• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Terjadinya Peristiwa GPK Warsid

14 “Dikubur” Sampai Sebatas Leher

Bab 10-01 Latar Belakang Terjadinya Peristiwa GPK Warsid

Dinamika masyarakat desa selalu menarik untuk diamati, paling tidak dengan sandaran asumsi bahwa dinamika kehidupan mereka tidak terlepas sama sekali dari dimensi konfliktual. Kecenderungan ini juga dialami oleh struktur masyarakat pedesaan yang mata pencahariannya adalah bertani. Gejolak protes petani yang oleh rakyat Jawa lazim disebut “geger”, kerusuhan atau huru-hara, adalah sangat endemis, dan sebagai gejolak sejarah mempunyai frekuensi yang cukup tinggi, maka tidak sulit untuk mengindentifikasi sifat serta hakikat gejolak protes tersebut.12

Merupakan bagian karakteristik umum dari sebuah gerakan tradisio-nal bahwa gejolak yang melahirkan gerakan protes rakyat bercorak lokal, di samping itu keberlangsungannya sangat singkat, komunal serta radikal. Dalam peristiwa Talangsari itu pun bisa kita letakkan pada sebuah gerakan yang tradisional karakteristiknya,13 Peristiwa-peristiwa pemberontakan petani itu

sesungguhnya merupakan momentum-momentum bentrokan antara kekuatan tradisional dan kekuatan inovatif yang menjadi pemba-waan penetrasi politik kolonial. Dampak komunikasi,

birokrasi, edukasi, komersialisasi, kesemuanya menimbulkan perubahan ekonomis, sosial dan politik sehingga orde sosial berdasarkan tradisi terganggu. Maka, warga masyarakat pedesaan mengalami pergeseran situasi dan ekologis.14

Persepsi rakyat di pedesaan sebagai benteng tradisi tidak lepas dari kerangka sosial tradisional. Semua perubahan yang datang dalam kehidu-pan mereka dipandang sebagai moral buruk, dan pembawanya, baik penguasa kolonial maupun kaki tangannya, dijadikan sasaran gerakan. Terkait dengan persoalan ini, gerakan keagamaan yang dibangun Warsidi mengarah ke sana, Warsidi dan kelompoknya telah menganggap bahwa program “pembangunan” yang dicanangkan pemerintahan Orde Baru, telah membuat mereka tersingkir dari kehidupan tradisionalis-agamis.

Melihat perkembangan kondisi ke-indonesiaan selama dipegang Orde Baru, khazanah keislaman terasa luntur oleh adanya derap laju pemba-ngunan. Tak heran bila beberapa kalangan umat Islam ingin mencipta-kan kondisi yang dianggap ideal bagi keberlangsungan mereka. Kekua-saan yang terpusat pada birokrasi dan militer telah membawa negeri ini menjadi sebuah negara otoriter. Apalagi melihat pandangan sempit sehingga kurangnya keseimbangan sosial yang dilakukan oleh para birokrat sipil dan militer, jama’ah Warsidi beranggapan bahwa kebanyakan pada diri penguasa telah terjangkit penyakit hubbu as-siyadah (cinta kekuasaan) yang melahirkan kejahatan-kejahatan penguasa rezim Orde baru. 15 Penguasa yang seharusnya melayani

kepentingan rakyat, saat itu berubah menjadi serigala yang justru memangsa rakyatnya. Rakyat di mata para penguasa biasanya seperti budak pemuas nafsunya. Banyak kasus-kasus yang terjadi di Indonesia dapat membuktikan hal itu. Namun kasus Talangsari tidak dapat dijadikan cermin untuk melihat kekejaman penguasa, meskipun mereka secara stereo type menyebut kasus tersebut sebagai “GPK Warsidi”. Peristiwa Warsidi merupakan pelajaran mahal serta pengalaman pahit bagi para penggerak kelompok Warsidi serta para petugas aparat negara yang beragama Islam. Dan kejadian tersebut telah menjadi tinta hitam pula bagi umat Islam secara keseluruhan. Apa yang sesungguhnya terjadi di daerah Talangsari itu? Apakah benar pula bahwa aparat penguasa telah melakukan pembantaian terhadap mere-ka? Dalam bab ini kita harus terlebih dahulu melihat kronologis peristiwa tersebut secara obyektif dan menghadirkannya untuk diketahui oleh semua kalangan.

Bila dicermati secara seksama bahwa munculnya sebuah gerakan didasari oleh adanya satu keinginan kembalinya tatanan kehidupan mereka yang pernah hilang, baik itu di bidang sosial, ekonomi, politik dan agama. Dan untuk menggambarkan tatanan kehidupan yang hilang itu diartikulasikan melalui satu harapan datangnya Ratu Adil yang akan mengembalikan zaman kerta (sejahtera). Di sini kita menghadapi cakrawala harapan rakyat tradisional yang sebagai gejala universal juga dikenal sebagai mesianisme dan milenarisme.16

Mengapa ideologi itu secara inheren bersifat radikal? Gerakan mesia-nistis dipimpin oleh seorang pemuka yang mengaku sebagai pengejawan-tahan Ratu Adil atau yang dianggap demikian oleh para pengikutnya, dan dalam proses perkembangannya mau tak mau mengarah ke konsumsi, yaitu perwujudan atau “pemenuhan” tujuan gerakan itu. Tuntutan mutlak ini membangkitkan true believers (kaum yang percaya penuh), loyalitas mutlak pula. Dalam hal ini hubungan guru-murid, atau patron-klien yang bersifat komunal lazimnya diperkuat oleh pelbagai kepercayaan akan kekebalan, jimat atau pusaka, sehingga para partisan, diperteguh partisipasinya dan gerakan menjadi total. Tentang kepercayaan akan kekebalan itu sebagian penduduk oleh sebagian orang bahwa pengikut-pengikut gerakan Anwar Warsidi memiliki ilmu kebal.

Dalam menghadapi perkembangan seperti ini, suatu konfrontasi sukar dielakkan. Ketika tahap konfrontatif berlanjut maka kekerasan dan konflik akan semakin tidak terkendali. Seperti peristiwa Mangkuwijaya di daerah Klaten (1865), Srikaton (Tawangmangu) dan Ahmad Suhada (Ponorogo) tahun 1888, Dermajaya (Nganjuk) tahun 1907, kesemuanya gerakan berakhir dengan pertumpahan darah.

Sikap-sikap yang mengarah kepada unsur radikalisme juga melekat pada gerakan-gerakan yang hendak memusnahkan pemerintah kolonial sebagai pemerintah kaum kafir, seperti peristiwa Cikandi Udik (1845), H. Wakhya (1850), Ciomas (1886), Cilegon (1888),17 dan Gedangan-Sida-

haraja (1904), kesemuanya gerakan yang mendengungkan sabilillah se-waktu bergerak menghadapi Kumpeni. Dalam gerakan-gerakan itu mile-nium (zaman kerta atau keemasan) digambarkan akan tiba apabila negeri telah dibersihkan dari penguasa kafir.18

Membicarakan peranan ideologi dalam gerakan protes dengan sendiri menyangkut masalah kepemimpinan di dalamnya. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ideologi di tangan pemimpin mempunyai potensi besar memobilisasi pengikut karena dijadikan fokus gerakan yang memberi makna penuh serta sekaligus berfungsi sebagai lambang identitas kolektif sehingga dengan demikian solidaritas terbentuk dengan kukuhnya. Baik Sang Ratu Adil yang telah menerima wahyu atau pulung, maupun kiyai yang dipandang keramat, pemuka memiliki keramat, pemuka memiliki kharisma yang dengan sendiri membangkitkan otoritas serta wibawa di kalangan petani.

Tidak jarang pula terdapat pemimpin yang mempunyai cakrawala mental yang lebih luas dari rakyat kebanyakan sehingga mampu memberi inspirasi serta motivasi kuat kepada peserta gerakan, antara lain dengan keterampilannya memainkan ideologi untuk memperkokoh loyalitas di satu pihak, dan di pihak lain meningkatkan mobilisasi segala sumber daya di lingkungannya, baik material maupun spiritual. Tidak dapat diabaikan pula kenyataan bahwa sang pemimpin

sebagai “elite” dapat memakai jaringan sosial yang lebih luas, acap kali melampaui batas-batas desa, bahkan ada kalanya batas daerahnya. Namun dalam kasus Talang-sari ini, pengaruhnya hanya beberapa daerah saja yang ikut terlibat dalam konflik tersebut. Itupun daerah-daerah yang penduduknya sempat dibina oleh Anwar Warsidi.

Mengingat sifat-sifat kepemimpinan dalam gerakan protes tersebut di atas maka pada umumnya dapat dibenarkan teori yang menyatakan bahwa gerakan petani dipimpin oleh unsur dari luar kalangan petani kebanyakan. Kedudukan mereka sebagai “elite” dengan sendirinya menimbulkan pandangan serta sikap untuk mempertahankan tradisi sosial maupun keagamaan mereka di satu pihak dan menolak perubahan dan pembaharuan, tidak lain karena hal ini mengancam kepentingannya sebagai establisment.

Dalam membicarakan peranan pemimpin sesungguhnya timbul kecenderungan untuk menganggapnya sebagai faktor penentu utama causa prima (sebab utama), namun sebaliknya perlu diingat bahwa untuk menerangkan timbulnya gerakan protes juga perlu diperhitungkan kondisi-kondisi sosial dari keresahan. Lebih tepat lagi dalam eksplanasi perlu dicantumkan kondisi yang disebut kecenderungan struktural.

Pendapat senada juga dipaparkan Taufik Abdullah,19 ia menggaris bawahi bahwa

kepemimpinan adalah soal penilaian masyarakat terha-dap pribadi tertentu dalam kaitannya dengan sistem sosial yang berlaku. Interaksi yang dinamis antara kedua unsur pribadi dan sistem sosial ini adalah faktor utama yang memapankan kepemimpinan itu. Hal ini berarti bahwa selama pribadi yang disebut pemimpin itu dianggap atau dinilai telah memenuhi kebutuhan dari sistem sosial dan komunitasnya, maka selama itu pula ia dapat mempertahankan ikatan emosional dengan para pengikutnya. Dan selama itu pula kepemimpinannya berlanjut. Maka tidaklah salah bila pada akhirnya, penduduk di sekitar Talangsari telah menempatkan Anwar Warsidi sebagai pemimpin pergerakan mereka yang diharapkan mampu menjadi simbol perjuangan.

Dengan memakai uraian di atas sebagai kerangka referensi kiranya tidak sulit untuk mengidentifikasi beberapa faktor determinan peristiwa Talangsari, Way Jepara, Lampung. Perkembangan gerakan Mujahidin Fisabilillah menunjukkan pola umum ke arah radikalisme. Baik ideologi maupun kepemimpinan memiliki karakteristik mirip dengan gerakan di Cilegon dan Gedangan. Dari data media massa rupanya ada petunjuk bahwa terdapat jaringan yang jauh melampaui desa tersebut. Oleh karena itu, untuk kelengkapan eksplanasi sebenarnya perlu dikaji lebih lanjut kecenderungan struktural situasi setempat sehingga dapat diketengahkan sebab-sebab keresahan yang meliputi masyarakat kecil itu.

Bila melihat peristiwa Jenggawah, Jember (1978-1979),20 di mana kasus Jenggawah berkisar

sekitar masalah pembagian kembali (heraveling) tanah garapan milik perkebunan tembakau. Dalam menganalisa kasus Jenggawah ini selanjutnya dikomparatifkan dengan peristiwa Talangsari mungkin ada signifikansinya yaitu tentang prsoalan tanah. Dalam kasus Jenggawah ataupun Talangsari dapat dipahami sepenuhnya mengapa soal tanah adalah soal penuh kepekaan, tidak lain karena tanah garapan merupakan sumber penghasilan utama dan acap kali tidak ada alternatif lainnya. Perubahan status tanah ataupun penggarapan lahan yang mengancam sumber penghidupan penduduk Talangsari akan membang-kitkan deprivasi pada petani, maka sangat mudah terpengaruh oleh ajaran gerakan yang tidak hanya memberi gambaran realitas alternatif tetapi juga membakar semangatnya mengarah ke radikalisme. Ditambah lagi mengenai persoalan kewibawaan lokal, di mana klaiman siapa yang lebih berpengaruh di desa tersebut telah menjadi akar persoalan lainnya. Warsidi dengan komunitas barunya di sekitar Cihideung ternyata bagi “kelompok kiayi tertentu” bisa menghambat bagi kewibawaan mereka. Dengan demikian, kasus Warsidi bisa ditempatkan karena adanya pere-butan pengaruh di tingkat lokal.

Dusun Talangsari III, desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah tak ubahnya seperti dusun-dusun yang lain, sebelum dijamah peristiwa berdarah, awal bulan Februari 1989. Dusun dengan luas sekitar 60 hektar dari 200 Ha luas desa Rajabasa Lama, termasuk kawasan yang subur dan terkenal makmur. Hanya dihuni kurang lebih 90 kepala keluarga. Walaupun sebagian besar terdiri dari para pendatang, berasal dari Jawa Timur terutama Banyuwangi dan Jember.21 Menurut Sukidi22 , sebagian besar penduduk di wilayah itu adalah

pendatang spontan. Bukan para transmigran. Mereka datangnya hanya ingin mengubah nasib hidupnya. Adapun tanah-tanah yang dikerjakan adalah tanah milik penduduk setempat. Seperti dirinya yang menggarap tanah milik Amir Puspa Mega.23

Meskipun sebagian adalah para pendatang warga Talangsari pun cukup akrab dengan penduduk asli di desa Rajabasa Lama. Tidak ada rasa eklusifisme—sebelum kedatangan Warsidi ke Talangsari yang tumbuh dalam diri para pendatang tersebut. Antara pendatang dengan penduduk asli yang kurang lebih sekitar 20 persen dari jumlah penduduk di Rajabasa Lama, hubungan mereka satu sama lain nampak terjalin akrab.

Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, maka ciri menonjol adalah tradisionalisme.24

Dusun yang terkenal subur itu, dengan pengairan yang cukup baik serta beberapa daerah tadah hujan, meng-hasilkan beberapa jenis hasil pertanian maupun perkebunan. Seperti palawija padi, coklat, kopi dan lain sebagainya. Sebagai bukti bahwa daerah itu makmur, ada penggilingan padi di dusun tersebut. Dan rata-rata para penghuninya sebagian besar telah mengolah tanah miliknya yang berhasil dia beli melalui jerih payah dari pemilik semula.

Letak dusun Talangsari III—yang dikukuhkan pada 1 Januari 1988—sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dicapai, dusun yang terdiri dari umbul (gerumbul) terletak di antara Kebon Duren dan

Cihideung. Dari kantor desa Rajabasa Lama cuma berjarak kurang lebih 9 kilometer ke arah utara meskipun harus melalui jalan tanah, dan becek jika musin hujan. Sedangkan kantor desa Rajabasa Lama sendiri berada di Barat Laut perempatan jalan besar yang menghubungkan Sukadana Way Jepara dan Talangsari.

Dalam masyarakat desa yang tradisional dan bersifat pertanian, maka pranata-pranata yang menghubungkan antar personal di dalam masya-rakat di Talangsari adalah (1) bersifat pribadi, (2) tak lengkap, (3) bersaluran sedikit, (4) ditandai oleh lebih banyak komunikasi ke bawah ketimbang komunikasi ke atas, dan (5) jarang dimanfaatkan. Sementara pilihan-pilihan “kekuasaan” yang digunakan dalam masyarakat pedesaan di Talangsari lebih menekankan aspek kewibawaan tradisional dan kekerasan fisik.

Sebagai suatu wilayah yang masih tergolong “tradisional,” dalam pola-pola struktur sosial masyarakat daerah Talangsari dan di daerah-daerah lain di Lampung lebih menekankan pola hubungan pribadi atau patron client. Jika struktur dipahami sebagai tingkatan status sosial yang berbeda dalam masyarakat secara sosiologis, maka struktur sosial daerah Lampung ditempati oleh: (1) golongan struktur atas, adalah kelompok orang-orang kaya, kiyai, aparat desa dan kaum terdidik yang memiliki “jabatan” terpandang; (2) golongan menengah adalah para petani yang mampu mengelola tanahnya dengan baik, agak mandiri, atau kelompok petani agak cukupan: dan (3) golongan bawah, yaitu petani gurem, dan petani kekurangan, yang cenderung menjadi client, abdi dari patron atas.

Sebagaimana lazimnya masyarakat pedesaan, rasa sikap gotong-royong di Talangsari III memang cukup menonjol. Terbukti setelah rapat pemilihan RK usai, kemudian oleh pengurus dusun dibentuk berbagai tata-tertib maupun berbagai aturan desa. Sampai-sampai dalam menentu- kan aturan dan tata tertib, mereka mengundang para tokoh masyarakat maupun agama. Oleh karena itu, kehidupan warga desa Talangsari III nampak rukun dan penuh kedamaian. Tidak pernah terusik hal-hal yang menggelisahkan.

Rasa gotong-royong yang dimiliki dusun yang belum lama terbentuk itu ternyata banyak membawa hasil. Antaranya melakukan perbaikan jembatan atau jalan-jalan yang menuju di desa tersebut. Melakukan kegia-tan Siskamling dan berbagai kegiatan musyawarah desa untuk menjadi-kan dusun lebih baik dari sebelumnya. Khusus untuk keamanan desa para warga pun tak lupa bergotong-royong membangun pos-pos penjaga-an demi keamanan desa. Beberapa pos atau cakruk berhasil didirikan di setiap sudut-sudut desa yang dianggap rawan kejahatan.

Memang belum ada prestasi menonjol yang diraih desa Rajabasa Lama. Namun demikian menurut Drs. Zulkifli Maliki, (Camat Kepala Wilayah Way Jepara), bahwa Rajabasa Lama di banding 26 desa lainnya di wilayah kecamatan tersebut mempunyai satu kelebihan. Yakin mempu-nyai pasar desa yang besar, setelah Way Jepara.25

Ditambahkannya, hal itu menunjukkan bahwa desa Rajabasa Lama mempunyai potensi lebih dibandingkan dengan desa-desa lainnya menge-nai hasil pertaniannya. Termasuk maju di bidang ekonomi. Dan mempu-nyai posisi yang lebih baik dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Karena berdekatan dengan jalan transportasi tidak berada pada daerah yang terpencil.

Mengenai kehidupan beragama, di daerah penghasil kopi tersebut cukup marak. Hal itu bisa ditandai dengan berdirinya berbagai mushola dan pendidikan pesantren. Di daerah tersebut, telah berdiri tiga Pondok Pesatren. Yakni Al Islam di Labuhanratu, Darul Ulum di Plangkawati dan

Darussalam di Brajadewa. Namun letaknya cukup jauh dari desa Rajabasa Lama. Khusus di

daerah Talangsari III, mayoritas Warga Talang-sari sendiri, maupun Rajabasa Lama penduduknya memang pemeluk agama Islam yang taat. Maka tidak mengherankan bila di daerah tersebut berdiri Mushola-mushola atau Masjid. Di samping itu direncanakan akan berdiri pula tempat pendidikan semacam pondok pesantren oleh seseo-rang yang bernama Warsidi. Sayangnya, keberadaan pondok tersebut tidak dikoordinasikan baik dengan jajaran Pemda, aparat keamanan mau-pun kepala desa serta kepala dusun setempat. Padahal telah berduyun-duyun orang-orang yang tidak dikenal penduduk setempat datang dari pulau Jawa dan mulai bermukim di Dukuh Cihideung. Mereka memba-ngun barak-barak bambu beratap pelapah kelapa kering di sana. “Kesemuanya itu tidak pernah melapor ke saya,” kata Sukidi, Kepala dusun Talangsari III.

Kejadian seperti itu membuat heran Sukidi dan warga sekitarnya serta aparat lainnya. “Dari mana bekal logistik mereka yang konon ingin belajar di pondok pesantren Mujahidin itu. Sebab mereka tidak ada yang bekerja atau mengolah ladang, padahal jumlahnya cukup banyak. Dari mana uang atau penghasilan mereka untuk hidup selama di barak itu? Begitu kira-kira rasa keheranan mereka atas komunitas di Cihideung. Apalagi, sebelum peristiwa berdarah itu terjadi di sekitar barak tersebut dibuka dapur umum. Dan bagi warga setempat memang banyak yang serba tak masuk akal tentang berbagai kegiatan kelompok itu. Terutama menyangkut kebutuhan sehari- hari mereka. Karena juga tidak menghe-rankan jika sebagian dari jama’ah Warsidi ada yang keluar jalur dengan mencuri ubi kayu tanaman penduduk. Kondisi yang tidak saling kenal dalam kehidupan desa yang penuh paguyuban menjadi sangat rentan terhadap terjadinya konflik sosial, meskipun hanya oleh sebab sesuatu ketidaksesuaian kecil sekalipun. Apalagi tatkala penduduk melihat kegiatan mereka yang lebih sering berupa latihan memanah daripada belajar agama dan mengaji.

Dalam kenyataan selanjutnya, kenapa dalam kehidupan masyarakat yang sudah baik itu kemudian timbul gejolak? Apakah gerakan Talangsari ini berdiri sendiri atau mempunyai kaitan dengan persoalan tanah atau mempunyai kemungkinan dengan pernyataan pemerintah yang

menga-nggap bahwa timbulnya gejolak sosial di Talangsari ini—dalam hal ini direpresentasikan lewat gerakan Warsidi—merupakan bangkitnya kembali golongan ekstrim yang berusaha memperjuangkan kembali ideo-loginya?26 Kesimpulan yang terakhir ini tidaklah dipastikan

kebenarannya secara keseluruhan. Menurut Kapuspen ABRI Brigjen TNI Nurhadi,27 “selama ini

kita benar-benar larut dengan proyek pembangunan nasional. Di mana sasaran proyek nasional ini sudah jelas menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat (prosperity). Tetapi di pihak lain, agaknya segi-segi keamanan (security) kurang maksimal tertangani.” Jadi, menurutnya, untuk menangkal munculnya gejolak yang setiap saat muncul ke permukaan, perlunya pembinaan yang lebih matang tentang pembangu-nan politik atau kesadaran politik menuju tatanan demokrasi Pancasila. Dari pernyataan Kapuspen tersebut, kita mencoba menganalisa tentang demokrasi di pedesaan yang berlaku di negara kita, selanjutnya kita teliti adakah keterkaitannya dengan perisitwa tersebut. Yang akan kita permasalahkan di sini adalah sampai sejauh mana sebuah sistem demokrasi di Pedesaan itu diterapkan di negara kita.

Berdasarkan pengamatan Bonnie Setiawan,28 bahwa untuk mema-hami demokrasi di

pedesaan perlu terlebih dahulu dipahami struktur sosial pedesaannya. Apakah struktur sosial yang ada saat itu dapat mendukung ke arah terlaksananya penyelenggaraan sistem yang demo-kratis. Struktur sosial yang timpang di desa, dengan sendirinya akan mengganggu pelaksanaan demokrasi, karena kekuatan-kekuatan di masyarakat desa yang diuntungkan akan tidak setuju dengan demokrasi tersebut. Demikian pula kekuatan supra desa, yang ada dalam struktur sosial makro, juga akan ikut mengendalikan berjalannya demokrasi. Dengan demikian terlihat jelas bahwa pelaksanaan demokrasi tidaklah sederhana. Suatu usaha penegakan demokrasi tanpa memperhatikan perubahan dalam struktur sosialnya akan mudah larut dan lenyap ke dalam situasi makro.

Struktur sosial biasanya tercermin dalam hubungan sosial masyarakat pedesaan. Termasuk tercermin dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Secara khusus ia juga dicerminkan oleh perangkat sosial yang berlaku, seperti aturan-aturan hukum, program- program pemerintah, tata niaga pedesaan, kebudayaan massa dan lain-lain. Dengan demikian kita perlu mengenali persoalan-persoalan demo-krasi yang dicerminkan dalam kehidupan sosial yang ada, dengan mengajukan sikap kritis terhadapnya, dapatlah demokrasi dalam pengertian yang asasi dikenali. Dan dengan begitu akan memudahkan dalam menyusun agenda penerapan demokrasi yang lebih murni dan menyeluruh.29

Pedesaan di Dunia Ketiga pada umumnya, dan tentunya juga di Indonesia, tidak dapat lepas dari persoalan transformasi agraria. Persoalan ini merupakan persoalan besar yang juga dihadapi oleh negara-negara Barat pada masa lalu, termasuk juga Jepang. Transformasi agraria ini merupakan peralihan yang bersifat kompleks dan seringkali banyak menimbulkan konflik dan pertentangan. Namun transformasi di Barat lebih berjalan mulus dalam artian peralihan struktur sosialnya melewati tahapan-tahapan yang tetap dan terselesaikan.30 Tidak demikian halnya

dengan di negara-negara Dunia Ketiga yang struktur sosialnya diganggu oleh kehadiran kolonialisme Barat. Akibatnya, transformasi agraria yang berlangsung, untuk suatu waktu tertentu mengalami per-campuran dan intervensi dari berbagai bentuk hubungan sosial.

Peralihan yang kemudian terjadi merupakan peralihan yang terham-bat (blocked transition), sehingga di dalam struktur sosial agraria bisa kita temui berbagai macam hubungan produksi pertanian.31 Dengan demiki-an dalam kehidupan sosial di pedesaan terdapat bentuk

penyelenggaraan produksi yang bersifat baik komunal, feodal ataupun kapitalis. Ini yang menyebabkan terjadinya berbagai kekisruhan di masa-masa awal setelah kemerdekaan formal diraih oleh negeri-negeri tersebut. Konfigurasi golongan-golongan sosial dan politik yang ada di dalamnya merefleksikan berbagai sistem sosial yang berlaku. Demikian pula sistem demokrasi yang coba diterapkan dalam sistem pemerintahannya, yang pertama-tama menggunakan model demokrasi liberal, tidak dapat lepas dari perbedaan penafsiran. Demokrasi menjadi sesuatu yang diidamkan, tetapi juga diartikan menurut kemauan pemerintahan yang berkuasa.

Peralihan agraria di Indonesia, sama seperti di Dunia Ketiga lainnya, menghadapi dua model pembangunan agraria yang lebih banyak saling bertentangan. Yang pertama adalah penyelesaian