• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sugeng Yulianto.

14 “Dikubur” Sampai Sebatas Leher

Bab 11-01 Tokoh-Tokoh Utama Peristiwa Talangsari 1 Anwar Warsidi sebagai Imam.

7. Sugeng Yulianto.

Sugeng Yulianto alias Sugiman Yulianto bin Marto Djoyo lahir di Solo pada tahun 1959. Sugeng Yulianto —yang dalam sidang pernah meminta kepada majelis Hakim menghukum Jaksa Penuntut Umum karena telah memfitnah dirinya— adalah seorang patriot sejati. Menurut-nya, ia dituduh menjadi anggota jama’ah Mujahidin Fi Sabilillah, padahal dirinya datang ke Lampung karena dibujuk Soleh untuk tinggal di sana dengan alasan bahwa di Lampung gampang cari nafkah. Di samping itu, bisa menjalankan ajaran Islam dengan sebenarnya.40

Dalam kertas tanggapannya yang ditulis sendiri, Sugeng Yulianto —yang didampingi Tim Penasehat Hukum yang hebat dari LBH Lam-pung— juga mengkritik pembelanya dan majelis yang mangadilinya. Ia menyebutkan, tim penasehat hukumnya telah bertindak terlalu jauh dengan menambah keterangan saksi-saksi yang tidak relevan dengan perbuatan yang dilakukan Sugeng Yulianto, pada pledoi Tim Penasehat hukumnya dalam sidang terdahulu. Sedangkan tentang Majelis, Sugeng menilai waktu yang dipergunakan majelis terlalu sedikit, sehingga fakta keterlibatan dalam anggota jama’ah belum jelas.

Sugeng Yulianto, warga asal Solo, Jawa Tengah di persidangan yang dipimpin Majelis Hakim diketuai M. Rifai, SH mengungkapkan bahwa dia datang ke Sidorejo karena bujukan temannya. Dan mengenai keterli-batannya dengan orang-orang yang melakukan huru-hara di Tanjung karang karena dipaksa oleh kelompok Warsidi itu, sebab bila tidak mau dirinya akan dibunuh. Di pihak lain Tim Penasehat Hukum Sugeng menilai, tuntutan Jaksa Penuntut Umum terlalu memaksakan diri agar Sugeng Yulianto dihukum berat. Padahal keterangan para saksi yang telah diajukan di persidangan, intinya ternyata mereka tidak ada yang mengenal Sugeng Yulianto secara pasti, dan tidak ada satupun yang mengetahui Sugeng Yulianto anggota jama’ah atau bukan. Oleh sebab itu, Tim Penasehat Hukum Sugeng Yulianto memohon kepada Majelis sebelum memutuskan perkara dapat mempertimbangkan dengan mata-ng dan seksama, sehingga hukuman buat Sugeng Yulianto benar-benar adil.

Menurut mereka, “apakah perbuatan Sugeng Yulianto benar-benar merugikan kepentingan negara, sehingga perlu adanya hukuman berat bagi Sugeng Yulianto, dengan demikian Sugeng Yulianto tidak ada kesempatan mendidik dirinya atau menyesali perbuatannya”. Dalam kasus persidangan itu Sugeng Yulianto dituntut dengan hukuman penjara seumur hidup.

8. Zamzuri

Zamzuri adalah profil seorang pejuang Islam sejati. Zamzuri lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta pada tahun 1942. Meskipun riwayat pendidi-kannya sangat sederhana, ia adalah seorang yang sangat antusias menuntut ilmu. Ia menjalani Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidai-yah sekaligus di Solo dan menamatkannya pada tahun 1951. Sekolah Menengah Pertama Al Islam dijalaninya hingga kelas 2 karena pada tahun 1962 ia telah mengalami sebuah dampak besar dari krisis ekonomi masa Soekarno. Maka, pada tahun 1963, ia mengambil sebuah kebijakan penting, sebuah keputusan yang mengubah hidupnya hingga kini: ia hijrah ke Lampung. Dialah generasi pertama yang mendiami wilayah Way Jepara di Sidoredjo dengan membuka lahan baru sebagai wilayah harapan baru setelah Jawa mengalami proses involusi pertanian yang berkepanjangan.

Zamzuri adalah seorang tokoh dengan karakter Islam yang kuat. Penampilannya begitu menyejukkan hati, penyabar dan murah senyum. Tidak ada sedikitpun sikap kasar dalam dirinya. Ia, setelah menjalani hukuman di pulau Nusa Kambangan, tampil sebagai seorang sufi sejati dengan konsep-konsep Negara Madinah yang historik serta kental dalam dirinya. Segera setelah perpindahannya ke Lampung, pada tahun 1964, ia mengaji pada seorang ustadz, As Mu’in namanya. Ustadz As Mu’in inilah yang memberikan banyak fundamen dasar penting bagi keberis-laman Zamzuri. Ustadz As Mu’in adalah seorang ustadz yang berani merambah daerah- daerah baru untuk memastikan ada nur Ilahi di tanah tersebut. Namun, yang kemudian menyedihkan hati Zamzuri adalah ia harus menerima sebuah kenyataan pahit: ustadz As Mu’in dibunuh oleh orang Lampung karena kasus agraria. Untuk menutupi kesedihannya, ia menikah pada bulan Juni 1964 dengan seorang gadis bernama Sugirah, tempat ia bisa membenamkan segala persoalannya dan bersama istrinya inilah ia mengarungi lautan belantara kehidupan yang keras di daerah baru itu.

Konflik agraria adalah konflik permanen di Lampung. Hukum negara ini belum begitu mampu menyelesaikannya secara komprehensif sehingga jumlah korban berjatuhan seperti belalang yang disemprot. Maka, pada tahun 1969, ia mengambil sebuah keputusan penting lainnya dalam hidupnya: ia pindah ke Sidoredjo. Ia membuka lahan yang masih hutan belantara di sana. Namun, ternyata usaha ini mengakibatkan pihak Peseka (sebutan untuk Polisi Kehutanan) berang. Pada tahun 1972 semua para pembuka lahan baru diusir oleh Peseka dan rumah-rumah mereka dibakar. Sebuah kebiadaban dan kekerasan negara berjalan dengan senyap di tengah belantara Sidoredjo tersebut. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang peduli, bahkan hingga kini. Kisah tragis ini merupakan sebuah voice of the silence untuk diceritakan olehnya. Semua pembuka lahan, penerobos jalan baru bagi sebuah peradaban Sidoredjo, merasa sangat marah. Maka, pada tahun 1972, seorang polisi kehutanan berpangkat pager praja dibunuh dalam sebuah keroyokan massa. Sejarah hidupnya begitu panjang yang sebagiannya menggambarkan kemuraman sejarah Lampung yang lebih panjang dari usianya.

Dengan masa lalu yang demikian, maka dirinya terbentuk menjadi seorang muslim yang ta’at serta berkarakter teduh. Namun, untuk mem-bela agama, apapun akan dilakukannya sehingga ia sendiri seperti terbawa dan larut dalam semangat zaman yang buram di masa lalu. Ia terlibat dengan kasus Lampung di dalam setting Sidoredjo di mana ia menebas batang leher Serma Sudargo hingga nyaris putus. Lihatlah bagaimana sikap hidupnya ini kemudian harus merespon pengadilan. Seusai mende-ngar tuntutan jaksa penuntut umum Zainuddin K, SH yang tetap menun-tutnya hukuman seumur hidup, Zamzuri bertanya: “apakah hukuman yang dijatuhkan kepada saya ini, karena saya salah terhadap hukum Islam atau hukum negara. Kalau saya salah dari hukum Allah, saya serahkan kepada Allah. Tetapi kalau salah dari hukum negara, saya terima semua itu, silahkan!” ujarnya dengan suara agak menantang.41 Orang-orang kecil terkadang

kehilangan bahasa untuk mengungkapkan penderi-taan yang ditimpakan atasnya oleh institusi negara yang sangat berkuasa ini. Hanya dengan suara yang menantang sajalah ia bisa menghadirkan eksistensi dirinya yang kecil di hadapan negara yang besar.

Mendengarkan pertanyaan Zamzuri seperti itu, jaksa penuntut umum mengatakan, bahwa kesalahan Zamzuri adalah melanggar hu-kum negara, dengan kedok untuk menegakkan hukum agama di muka bumi. Atas jawaban jaksa tadi, Zamzuri lantas menyahut, “Ya, sudah, kalau begitu sudah jelas bagi saya. Kalau begitu silahkan, saya terima,” kata Zamzuri yang tetap pada pendiriannya semula, tanpa merasa gentar, takut atau merasa keberatan atas tuntutan jaksa.

Itulah sekelumit kisah dalam persidangan Zamzuri, Majelis Hakim Pengadilan negeri Kelas I Tanjungkarang dalam putusannya menjatuhi hukuman penjara seumur hidup kepada Zamzuri bin Muhcroji berusia 46 tahun, karena terbukti sah dan meyakinkan melanggar UU No. 11/PNPS1963. 42

Cukup pahit memang hasil keputusan Hakim tersebut. Tapi bagi Zamzuri sendiri dia tidak merasa berkeberatan, karena apa yang diper-buatnya dengan kelompok Warsidi merupakan perintah Allah yang harus dijalankan. Walaupun mungkin pada kenyataannya bertentangan de- ngan hukum negara. Menurut keyakinannya, “lebih takut kepada Allah ketimbang mengikuti hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.” Dan setelah keputusan itu, hari demi hari hidup Zamzuri dilaluinya dalam tahanan.

Jauh sebelum meletusnya peristiwa di desa Sidorejo, Zamzuri tercatat di desanya sebagai salah satu penduduk yang berekonomi kuat. Ia mempu-nyai puluhan ekor sapi dan puluhan hektar lahan perkebunan. Zamzuri mempunyai seorang isteri dan lima orang anak.43 Di akhir tahun

1988, baik siang maupun malam hari, rumah Zamzuri selalu ramai dikunjungi orang. Karena sebab itu pula masyarakat setempat merasa curiga.

Sebenarnya, ketika peristiwa berdarah itu terjadi, Zamzuri tidak ada di tempat kejadian. Karena merasa penasaran, ditanyakan kepada tetang-ganya. Tapi, dari sikap mereka menandakan bahwa mereka sudah menu-tup diri. Menurut Zamzuri, “penduduk di sekitar rumah saya sudah tutup pintu, mereka cuma mengintip-ngintip saja. Ketika berpapasan mereka menjawab tidak tahu.”44

Menurut penuturan Zamzuri berdasarkan informasi yang didapat dari kawan-kawannya di sana, bahwa sebelum meletusnya kejadian, sebenarnya tidak ada tantangan dari masyarakat mengenai pendirian pesantren di sana. Namun setelah mereka mendapatkan isu dari pemerin-tah, bahwa jama’ah itu sesat, PKI, pemberontak. Karena memang pendu-duk Talangsari itu dari awalnya tidak mengerti apa-apa, maka diterima-nya informasi itu secara mentah-mentah.45

Rekayasa yang digalang oleh aparat itu pada akhirnya menjebak penduduk setempat untuk sama- sama menghantam habis kelompok Warsidi. Termasuk dalam rangkaian peristiwa itu, yang pada akhirnya menimpa pada Zamzuri. Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim bahwa perbuatan Zamzuri dinilai berba-haya terhadap ketentuan atau hukum negara dan pemerintah yang bagai- manapun tujuannya menegakkan, pelaksanaan niat jahat, merongrong ideologi dan kekuasaan negara.

Zamzuri bersama anggota jama’ah lainnya telah menyiapkan tempat-tempat bagi anggota sesama jama’ah, mengumpulkan dana dan turut bersiap siaga membuat keonaran di Sidorejo, dan ikut dalam pembunuhan Kades Sidorejo, Arifin Santoso dan anggota Polisi Sidorejo, Serma Sudargo selaku Ka Polpos Jaga di Sidorejo.

Menurut keputusan hakim, “Perbuatan Zamzuri merupakan mani-festasi pandangan hidup, ideologi dan cita-cita perjuangan jama’ah. Ini merupakan pelaksanaan dari cita-cita perjuangan jama’ah dan merupa-kan pelaksanaan dari cita politik, menegakkan berdirinya Negara Islam di Indonesia sekaligus menyebarkan syariat Islam.”

Setelah sepuluh tahun lebih mengalami hidup dalam penderitaan di penjara, kini Zamzuri bisa merasakan kembali kehidupan normal. Namun amat disayangkan, ternyata penduduk setempat masih trauma dengan kejadian masa silamnya. Zamzuri tidak bisa berkomunikasi dengan pen- duduk, karena setiap kali berhubungan dengannya sudah tidak boleh. Jadi, kini, dalam kesehariannya dia hanya bisa nongkrong di rumahnya saja. Tetapi, untunglah isteri tercinta masih bisa membantunya. Kalau ada tamu mencari ke sini dicurigai, Zamzuri sendiri bila merasakan hal yang demikian terbayang seperti masa-masa di penjara, bahkan kejadian yang dialaminya sekarang lebih membuatnya menderita. Menurut Zam-zuri, “Ya, rata-rata masyarakat itu heran saja, kalau mau ditanya sering nutup-nutup terus. Ada yang ditanya, tapi tidak mau membuka padahal mereka saksi. Mungkin sudah diintruksikan oleh Lurah Amir Puspa Mega dan oleh Tentara-tentara itu”. Namun, dalam percakapan terakhir dengan penulis, ia menyatakan bahwa Peristiwa Talangsari dan Sidoredjo tahun 1989 bukanlah kesalahan Hendro Prijono. Hendro Prijono, menurutnya, tertawan oleh situasi yang mengharuskan ia menjalankan tugasnya secara normatif TNI. Yang salah adalah para pengambil kebijakan di tingkat Pusat seperti Pangdam dan Menko Polkam serta Kopkamtib. Dan, di atas semua itu adalah Soeharto. Maka, ia pun tidak pernah menaruh sikap dendam terhadap Hendro Priyono pada saat orang-orang lain meng- gunakan kesempatan masa reformasi sekarang ini untuk menggugat dan meneror mental atas nama pelanggaran HAM. Bagi Zamzuri, orang-orang Islam tidak pernah menuntut HAM, karena tindakan di masa lalu adalah untuk perubahan di masa sekarang dan yang akan datang. Biar Allah sajalah yang akan membayarnya dengan surga-surga yang telah dijanjikan-Nya.