• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tardi Nurdiansyah

14 “Dikubur” Sampai Sebatas Leher

Bab 11-02 Para Saksi dan Korban Intelijen Peristiwa Talangsar

3. Tardi Nurdiansyah

Tardi Nurdiansyah lahir di Karanganyar, 9 November 1977, Solo, Jawa Tengah. Pendidikan terakhirnya di Pondok Pesantren Ngruki Solo Jawa Tengah. Menurut penilaiannya, “Ada yang mengatakan bahwa gerakan Lampung ini adalah gerakan orang yang tidak mengenal Islam. Baginya sebagai muslim, tuduhan Jaksa itu sangat hina sekali, tapi kami di Lampung padahal sangat tulus dan ikhlas melakukan bakti karena Allah SWT sesuai dengan pola pikir ketika itu”.71

Dia berkenalan dengan tokoh-tokoh yang terkait Gerakan Lampung semasa di Jakarta Utara dan di Lampung. Bahkan dia sudah saling mengenal dengan baik dan akrab pada Pak Warsidi. Kemudian memu-tuskan untuk menetap di Lampung. Tardi berdiam di rumah kakaknya di Cihideung, Talangsari. Dengan berbekal ilmu dari pesantren dia mengajar mengaji di daerah tersebut. Dia merasakan senang tinggal di sana, karena suasana Islami seperti di Pesantren Ngruki Solo.

Gerakan keagamaan yang dilakukan Warsidi itu menurutnya adalah gerakan untuk membangun masyarakat dengan suasana Islam, tidak ada tujuan untuk memberontak terhadap pemerintah. Yang jelas menu-rutnya, bahwa gerakan pengajian itu untuk menuju mardhatillah72, walau-pun tidak ditunjang penuh oleh kemampuan agama Warsidi yang tidak sehebat ulama di Solo. Tapi tujuannya sudah baik, Warsidi ingin menegak-kan syariat Islam. Namun karena sifat pengajiannya yang agak eksklusif mengakibatkan aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah.

Menurut Tardi, dalam kasus Talangsari ini sebenarnya tidak diren-canakan sebagaimana pernyataan pemerintah. Kasus ini sifatnya insiden atau musibah saja, karena ada miskomunikasi maka terjadilah tragedi Talangsari tersebut. Padahal masyarakat setempat tidak ada niat sedikitpun hendak melawan pemerintah. Pada saat kejadian, sebenarnya Tardi kebe-tulan tidak ada di tempat. Dia sedang berada di Rajabasa dan dalam perjalanan pulang ke Cihideung menemui kakaknya. Namun kenapa ketika sampai di daerah Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan. Maka pada waktu penangkapan terjadilah insiden kekerasan itu. Tardi mengalami perlakuan yang tidak sesuai dengan hukum. Padahal dirinya tidak tahu menahu tentang perlawanan rakyat itu, dan dirinya langsung dibawa ke Kodim.

Sesampai di Kodim, Tardi diinterogasi oleh tentara Kodim. Selanjutnya setelah beberapa lama dalam sel dibawa ke Korem Gatam. Selama di Korem, Tardi ditanyai banyak oleh tentara tentang kakaknya. Ada terbetik kabar bahwa kakaknya telah meninggal tertembak di lokasi kejadian Cihideung pada waktu operasi penggerebekan. Berdasarkan kedekatan-nya dengan pengajian Warsidi itulah maka oleh aparat Tardi diperkirakan sebagai aktivis Islam gerakan Lampung. Uniknya dalam penangkapan itu tidak diberitahu dasar hukum apa sehingga ditahan selama itu. Dalam proses pemeriksaan di Rajabasa itu kurang lebih selama 1 (satu) bulan di Korem.

Selanjutnya perkara tentang dirinya di limpahkan ke pengadilan. Pada saat sidang di Tanjung Karang yang tanpa pembela itu dia meng-hadapi tuntutan hukuman mati dan penjara hukuman seumur hidup. Tardi dituduh merongrong pemerintah yang sah dan menghina aparatur negara dan dipojokkan secara politik., bersama dengan 17 orang lainnya dari Lampung dan Jakarta ditahan di Nusakambangan.

Waktu mengalami pemeriksaan verbal di Lampung, Tardi sempat bertemu dengan aparat keamanan. Dalam perjumpaan itu ada proses dialog yang menanyakan perihal kejadian Talangsari. Karena jawaban-nya tidak tahu, akhirnya dkembalikan ke sel kembali. Namun selama proses tersebut tidak ada tindak kekerasan. Dalam perkembangan lebih lanjut, tatkala bertemu dengan oknum aparat yang lain, Tardi mengalami berbagai penghinaan/penyiksaan yang luar biasa, sampai badan tidak merasakan lagi bagaimana sakitnya dan darah berceceran akibat penyik-saan.

Tardi merasakan bahwa ada kalanya proses tindakan penyidikan itu betul-betul terlalu mengabaikan hak asasi manusia (HAM). Padahal kalau dilihat dalam status hukumnya haruslah mengacu kepada proses hukum praduga tak bersalah. Pada waktu penangkapan, tidak ada surat penangkapan. Malah yang ada penggebukkan dan tindakan kekerasan. Jadi yang Tardi alami hanya itu, di luar dari aturan hukum yang berlaku. Yang jelas negara ini adalah negara hukum, apakah hukum itu berlaku? “Yang pada kenyataanya hukum telah tercampakkan oleh aparat yang tidak manusiawi.”73

Terhadap perlakuan aparat keamanan yang semena-mena itu, Tardi tidak memiliki rasa dendam. Menurutnya, “kita tahu, aparat militer itu apa kata pimpinan dan saya lihat Pak Hendro dan kami memiliki kemau-an untuk ishlah. Pak Hendro ada kemauan untuk ishlah.” Ditambahkan-nya, karena kedua belah pihak telah mendapatkan korban, ia secara pribadi tidak ada perasaan dendam, tapi tidak menutup kemungkinan kalau dari yang lain untuk menuntut itu

terserah. Yang jelas dengan diprosesnya dia di pengadilan, masyarakat merasa senang karena mengetahui kejadian sebenarnya, di mana orang takut terhadap Presiden Soeharto, kita tantang ketakutan itu dan masyarakat respon terhadap kita. Ketika orang takut dijerat kasus subversif, kita tantang itu karena bagaimanapun masyarakat akan hidup dalam suasana demokrasi, kalau salah dijerat dalam kasus subversif.”74

4. Arief

Arief lahir di Sidorejo, ketika terjadinya peristiwa Talangsari ia berusia 18 tahun. Yang ada dalam gambarannya tentang kejadian itu adalah suasana perang. Saat itu, tepatnya tanggal 7 Februari 1989, ia melihat telah terjadi bentrokan antara tentara dengan anggota jama’ah Warsidi, yang satu menggunakan senjata dan yang lainnya dengan memakai panah-panah beracun. Karena keberadaannya di tempat lokasi kejadian, maka bisa dikatakan bahwa dirinya merupakan saksi hidup yang melihat secara langsung peristiwa itu.75

Ia sadari betul bahwa yang terjadi di desa Talangsari itu merupakan pengalaman pahit bagi dirinya. Untuk itu, sembilan tahun lebih peristiwa pahit itu dipendam dalam bathinnya, dan berusaha dengan susah payah dihilangkan dalam memorinya. Baginya peristiwa tersebut memberikan bukti nyata begitu mudahnya orang berbuat kekerasan apakah itu pihak militer maupun warga jama’ah Warsidi sendiri, padahal pada saat kejadian ia baru satu malam di pedukuhan Cihideung. Mungkin yang paling disesalinya adalah kecerobohan dan sikap keterlaluan dalam menantang negara yang dilakukan oleh para tokoh tragedi ini dari Jakarta.

Jauh sebelum peristiwa terjadi, kejadian-kejadian kelam tidak nampak dalam kehidupannya. Ia tumbuh seperti anak-anak desa umumnya secara wajar, bermain dan bercanda. Tidak pernah dalam pikirannya akan mengalami hal-hal di luar jangkauan pikirannya, karena dirasakan ketika itu dia hidup di daerah yang aman-aman saja. Bahkan ketika menginjak usia 9 tahun, ia masih bisa menikmati bangku sekolahan. Ia duduk di bangku sekolahan kelas 4 SD. Di samping kegiatan di SD, ia juga aktif menjadi santri di Pondok Pesantren Al Islam pimpinan Muhammad Usman.

Siapa sangka bahwa musibah akan menimpanya, karena memang musibah itu datang tanpa diketahui sebelumnya kepada siapa dan kapan. Tepatnya, pada hari senin tanggal 6 Februari 1989 sekitar pukul 17.00 WIB, ia bersama rombongan dengan menggunakan dua truk mobil datang ke Cihideung untuk mengikuti pengajian akbar. Malam itu ba’da Maghrib sampai dengan menjelang isya, ia mengikuti pengajian bersama dengan jamaah lainnya. Setelah itu dia dengan rekan-rekan sebayanya disuruh untuk tidur.

Pada subuh harinya, selasa,7 Febuari 1989, ia mendengar suara tem-bakan. Akibat desingan peluru yang amat keras membuat ia bangun dari tidurnya dan kemudian keluar untuk melihat apa gerangan yang sedang terjadi. Ketika ia sudah berada di luar rumah ternyata yang ia lihat adalah bentrokan antara tentara dengan jamaah. Suasana ketika itu persis seperti kejadian “perang” saja. Ketika sedang berkecamuknya “perang”, kemudian ia mendengar suara dari seorang jama’ah yang menyuruhnya masuk ke rumah. Lalu tanpa bertanya-tanya lagi ia pun menuruti perintah jama’ah tersebut. Rumah yang dimasukinya hanya berselang satu rumah saja dengan musholla Mujahiddin. Di dalam, ia bertemu dengan istri Abadi dan anak-anak seusianya. Mereka berada di sana kurang lebih 3 jam. Di balik persembunyiannya itu sayup-sayup ia mendengar suara orang meneriakkan “Allahu Akbar” dan suara tem-bakan. Dari bilik dinding rumah itu ia mengintip dan menyaksikan bentro-kan itu masih terus terjadi.

Namun selang beberapa jam kemudian suasana berubah hening. Dalam suasana yang seperti itu Arief hanya cuma bisa berharap bahwa semoga Allah memberikan pertolongan kepadanya. Tidak lama kemudi-an ia mendengar seseorang memberikan aba-aba hitungan. “Saya hitung sampai 3, jika tidak keluar, rumah ini dibakar,” katanya. Mendengar itu, istri Abadi menyuruh Arief dan lainnya ke luar. “Dik, kamu ke luar saja, Masa Depan kamu Masih Panjang.” Ia bersama rekan yang lainnya keluar lewat pintu belakang, berlari, merunduk dan sesekali tiarap. Pada saat itu ia melihat banyak mayat bergelimpangan dan masih ada yang sekarat. Bahkan sempat menyuruh seseorang yang sekarat untuk mengucapkan Istigfar dan Syahadat. “Pak, Istigfar, Ucap Syahadat,” katanya. Selanjutnya mereka terus berlari ke arah kali beringin.

Sesampai di sana, kami memceburkan diri dan berendam, sesekali menyelam, sesekali menonggolkan kepala. Di saat itu juga, saya melihat 2 orang melakukan hal yang sama dalam kandisi tertembak. Waktu itu, tinggi air sedagu Saya. Karena merasa tidak tahan, 3 orang dari kami mencoba keluar untuk menjelamatkan diri dengan cara berenang. Tetapi tidak lama, Mereka ditangkap oleh tentara. Saya dan satu orang kawan seusia mencoba untuk bertahan. Tapi karena sudah tidak tahan, kami mencoba bergerak berenang dengan cara melawang arus. Sama seperti 3 orang sebelumnya, kami pun tertangkap oleh tentara. Spontan saya sempat angkat tangan tanda menjerah. “Tidak usah angkat tangan.” Kata salah seorang anggota tentara. Kemudian saya dibawa melewati lokasi semula. Di sana saya melihat banyak mayat dan rumah-rumah sudah terbakar.

Saya beserta dengan yang tertangkap lainnya, dibawa keluar lokasi. Kami dikumpulkan berdasarkan umur disalah satu rumah penduduk. Kawan-kawan seusia yang ada ibunya dijadikan satu.Kami disuruh duduk. Saya pikir kami mau ditembak, ternyata saya dan lainnya malah diberi uang recehan. Tidak tahu apa maksudnya.

Kami diangkut dengan mobil tentara dan dibawa entah kemana. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 1 jam. Sesampainya tempat yang dituju ternyata tenpat penjara, Saya dimasukan ke dalam sel berlima dengan yang seusianya. Saat akan masuk kepenjara, tahanan yang lain-nya mengata-ngatai kami sebagai GPK atau PKI. Saya dipenjara selama satu minggu. Kami yang tadinya berlima, karena yang dua menangis mencari ibunya.

Dari penjara, kami dibawa ke salah satu komplek tentara. Di sana, kami diberikan pengarahan bahwa kami akan dibawa ke Pelabuhan Bakauheni untuk menunggu pelarian GPK. Selanjutnya kami dibawa lagi yang saya tahu kemudian komplek tentara lagi. Sama seperti sebelumnya, kami diberi pengarahan yang sama. Dan untuk itu, kami akan dibagi seperti shift kerja. Salah satu orang anggota tentara sempat berkata dengan saya, “Dik, Kalau lihat Anggota GPK, kasih tahu Bapak, ya.”

Selam 24 jam secara bergantian kami menunggui orang-orang yang dianggap pelarian. Saya tidak pernah menunjukan orang, walau ada satu yang saya kenal. Sedangkan kawan saya yang satunya bernama Abas, banyak menunjukkan orang. Setiap yang ditunjuk, pasti ditangkap aparat. Dan dibawa ke kompleks tentara tersebut. Terhadap orang-orang yang ditangkap, Mereka diintrogasi, disiksa dalam bentuk dipukul dengan tangan, dihantam senapan, disudut rokok, perempuan berjilbab dipaksa lepas dan yang laki-laki hanya memakai celana dalam. Saya tidak tahu dibawa kemana orang-orang yang ditangkap tersebut.

Di Komplek Tentara dan Pelabuhan Bakauheni, kami beberapa hari lamanya. Dan setelah operasi penungguan pelarian dianggap selesai, kami ditanyai alamat rumah. Saya tidak tahu rumah orang tua saya.Tetapi saya menjebut salah seorang saudara yang ada di Way Jepara. Saya sempat ditawarkan untuk menjadi anak oleh seorang anggota tentara tetapi saya tidak mau.

Dari kompleks tentara, kami dibawa pergi dengan menggunakan helikopter. Selanjutnya saya dibawa ke Makorem 043/Gatam. Saya terpisah dengan 2 orang kawan saya. Tidak tahu kemana mereka dibawa. Di Makorem 043/Gatam, Saya nginap satu malam. Keesokan harinya, saya dibawa ke Way Jepara. Setelah sampai, saya tidak langsung ditawar-kan ke tempat Saudara saya. Saya nginap satu malam di Makoramil Way Jepara. Keesokan harinya, saya baru diantarkan. Setelah saya ditawarkan ke rumah Saudara saya, hampir setiap 2 bulan sekali , anggota koramil Way Jepara mengecek keberadaan saya atau sesekali saya dipanggil ke Makoramil. Dalam kedatangannya,kadang-kadang saya dibawakan oleh-oleh seperti baju atau diberi uang, sedang saya sendiri melanjutkan sekolah di tempat semula. Dan setelah lulus SMP, kunjungan tersebut tidak pernah lagi. Belakangan saya baru mengetahui, ketika saya ditangkap, seluruh saudara dari orang tua angkat diperiksa oleh tentara. Mereka diinterogasi berkaitan dengan keberadaan saya di lokasi Cihedeung dan sejauh mana keterlibatan saya.

Dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan kawan di sekolah atau di rumah, saya terkadang mendapat ejekan. “ Hei, kamu anggota GPK, ya.” Atau, “Kamu, PKI, ya.” Saya tidak menanggapi ejekan tersebut. Karena saya tahu mereka tidak mengetahui keadaan sebenarnya. Tapi, kadang-kadang Saya membantah ejekan tersebut dengan ucapan, “Kalau tidak tahu. Jangan ngomong.”

Saya ini tidak lagi bersekolah karena tidak sanggup biaya. Saya sebenarnya masih ingin sekolah. Bila memungkinkan sampai menjadi Sarjana. Padahal, kata orang tua angkat Saya, dulu katanya biaya sekolah saya akan ditanggung oleh pemerintah.Tapi ternyata tidak.

Saya ingin peristiwa tersebut diungkap lagi. Para pelaku pembunuhan diusut dan dihukum. Biar semuanya menjadi jelas dan terang.

Saat ini, Saya mendapat amanat untuk mencari anak Muhammad Usaman yang bernama Muhammad Faruk. Waktu itu, usianya kira-kira baru 3 Thn. Terakhir saya melihat waktu berjalan bersama-sama dengan orang-orang yang ditangkap ke rumah salah satu penduduk, Muham-mad Faruk digandeng oleh salah seorang anggota Tentara. Tetapi saya tidak tahu namanya. Saya yakin Muhammad Faruk masih hidup sampai sekarang.

Demikian kesaksian ini Saya sampaikan sesuai dengan yang Saya alami, Saya ketahui dan Saya lihat.

5. Masudi

Dihukum kurang lebih 7 tahun di Cihideung. Tempat tanggal lahir di Siderejo 10 Oktober 1920, waktu itu masih hutan. Pendidikan SD Ma-drasah, SMP Tsanawiyah, waktu itu (waktu kejadian) masih kelas tiga. Pertama kali ia dibina oleh Kardi, Herdiawan, Murdiawan, Mursyid, Abdullah Abdurrahman, Ir. Usman.

Sewaktu ditangkap bersama 5 orang oleh Koramil tanggal 5 Februari 1989. Saya (Masudi), Herdiawan, Diman, (calon) Ir. Usman langsung dibawa ke Koramil dan langsung dipukuli dan digebuki oleh Koramil dan terus dikirim ke Kodim. Jadi tidak mengetahui peritiwa 7 Februari 1989. Itu waktu saya mengasih penjelasan selama diproses itu sama saya berangkat dari Siderejo berapa orang sampai di sana jam berapa terus pengajian terus ketangkap. Ya karena kenal jalan, teman saya yang termasuk ketangkap lima orang itu semuanya masih hidup. Saya, Her-diawan, Diman. Yang empat itu sebaya, yang satu agak dewasa, nama-nya Herdiawan itu. Dia sudah lama ikut di situ.

Di Kodim ia disiksa, dipukul, ditarik-tarik, diinjak pakai kursi, digencet jempol kaki pakai sepatu, dipopor pakai bedil, kepala digebuk, sekujur tubuhnya, termasuk pakai kayu sampai patah dua terus dimasukkan di sel sebesar 1 meter. Tidur, kencing, shalat di ruang itu di Kodim Metro

Lampung. Yang periksa dan yang memproses ganti-ganti dan pakai baju preman. Lihat matanya saja tidak boleh, lihat wajahnya terus dipukuli. Di Korem 403 disiksa juga. Waktu diproses saya sudah mengantuk, sama seperti waktu di Cihideung tapi pihak pemerintah/ABRI itu yang mem- proses saya tidak juga percaya, ya main pukul main siksa. Di Korem itu lama. Saya di Korem 403 itu tempat proses kalau sore dibawa ke lembaga gelar Pramuka di Rajabasa kalau sore itu. Tapi kalau mau diambil dari lembaga itu tidak pakai berdiri tapi harus merangkak di LP Rajabasa. Di LP itu tidak disiksa, tapi kalau mau keluar dari LP itu harus merangkak di kerikil mau keluar LP selama 7 bulan.

Saya sering ditanya, apakah jama’ah Warsidi itu shalat telanjang? istri kamu, ya istri Warsidi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sengaja dituduhkan, dari penduduk kampung yang tidak senang kepada jama’ah Warsidi. Padahal, pelajaran agama di sana baik menurut Islam. Tidak ada untuk melenceng dari Al Qur’an dan Hadits. Waktu itu saya berumur 15-16 tahun. Nama saya diganti Mujiana, karena takut membawa nama yang asli untuk keluarga saya yang di rumah karena keluarga saya tidak tahu mereka turut menanggung resiko. Selain Ibtidaiyah itu ikut pengajian ikut di mana. Ya, Ibtidaiyahnya itu ya di sini masuk di Al Barokah, terus ya di Madrasah ini saya dipecat oleh guru saya karena terlambat setiap hari karena ikut pengajian di Cihideung, di sana ngaji berapa lama kemudian kejadian. Ya adalah. Ikut pengajian selama satu sampai dua bulan. Itulah pak tapi tidak terus menginap, kadang pulang tapi saya pakai sepeda lewat hutan. Jarak tersebut ditempuh selama tiga jam.

Saya ingin sekolah sampai tamat. Makanya setelah saya pulang masyarakat banyak yang mengejek, yaitu yang membuat saya tidak kuat. Sampai ada apel segala kok di Jagur baya setelah bebas itu tiap minggu apel. Saya protes, saya minta apelnya di sini, lalu apelnya di sini. Lalu waktu mau pindah saja lapor kebaikan polisi ke tempat ke Kecamatan saudara.

Ya kalau saya ketika itu masih dini, termasuk masih kanak-kanak. Itu pengajian dari mulai makan minum secara Islami di Cihideung. Makan sendiri-sendiri. Kalau pakai tangan kanan ya secara Islami. Itu juga kalau merokok waktu di kebon lada pak Warsidi merokok. Tidak ada yang sesat. Kalau bagi saya walaupun baru lima belas tahun bagi saya menilai mengajarkan Islam kepada saya itu tidak ada melesetnya. Benar tidak ada melesetnya. Masalahnya asli saya hadir, memang di sini agak kerasnya harus sami’na wa ‘atha’na itu. Kalau haq, ya haq. Kalau batil ya batil.

Ya, makanya seperti tadi pak! Anwar Warsidi itu kan amir saya, tahu ya karena sepaham dengan adilnya. Itu kan yang membikin masalah. Ya masyarakat saja cuma selisih waktu. Bukan masalah tujuan. Dan ajaran sesuai dengan Al Quran dan Hadits tapi masayarakat yang masih awam kebanyakan menyalahkan duluan bukan disini di Siderejo, sedikit-sedikit bicara Al Quran banyak yang tidak senang. Terus ketika mengirimkan orang dari Jakarta. Saya tidak ingat, karena saya pulang ke rumah orang tua saya.

Soal bangunan di Cihideung, setahu saya, ada gedek, musholla itu, tempat orang tua, sama anak yatim. Itu cuma kayu bukan gedung. Yang berkeluarga itu bikin pondok satu kamar, kalau masak bisa di luar ada empat rumah. Terus musholla (rumah yang didiami pak Jayus). Biasanya saya menginap di Musholla dari kayu saja, lantainya sudah ada batu setengah badan. Makanan harian dari teman-teman kita yang ditemui di luar komplek itu. Di kirim untuk yang ngaji di situ undangan dari teman. Beli sendiri. Jama’ahnya ngumpulin duit, tidak ada paksaan. Kalau ada teman kita yang tidak ada ya kita bantu. Saya tidak pernah dipungut untuk infak. Kalau yang sudah punya ya wajib. Ya masukkan untuk infak itu. Kalau makan itu, yang diutamakan anak kecil, orang perempuan lalu kalau masih ada yang laki-laki. Ustadnya itu sisa. Kalau kebagian ya kebagian, kalau tidak ya tidak. Saya yakin itu, di sana itu saya sekitar sebulan tinggal. Saya pernah ngumpul di kebun ladanya pak Warsidi di jalan Sanding. Orangnya bagus persaudaraannya. Saya dulu pengajian di sini sama di Jamzuri di Al Barokah.

Itu dulu rencananya tanggal 12 Desember 1988 tempat Warsidi itu dijadikan tempat pelaksanaan pengajian supaya tidak campur antara hak dan batil sebab di kota besar kami punya pendapat atau pendirian tidak mungkin dapat menghindarkan dari maksiat. Ini merupakan bikin basis apa begitu? Jadi terjadi pengajaran-pengajaran Islam itu terlaksana sebab kami mengirimkan lima puluh orang itu tanggal satu Januari 1989. Jadi mereka tinggal sebulan. Jadi mereka belum ditata. Itu belum dilaksa-nakan karena baru perintah belum ditata masih bikin di pondok-pondok itu. Sentuhan-sentuhan sudah baik dan Soleh Munawar itu kan ada tanah wakaf pak Jayus karena ada perselisihan entah bagaimana tanah wakaf pak Abdullah Sungkar yang beli khusus untuk