• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Pemusnahan Peradaban Muslim Paling Biadab Sepanjang Sejarah Indonesia

PEMBANTAIAN di Aceh semasa rezim Soeharto jauh lebih biadab dan kejam dibanding kejahatan Abu Lahab dan Abu Jahal di zaman jahiliyah, karena mereka juga membantai wanita dan anak-anak yang tak bersalah. Militer yang didatangkan ke Aceh pada rezim Soeharto ini, lebih kejam bila dibandingkan dengan Abu Lahab dan Abu Jahal pada zaman jahiliyah. Pada za- man jahiliyah yang dipelopori Abu Jahal dan Abu Lahab pada waktu itu memburu Rasulullah untuk dibunuh. Pada suatu malam, Abu Jahal dan Abu Lahab datang mencari Rasul di rumahnya. Ternyata Rasulullah tidak ada, yang dilihat hanya Sayidina Ali yang sedang tidur di tempat pembaringan. Kedua pelopor jahiliyah itu, ternyata sedikitpun tidak mengusik Sayidina Ali dan keluarganya. Setelah mengetahui Rasulullah tidak bera-da di rumah itu mereka lalu pergi mencarinya ke tempat lain. Sementara Sayidina Ali sendiri bersama keluarga diketahui sebagai pejuang pembela Rasulullah. Peristiwa tersebut menggambarkan, bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab tidak membunuh dan mengusik orang lain yang bukan divonis mati oleh kelompok kafir Quraisy.

Kualitas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Aceh sebagai hal yang luar biasa. Kejahatan ini juga terencana, terorganisir, dan sistematis. Di antara data yang diserah-kan pegiat LSM kepada Komnas HAM antara lain, ada korban yang diculik, dianiaya, disetrum, dan kemudian ditembak di depan umum. Ada pula yang diperkosa di depan anak atau di depan suaminya. Beberapa bagian bentuk kejahatan itu, ada kemiripan dengan modus operandi penculikan aktivis prodemokrasi yang melibatkan Kopassus di Jakarta. Peristiwa pembantaian, penyiksaan, perkosaan yang dirasakan rakyat Aceh atas perbuatan militer selama DOM, sangat pedih dirasakan. Karena hal itu dilakukan oleh bangsa sendiri dan bukan bangsa lain yang pernah menjajah Indonesia seperti Belanda dan Jepang. Sebagian peristiwa penyiksaan tragis dilakukan aparat militer, misalnya ada wanita yang diperkosa secara bergiliran kemudian dicambuk dengan kabel, ada pula yang diperkosa di depan anaknya, telinga disayat dan ditetesi jeruk nipis, kepala dipukul dengan balok lalu dikuliti di depan anaknya, kepala digantung dan dipukuli dengan kayu, leher digorok dan kepalanya ditenteng, dan suami dipaksa keluar dari rumah sementara istrinya ditelanjangi lalu diperkosa sambil berdiri. Selain itu, ada pula yang ditelanjangi dan diarak sambil disiksa di tengah keramaian pasar dan terakhir ditembak di depan massa. Wanita disetrum pada payu dara dan kemaluannya, giginya dicabut dengan tang, ditembak dalam sumur, pria yang dibakar kemaluannya lalu disiksa dengan kabel dan gagang cangkul, disalib dan ditembak, diseret pakai tali lalu didor, dipaksa bersenggama sesama tahanan, tidak boleh menutup aurat saat shalat, ada juga yang ditembak di atas pentas lalu diperton-tonkan, dikubur separoh badan lalu ditembak. Yang ironisnya ada juga wanita yang diperkosa secara bergiliran dan dimasukkan botol sprite ke dalam vaginanya, rumah dibakar, harta dijarah. Itulah antara lain ber-bagai cara penyiksaan dilakukan militer terhadap rakyat Aceh, sehingga para korban kini masih mengalami trauma berat.

Di tengah operasi yang berlangsung, terjadi serpihan-serpihan peristiwa yang sangat sulit diterima oleh siapa saja yang masih mempunyai hati nurani. Penyiksaan dan penjarahan terhadap “milik” perempuan yang berharga, mulai dari pelecehan seksual sampai pembunuhan justru dilakukan oleh aparat yang seharusnya melindungi dan membela rakyatnya.

Tetapi, yang namanya bau busuk tidak pernah bisa ditutupi selama-nya. Setidaknya LSM, LBH, dan aktifis mahasiswa sudah mengawali mengungkapkan fakta tersebut, bahkan langsung membawa korban ke Komnas HAM. Usaha pendampingan terhadap korban sudah dilakukan. Namun sampai saat ini sebagian besar korban belum tertangani. Sejak turunnya TPF DPR RI ke Aceh, sejumlah kasus perkosaan dan pembunu-han terhadap perempuan juga dimulai terungkap dan menghiasi hala-man muka surat kabar.

Kasus-kasus dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dialami perempuan yang terjadi dari ratusan kekerasan yang terjadi seputar diberlakukannya Daerah Operasi Militer selama ini tidak pernah terungkap. Ada beberapa alasan yang menyebabkan informasi ini tidak diketahui oleh masyarakat luas dan dunia internasional, seperti:

1. Korban pemerkosaan terutama Aceh, sering dianggap aib dan memalukan. Akibatnya korban atau keluarga selalu berusaha untuk menutupi kejadian tersebut.

2. Adanya ancaman dari pelaku untuk “tidak mengungkap” kejadian tersebut pada orang lain, kerena pelakunya aparat yang sedang bertugas di daerah tersebut, membuat korban/keluarga selalu berada dalam kondisi diintimidasi.

3. Penderitaan dan trauma yang dialami korban sangat mendalam, sehingga sangat sulit bagi korban untuk menceritakan pengalaman buruknya, apalagi kepada orang yang tidak terlalu dikenalnya.

4. Adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu terhadap orang ataupun LSM yang mendampingi korban.

Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh pola kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di Aceh, selama berlakunya Operasi Militer.1

Dari pemaparan fakta di atas dapat dilihat betapa kejamnya perla-kukan kekerasan oleh aparat terhadap kaum perempuan. Beberapa diantaranya korban meninggal dunia, beberapa yang lain berada dalam kondisi fisik dan psikologi yang sangat berat. Sampai saat ini jumlah korban yang mengalami perkosaan, pelecehan seksual dan pembunuhan belum sepenuhnya terdata lengkap. Data di atas, hanya contoh kasus dari berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan akibat pemberlakuan Daerah Operasi Militer baik secara langsung dan tidak langsung.

Ada data lapangan yang menunjukkan beberapa wanita Aceh dihamili aparat keamananan selama DOM, bahkan ada yang sudah punya anak. Wanita-wanita malang ini mencemaskan kalau pasukan ditarik, yang menyebabkan anak mereka tak (lagi) punya ayah. Dalam proses- proses begini, selalu ada pemerkosaan dan ada anak yang dilahirkan oleh proses yang semacam itu, atau adanya bentuk-bentuk penistaan kemanusiaan.

Di luar data hampir 2.000 orang yang dinyatakan hilang sejak 1989, khusus di tahun 1998 ini sedikitnya ada 34 orang hilang di Aceh. Mereka rata-rata dibawa ke Pos Sattis Kopassus. Karena baru diculik. Kelihatannya masih berpeluang “diselamatkan”. Kalau penculiknya jelas dan mereka dibawa ke mana, otomatis tinggal dilepaskan saja dari tempat penye-kapannya. Tempat-tempat penyekapan di seluruh Aceh merupakan bukti tentang adanya operasi militer di Aceh.

Masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang dibuat ketakutan sekian tahun. Secara otomatis, pemulangan mereka yang masih dimungkinkan dari tempat-tempat yang begitu, menjadi bagian dari rehabilitasi situasi ketakutan masyarakat. Yang prinsipil saat ini tidak saja ABRI, tapi juga pemerintah daerah (Pemda) punya kewajiban untuk mengembalikan situasi ini. Merehabilitasi kondisi ketakutan-ketakutan masyarakat. Ter-masuk di beberapa daerah lain bahwa ini tidak saja termasuk penghi-langan orang, tapi juga diikuti dengan penghilangan harta, penjarahan, bahkan pembakaran rumah. Rehabilitasi itu mencakup juga ganti rugi barang-barang yang dirampas aparat dari masyarakat, tanah, kendaraan, perhiasan, uang, dan sebagainya, serta menjadi bagian dari proses rehabi-litasi yang bertahap dan harus dilakukan.

Rehabilitasi terhadap fisik korban secara langsung, misalnya ada yang cacat, terluka, dan sebagainya. Harus ada upaya pemerintah untuk mela-kukan itu. Pemerintah harus mengumumkan secara terbuka siapa-siapa saja yang menjadi korban kekerasan ini untuk mendaftar di rumah sakit-rumahsakit untuk diberi pengobatan gratis, untuk menunjukkan itikad pemerintah memperbaiki kondisi atau merehabilitasinya. Hal yang demikian akan membawa dampak psikologis juga terhadap proses pemu-lihan di masyarakat.

Kasus orang hilang di Aceh sama dengan kasus penculikan aktivis prodemokrasi di Jakarta. Digunakan cara-cara pelaku penculikan selama ini banyak dilakukan pemerintahan Soeharto. Umpamanya, korbannya di-pressure, ditekan, dan dianiaya, setelah itu dibunuh dan mayatnya dibuang dengan keadaan fisik yang rusak, serta wajah yang sukar diidentifikasi lagi, agar masyarakat atau keluarganya tidak dapat mengenalinya lagi.

Mungkin setelah di luar ada yang dihabisi, tapi itu yang seharusnya tak boleh terjadi. Maka, yang terbaik adalah pelepasan secara formal. Dimulai, misalnya, ABRI membuat daftar tentang orang dan keadaan mereka yang berada di tempat-tempat penyekapan itu. Kemudian, mengundang keluarga-keluarga mereka dan tempat (lembaga-lembaga) di mana mereka selama ini mengadu, untuk menyerahkan mereka yang diculik. Termasuk menjelaskan secara jujur kalau di antara mereka ada yang sudah meninggal kepada keluarganya masing-masing. Dan ABRI menyatakan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang sudah meninggal tersebut. Pelepasan dengan pola pembebasan aktivis di Jakarta malah menambah masalah pelanggaran hak asasi. Jangan sampai penyelesaian masalah ini malah membuka ruang bagi pelanggaran HAM lainnya. Bentuk-bentuk kekuasaan, pressure, dan lain-lain, haruslah dihindari.

Yang sekarang jadi persoalan, peta persoalan akibat dari semua proses yang terjadi di Aceh sejak 1989 itu belum terekam dengan baik. Baik oleh ABRI sendiri, maupun oleh masyarakat. Saya kira, saat ini kalau memang pemerintah beritikad baik memperbaiki kondisi di Aceh, secara otomatis mereka memiliki kewajiban membangun ruang rasa aman masyarakat agar persoalan ini lebih menjadi mudah untuk lebih terbuka. Sebab, jika masyarakat masih ketakutan untuk memberikan informasi, sepanjang situasi ketakutan masyarakat masih belum mampu dikubur, maka kita masih akan menghadapi hambatan-hambatan proses pertanggung-jawaban. Dengan begitu, pencabutan DOM masih terlalu formil untuk dinilai sebagai suatu keputusan politik yang berarti, sebelum situasi itu diikuti dengan perbaikan kondisi masyarakat Aceh.

Pernyataan-pernyataan yang berbau mengancam, mestinya itu tak dilakukan lagi, karena hal itu bagian dari proses menghambat perbaikan kondisi di Aceh. Dari hasil investigasi LSM dan laporan keluarga korban, ternyata banyak anggota masyarakat yang dimobilisir ABRI ikut

operasi, sekaligus sebagai tameng saat ABRI berhadapan dengan GPK. Ketika mereka terbunuh, tak pernah dipertanggungjawabkan.

Satu hal yang mendasar yang terjadi di Aceh, bahwa yang terjadi di sini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Berbagai pelanggaran HAM selama berlangsungnya operasi militer di Aceh seperti yang belakangan ini terungkap benar adanya, maka itu tergolong kejahatan luar biasa dan menjurus pada pemusnahan peradaban etnis Aceh.2 Dia tidak termasuk hukum perang,

karena di Aceh tidak ada perang. Kejahatan terhadap kemanusiaan secara otomatis harus dipertanggung-jawabkan oleh pemerintah yang mengambil keputusan untuk kemudian menimbulkan ruang bagi orang untuk melakukan berbagai kejahatan bagi kemanusiaan. Maupun terhadap individual yang kemudian menim-bulkan persoalan-persoalan mendasar lainnya. Lagi pula, gara-gara DOM ini, bukan saja militer yang melakukan itu, tapi juga banyak orang yang memanfaatkan situasi DOM itu untuk, misalnya, memperoleh akses ekonomi dan sebagainya. Dan ini semua harus dipertanggungjawabkan. Tapi, tetap bukan hukum perang.

Tapi, bukan berarti mereka yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan itu tidak bisa dikenakan sanksi, yang di dunia internasional, apa yang disebut dengan istilah dipersona non- gratakan atas suatu tindakan yang dianggap melanggar kemanusiaan. Ini seperti yang dilakukan terhadap Sintong Panjaitan. Beliau dipersona non-grata di beberapa negara Eropa. Kalau dia ke sana akan ditangkap. Yang penting, asal ada laporan dan pengaduan dari masyarakat.

Tapi, yang juga penting, karena hal ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebetulnya warga Aceh, baik secara individual, maupun melalui organisasi, bisa melapor resmi langsung atau melalui faks atau surat, perorangan pun boleh, kepada Komisi HAM PBB. Bila itu disam-paikan, komisi tersebut niscaya akan melakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk kekerasan di Aceh.

Sejauh ini, secara umum dikenal pembantaian para jenderal dalam peristiwa G30S/PKI sebagai sesuatu yang sadis. Dibanding apa yang terjadi di Aceh, sadisme yang terjadi di Aceh adalah kejahatan paling tradisional, yang masih berlangsung di negara yang relatif berkehidupan modern ini. Ini kejahatan paling kasar dan tradisional, cuma beberapa negara yang masih melakukannya. Di Asia ini, yang terakhir mempraktek-kannya itu Burma. Marcos saja di Filipina tak melakukannya. Kemudian, pernah ada di beberapa negara Afrika dan beberapa negara Amerika Latin yang relatif tertinggal. Dan Indonesia termasuk negara yang terting-gal dalam menjauhi tindak kejahatan tradisional itu. Padahal, agama (Islam) mengajarkan bahwa membunuh satu orang itu sama dengan membunuh seluruh isi bumi dan langit. Itu artinya, kejahatan kemanusia-an itu nilainya sangat tinggi.

Dengan pernyataan pencabutan DOM di Aceh oleh Pangab di Lhok-seumawe, para janda yang suaminya diduga diculik aparat keamanan di daerah itu berharap agar suami mereka bisa dikembalikan. Kalau ia sudah dibunuh, hendaknya bisa diketahui di mana kuburnya dan memin- ta pemerintah mengusut para pelakunya, ujar beberapa janda asal Lhoksukon3 melalui LBH

Iskandar Muda dan LSM YAPDA Lhokseumawe. Seperti diakui seorang ibu rumah tangga Kasmawati (30) warga Desa Matang Reudeup, Kecamatan Lhoksukon Aceh Utara, ia berharap suaminya Amiruddin (30) bisa menyaksikan HUT-RI ke-53 bersama anaknya. Saya tidak mampu jawab pertanyaan anak yang ditinggalkan. Mereka tiap hari menanyakan ke mana ayah pergi. Selama ini ia mengaku hatinya tersiksa dan terpaksa menangis. Ibu rumah tangga yang sekarang tinggal bersama anaknya di gubuk reot tiga kilo meter bagian timur Kota Lhoksukon, didampingi Direktur LSM-YAPDA Sugito Tassan Lhokseumawe mengatakan, pertama suaminya di jemput petugas ke rumah. Tapi, kala petugas datang, kata Kasmawati, korban tidak di rumah, lantas petugas berinitial IRF, menitip pesan pada kepala lorong jika ia sudah pulang segera datang ke pos penculik. Begitu suaminya Amiruddin pulang dari kerjanya sebagai petani, kata Kasmawati, korban mendapat kabar dari kepala lorong M Yusuf bahwa ada pesan dari petugas Kopassus. Setelah dapat kabar itu, korban mendayung sepeda langsung datang ke pos Matang Ubi Lhoksukon menjumpai oknum itu. Namun, beberapa jam kemudian korban pulang ke rumah menitip sepeda, kala itu ia didampingi seorang petugas berpakaian preman dan kepada isterinya korban memberitahukan ia dibawa Kopassus ke Pos Alue Bilie, Kecamatan Baktia Pantonlabu. Sejak korban dibawa ke Pos Alue Bili 30 Maret 1997, kata Kasmawati, sampai sekarang belum pernah pulang ke rumah. Tiga hari setelah ia dibawa ke Pos Kopassus Alue Bili, Kasmawati datang sekaligus membawa pakaian dengan harapan bisa ketemu dengan Amiruddin. Seorang petugas berinitial IRF yang dijumpai di pos tersebut tidak tahu ke mana korban dibawa, tapi IRF mengaku pernah memesan Amiruddin ke pos lewat kepala lorong, tapi tidak datang ke pos, mungkin ditangkap orang lain, kata Kasmawati meniru ucapan oknum IRF didampingi Direktur YAPDA Lhokseumawe. Ia yakin yang mengambil itu aparat keamanan. Karena, korban sendiri ketika minta pamit memberitahukan dan dikuatkan keterangan kepala lorong, kata Kasmawati. Bahkan, wanita hitam manis itu punya firasat bahwa suaminya masih hidup, tapi ia berada dalam tahanan petugas dan selama korban dijemput, ia pernah bermimpi tiga kali seolah-olah korban pulang ke rumah bersenda gurau dengan anak-anaknya. Selama suaminya ditahan penculik, kata Kasmawati, pihaknya bersama anak bersandar hidup pada orang tuanya. Bahkan, biaya sekolah dua di antara empat anaknya ditanggung ayahnya yang sudah uzur itu, tak mungkin anak itu bisa melanjutkan sekolah ke SMP nanti, kata Kasmawati menunjukkan wajah sedih. Selain Kasmawati, juga beberapa janda lainnya di desa Matang Reudeup Lhoksukon, yakni Ny Rukiyah

(35). Isteri M Yusuf Husen itu mengisahkan bahwa suaminya dijemput petugas tahun 1991 lalu, sampai sekarang belum diketahui nasibnya.

Pemda Aceh berjanji akan terus membina dan menyantuni para keluarga korban orang hilang dan tindak kekerasan akibat operasi militer yang berlangsung di daerah ini sejak 1991.4 Hal itu

dikemukakan gubernur seusai membuka Masa Sidang ke-2 1998/1999 DPRD Tk I Aceh di Banda Aceh. Pemda mengakui, masih banyak para janda dan anak yatim dari keluarga korban yang perlu mendapat perhatian, baik moril maupun meteril, sehingga para janda dan anak yatim tidak merasa tertekan batinnya. Meski jumlah janda dan yatim belum diketahui persis, namun Pemda Aceh akan terus berupaya membantu para keluarga korban akibat operasi meliter di daerah ini, terutama para janda dan anak-anak mereka yang telah menjadi yatim. Data sementara yang berhasil dihimpun Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh menyebutkan, jumlah janda akibat operasi militer di daerah ini mencapai sekitar 1.480 orang, sedangkan anak yatim sekitar 6.000 orang.

Penderitaan panjang yang dialami telah meninggalkan luka-luka yang kasat mata karena merupakan luka fisik, atau luka-luka dalam jiwa yang sulit untuk dipandang, apalagi diraba. Trauma psikis yang dialami para korban DOM, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda, bahkan anak-anak, terjadi karena berbagai peristiwa yang secara langsung maupun tidak langsung dialami, dilihat, didengar, atau bahkan dirasakan. Seorang srikandi Aceh, sarjana psikologi, Nurjannah Bachtiar Nitura, mengungkapkan bahwa trauma psikis yang dialami oleh mereka yang langsung mengalaminya tentunya lebih berat. Namun, tidak menutup kemungkinan trauma psikis tersebut juga dapat terimbas pada mereka yang secara tidak langsung mengalaminya. Hanya Nurjannahlah yang menyumbangkan ilmu psikologinya untuk Aceh bagi rehabilitasi mental- psikis rakyat yang sudah sangat menderita ini. Sebagai contoh, Sum yang menjadi korban perkosaan oknum aparat tentu akan mengalami trauma psikis yang berat. Namun, gadis-gadis yang tinggal di sekitar Sum juga dapat terimbas kecemasan karena jiwanya, harga dirinya sebagai wanita, eksistensinya, dan sebagainya terancam. Situasi yang serba mencekam, menakutkan, fitnah, ekspose kekerasan, dan ketidakadilan, menghadirkan sebuah situasi ketidakpastian dalam kehidupan seseorang. Hal ini akan mempengaruhi kondisi psikis seseorang sehingga ia merasa serba tidak pasti dan terancam keselamatannya. Yang jelas dalam situasi demikian, peluang timbulnya kekacauan mental (mental disorder) semakin tinggi.5 Bentuknya antara lain:

1. Neurosa histerik ditandai dengan hilangnya fungsi mental atau fisik tanpa dikehendaki.

Manifestasi gangguan ini dapat berupa reaksi konversi yang merupakan konversi kecemasan dalam bentuk gangguan fungsional syaraf, misal: lumpuh, tuli, buta dan lain-lain setelah mengalami pengalaman traumatis. Namun, dapat juga berupa reaksi disosiasi di mana beberapa fungsi kepribadian terpisah satu dengan yang lain. Sebagai contoh pecah kepribadian, berusaha melupakan traumanya hingga terjadi amnesia.

2. Neurosa phobia ditandai dengan ketakutan yang hebat terhadap sesuatu yang pernah

menghadirkan pengalaman traumatis pada dirinya. Misalnya seorang gadis yang diperkosa menjadi takut dengan laki-laki atau seseorang yang menyerupai laki-laki (misal gadis tomboy).

3. Neurosa depresif merupakan suatu gangguan perasaan dengan ciri-ciri harga diri rendah,

murung, kurang bersemangat, menyalahkan diri sendiri, apatis. Bahkan, pada kondisi tertentu ada keinginan untuk bunuh diri.

4. Paranoid dicirikan dengan adanya kecurigaan yang tinggi dan rasa bermusuhan yang hebat. 5. Beberapa gangguan seksual, misalnya vaginismus (ketegangan otot vagina sehingga

perempuan tak dapat berkoitus secara normal dengan suaminya), frigid (dingin), dan lain-lain akibat diperkosa atau disakiti pada kemaluannya (disetrum).

6. Gangguan psikis lainnya, baik jenis neurosa (mengenai sebagian kepri-badian, temporer, tidak melukai diri sendiri atau orang lain, peluang kesembuhan masih tinggi) atau bahkan psikosa (mengenai seluruh kepribadian, terus-menerus dan penyakitnya progresif, dapat memba-hayakan diri sendiri atau orang lain, sering hilang orientasi terhadap lingkungan dan kesembuhan permanen jarang sekali) yang pada kesempatan ini tak mungkin disebutkan satu per satu.6

Di antara 10 Dati II di Aceh, Pidie diperkirakan memiliki jumlah janda tertinggi. Hasil sensus penduduk terakhir (1990), jumlah janda di Pidie mencapai angka 23.366 orang, yakni 5,5 % dari jumlah penduduknya waktu itu. Dan, dalam tahun 1991 yang sedang marak operasi militer untuk memberantas gerombolan pengacau itu pula, tingkat pertumbuhan penduduk Pidie anjlok drastis, dari rata-rata 1,4 % per tahun menjadi 0,4 %.7 Sayangnya, Kantor Statistik Kabupaten Pidie tak

mendata jumlah janda ini secara rutin tiap tahun. Angka jumlah cerai mati dan cerai hidup ini hanya didata pada setiap sensus penduduk secara nasional sepuluh tahun sekali. Sensus terakhir tahun 1990. Angka 23.366 janda di Pidie yang didata sampai akhir 1990 itu, meliputi 19.498 janda cerai mati, dan 3.868 janda cerai hidup. Jumlah janda cerai mati tersebut bukan semuanya janda korban operasi militer, termasuk jumlah janda akibat kematian biasa, atau penyebab lain. Tapi, akibat operasi militer yang mulai gencar pada 1990 memang telah mendongkrak jumlah janda di Pidie. Juga pada operasi 1991, janda cerai mati meningkat hingga totalnya melampaui jumlah 24.000 janda. Data akurat menyangkut janda korban operasi militer sendiri hingga kini belum terdata. Yang menarik, pertumbuhan penduduk di Pidie pada tahun 1990 dan 1991 hanya

0,4 %. Padahal, masa itu, di tingkat nasional pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata 2 % per tahun. Rendahnya angka pertumbuhan penduduk di Pidie pada dua tahun itu memang bukan