• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korp Muballigh Indonesia (KMI) & Asas Tunggal Pancasila

Ucapan dan Tindakan Saya, 1989)

Bab 05-02 Korp Muballigh Indonesia (KMI) & Asas Tunggal Pancasila

Sekalipun kami tidak banyak tahu tentang Korp Muballigh dan persyarat- an keanggotaannya, tetapi sikapnya yang idiologis telah sering dipapar- kan di dalam berbagai penerbitan. Organisasi ini hanya berumur beberapa tahun. Didirikan untuk mengkoordinir kegiatan para muballigh yang jumlahnya semakin bertambah dari kelompok yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Organisasi ini berfungsi mengajak masyarakat kembali kepada agama dan berpegang teguh kepada garis Qur’an dan Sunnah Nabi. Mereka ini, sebagaimana diketengahkan dalam pernyataan organisasi Amnesti internasional bukanlah merupakan tokoh-tokoh agama dan tidak pula terikat pada masjid tertentu.

Anggotanya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sebagian besar waktunya dihabiskan kerja di kantor atau berdagang, mengajar ngaji, tetapi merupakan orang-orang yang taqwa. Dan mereka ini dikenal sebagai orang-orang yang pandai bicara. Setiapkali diundang bicara mereka selalu siap. Biasanya terjadi dalam seminar-seminar atau diskusi-diskusi ke Islaman yang dapat dilakukan di mana saja dan dalam kesem-patan apa saja. Ceramah yang disampaikan oleh para muballigh biasanya memakan waktu beberapa jam. Yang biasa dibicarakan di dalam cera-mahnya ialah persoalan akhlaq, politik dan komentar atas berbagai persoalan kemasyarakatan. Ceramah biasanya disampaikan secara serius tapi santai dan bebas. Umumnya pengajian ini dihadiri ribuan orang, terutama sekali di kampung-kampung miskin. Ukuran sukses tidaknya seorang muballigh, dilihat dari jumlah besarnya pengunjung. Oleh karena itu acaranya disebar luaskan atau didatangkan muballigh terkenal seperti tokoh-tokoh yang ditangkap tersebut. Para muballigh biasanya menerima undangan dari tempat-tempat yang jauh. Demikianlah peranan yang dimainkan oleh muballigh di dalam menyatukan kelompok-kelompok Islam yang banyak terdapat di dalam masyarakat Islam, apalagi di dalam Islam tidak dikenal adanya sistem kependetaan.

Syafruddin Prawiranegara adalah ketua umum KMI, public figur yang memperoleh penghormatan tinggi di masyarakat. Ia memainkan peran politik beberapa tahun lamanya setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia seorang anggota partai Masyumi, juga pernah menduduki jabatan beberapa kali dalam kabinet, setelah proklamasi kemerdekaan. Pernah menjadi Perdana Menteri dalam pemerintahan PDRI (Pemerinta-han Darurat Republik Indonesia) yang didirikan di Sumatera Barat, 1948, yaitu ketika Soekarno sebagai orang terakhir pemerintah republik di- tangkap Belanda, sesudah Belanda menduduki ibu kota RI. Setelah penyerahan kedaulatan ke tangan RI, Syafruddin Prawiranegara menja-bat sebagai Menteri keuangan di dalam beberapa kabinet, lalu menjadi gubernur Bank Central selama beberapa tahun. tetapi karena sikap kritisnya terhadap politik Soekarno semakin tajam, pada tahun 1958 ia bergabung dengan pemerintah

pembangkang di Sumatera Barat dan menjabat sebagai perdana menterinya. Setelah menyerahkan diri pada tahun 1961, ia kemudian dijebloskan ke penjara selama beberapa tahun sampai Soeharto naik memegang kekuasaan. Ternyata dalam waktu singkat saja terungkaplah bahwa Soeharto tidak menyukai Masyumi, sama halnya dengan Soekarno. Karena itu Syafruddin kembali lagi sebagai pengkritik pemerintah dan termasuk salah seorang tokoh Masyumi yang menandatangani petisi 50 tahun 1980. Beliau mempunyai pendirian yang berseberangan dengan pemerintah dalam masalah pengelolaan ekonomi dan menjadi pendukung bagi demokrasi lebih besar untuk rakyat, baik pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Sikap semacam ini menjadikan beliau termasuk dalam golongan penganjur kebebasan berpendapat di Indonesia dan salah seorang mediator yang memper-temukan antara para muballigh dan kelompok-kelompok oposan peme-rintah yang sangat lugas suaranya dalam melontarkan kritikan. Pada permulaan disahkannya asas tunggal oleh MPR pada bulan Maret 1983 sebagai satu-satunya idiologi yang diakui negara, Syafruddin Prawira-negara menulis surat kepada Soeharto untuk menjelaskan pendirian kaum muslimin terhadap masalah tersebut. Ia menulis:”Kalau orang-orang Kristen tidak dibenarkan membentuk organisasi atas dasar Kekristenan, baik Protestan ataupun Katholik, dan kaum muslimin tidak boleh mendirikan organisasinya berdasarkan Islam dan begitu pula warga negara Indonesia lainnya yang beragama lain, maka sesungguhnya Indonesia menjadi sebuah negara nasionalis-facis, sehingga keburukan dan kejahatannya tidak berbeda dengan negara- negara komunis”.

Beliau juga mengingatkan, bilamana kita menginginkan persatuan nasional dan tidak merusak harmonisasi hubungan kemasyarakatan seperti yang menjadi keinginan dan tekad asas tunggal, maka kelak hasil yang dapat dipetik bakal berlainan dengan yang kita inginkan.

Setelah kasus Tanjung Priok dan penangkapan sejumlah besar anggota-anggota KMI, Syafruddin Prawiranegara selaku ketua KMI menerbitkan bulletin untuk para muballigh pada bulan April 1985. Beliau menyatakan,”Diskusi mengenai beberapa masalah penting, terutama sekali masalah asas tunggal adalah merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh hukum dan konstitusi. Para muballigh menilai atau meyakini bahwa telah terjadi kedzaliman, dan mengingatkan orang-orang yang melakukan kezaliman itu. Bahwa kewajiban para muballigh adalah memberikan nasehat dan menuntun masyarakat ke jalan yang terbaik agar dapat memecahkan permasalahan dengan sebaik-baiknya. Untuk menentang kezaliman, yang melaksanakan undang-undang berdasarkan kekuasaan bukanlah kewajiban KMI semata. Tetapi ini tidak berarti mengajak untuk melawan hukum yang berlaku. Problem kaum muslimin Indonesia yang hidup di bawah naungan konstitusi ciptaan manusia dan sekaligus di bawah konstitusi Ilahiyah sekaligus adalah merupakan hal yang patut didiskusikan bersama. Kami, kaum muslimin, menerima Pancasila sepenuh hati sebagai dasar resmi negara, tetapi kami sebagai kaum muslimin mustahil menerima Pancasila sebagai dasar hidup kami. Rezim militer sekalipun berusaha menghindari memasukkan tokoh yang menonjol dan terkenal, ke dalam penjara, namun ternyata selalu merintangi dan menekan mereka, karena penjelasan-penjelasannya yang berbeda dengan rezim. Pada bulan Juni 1985, Syafruddin di tangkap dan di introgasi berkenaan dengan ceramah yang disampaikan pada akhir bulan Ramadhan. Introgasi itu dilakukan atas perintah Kodam Jaya Tri Sutrisno, yang merupakan kelompok perwira tinggi, dahulunya mendapatkan didikan Islam dengan baik dan diangap sebagai orang yang dapat diterima dilingkungan umat Islam. Pada bulan Juni 1986 dia diangkat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab). Nasehat yang membuat Tri Sutrisno sangat marah, yakni tulisan dengan judul “Bebas-kan Diri Kita Dari Rasa Ketakutan”. Dalam pasannya ini, Syafruddin mengkritik cara-cara intimidasi terhadap masyarakat Islam setelah peris-tiwa Tanjung Priok. Demi keadilan dan peradaban, kaum muslimin seharusnya menyiagakan diri menghadapi musuh-musuh peradaban.

Adalah keliru, jika kita beranggapan bahwa KMI dengan seluruh anggotanya terlibat di dalam pembentukan opini massa tentang masalah-masalah fondamental yang dihadapi umat Islam Indonesia, padahal dalam persidangan kasus para muballigh terbukti adanya sejumlah pen-dapat yang berbeda. Mawardi Noor, wakil ketua KMI di dalam persida-ngannya menyatakan:” Saya ulangi penolakan saya terhadap gagasan asas tunggal. Hal ini tidak berarti bahwa saya menolak Pancasila, tetapi justru sebaliknya. Penolakan saya hanyalah semata-mata untuk menjaga kebersihan dan keaslian Pancasila. Sejak semula Pancasila dimaksudkan sebagai payung yang menaungi semua aliran dan idiologi serta keyakinan yang berkembang dan mengakar di dalam setiap warga negara bangsa ini. Karenanya tidak patut ada asas tunggal yang nantinya menggusur aliran-aliran lain, terutama sekali aqidah keagamaan”.

Sedangkan Abdul Qadir Djaelani, hanya menunjukkan penghinaan-nya kepada Pancasila yang dikatakannya sebagai filsafat ciptaan manusia yang mengalami penafsiran yang berubah- ubah. Pancasila menurut rezim Soeharto, adalah suatu filsafat negara yang kokoh dan agung, karena telah muncul sejak zaman nenek moyang dahulu. Padahal nenek moyang dahulu sebenarnya adalah orang-orang bodoh dan primitif.

Sedangkan pendapat AM. Fatwa, hampir sejalan dengan pendapat Mawardi Noor. Dia mengatakan: ”Pancasila tidak lebih dari sebuah statmen yang memberikan tempat bagi semua pandangan, keyakinan dan pendapat sesuai dengan keadaan sebenarnya di dalam negara. Fatwa tidak mendukung tuntutan untuk mendirikan negara Islam seperti yang dituduhkan oleh pengadilan. Tetapi dia mendukung pendapat, bahwa Islam tidak bisa dipisahkan antara urusan agama, politik dan negara.

Bab 05-03 Persidangan

PADA tanggal 20 Juli 1985, mulailah menyidangkan kasus dua orang muballigh di pengadilan Jakarta Utara. Masing-masing tertuduh disidang di ruangan tersendiri, tetapi saksi-saksinya sama. Kedua terdakwa ini adalah Salim Qadar dan Hendrayana. Salim menjadi saksi untuk terdakwa Hendra, dan sebaliknya Hendra dijadikan saksi bagi terdakwa Salim. Keduanya dijadikan saksi oleh jaksa penuntut umum untuk kasus masing-masing.

Kedua terdakwa ini kesaksiannya menyangkut semua muballigh yang dihadapkan ke persidangan dalam kasus pembantaian Tanjung Priok. Karena itu secara rinci kami paparkan di bawah ini.

1. Nama : H. Salim Qadar Umur : 51 tahun. Jabatan : Ketua III KMI Alamat : Banten Jawa Barat

Keterangan : Dia seorang tokoh masyarakat Banten dan meru-pakan kelompok besar di Tanjung Priok. Dia dituduh memprovokasi massa melalui ceramah- ceramahnya agar ikut demonstrasi pada 12 September 1984 malam. Sebagaimana halnya dengan muballigh lain, selalu diincar oleh intel selama beberapa bulan. Jaksa penuntut umum mengutip sebagian dari ceramah-nya yang disampaikan pada tahun 1984 terutama bagian-bagian yang berkenaan dengan kritiknya ter-hadap asas tunggal dan program Keluarga Beren-cana (KB). Jaksa beranggapan bahwa ceramah semacam ini membangkitkan kemarahan masyara-kat dan membahayakan idiologi negara, menyebar-kan rasa kebencian dan perpecahan serta melawan pemerintah. Jaksa juga menuduh terdakwa meng-kritik secara tajam beberapa orang menteri dan anggota DPR karena politik dan kegiatan mereka yang merusak. Saksi yang dihadapkan bagi tertuduh Salim terdiri dari 5 orang militer dan 6 buah kaset ceramah.

Salim menolak semua tuduhan dan menyatakan bahwa kritik-kritik-nya terhadap asas tunggal adalah merupakan hak warga negara dalam menentang setiap peraturan dan politik pemerintah. Di depan pengadilan ia menceritakan perannya pada dasawarsa 1960-an sebagai pemimpin front Pancasila di Tanjung Priok, sebuah organisasi yang mendukung militer dan membantu melawan komunis sesudah peristiwa kudeta tahun 1965. Dia menegaskan bahwa dirinya tidak menentang Pancasila, tetapi yang dia tentang adalah pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal.

2. Nama : Hendrayana Umur : 36 tahun

Asal : Majalaya

Jabatan : Sekretaris umum KMI cabang Jakarta utara, dan asisten dosen PTDI, mata kuliah dakwah Islam.

Keterangan : Dia termasuk penandatangan petisi umat Islam Jakarta. Dia ikut memberikan ceramah dalam pe-ngajian di Tanjung Priok, 12 September 1984. Tudu-han yang dikenakan kepadanya sama dengan tudu-han terhadap Salim Qadar. Jaksa penuntut menon-jolkan masalah ceramah yang ia sampaikan pada Juli 1984 berjudul “Pancasila Sebagai Asas Tunggal Hanya Akan Menjerumuskan Orang Ke Keramat Tunggak”. Dia juga dituduh melakukan tindak pidana karena mengkritik Laksamana Soedomo yang menjadi menteri tenaga kerja. Soedomo telah mengirim TKW ke Arab Saudi sebagai tenaga kerja murah. Dia mengkritik Ali Murtopo sebagai Aspri Presiden Soeharto. Tidak ada orang yang menyang-kal bahwa dia telah menggunakan kata-kata kasar terhadap pemerintah sekalipun mereka terus mene-rus menyatakan dirinya sama sekali bersih dari tuduhan melakukan subversi. Jika mereka dianggap melakukan kejahatan maka kejahatan yang mereka lakukan itu tidak lain hanyalah berupa kata-kata yang dengan terus terang mereka ungkapkan bah-wa mereka berbeda dengan pemerintah yang mereka sampaikan dalam beberapa kesempatan. Jaksa penuntut menuduh Yayan telah memper-gunakan pernyataan- pernyataan yang dapat menimbulkan kesalah-fahaman besar di dalam masyarakat. Seperti yang dikutip oleh mass media mengenai jalannya persidangan ini, bahwa kedua terdakwa kondisi kesehatannya sangat buruk akibat perlakuan tidak manusiawi dan perawatan kese-hatan yang kurang. Salim yang menderita kencing manis ternyata hakim tidak mengizinkan penun-daan persidangan kasusnya. Hanya Yayan ketika dia muntah-muntah di ruang sidang, hakim mengi-zinkan penundaan sidang atas permintaan pembela.

Kedua terdakwa dituntut hukuman seumur hidup oleh jaksa. Tetapi hakim memutuskan hukuman bagi masing-masing selama 22 tahun. Setelah persidangan kedua orang ini, Fatwa dan Abdul Qadir Djaelani diajukan ke pengadilan. Keduanya tidak asing lagi bagi polisi, tentara dan pengadilan.

1. Nama : Abdul Qadir Djaelani Umur : 46 tahun

Keterangan : Pertamakali diadili tahun 1973, divonis 2,5 tahun, karena keterlibatannya dalam demonstrasi menen-tang RUU Perkawinan. Kemudian dia ditangkap lagi sebelum pemilu 1977 karena terlibat dalam penyerangan tempat massage (tempat pijat) di Jakarta.

Walaupun ke dua hal tersebut belum dilakukannya tetapi Djaelani ternyata dijatuhi hukuman sekali lagi selama 2 tahun penjara. Djaelani pernah menjabat sebagai ketua pemuda GPII ( Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Pada tahun 1984, sebelum dia ditangkap, dia adalah pengurus KMI dan dikenai tuduhan berkaitan dengan ceramah-ceramah yang diberikannya. Dia juga didakwa terlibat secara langsung dalam penge-boman BCA dan tempat-tempat lain. (Baca bab VI). Masyarakat luas yang menghadiri persidangannya membuktikan dia sebagai seorang muballigh yang dicintai dan terpandang di dalam masyarakat. Pengun-jung yang menghadiri persidangannya jumlahnya sangat banyak. Seka-lipun dilakukan pemeriksaan ketat bagi pengunjung yang masuk ke ruang sidang. Dalam pemeriksaan ini diteliti KTP dan tubuhnya. Di luar sidang ratusan pengunjung yang berdiri untuk mendengarkan jalannya persida-ngan lewat pengeras suara. Keterangan-keterangan yang disampaikan terdakwa seringkali mendapatkan aplaus dari para pengunjung.

Dalam pledoinya yang berjudul:”U U Kadaluarsa yang Tetap Berlaku Sesudah 40 TH Indonesia Merdeka”. Djaelani menerangkan adanya perlakuan buruk yang dialami para tapol. Dia menjelaskan adanya tindakan penghinaan dan pemaksaan untuk mengorek pengakuan terdak-wa. Mereka menggunduli kepala dan mencukuri kumis, mempermak sampai pingsan, melarang membaca dan menulis dan melarang melaku-kan shalat Jum’at.

Sebagian besar dari bukti-bukti yang diutarakan oleh jaksa tentang tindak pidana Abdul Qadir Djaelani berupa rekaman ceramah yang telah dimanipulasi oleh intel-intel militer. Pada saat dua orang anggota militer setempat membacakan ceramah-ceramah Djaelani yang berisikan kritik terhadap RUU Keormasan, para pengunjung di luar sidang bersorak-sorak dan memukulkan sandal atau sepatu berama-ramai ke tanah.

Tentang tuduhan terhadap dirinya sebagai orang yang terlibat penge-boman Jakarta ternyata diajukan seorang saksi saja bernama Amir Wijaya, orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap dana yang diterima-nya dari Sanusi (Baca bab VI). Wijaya menganggap bahwa Djaelani telah meminta sejumlah dana dari dirinya dan juga beberapa buah bom dua bulan sebelum terjadinya peristiwa pengeboman pada bulan Oktober 1984. Djaelani menyangkal semua ini. Dia dapat membuktikan alibinya bahwa pada saat itu dia berada di Bandung, padahal menurut pengakuan Wijaya dia bertemu dengan Djaelani pada saat itu di Jakarta. Kemudian jaksa menghadirkan seorang saksi yang memberatkan Djaelani tentang peranannya dalam pengeboman. Beberapa pengakuan dari saksi ini di dalam BAP dicabut kembali, sebab menurutnya pengakuan itu diberikan karena tekanan.

Jaksa menuntut Djaelani dengan hukuman seumur hidup, tapi hakim memvonis hukuman 18 tahun penjara.

2. Nama : AM. Fatwa Umur : 46 tahun Asal : Bone, Sulawesi

Keterangan : Sejak umur 20 tahun sudah menjadi aktivis. Dia pernah ditangkap pada zaman rezim demokrasi ter-pimpin. Pada akhir dasawarsa 1960-an pernah men-jadi rohaniawan di Angkatan Laut. Pada dasawarsa 1960-an terpilih sebagai ketua pembinaan rohani di DKI Jakarta, dimasa Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI.

Saat ini Fatwa bekerja sebagai skretaris MUI Jakarta dan ketua lem-baga Tahfizul Qur’an di Jakarta di samping Koordinator muballigh se Jakarta.

Pada awal masa berdirinya orde baru setelah tahun 1965 Fatwa mendukung pemerintahan orde baru Soeharto, tetapi kemudian berbalik menjadi pengritik rezim militer ini.

Pada tahun 1978 dia ditahan selama 9 bulan tanpa diadili. Karena dia dengan terus terang menentang dipersamakannya aliran kebatinan dengan agama tauhid. Ia mengatakan,”Aliran kepercayaan tidak ter-masuk dalam lima agama resmi: Islam,Kristen sebagai agama langit, Budha dan Hindu sebagai agama yang diakui negara. Setelah bebas dari tahanan, tak lama kemudian dipecat dari kepegawaian. Dia kemudian ditahan selama 2 minggu karena ceramahnya yang berisi kritik terhadap kebijakan pemerintah. Lalu menjadi pembantu pribadi Ali Sadikin ketika yang bersangkutan digusur dari jabatannya sebagai Gubernur, 1977.

Bulan Agustus 1979 Fatwa ditangkap untuk ke dua kalinya dan dipermak. Rezim militer memperlakukannya dengan kasar, pisik maupun mental. Ketika ia bergabung dalam

penandatanganan petisi 50 pada Maret 1980 dia menjadi sekretaris badan pekerja hariannya yang mengadakan pertemuan-pertemuan secara teratur di rumah Ali Sadikin. Sekalipun Fatwa tidak dilarang menjadi muballigh, komandan-koman-dan militer selalu mengingatkan pada para pengurus takmir masjid, untuk tidak memanggil Fatwa sebagai khatib atau penceramah. Berbagai usaha Fatwa gagal, seperti halnya nasib para penandatangan petisi 50 lainnya, dia kehilangan kesempatan memperoleh kredit Bank. Pengajian-pengajian yang disampaikannya di dalam berbagai pertemuan seringkali diganggu. Pengeras suaranya dimatikan, rumah dan keluarganya diserbu orang serta hubungan telponnya diputus.

Pada tahun 1980 dia ditangkap 2 kali, disiksa oleh intel-intel DKI secara sadis. Dibelakang hari dia mengajukan gugatan ke pejabat yang bertanggung jawab, termasuk didalamnya Laksamana Soedomo yang menjabat sebagai panglima Kopkamtib, karena dialah yang dianggap pimpinan dari orang-orang yang harus dimintai tanggung jawab. Guga-tannya ini hilang begitu saja setelah para pembelanya menarik diri dengan alasan adanya tekanan dan intimidasi. Pada 19 September 1984 Fatwa ditangkap lagi setelah ia mengikuti pertemuan di mushalla yang berdeka- tan dengan rumahnya. Dalam pertemuan ini dibahas kasus Tanjung Priok. Saat ditangkap dia tidak kedapatan memiliki lembaran putih yang berisikan kritik kasus pembantaian Tanjung Priok. Pada saat ditangkap jaksa memberitahu bahwa ditangkap karena ceramah-ceramahnya yang disampaikannya dua tahun belakangan ini. Tuduhan yang dihadapkan kepadanya menyangkut tindak pidana kriminal, bukan tindak pidana subversi. Dua minggu setelah penahanannya, sampai dengan dia mene-rima ancaman penahanan diketahui bahwa penyebabnya ialah pener-bitan lembaran putih.

Setelah peristiwa pengeboman di Jakarta, dan peristiwa 4 Oktober 1984, jaksa penuntut umum dalam introgasinya berusaha untuk mema-sukkan Fatwa ke dalam dakwaan teroris. Di dalam persidangan, Fatwa mengatakan, ketika dia dipindahkan ke Rutan Salemba, Tasrif Tuasikal menemui dirinya untuk pertamakali. Dialah orang yang mengaku dibiayai untuk melakukan penyerangan dalam peristiwa peledakan bom di Jakarta.(Baca bab V).

Tuasikal tiba-tiba datang kepada saya dengan tujuan agar saya memaafkannya, padahal saya tidak tahu apa kesalahan yang dilakukan pada saya. Dia benar-benar merasa sangat tertekan karena dia menyam-paikan pengakuan-pengakuan yang menyudutkan saya. untuk meyakin-kan hal ini mereka menunjukkan gambar-gambar, ada yang mengatakan bahwa Tuasikal menerima dari saya uang 2000 dolar untuk membeli bom. Saya benar-benar marah mendengar kebohongan semacam ini, tapi dia meminta agar saya mau memaklumi kondisinya. Ia menunjukkan bekas- bekas luka didadanya karena disiksa siang malam, dan tangan serta kakinya membengkak.

Tuduhan yang dikenakan pada Fatwa adalah pertemuan yang dila-kukannya di Mushalla dekat rumahnya. Pertemuan inilah yang mengakibatkan malapetaka sehingga memunculkan tuduhan-tuduhan yang juga dikenakan pada umat Islam dalam masa-masa persidangan Fatwa. Jaksa beranggapan bahwa dalam pertemuan ini telah dibicarakan rencana melakukan serangan dengan bom sebagai tindak balasan terhadap kasus pembantaian Tanjung Priok. Dia juga dituduh ikut menandatangani lembaran putih dan melakukan teror mental terhadap pejabat-pejabat pemerintah.

Persidangan AM. Fatwa terus menerus dikunjungi orang. Fatwa menggunakan ruang sidang untuk menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah yang zalim. Hal ini membuat takut hakim yang selalu mengulang-ulang tuduhan terhadap dirinya dan tim pembelanya, sengaja mengulur-ulur waktu memperpanjang proses, sehingga masa persida-ngan habis bersama dengan habisnya masa penahanan. Sebenarnya terjadinya penundaan waktu dikarenakan introgasi yang dilakukan sebe- lum pengadilan dibuka, karena introgasi ini telah memakan waktu 8 bulan.

Pada tahap-tahap akhir, majelis hakim berusaha dengan segala upaya mempercepat proses pradilan atas diri Fatwa. Fatwa menulis pledoi setebal 1118 halaman. Hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa., padahal dia tidak memperoleh fasilitas apapun untuk dapat menyusun pledoi semacam itu. Ia menulis di dalam sel tahanan tanpa bantuan orang lain. Hakim memintanya membaca pledoi tanpa istirahat hingga menjelang tengah malam. Dia melakukan penyerangan secara tajam terhadap rezim yang represif dan militer yang mendominasi kehidupan sosial politik. Ujarnya,”Kelompok Petisi 50 telah menulis sebuah pernyataan untuk memberikan reaksi atas hilangnya demokrasi di Indonesia”. Fatwa membaca pledoinya selama dua hari dan beberapa jam tanpa berhenti. Tetapi tekanan fisik yang dialami olehnya memang berat. Pada hari ketiga ia pingsan di ruang pengadilan dan dilarikan ke RS. Tiga hari kemudian dia dibawa lagi ke ruang persidangan untuk memba-cakan pledoinya dengan duduk di atas kursi roda. Tetapi disini dia pingsan lagi. Kali ini dia tidak lagi dilarikan ke RS, tetapi dimasukkan ke dalam sel penjara. Dua hari kemudian, dihadirkan lagi kepersidangan. Kali ini tim pembela yang membacakan