• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keributan dalam Persidangan HM Sanus

Ucapan dan Tindakan Saya, 1989)

Bab 06-03 Keributan dalam Persidangan HM Sanus

Pada tanggal 25 Februari, Tasrif Tuasikal yang persidangan kasusnya belum pernah dimulai, memberikan kesaksian dalam kasus Sanusi. Dengan tiba-tiba dia mencabut keterangan penting dalam BAP, yaitu tuduhan bahwa dia telah diberi uang oleh Sanusi. Tasrif mengatakan di depan persidangan, bahwa keterangan dalam BAP diberikan karena jaksa menekannya. Dalam persidangan itu juga, Khairil Syah mencabut kesaksiannya yang lalu dan menyangkal bahwa dirinya mengetahui sumber-sumber dana untuk pembelian bahan peledak.

Pada hari berikutnya Rahmat Basuki memberikan kesaksian dalam kasus Sanusi. Ia menyangkal telah diberi uang oleh terdakwa. Di depan persidangan ia mengatakan, bahwa dirinya dipaksa untuk mendeskre-ditkan terdakwa. Dia tidak ingin berbuat seperti Husnul Arifin yang dikatakannya sebagai orang kerdil. Memperhatikan masalah, dengan segera dapat diketahui bahwa Husnul Arifin telah mengalami penyiksaan berat. Penderitaan akibat penyiksaan ini membuat tahanan-tahanan lain merasa diteror, sehingga mereka mau menandatangani BAP yang menguatkan tuduhan jaksa terhadap terdakwa. Begitu juga Milta Halim yang memberikan kesaksian di depan persidangan kasus Sanusi, telah menyangkal bahwa dia mengetahui Sanusi punya hubungan dengan peristiwa-peristiwa pengeboman. Ujarnya,”Rahmat Basuki telah mence- ritakan banyak hal yang sebenarnya dia tidak tahu kebenarannya. Semua ceritanya itu hanya bersumber dari keterangan-keterangan Edi Ramli”.

Dalam persidangan Rahmat Basuki, 9 Maret Tuasikal kembali mencabut kesaksianya. Ujarnya,”Amir Wijaya itulah yang memberikan bahan peledak kepada mereka. Untuk pertamakalinya dia menyebut nama Wijaya ketika memberikan kesaksian dalam persidangan kasus Jayadi. Tuasikal berkata,”Amir Biki adalah pimpinan massa demonstran dan termasuk orang yang terbunuh dalam peristiwa Tanjung Priok”. Amir Biki inilah yang menceritakan kepadanya bahwa Wijayalah yang bisa memberikan senjata-senjata kepada mereka. Dalam persidangan banyak terjadi pencabutan keterangan saksi. Seperti Husnul Arifin, mencabut keterangannya berkenaan dengan adanya pertemuan yang dikatakannya telah dilakukannya dengan Sanusi, Basuki, dan Tuasikal. Arifin menceritakan di depan persidangan bagaimana sejumlah orang yang tak dikenal identitasnya melakukan introgasi terhadap dirinya setelah ia ditangkap dan dipukuli dengan pentungan. Khairilsyah kembali menyangkal semua keterangannya. Ia pun menyangkal bahwa dirinya tahu tentang dana-dana untuk pembelian bahan peledak. Dari sinilah mulai muncul keributan dalam persidangan kasus Sanusi.

Sekiranya hal semacam itu dimaksudkan untuk menjaring ikan besar dengan memberi umpan sedikit, maka taktik semacam itu telah beran-takan. Oleh karena itu dalam persidangan Sanusi, 16 Maret jaksa penuntut umum mengajukan saksi baru bernama Amir Wijaya. Kehadiran orang ini menimbulkan keheranan, karena sebenarnya nama dia tidak tercantum di dalam daftar nama- nama saksi yang diajukan oleh jaksa penuntut sebelumnya.

Olah karena itulah tim pembela meragukan tanggal dan tempat penahanan Wijaya. Tim pembela terdakwa menyelidiki bukti-bukti atas keterangan jaksa penuntut umum, bahwasanya

Amir Wijaya ditahan di Rutan Salemba. Namun ternyata mereka tidak menemukan nama tersebut di dalam daftar orang-orang tahanan di sana. Dan jaksa juga tidak memberikan keterangan apapun mengenai hasil introgasinya terhadap yang bersangkutan sebelum persidangan. Data-data semacam ini biasanya merupakan hal yang logis dilakukan terhadap setiap ter-dakwa dan saksi. Wijaya mengaku, bahwa Sanusi telah memberikan uang kepadanya untuk membeli bahan peledak. Dengan marah Sanusi menyangkal hal tersebut. Dia menyangkal juga semua keterangan saksi di persidangan. Ujarnya,”Dia sedikitpun tidak pernah mendengar keterli-batan Wijaya dalam peledakan bom. Walaupun peristiwa itu telah lewat tiga bulan, kedua orang ini pernah bertemu sebentar. Ia menyangkal pengakuan Wijaya yang mengatakan telah bertemu di rumahnya, 8 Oktober sore.

Tim pembela menunjukkan tiket pesawat terbang yang membuktikan, bahwa Sanusi baru tiba di tanah air pada hari itu menjelang Maghrib, karena dia selama 10 hari berada di Jepang. Sanusi mengatakan kepada sidang, bahwa Rahmat Basuki telah meminta maaf kepadanya melalui surat, karena dia telah mendeskreditkan terdakwa secara zalim.

Meskipun ada pencabutan semua keterangan saksi, dan ada keraguan terhadap kemunculan Wijaya sebagai bukti tunggal dalam kasus Sanusi, ternyata Sanusi tetap dipojokkan oleh majelis hakim, dan bahkan divonis dengan hukuman penjara yang lama, sehingga bagi orang yang seumur Sanusi berarti hukuman seumur hidup.

Para hakim mengabaikan semua pencabutan pengakuan, mereka tidak mau menyelidiki keluhan-keluhan para saksi bahwa mereka meng-hadapi tekanan ketika berlangsung penyidikan. Dalam persidangan kasus Sanusi ini terbuktilah bahwa pengakuan yang didapat oleh penyidik dengan cara kekerasan di ruang-ruang introgasi, jauh lebih berharga daripada keterangan yang diberikan oleh saksi secara jujur di depan persidangan sesudah mereka diangkat sumpah.

1. Nama : Tasrif Tuasikal Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Guru dan ketua GPII Jakarta

Keterangan : Dia ditahan, 30 November 1984. Perkaranya disi-dangkan dari bulan April - Agustus 1985 dengan tuduhan selaku koordinator operasi peledakan bom di Jakarta. Seperti terhadap Basuki, jaksa meng-kaitkan kasus pengeboman dengan peristiwa pem-bantaian Tanjung Priok. Tuasikal telah didiskredit- kan dengan adanya hal-hal sebelumnya, sebab dia telah mendiskreditkan dirinya sendiri tatkala memberikan kesaksian-kesaksian dalam persidangan- persidangan yang lain. Tuasikal menceritakan di depan persidangan, bahwa dirinya telah menda-patkan tekanan agar mendiskreditkan Sanusi, tapi ia tidak menjelaskan, atau mungkin surat kabar yang tidak memberitakannya, bahwa dia juga ditekan untuk mendiskreditkan Fatwa dalam peristiwa peledakan pengeboman. Fatwa mengatakan dalam persidangan kasus Tuasikal, yang bersangkutan telah minta maaf kepadanya karena keterangannya itu, sambil menunjukkan luka-luka di dadanya. Hal ini menguatkan anggapan orang, bahwa pihak militer berkeinginan untuk mengaitkan kasus peledakan bom dengan salah seorang penandata-ngan lembaran putih. Tuasikal divonis hukuman penjara seumur hidup, kemudian oleh pengadilan tinggi dirubah menjadi hukuman penjara 17 tahun.

8. Nama : Amir Wijaya Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Direktur perusahaan, dan mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi, begitulah kata jaksa.

Keterangan : Ditahan pada tanggal 26 Desember 1984, persi-dangannya memakan waktu antara Mei-Agustus 1985, dengan tuduhan memberikan bahan-bahan peledak yang dipakai di dalam kasus-kasus penge-boman. Amir menaruh perhatian khusus tentang hubungannya dengan Abdul Qadir Djaelani, yang telah divonis penjara pada tahun yang sama dengan Sanusi. Peran Amir Wijaya sebagai seorang agen intelijen militer sangat kentara. Vonis pengadilan terhadap terdakwa dengan hukuman 14 tahun penjara, ditafsirkan orang sebagai usaha kamuflase pengadilan untuk menutupi perannya sebagai agen intelejen.

9. Nama : Robi Burmana Pantau Umur : 38 tahun

Pekerjaan : Sopir pribadi Amir Wijaya

Keterangan : Ditangkap, 6 Februari 1985. Disidangkan perkara-nya dari September- Desember 1985, karena mem-bantu Wijaya untuk membuat bom. Orang ini tersangkut di dalam kasus ini semata-mata karena dia bekerja di tempat Amir Wijaya. Dalam introgasi dia mengaku memperoleh bom dari tiga orang di desa Parung Jawa Barat. Tiga orang itu adalah Mariadi alias Pidul, Insib, dan Ismet. Sekalipun Insib dan Ismet baru dikenal ketika kedua orang ini memberikan kesaksian dalam persidangan kasus Wijaya, mereka itulah

yang menarik sumbu dinamit. Akan tetapi dua orang ini tidak dikenai tuduhan apapun. Hal semacam ini hanya bisa ditafsirkan, bahwa kasus ini benar-benar misterius. Demikian pula seluruh proses persidangannya. 10. Nama : Umar Katsiri

Umur : 29 tahun

Pekerjaan : Mahasiswa Electro

Keterangan : Tanggal penangkapannya tidak diketahui. Disidang-kan pada bulan November-Desember 1985, dengan tuduhan membantu Amir Wijaya membuat remote untuk meledakkan bom dari jarak jauh. Pengadilan kasusnya sulit difahami. Sebab semua keterangan yang diberikan di hadapan penyidik dicabutnya kembali, tetapi dia mengakui semua tuduhan yang dikenakan atasnya. Salah seorang saksi bernama Ikin Sadikin, mengakui bahwa Amir Wijaya memin-ta bantuannya. Dia merupakan orang terakhir yang dihadirkan di dalam persidangan. Tim pembela dengan keras memprotes bahwa segala perbuatan yang dituduhkan kepada Umar, sebenarnya tidak lebih ringan dengan yang dituduhkan kepada Ikin Sadikin. Ketiga orang ini adalah orang-orang yang disebut namanya dalam persidangan Pantaw, tapi ternyata Katsiri dan Pantaw dihukum, sedang yang lain-lain tidak.

Persidangan kasus pengeboman BCA, yang dibuktikan melalui keterangan-keterangan saksi dan 10 orang saksi yang terlibat, ternyata masing-masing saling memojokkan temannya sendiri. Rahmat Basuki dan Tuasikal tidak hanya memojokkan orang-orang yang telah mengaku, tetapi juga memojokkan yang lainnya, seperti Fatwa, Amir Biki yang sudah mati dan Abdul Qadir Djaelani. Orang yang menjadi sasaran paling utama dari persidangan-persidangan ini adalah Sanusi.

Tim pembela sangat menentang penerapan UU anti subversi terhadap para terdakwa. Jaksa penuntut dalam persidangan Husnul Arifin mengatakan: ”Subversi tidak hanya diperlukan dalam politik saja, tetapi tingkah laku politik pun dapat juga dikenai tuduhan subversi”. Pernya-taan ini sangat berbahaya, karena negara memberikan keleluasaan terhadap dirinya sendiri untuk menggunakan atau tidak menggunakan UU yang bengis ini.

Persidangan-persidangan kasus peledakan bom di Jakarta dipergu-nakan untuk membuktikan adanya hubungan antara demonstrasi Tanjung Priok dengan peledakan bom pada tanggal 4 Oktober. Namun para saksi yang dihadirkan oleh tim pembela ternyata tidak bisa menemukan bukti ini. Misalnya, saksi Husnul Arifin memiliki bahan peledak di rumahnya, 10 September, dua hari sebelum terjadinya demonstrasi Tanjung Priok. Amir wijaya dalam memberikan kesaksian pada persidangan Tuasikal bulan juli 1984, mengaku bahwa Abdul Qadir Djaelani meminta dirinya untuk mencarikan bahan peledak. Hal ini terjadi jauh sebelum pristiwa Tanjung Priok, dan bahkan pengakuannya tentang adanya pertemuan, 18 September yang dilakukan sebagai reaksi atas peristiwa Tanjung Priok, tidak dapat membungkam kritik. Di dalam persidangan terbukti bahwa undangan untuk rapat telah disebarkan jauh sebelumnya, untuk memperingati hari meninggalnya mantan wakil presiden Adam Malik. Issu-issu yang banyak berkembang di dalam persidangan lebih merupakan kebohongan ketimbang kebenaran. Misalnya, terdakwa yang mencabut keterangannya pada hari ini, besok-nya para saksi menguatkan keterangan yang dicabutnya itu, yang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Ketika kami membaca hal ini dalam media massa Indonesia, pembaca dibuat terheran-heran, bagaimana para redaktur bisa menyembunyikan rasa keraguannya menghadapi hal semacam ini. Tetapi jika mereka tidak berbuat demikian, mereka akan menghadapi banyak kesulitan. Namun ada beberapa mas media yang memberanikan diri untuk membicarakan proses persidangan yang menggelikan ini. Dan secara implisit mengesankan, adanya orang ber-darah dingin menskenario persidangan ini.

Persidangan-persidangan kasus pengeboman membuktikan, bahwa peristiwa semacam ini muncul sebagai reaksi atas tragedi berdarah di Tanjung Priok. Namun rezim penguasa tidak mampu untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan darimana munculnya gagasan peledakan bom, sekalipun sebagian besar terdakwa tidak menutup-nutupi niat sebenarnya. Sejak Amir Wijaya berkolusi dengan jaksa untuk memainkan peran tertentu, walau sebenarnya dia adalah anggota intel militer yang turut melakukan pengeboman. Peran sedemikian ini tidak boleh diabaikan. Para terdakwa, kecuali HM. Sanusi, bukanlah orang-orang politik dan tidak pula mampu untuk memahami tujuan-tujuan rezim memperalat orang-orang yang dituduh sebagai teroris, karena kuatnya penindasan di seluruh negeri dan seluruh anggota masyarakat, khususnya masyarakat Islam; disebabkan adanya situasi yang kian memanas di Indonesia.