berikut ini adalah beberapa kisah sejati kepedihan jiwa, fisik dan masa depan yang diderita oleh orang-orang Aceh selama DOM berjaya di Aceh. Dengan kejayaan dan kegemahripahan fasisme militer ini pulalah telah menghasilkan kesuraman wajah-wajah wanita Aceh yang tadinya cerah ceria. Dengan kedigdayaan ABRI jugalah telah mengakibatkan wajah-wajah wanita-wanita dan jejaka Aceh yang tadinya bersinar cemerlang kini pupus dan layu diterjang pukulan, tamparan dan injakan serta aksi tidak senonoh yang gagah perwira dari tentara Republik, tentara yang dulunya dielu-elukan dan didukung secara hebat oleh putra dan putri Aceh. Lihatlah bentuk- bentuk kegagahan dan keperwiraan mereka dalam rangkuman kisah singkat yang sangat memilukan ini:

1. Tak Boleh Tutup Aurat Saat Shalat

Sayed Abdullah SH (42), ayah delapan anak, yang tadinya polisi, kemudian beralih jadi kontraktor itu, diambil dari rumahnya pada bulan Ramadhan 1994 oleh dua oknum pasukan elite (Kopassus) yang bertugas di sana. Tanpa ba-bi-bu, langsung dimasukkan ke mobil Kijang terbuka, menuju posko keamanan di Kota Bakti, Pidie. Tanpa ditanya apa-apa Abdullah, warga Blok Sawah, Sigli, ditelanjangi dan dianiaya bergantian. Setelah itu—masih dalam keadaan telanjang bulat—dibawa naik mobil ke Tangse. Di Blang Dhot ini ada pos Kopassus. Ia disuruh berdiri di sana, juga tanpa busana. Ketika masuk waktu shalat, ia minta pakaian untuk menutup aurat, tapi tak diperkenankan. Sepuluh bulan ia disiksa berat, baru kemudian dilepas. Abdullah tak terima dituduh seolah-olah terlibat GPK. Ia sendiri justru pemberantas GPK. Bahkan, pernah menda-pat penghargaan dari Pangdam Iskandar Muda Aceh sewaktu dulu ber-tugas di kepolisian ikut dalam operasi menumpas Aceh Merdeka.

2. Diciduk di Masjid, Dibantai di Lapangan

Maddin Ismail (45), juga tewas secara tragis. Warga Pante Bayeun, Simpang Ulim, Aceh Timur ini menurut istrinya, Asni (40), diciduk dari masjid setempat pada pukul 10.00 WIB di tahun 1990. Ia dijemput ke masjid karena setelah dicari ke rumah, ia tak ada. Korban dibawa oleh sekitar 15 anggota berseragam loreng dengan truk. Bersama Maddin Ismail, juga ada beberapa warga yang kala itu diboyong untuk, katanya, diperiksa. Tapi, pada siang hari, Maddin Ismail dibawa ke lapangan sepak bola, lalu ditembak persis di bawah telinganya hingga tembus ke sebelah. Mayat ayah dari enam anak ini dibawa pulang oleh warga kampung pada petang hari, lalu dikebumikan.

3. Disiksa hingga Mata Kiri tak Berfungsi

Cerita sadis lainnya adalah apa yang dialami Ibrahim Sufi, 35 tahun. Imam meunasah di Biara Barat Tanah Jambo Aye, Aceh Utara ini diambil petugas sesudah shalat magrib dari meunasah (surau) setempat di tahun 1990. Kemudian, dibawa ke kantor Koramil setempat dan disiksa dengan cara dipukul dan diterjang. “Mata kiri saya sampai sekarang rusak setelah disiksa selama dua malam dua hari. Saya difitnah terlibat GPK. Padahal, kenyataannya tidak,” ujar Pak Imam yang langsung melapor ke Forum Peduli HAM. Menurutnya, meski dilepas ia sempat dikenakan wajib lapor setiap hari, kemudian seminggu sekali.

4. Diculik Serempak lalu Dibunuh Massal

Kasus kematian Teungku Usman Raden (imam meunasah setempat), Teungku Abdullah Husen (wiraswata), dan Abdurrahman Sarong (PNS di Dinas PU Sigli) berlangsung bersamaan. Ketiganya warga Desa Selatan Batee. Menurut laporan istrinya masing-masing, Aminah (40), Jariah (28), dan Usmawati (40), penculik suami mereka adalah seorang aparat yang cukup mereka kenal, berisial PK. Menurut para istri itu, pengambilan ketiga suami mereka itu berlangsung dalam suatu razia KTP (dikumpul-kan banyak orang) di sebuah lapangan pada tanggal 1 Juni 1991. “Suami saya punya KTP, tapi dibawa juga. Walaupun kami tahu siapa yang menculik, tapi kami tidak tahu ke mana mereka dibawa,” ungkap Jariah. Setelah tiga hari kemudian, seorang warga memberitahukan mereka bahwa mayat Usman, Abdullah, dan Abdurrahman yang mulai membu-suk ditemukan di pinggir bukit dekat waduk Lhokseumani, Batee, Pidie. Ketiga istri bersama warga lainnya segera ke sana. Di atas dada mayat diletakkan KTP masing-masing.

5. Santri Diculik, Lalu Dibantai

Dilaporkan oleh Haji A Jalil Abdullah (66), warga Meunasah Sukon Cubo, Bandar Baru bahwa anaknya Kamarullah (17), santri Darul Falah, Bandar Baru, Pidie, diculik bersama tiga temannya sesama santri ketika sedang belajar dan diskusi dengan gurunya di pesantren itu pada 1992. Tiba-tiba muncul sejumlah oknum aparat dengan sebuah mobil, tanpa ba-bi-bu (tanpa menjelaskan apa salah mereka), langsung mengambil keempat santri itu. Enam hari kemudian, mayat keempat santri itu ditemukan berserakan tercampak di Blang Usi, Pidie. Semua orang Aceh dianggap GPK sehingga tanpa penjelasan dan basa-basi langsung main tangkap dan main bunuh saja.

6. Da’i Disiksa 35 Hari, Kalau Berzikir, Mulut Disumbat

Meski usianya sudah uzur, namun Teungku Abdul Wahab Daud (61), guru mengaji dan penda’i/khatib di Masjid Baitul Mukmin, Lampoh Saka, Peukan Baro, Pidie, cukup kuat daya ingatnya. Tutur katanya lancar. Fisiknya pun sehat, tak kalah dengan yang muda. Namun, pada tubuh tuanya itu jelas kelihatan parut-parut bekas berbagai penyiksaan, terbanyak di punggung dan bagian kaki. Itulah “kenang-kenangan” DOM, katanya. Dan, kepedihan itu tak akan pernah ia lupakan.28 Abdul Wahab disiksa bukan lagi setengah mati. Tapi sudah tiga per empat (3/4) mati.

Ia mengaku pernah merasakan hidup dijajah Jepang. Orang Jepang, kalau dibilang taklok (takluk, menyerah), mereka langsung berhenti memukul. Yang sekarang ini tidak (penyiksaan DOM yang dia rasakan, maksudnya). Walaupun kita sudah minta-minta ampun, tetap terus disiksa. Abdul Wahab masih ingat, ia menjalani penyiksaan di Rumoh Geudong, Glumpang Tiga, selama 35 hari, dan baru kembali 5 Juni 1998. Pelakunya tak lain oknum Kopassus di Pos Sattis Bilie Aron bersama para TPO (tenaga pembantu operasi) alias cuak. Sebagian penyik-saan di masa Danpos Lettu Par, dan sebagian masa Lettu Sut alias Ar (yang sempat berdialog TPF DPR RI).

Abdul Wahab diambil di penginapannya di Kantor KUD Bahagia, Lampoih Saka, tanggal 30 April 1998 sekitar pukul 10.30 WIB, sepulang dari pengajian Majelis Taklim di Masjid setempat. Penculik terdiri dari Sas (wakil Danpos) dan seorang TPO, Is alias R, yang datang dengan mobil Taft Rocky. Tanpa basa-basi alias diberitahu salahnya apa, Abdul Wahab langsung dibawa ke

Rumoh Geudong. Begitu tiba, ia diperiksa oleh oknum bernama Prapat. “Untuk apa kamu ke

sini?!” tanya Pra, se-perti dikutip Abdul Wahab. “Saya tidak tahu,” jawabnya. Pra yang meme- gang rotan langsung menyabet pahanya. Tiba-tiba TPO yang bernama R ikut-ikutan bertanya. “Kamu yang melindungi Idris GPK itu di rumahmu kan?” Abdul Wahab menyangkal, dan mengatakan selama ini—karena kesibukannya—ia lebih sering menginap di KUD Bahagia ketimbang pulang ke rumahnya di Desa Keutapang, Peukan Baro. Kemungkinan karena jawaban

itu “tak memuaskan” para oknum, Abdul Wahab pun disiksa. Supaya para aparat yakin, ia minta disumpah atas nama Allah SWT setelah lebih dulu mengambil wudhu. Namun, anehnya, mereka tetap tak percaya. Itu sumpah palsu, kata oknum. Ia tetap dicap melindungi Idris yang telah pulang menyelamatkan diri dari maut.

7. Yang Disiksa Tak Henti-Henti Menyebut Nama Allah

Idris, warga Murong Cot, Sakti, yang dituduh GPK diculik tahun 1997. Sejak itu, keluarga Idris kerap mendapat bantuan beras atau uang dari Abdul Wahab yang ibarat bapak angkat mereka. Pada Januari 1998, menurut keterangan istrinya, Idris tiba-tiba pulang ke rumah dalam keadaan sakit dan luka. Rupanya ia bersama dua korban penyiksaan dari Pidie lainnya baru dilempar ke jurang Cot Panglima (perbatasan Aceh Tengah dan Utara). Namun hanya Idris yang tak sampai ke bawah, melainkan menyangkut di pohon. Ia lalu merangkak naik dan pulang ke rumah. Konon hanya beberapa hari di rumah, untuk kemudian pergi lagi. Pada saat pergi inilah kemungkinan ada cuak yang melihatnya. Maka kemudian, pada Maret 1998, diambil pulalah Rosmiati, adiknya (Rasyidah), serta ibu mertuanya (Nyak Maneh). Hasil penyiksaan ketiganya, para oknum mendapat informasi tentang Abdul Wahab yang sering membantu keluarga ini. Padahal, Abdul Wahab hanya pernah memberi uang kepada Rosmiati, istrinya Idris itu, yang sudah seperti saudara dengan mereka. Apalagi mengingat Idris tidak ada. Abdul Wahab merasa kasihan dengan anak-anak Idris. Tetapi tak ada yang percaya. Abdul Wahab kembali disiksa sejadi-jadinya. Ia ditelanjangi, disetrum kemaluan, disabet dengan rotan sampai berdarah, dan sebagai-nya. Ia tetap tabah. Tapi, ketika disetrum hidungnya, sempat berteriak. Oknum bernama Pra nyeletuk, “Habisi saja. Biar mampus dia!” Abdul Wahab juga mendengar perkataan angkuh lainnya yang keluar dari mulut mereka. “Kami yang berkuasa sekarang, tahu! Kalau kami tembak, mau lapor kemana kau!” Atau, “Asal kau tahu, sudah 16 orang saya bunuh,” kata Pra seperti yang diingat Abdul Wahab. Dalam penyiksaan sadis itu, guru ngaji ini memang kerap menyebut nama Allah SWT, atau kalimat tauhid “Lailahaillallah”. Tapi, setiap kali Abdul Wahab mengucap-kannya, mulutnya disumbat kain atau dipukul.

Abdul Wahab kemudian dimasukkan dalam sel di atas rumoh geudong. Di situ, terdapat delapan bilik kecil yang disekat-sekat. Ada sekatan papan, ada pula dari bambu. Ruang penyiksaan di bagian serambi depan dan belakang. Di ruang-ruang kecil (2x2 m) itulah ditahan para korban secara berdesakan. Bersamanya waktu itu ada 58 orang ditahan. Dianta-ranya keluarga Idris (Rosmiati, Rasyidah, dan Nyak Maneh), Teungku Abbas Lhok Bruek (Cubo, Bandar Baru), Ibrahim Laweueng, Usman Ahmad (Dayah Tanoh, Mutiara), dan sebagian besar warga Mutiara.

Tengah malam pada hari pertama itu, ia didatangi oleh Danpos Lettu Par. Abdul Wahab disuruh duduk selonjor kaki. Par meletakkan balok kayu di atas kedua pahanya, lalu Par naik. Balok itu diinjak-injak selama dua jam, bergantian dengan oknum lain. Bayangkan sakitnya, sampai terkencing-kencing. Keesokan paginya, di hadapan tahanan lain, bapak tua ini disuruh jungkir balik di halaman rumoh geudong. Lalu disuruh merangkak sampai ke kubangan (penampungan air kotoran). Abdul Wahab dibuat seperti anjing. Ia direndam dalam kubangan (yang keliha-tan hanya bagian hidung ke atas) dari pukul 8.00 WIB sampai 16.00 WIB.

Ketika suatu kali ia dirantai dan disalib, lalu dipukul dengan berbagai alat penyiksa, Abdul Wahab juga sempat mengucapkan doa. “Ya Allah, akhirilah kezaliman ini”. Oknum yang mendengar marah, dan mencaci. “Apa kamu bilang? Mana bisa diterima doa babi!” Para korban memang sering dipanggil dengan anjing, babi, dan sejenis itu. Anehnya, kata Abdul Wahab, dalam penyiksaan ia juga pernah ditanyai soal senjata. Ia menga-ku tidak tahu. Abdul Wahab pun dipukul keras pada perutnya. Dua hari ia mengalami kencing darah. Di rumoh geudong, ia juga menyak-sikan saat korban-korban lain disiksa. Seperti Teungku Abbas Lhok Bruek yang digantung kepala ke bawah, lalu dipukul sejadi-jadinya. Teungku Abbas menjerit-jerit, “Bek geusiksa lon. Hana lon tupat senjata nyan.” Setelah itu, seorang tahanan wanita, Nyak Maneh, disuruh memegang kemaluan Teungku Abbas yang dalam keadaan telanjang. Mulanya Nyak Maneh menolak, dan kemudian ia dipukuli. Hingga Abdul Wahab mendukung-nya, “Pue nyang

geu yue pubuet laju. Allah Maha Mengetahui.” Melihat adegan penyiksaan dan pelecehan seks

itu, Abdul Wahab sering mena-ngis. Abdul Wahab kuat kalau disiksa seberat apa pun. Tapi kalau melihat orang lain disiksa, ia tak tahan untuk tidak menangis.

Selama 35 hari di kamp penyiksaan itu, suatu kali mereka pernah didatangi Abu Usman Kuta Krueng. Di hadapan 58 tahanan, Abu Kuta berceramah. Intinya, para tahanan itu seolah-olah semuanya sudah salah jalan dan harus kembali ke jalan yang benar. Sebetulnya, apa salah mereka? Dan, pertanyaan ini tak pernah terjawab sampai ia dilepas, 5 Juni 1998, dan bahkan sampai sekarang. Sebelum dibebaskan, Abdul Wahab sempat diancam dengan kata-kata seperti: “Apa yang kamu lihat, kamu dengar, dan kamu rasakan selama di sini, jangan ceritakan pada orang lain. Kalau bilang-bilang, keselamatan kamu tidak terjamin”, yang diucapkan Danpos Sattis Bilie Aron waktu itu. Tapi, ia tidak takut lagi sekarang. Abdul Wahab mau jadi saksi dan mau disumpah, demi Allah SWT, bahwa penyiksaan itu benar-benar terjadi.

M. Yusuf Hasan (39), warga Paya Tukai Tanah Jambo Aye, diambil pada 11 Oktober 1990 di jalanan desanya, Lalu dicampakkan petugas ke dalam saluran air dan tidak dibenarkan bangkit. Kemudian, rombongan Kopassus yang memperlakukannya demikian meninggalkan tempat itu untuk mengambil calon korban yang lain. Tapi, karena sudah menjelang magrib, M. Yusuf Hasan—seperti dikisahkan saudara sepupunya, Kama-luddin Basyir—bermaksud pulang untuk shalat. Apa lacur, di tengah jalan ia bertemu dengan petugas yang melarangnya jangan bangkit dari saluran air tadi. Karena, dianggap melanggar kesepakatan, Yusuf Hasan digebuk tiga kali pada dadanya. Begitu jatuh, ia pun dilemparkan ke dalam mobil petugas. Lebih enam bulan ia tanpa kabar. Kemudian, sekitar Februari 1991 seseorang kenalannya melaporkan Yusuf Hasan sudah dikubur secara massal di Blok B UPT IV dalam kebun kelapa sawit Jambo Aye, Aceh Utara.

9. Diikat Seperti Kepiting, lalu Ditembak

Pemandangan yang begitu mencekam sekaligus menyedihkan itu tak pernah dilupakan Teungku M. Hasan Ishak, seorang imam meunasah di Desa Panton Raya, Kecamatan Tringgadeng Panteraja (Tripa). Ia telah melihat—kemudian ikut memandikan, mengafankan, dan menguburkan —lima mayat yang tercampak di Dayah Teumanah, Tripa, yang dikenali sebagai guru-guru pesantren/mengaji dari Kecamatan Bandar Dua. Mereka diikat seperti kepiting.

Dibeurekah (diikat menyatu) lima orang. Darah bercecer dari lubang-lubang di badan mereka,

bekas tembakan.29 Tapi, salah satu mayat itu nampak wajahnya tersenyum. Mereka mati syahid.

Teungku Hasan Ishak menuturkan, pada pertengahan Mei 1991 di bawah rumah Imum Rahman didapati lima mayat terikat. Pada malam sebelumnya, warga di sekitar kejadian sempat mendengar suara gaduh. Serombongan oknum tentara menyeret para tahanannya ke bawah ru- mah Imum Rahman. Tak ada yang berani keluar rumah. Tiba-tiba terde-ngar beberapa kali tembakan, diiringi lenguhan korban-korban menjelang ajal yang begitu menyayat hati. Suasana semakin mencekam. Tapi, salah seorang korban belum langsung mati. Karena kemudian seseorang mengucapkan “Allahu Akbar” maupun “Lailahaillallah” beberapa kali dengan suara lemah. Rupanya ucapan itu masih didengar oleh oknum- oknum tentara yang hendak pergi. Ada suara sepatu tentara yang kembali lagi. Disusul dua tembakan tambahan. Seketika lenyaplah ucapan takbir tersebut. Masyarakat seolah dapat menebak apa yang telah terjadi. Menje-lang subuh, barulah warga berani keluar rumah dan melihat siapa gera-ngan yang menjadi korban pembunuhan sadis itu. Awalnya masyarakat setempat tak mengenal mereka. Namun, setelah informasi itu disebar hingga ke kecamatan sekitarnya, baru diketahui ternyata kelimanya warga Kecamatan Bandar Dua, sekitar 15 Km dari desa itu. Masing- masing jenazah Teungku Muniruddin Kaoy (24) dan Teungku Armiya (26) keduanya penduduk Desa Uteun Bayu, Teungku Ibrahim dari Cot Mee, Teungku M Yusuf asal Cot Keng, dan Ismail Hasan (45) dari Alue Sanee. Selanjutnya, sesuai kebiasaan, para imam meunasah dari beberapa desa di kemukiman itu pun dikumpulkan. Termasuk Teungku M Hasan Ishak dari Panton Raya, desa tetangga Dayah Teumanah. Hasan Ishak ikut memandikan kelima jenazah itu. Membersihkan darah, dan mengambil peluru di badan mereka. Hanya satu peluru yang tak tercabut, yakni yang di tubuh Teungku Muniruddin Kaoy. Peluru itu tertancap di tulang rusuknya. Walaupun sudah ditarik pakai tang, tetap tak bisa dicabut. Akhirnya terpaksa dikubur bersama peluru timahnya.

Kelima jenazah sebelumnya disembahyangkan di Masjid Dayah Teumanah usai shalat Jumat. Kemudian dikuburkan satu lubang berlima di pekuburan umum setempat. Beda dengan kuburan yang lain, makam para teungku yang kini diperluas itu telah disemen sekelilingnya. Belakangan, banyak masyarakat—juga dari Bandar Dua—yang berziarah ke makam itu untuk melepas nazar dan “cari berkah” di situ. Ini terlihat dari banyaknya sobekan kain putih yang diikat pada pohon kemboja yang tumbuh di atas makam. Keluarga kelima korban baru-baru ini juga telah melaporkan kasus itu kepada DPRD setempat. Pertama sekali, Juariah (41), janda Teungku M Yusuf yang melaporkan kasus itu ke Komnas HAM dengan didampingi Forum LSM Aceh. Janda dari Cot Keng yang kini mengasuh lima anak yatim itu mengisahkan, bahwa suaminya diambil awal Maret 1991. Tanpa didampingi suami, ia melahirkan anak kelima (saat suami diculik, Juariah sedang hamil tua). Dua bulan kemudian, ia diberitahu bahwa suaminya telah dikubur bersama lima mayat lainnya di Dayah Teumanah.

Cerita Adawiyah Yusuf (60), ibu dari Teungku Muniruddin Kaoy, pun tak kalah menyedihkan. Muniruddin, guru pesantren diambil oleh tiga oknum aparat pada malam Jumat, 4 Mei 1991 dari Masjid Uteun Bayu saat sedang mengajar ngaji muridnya. Beberapa hari kemudian diperoleh informasi tentang penembakan dan penemuan lima mayat itu. Salah satunya Teungku Muniruddin. Akan halnya Nursiah Ahmad (42), janda dari Ismail Hasan, telah kehilangan dua orang tercintanya. Suaminya diambil 8 Mei 1991, ditahan di Pos Sattis Ulee Glee selama 10 hari. Kemudian mayatnya ditemukan di Dayah Teumanah. Padahal, tahun sebelumnya, 9 Oktober 1990, salah seorang anaknya, M Nasir bin Ismail (20) lebih dulu dibawa dan ditahan ke PS Ulee Glee, lalu dipindahkan ke PS Kota Bakti, dan sampai sekarang belum kembali. Nursiah tak habis pikir tentang kesalahan suaminya itu, hingga sampai dibunuh?

Teungku Armiya (alm), juga seorang guru ngaji, menurut laporan ayahnya M Musa Sabi (58), diambil oleh oknum Kopassus dari PS Ulee Glee, ditahan 20 hari, lalu ditembak dibawah rumah Imum Rahman, Dayah Teumanah. Musa Sabi merelakan anaknya dikubur satu lubang bersama empat mayat yang diikat bersama Armiya.

10. Sepeda Motor pun Diculik

Sejumlah 15 sepeda motor yang ikut “diculik” bersamaan dengan penculikan korban “orang hilang” sejauh ini juga belum dikembalikan kepada keluarga korban.30 Yang juga jadi tanda tanya

masyarakat, apa pula “dosa” sepeda motor itu sampai “ditahan” demikian lama. Para keluarga korban berharap, sebelum pasukan elite itu ditarik pulang, baik korban penculikan sepanjang 1998 maupun harta benda yang telah dijarah mereka sebelumnya agar dikembalikan.

Menurut pengakuan seorang istri korban “orang hilang”, Nurjannah Gade (35), warga Paloh Tinggi, Mutiara, sepeda motor Honda Astrea Grand Jumbo yang diambil oleh oknum Pos Sattis Bilie Aron, selama ini sering dilihatnya dikendarai oleh oknum aparat maupun TPO (tenaga pembantu operasi) di Rumoh Geudong. Janda lima anak ini pernah mencoba memintanya baru-baru ini. Rencananya akan dijual untuk modal usaha. Oknum Kopassus mau mengembalikan, asal Nurjannah bersedia teken surat-surat yang sudah dipersiapkan. Sedangkan isi surat itu menyatakan seolah-olah suaminya, Jamaluddin (40), pegawai BKKBN Kecamatan Mutiara, telah melarikan diri entah kemana. Padahal, kata Nurjannah, suaminya jelas-jelas diculik pada malam tanggal 26 Pebruari 1998 dari Pos Kamling Desa Paloh Tinggi bersama sepeda motornya. Kejadian itu disaksikan warga desa. Jamaluddin dibawa ke Rumoh Geudong, dan sampai sekarang belum kembali.

Mengingat isi surat yang menyimpang itu, Nurjannah tak mau meneken. Toh ia masih lebih mencintai suami daripada “cuma” sebuah sepeda motor. Dalam kasus penjarahan sepeda motor ini, ia telah memberi kuasa kepada Iskandar Ishak SH dari LBH Seuramoe Makkah untuk menyelesaikan persoalan itu. Menurut Iskandar, Sub Den-POM Sigli pun sudah dilaporkannya beberapa waktu lalu. Iskandar sudah mendesak mereka untuk mengambil sepeda motor korban di Pos Sattis Bilie Aron. Tapi menurut petugas di situ, untuk bergerak mereka perlu minta izin Lhokseumawe (Den POM Lhokseumawe) terlebih dulu. Terkesan pena-nganan kasus tersebut sangat lamban. Padahal, bagi janda korban yang miskin, nilai sebuah honda cukup besar artinya untuk menghidupi anak- anak yatimnya.

Sedih lagi nasib Sudarmi Thaher. Keluarga miskin di Desa Rambong Meunasah Cot Mutiara ini memang tak punya sepeda motor. Namun, ketika suaminya, Abdul Wahab Ali, yang seorang pedagang kaki lima, diculik ketika hendak shalat dhuhur di Masjid Kota Bakti, sang suami mengendarai honda pinjaman temannya. Honda Astrea 800 pinjaman itu pun ikut diangkut ke Pos Sattis terdekat. Namun, dagangan A Wahab Ali tak diangkut. Melainkan dititip pada sebuah warung. Ketika barang ini akan diambil Sudarmi esok harinya, si pemilik warung menyuruh Sudarmi minta izin dulu ke Pos Sattis Kota Bakti. Meski dagangan boleh dibawa pulang, tapi sang suami dan honda pinjaman itu tak kunjung dikembalikan sampai sekarang. Kini, saat ibu muda ini harus memikirkan “makan apa besok” untuk kelima anaknya, Sudarmi masih harus memi-kirkan bagaimana cara mengganti Honda teman suaminya yang telah diambil oleh oknum di Pos Sattis Kota Bakti. Selain 15 sepeda motor—yang dilapor tapi diduga lebih banyak lagi— masyarakat juga banyak yang melaporkan harta-benda yang dijarah para oknum yang cukup