• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modus Operandi Solidaritas Sesama Napol di LP

DOM, The Killing Field Aceh

Bab 09-01 Modus Operandi Solidaritas Sesama Napol di LP

Dari 680 kasus orang hilang dan tindak kekerasan plus pemerkosaan yang berhasil dihimpun Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM), setelah diklarifikasi terdapat sedikitnya 30 kasus yang berkualifikasi supersadistis. Sebagaimana aksi kebiadaban tentara sekuler manapun di dunia ini—seperti yang dilakukan tentara Nazi pada Perang Dunia II, tentara Serbia terhadap etnis Bosnia dan Albania—di mana korban sipil biasanya ditelanjangi dan diperkosa secara bergiliran di antara tentara-tentara yang gagah lainnya hingga pada model penyiksaan dan penin-dasan di mana laki-laki sipil dilarang untuk bersikap religius dalam menghadapi kematiannya. Pelecehan agama cukup banyak terjadi dalam peristiwa DOM Aceh ini. Kisah Bosnia berulang lagi atau terjadi bersamaan dengan apa yang dialami di Aceh. Umat Islam di Indonesia bahkan yang di Aceh sendiri, ironisnya, lebih peduli dengan nasib yang dialami Muslim Bosnia ketimbang yang dialami oleh umat Islam di Aceh, wilayah sendiri.2 Hal ini karena ketakutan mereka pada rezim

Soeharto yang melebihi teroris telah menyebabkan rasa takut yang luar biasa di kalangan umat Islam Indonesia. Seharusnya mereka bersikap seimbang atas yang dialami di Aceh dan di Bosnia atau di tempat pembantaian umat manusia manapun di dunia ini. Lihatlah bagaimana cara-cara mereka menyiksa umat Islam di Aceh berikut ini.

1. Korban Disembelih dan Rumahnya Dibakar

Kejadian sadis menimpa korban, M. Jalil, 40 tahun. Warga Desa Maneh, Kecamatan Geumpang, Pidie yang oleh aparat diduga terlibat GPK ini disudahi di Alue Bayuen, Aceh Timur, sekitar 250 km dari desanya, di suatu hari di tahun 1990.

Menurut pengakuan istri korban, Saodah Aleh (41) ibu dari lima orang anak, suaminya itu sedang mendulang emas di Alue Bayuen ketika dibantai petugas. Lalu kepalanya dibawa pulang oleh aparat ke kampung asalnya, Desa Maneh, Pidie. Sedangkan tubuh korban ditinggalkan di TKP. Kedatangan aparat ke rumahnya, dengan membawa kepala suami-nya—yang disaksikan oleh banyak penduduk Desa Maneh—ternyata belum membuat derita Saodah berakhir. Sebab, setelah kepala suaminya diserahkan, giliran rumahnya pula yang dibakar. Saodah dan keluarganya juga dianiaya.

2. Rumah dibakar dan Hartanya dimusnahkan

Teuku Nurdin, 70 tahun, benar-benar mengalami nasib sial yang berkelanjutan. Warga Ulee Reubek Barat, Seunuddon, Aceh Utara ini pada 27 Juli 1990 didatangi lima anggota GPK di rumahnya untuk minta makan sekaligus istirahat. Kalau tak diperkenankan, ia diancam akan dibunuh di bawah todongan senapan. Tak lama kemudian, terdengar bunyi senjata dari pihak ABRI yang mengetahui kedatangan GPK ke rumah Teuku Nurdin. Maka, terjadilah kontak senjata antara pihak ABRI dengan GPK. Tuan rumah, seperti dikisahkan Hasan (30), anak korban, lari meninggalkan ajang pertempuran itu. Dari saksi mata (tetangga) mereka kemudian tahu bahwa rumah tersebut dibakar, dibantu oleh sejumlah masyarakat yang dipaksa oleh aparat. Sedangkan GPK sempat melarikan diri. Sebelum dibakar, barang-barang milik Nurdin, senilai Rp 3 juta diambil aparat. Esoknya, semua masyarakat setempat dikumpulkan untuk ditanyai, siapa pemilik rumah yang dibakar tersebut. Ternyata pemiliknya adalah Nurdin, yang kemudian Nurdin melarikan diri ke Blang Geulumpang (rumah familinya). Setelah 20 hari baru ia kembali. Saat itu Danramil setempat berjanji akan mengganti rugi rumah yang dibakar itu. Tapi, sampai sekarang janji tersebut belum diujudkan.

3. Diikat dan Diseret Ramai-ramai, lalu Ditembak

Lain lagi kejadian yang menimpa Syech Asnawi Yahya (32), sarjana FKIP Jabal Ghafur, Sigli. Sebagai keuchik (kepala kampung/desa) di Blang Kulam, Kecamatan Batee, ia tak mau warganya disiksa oleh aparat atau diculik dengan dalih ikut operasi. Tapi, karena sering adu argumen dengan aparat mengenai masalah itu, ayah dua anak itu pun diambil petugas pada suatu hari di tahun 1991. Lalu dibawa ke jembatan Delima, Pidie. Lehernya dipasangi tali, lalu beberapa warga disuruh menarik tali tersebut. Dalam situasi begitu, petugas menembakkan peluru ke tubuhnya. Syech Asnawi Yahya pun tewas di tempat. Mayat Syech Asnawi Yahya itu baru boleh diambil keesokannya oleh ibunya.

4. Ditenggelamkan ke Sungai Hingga Mati

Sulaiman Ali (40), tidak menduga dirinya akan mati dengan cara yang mengenaskan. Warga Ulee Rubek Seunuddon, Aceh Utara, ini disiksa di Mata Anoe, yang tak jauh dari desanya pada suatu hari di tahun 1990. Menurut adik kandung korban, Teungku Nurdin Ali, abang-nya itu diambil petugas selagi bekerja di tambak udang. Setelah itu ia diboyong ke Kantor Koramil setempat, kemudian diangkut ke Lhoksu-kon. Di kedua tempat ini ia disiksa dengan popor senapan mesin. Namun, karena masih bernyawa akhirnya di tubuhnya diganduli batu sebagai pemberat, lalu ditenggelamkan di Sungai Sampoiniet, Aceh Utara. Dua hari kemudian, tubuhnya timbul ke permukaan dan dibawa masyarakat ke Masjid Raya Sampoinet untuk dimandikan dan dikafankan. Lalu ia dikubur di pekarangan rumah Keuchik Kedai Sampoiniet.

5. Ditaruh Pemberat Besi dan Ditenggelamkan ke Sungai

Abdurahman Ahmad (52), mengalami tindak kekerasan sepulangnya dari kebun membelah kayu di tahun 1990. Kala itu, warga Leubok Pengpeng, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur ini kepergok ABRI yang sedang menyisir pinggiran hutan. Tanpa ditanya apa-apa, Abdurahman langsung dibawa. Enam hari kemudian, lapor Ibrahim Ali (28), anak korban, jasad ayahnya ditemukan mengapung di Sungai Pereulak. Yang sangat menyedihkan, Abdurahman Ahmad diikat hidup-hidup pada besi yang berukuran sepanjang badannya, beratnya sekitar 17 kilogram. Setelah diganduli besi, kemudian dilempar ke sungai. Film Amistad karya Steven Speilberg kalah sadisnya dibanding kejadian yang dialami Abdur-rahman Ahmad ini.

6. Ajimat Dicabut dan Disiksa

Ishak Raja Bayan (55) mengalami siksaan pada bulan Maret 1990 di desanya, Matang Anoh, Seunoddon, Aceh Utara. Pagi hari yang naas itu ia bermaksud ke tambak untuk mengambil gajinya yang akan dibagi-kan pagi itu. Sewaktu pulang ia dihadang oleh dua anggota Yonif 125 dan dibawa ke Koramil Seunoddon. Ia kemudian disiksa dan ditembak. Tapi, ternyata ia kebal. Lalu ajimatnya berupa cincin dicabut paksa. Setelah itu ia disiksa sampai memar dan lunglai. Ia kemudian disuruh pulang tanpa tahu apa sebab ia dikasari begitu.

7. Disiksa Sembilan Malam, Dibiarkan dalam Keadaan Lapar.

ABDUL GANI Berdan (26), warga Jiem-jiem, Bandar Baru, Pidie. Jebolan SD yang punya tiga anak ini mengalami siksaan pada tanggal 11 Oktober 1992 di Pos Sattis setempat. Ketika itu, ia bersama tujuh penduduk lainnya, dijemput sore hari (15.00 WIB) oleh tiga oknum berseragam

loreng. Di pos Sattis itu mereka disiksa selama sembilan hari sembilan malam. Selama tiga hari korban tidak diberi makan. Perutnya perih luar bisa. Setelah itu, seperti dilaporkan Siti Aminah (29), istri korban, Abdul Gani Berdan berhasil pulang dengan keadaan yang sangat mempriha- tinkan. Saat pergi ia masih tegap, pulangnya pakai tongkat. Itulah yang dimaksud Aminah sebagai keadaan yang memprihatinkan itu.

8. Diborgol, Disiksa dan Dirampas Hartanya.

Seperti yang diadukan seorang pensiunan PNS M. Yahya (59) penduduk Meunasah Manyang Muara Dua, mengadukan dirinya pernah diculik 12 Juni 1990. Para penculik mahir itu memborgol tangannya, kemudian menyiksanya dengan bermacam cara dan jurus pukulan maut yang sangat mengerikan dan nyaris menemui ajal. Tidak hanya itu, malah hartanya seperti emas perhiasan isterinya dan sepeda motor BL 7461 KB bersama buku hak miliknya dikuras kelompok penculik.3 Karena itu, M. Yahya meminta pemerintah dapat menindak tegas pelakunya,

sementara identitas para pelaku masih dicatat dan masih hidup.

9. Disiksa Di depan Mata Anak dan Istrinya.

Pengaduan orang hilang di Aceh Utara terus bertambah. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Iskandar Muda Lhokseumawe kembali menerima tambahan laporan empat kasus orang hilang. Dengan demikian, telah 44 kasus yang diadukan ke LBH dan DPRD setempat. Ketua Yayasan LBH Iskandar Muda, Mohammad Yacob Hamzah, menyebutkan korban orang hilang yang telah dilaporkan kepada pihaknya, kebanyakan petani miskin dan minim pendidikannya yang terjadi antara tahun 1989 hingga 1992. Pada umumnya, mereka dijemput di rumah, di pos siskamling, dan ada di warung kopi. Mengutip beberapa aduan dari isteri dan anak korban yang diterima selama ini, kata Yacob, sangat mengerikan. Karena, ada korban kala dijemput di rumah, lalu disiksa di depan mata anak dan isterinya. Bahkan, ada korban yang kemudian rumahnya dibakar.4

Selama ini, derai air mata isteri dan anak korban keberingasan penculik tiap hari mengalir di LBH Iskandar Muda. Mereka umumnya penduduk yang tinggal di desa terpencil, misalnya di Kuta Makmur, Samalanga, Lhoksukon, Muara Dua, Jeunieb, dan Matang Kuli. Seperti pengaduan yang diterima Yayasan LBH Iskandar Muda pada 18 Juli 1998, tiga janda bersama anaknya mengadukan kehilangan suaminya yang dijemput orang misterius dan sampai sekarang belum kembali. Seba-gaimana dikisahkan Salbiah (43) penduduk Alue Glem Kecamatan Blang Mangat, suaminya Jamaluddin (54) dijemput tahun 1991, kala itu korban sedang menunggu makan malam bersama keluarga. Peristiwa serupa dialami janda Syamsiah (40) Desa Blang Baroh Kecamatan Kuta Makmur, suaminya M Nasir (45) dijemput orang misterius 13 Desember 1990. Kala penculik menjemputnya, korban sedang bermanja-manja dengan anak-nya yang paling bungsu.

Pengadu lainnya yang ikut kehilangan keluarganya adalah Rasyidah (40)Desa Krueng Seunong Kecamatan Kuta Makmur dan Abdurrahman (22) penduduk Blang Abeuk Kuta Makmur. Kata janda Rasyidah, suami-nya Zainuddin Hs (34) dijemput tahun 1990, korban diambil di Pos Sis-kamling, sementara A. Rahman mengadukan, bahwa abangnya M Yusuf H (48) diculik 28 Juni 1990 di rumahnya dan sampai sekarang para korban belum diketahui nasibnya. Karena itu, para keluarga korban berharap agar pemerintah dapat menyelidiki ke mana suami dan ayah pengadu dibawa orang misterius.

10. Disiksa Hingga Lumpuh

Safruddin Daud (32) sekarang cacat fisik seumur hidup akibat dipukul oknum penculik. Pada 2 Januari 1991ditangkap penculik, ia dibawa ke SD Krg Meusagop bersama puluhan warga lainnya, mereka dipukul babak belur dan mengakibatkan Safruddin patah tulang punggung. Sampai sekarang korban terpaksa tidur di rumah menahan derita, jangankan mencari nafkah, berak saja harus ditampung isterinya. Sebagai upaya kelangsungan hidup ayah dua anak itu, isteri tercintanya Aisyah (27) terpaksa bekerja keras. Seperti menanam padi dan bekerja upahan lainnya dari penduduk demi anak dan suaminya yang sudah cacat se-umur hidup. Menurut Safruddin Daud, sejak ia mendapat penyiksaan dari penculik yang tidak diketahui identitasnya itu, keluarganya telah mencoba mengobati ke berbagai rumah sakit, termasuk ke dukun patah. Namun, upaya yang ditempuh itu tidak pernah berhasil, sementara harta-nya sudah ludes dijual untuk beaya pengobatan dan karena semua sudah habis, ia sekarang pasrah menunggu ajal datang menjemputnya.

Pengaduan hampir sama juga diterima oleh LSM YAPDA Lhokseu-mawe, seperti diakui Direktur Eksekutif Div Community Organizer Zulfi-kar MS dan Sugito Tassan. Katanya, lembaganya terus didatangi keluarga korban yang mengadukan nasipnya, mereka datang umumnya pendu-duk desa pedalaman dan petani miskin.

11. Ditembak, kemudian Kuburnya Dibongkar

Walau Zainuddin (27) sudah jadi mayat, namun ia masih mengalami penderitaan. Peristiwa yang dialami Zainuddin tersebut terjadi pada bulan Agustus tahun 1991. Warga Ulee Reubek, Seunuddon, Aceh Utara ini berangkat dari Bireuen menuju Pantonlabu (Aceh Utara) pukul 01.00 dinihari. Para peronda malam menangkapnya setiba di Pos Cempedak, Jambo Aye. Karena tak

merasa bersalah, ia melawan dan sempat dipukuli. Lalu, para peronda menggelandangnya ke

Meunasah Cempedak. Sebagian yang lainnya memanggil polisi. Kemudian polisi datang, tapi

korban mela-wan. Karena tampak garang, para peronda lalu memanggil anggota Kopassus di Alue Bili. Saat itu korban lari ke kebun. Anggota Kopassus langsung menembaknya secara membabi buta. Korban jatuh terkapar dengan tubuh yang bersimbah darah. Mayatnya dilemparkan ke parit di dekat balai pasar Ulee Ruebek Timur, sekira pukul 03.00 dinihari. Kemudian, masyarakat mengambil dan mengebumikan mayat tersebut. Esoknya, pukul 11.00 WIB kesatuan ABRI dari Korem Lhokseumawe datang ke TKP ingin mengambil foto korban. Tapi, karena telanjur dikubur warga, diperintahkan untuk dibongkar kembali. Setelah memfotonya, mereka pulang, dan warga mengubur Zainuddin kembali.

12. Ditembak dalam Sumur

Korban kebiadaban aparat yang didor di dalam sumur itu adalah Muhammad Juned (28), warga Rawa Itiek, Pantonlabu, Aceh Utara. Suami Rabiah ini, menurut istrinya kepada FP HAM, diambil aparat keamanan pada suatu hari di tahun 1990 di Desa Matang Ruebek. Dalam kejadian itu, Juned yang tak tahu apa salahnya, dikejar oleh aparat. Kaki-nya tersandung, lalu jatuh terperosok ke perigi (sumur). Di perigi itulah korban didor. Air sumur yang jernih sontak berubah memerah oleh kucu-ran darahnya. Masih dalam keadaan bergerak, Juned diboyong aparat naik mobil ke Lhokseumawe. Sejak itu sampai sekarang korban tidak diketahui bagaimana nasibnya. Oleh FP HAM, musibah yang menimpa Muhammad Juned ini digolongkan sebagai korban orang hilang, meski keluarganya menduga Juned sudah almarhum. Cuma saja kuburnya tak diketahui di mana.

13. Ditembak di Depan Umum

Imuem Sulaiman (40), mengalami hal yang tak kalah sadisnya. Warga Lueng Dua, Simpang Ulim, Aceh Timur ini mengalami nahas di tahun 1990. Saat itu, seperti dikisahkan adiknya, M. Daud (kini 40 tahun) yang melapor ke Peduli HAM, abangnya yang meninggalkan enam anak itu diambil petugas sewaktu kenduri di rumah keuchik setempat. Lalu dibawa ke Pos Lueng Puet, diinterogasi diikuti pukulan bertubi-tubi. Setelah itu, korban dibawa ke lapangan sepak bola. Di sini ia dipukul dan dipertonton-kan kepada warga. Lalu, ia ditembak disaksikan ratusan warga sebanyak dua kali. Tembakan pertama pada kepalanya, dan tembakan kedua di bahu kirinya. Setelah roboh, petugas berlalu. Dan, jenazah korban dimandikan dan disembahyangkan secara Islam, lalu dikebumikan hari itu juga.

14. Penculikan Akibat Fitnah

Laporan “orang hilang” hingga 13 Juli 1998, mencapai 137 kasus. Sebagian kasus diduga kuat akibat fitnah antar masyarakat, fitnah politik atau salah informasi, bahkan ada aparat yang sengaja menyalah-gunakan wewenang dengan memanfaatkan status DOM. Tak terkecuali fitnah terhadap lawan politik, terutama menjelang Pemilu tahun lalu.5 Itulah sebabnya mengapa

kasus-kasus pelanggaran HAM itu perlu diusut, supaya diketahui benar kesalahan korban. Nurdin Amin dari PPP ini mengakui, sejumlah “orang PPP” yang dikenal “bersih lingkungan” pun bisa diangkut akibat fitnah politik tersebut. Tapi, dari kasus yang dilapor-kan masyarakat, memang bukan hanya simpatisan PPP yang jadi korban, tetapi ternyata ada juga “orang Golkar” ataupun politikus PDI. Tapi pada semua kasus itu terjadi pelanggaran HAM. Baik dari proses penangkapan, penyiksaan, maupun hukuman tembak yang tak melalui proses pengadi-lan. Hal ini yang sangat disesalkan.

Sebagai contoh korban fitnah bisa disimak dari cerita Puteh Idris (45), warga Sarah Panyang, Bandar Baru. Menurutnya, M Abas Saleh, suami-nya, diculik April 1998 lalu, akibat tuduhan yang “salah alamat”. Si pencu-lik menuduh suaminya menyimpan senjata atas laporan seorang “kaki tangan” penculik bernama M Yusuf (35), penduduk Desa Cubo, Bandar Baru. Semua tempat di rumah mereka yang berukuran 9 x 7 meter persegi itu digali, senjata dimaksud tak ditemukan. Ia yakin suaminya tak bersalah. Tapi, suaminya dibawa juga, dan sampai sekarang belum dikembalikan.

Sejumlah masyarakat yang melapor juga kerap menunjuk contoh kasus-kasus sejenis (terkait UU subversi) yang pernah disidangkan di pengadilan. Mengapa para korban sebelumnya tidak disidangkan saja, biar ketahuan apa kesalahannya? Juga, ada masyarakat yang telah membaca berita tentang dibebaskan atau “diampuni”nya sejumlah Napol/Tapol GPK di Banda Aceh atas instruksi “pemerintah reformasi”. “Mengapa anak saya tidak dilepas-lepas? Mohon perhatian pemerintah,” harap Usman Gade (80) dari Desa Seunong, Meuredu. Menurut Usman, dari pelacakan dia dan keluarganya, salah seorang anaknya yang diculik tanggal 5 Januari 1991 bernama Keuchiek Umar Usman (50) saat ini masih berada dalam tahanan di Medan. Sejak diculik, kata Usman, adiknya Umar yang bernama Samwi Usman (28) yang juga ikut diteror mulai ketakutan. Samwi yang tadinya simpatisan lalu lari ke hutan bergabung dengan GPK. Tak tahan, Samwi lalu resmi menyerahkan diri. Oleh Kades setempat, Samwi dibawa ke Koramil. Tanpa diduga, petugas langsung menembaknya hingga mati.

Teungku Rahman Ali (70), warga Cot Baroh, Glumpang Tiga, Pidie, pada 1996 dibawa ke Pos Sattis Bilie Aron (Rumoh Geudong), ditembak (lalu diobati). Kemudian, disiksa lagi dan dibawa ikut operasi untuk ditempatkan di barisan depan (sebagai tameng tentara) saat menghadapi serangan atau menyerang GPK. Cara berperang seperti sangat melanggar Konvensi HAM Dunia dan konvensi tentang etika perang.

16. Tangan Dibedah, Ditetesi Air Cuka

Kisah miris lainnya menimpa Rosli (25), warga Bola Mas Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Menurut ayah korban, Samidan Ali, yang melapor ke Peduli HAM, anaknya itu pada suatu hari di bulan Agustus 1991 sedang menuju pulang dari Unit VI tempat dia bertani ke rumah mereka di Unit III. Dalam perjalanan itu dia ditangkap petugas keamanan. Selama tiga bulan tidak pulang-pulang ke rumah istrinya. Setelah mencari ke sana--kemari, memasuki bulan keempat, pelapor mencari anaknya itu ke Pos Bola Mas Unit III. Di tempat itu, ia temukan Rosli sedang bekerja paksa sebagai tukang masak. Setelah didesak Samidan, akhirnya anaknya itu dikembalikan. Tapi, menurut pengakuan Rosli kemudian, begitu ia ditangkap kedua matanya ditutup dengan kedua belah tangan diikat. Kepada petugas dia mengaku akan pulang ke rumah, menemui istri dan mertuanya untuk mengabarkan bahwa lahan sawah mereka yang dia garap selama ini sudah siap tanam. Tapi, penjelasannya itu tak digubris petugas yang justru menudingnya menanam senjata di suatu tempat. Karena tak bisa menunjukkan tempat senjata itu, ia dipukuli dan diten-dang. Sampai pada gilirannya, “Telapak tangan saya dibelah, lalu diperaskan air jeruk ke celah luka itu. Perihnya tak terbayangkan,” ujar Rosli sebagaimana ditirukan ayahnya. Setelah siksaan itu ia lewati, Rosli tak diperkenankan pulang ke rumah, melainkan dikaryakan sebagai tukang masak di pos keamanan.

17. Mati Digantung

Penganiayaan yang dialami M Adam Puteh (55), penduduk Meunasah Cot Tunong, Simpang Tiga, yang diungkapkan kepada DPRD Pidie juga cukup menyayat hati. Pada tahun 1991, ia pernah digantung kepala ke bawah, kemudian dipukul dengan kayu, lalu ditendang dengan sepatu tentara.4 “Saya sudah ditahan, tapi tidak bisa melawan,” kata M Adam yang juga hadir pada

pertemuan dengan TPF DPR RI di Sigli. Selain itu, menurut pengakuan M Adam, ke dalam mulutnya juga pernah dimasukkan moncong senjata. Sampai menusuk ke tenggorokan dan berdarah. Seumur-umur ia mengaku tak pernah merasakan siksaan sedemikian parah itu. Menurutnya, penyebab ia ditangkap oleh oknum aparat itu hanya karena ia telah memotong buluh/bambu lemang. “Mereka menyangka saya akan membuat lemang untuk makan GPK. Karena di tempat itu memang tidak ada yang berani datang,” kata M Adam. Padahal, katanya, rumpun buluh itu sudah dibelinya dari Keuchiek Saman dan akan dipotong untuk dijual ke pasar. Capek ia menjelaskan, oknum itu tidak percaya dan terus menyiksanya untuk mencari “pengakuan” seperti yang dituduhkan mereka. Aiyub Ismail (39), warga Simpang Aron, Glumpang Tiga, mengungkapkan, meski sudah dianiaya agar mati, namun ajal belum menjemputnya. Dikisahkan, pada tahun 1991, malam hari datang tiga oknum tentara dan langsung membawanya ke Pos Jiem-jiem dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan ia sudah disepak dan dipukuli. Tiba di Pos, penganiayaan semakin dahsyat. Kedua tangannya pernah diikat dengan pemberat (batu) lalu dilempar ke sungai supaya tenggelam dan mati. “Mungkin ajal saya belum sampai. Setelah beberapa lama batu itu terlepas, dan Alhamdulillah saya timbul lagi,” kenang Aiyub. Ia diangkat, dan masih terus disiksa sampai tengah malam. Esok harinya, Aiyub dilepas dengan pesan: Apa yang telah dialaminya tidak boleh diceritakan pada orang lain. Belum pulih benar kesehatannya, tiga bulan kemudian, ia diambil lagi. Kali ini Aiyub ditahan sampai tiga bulan (di Kota Bakti dan Rumoh Geudong), juga tak lepas dari siksaan.

18. Penyiksaan Massal

Jumlah pelaporan kasus “orang hilang” maupun tindak kekerasan di Pidie sampai 30 Juli 1998, mencapai 629 kasus. Angka ini merupakan gabungan antara laporan yang dicatat di DPRD Pidie (524 kasus) dan yang dicatat oleh para relawan dari FP-HAM (105 kasus). Kasus-kasus penyiksaan — baik yang disiksa, diperkosa, maupun ditembak/dibunuh (tapi tidak mati) — semakin terungkap dan mendominasi laporan. Korban-korban penyiksaan kian berani memberi kesaksiannya. Bahkan di satu desa, Blang Iboih, Langgien, Bandar Baru, Pidie, sedikitnya 30 warga (separuh jumlah penduduk desa itu) telah diangkut serentak oleh oknum dan dibawa ke Pos Sattis terdekat pada 1991. Di situ, mereka diperiksa sekaligus dianiaya guna mencari tahu keterkaitan mereka dengan GPK. “Berbagai jenis siksaan telah mereka alami,” kata Zulkifli. Saking beratnya pukulan, salah seorang diantara ke-30 korban itu yang bernama Husen (32) diperkirakan telah meninggal dunia akibat penyiksaan. Karena ketika dibawa, jumlah mereka semua 30 orang. Pulangnya tinggal 29. Namun, mereka tidak tahu di mana kuburan Husen. Ke-30