• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di level komunitas, komunitas Bali Nusa dan komunitas Bali Hindu lainnya, membentuk satu perkampungan (pemukiman) yang eksklusif. Seperti kasus komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, satu desa ini dengan tujuh banjar (dusun) mayoritas merupakan Bali Hindu yang berasal dari Nusa Penida. Kampung Bali lainnya yang setingkat banjar (dusun) tetap dibangun secara esklusif, meskipun mereka berada di tengah- tengah desa yang mayoritas berasal dari (keluarga transmigrasn) Jawa. Itu pun masih membawa identitas tempat asalnya, seperti Kampung Bali yang merupakan transmigrasi atas sponsor pemerintah di tahun 1963 akibat meletusnya Gunung Agung, yang disebut (kampung) Bali KoOGA (Komando Operasi Gunung Agung) yang didominasi oleh orang Bali yang berasal dari wilayah Bali Selatan, khususnya wilayah Tabanan. Di samping itu, ada Kampung Bali yang anggotanya orang Bali dari berbagai tempat, termasuk dari Nusa Penida, Bali Selatan, dan Bali Utara – biasanya yang datang pasca Gerakan 30 September 1965, tepatnya setelah tahun-tahun awal Orde Baru berdiri (1970-an).

Untuk alasan yang bersifat pragmatis pembangunan Kampung Bali yang bersifat eksklusif dapat dipahami, yaitu untuk mempermudah konsolidasi dan koordinasi massa saat penyelenggaraan upacara adat- keagamaan. Biaya yang dikeluarkan menjadi lebih murah, dan proses penyelenggaraan upacara menjadi lebih mudah karena sudah saling memahami prosedurnya (berasal dari tempat yang sama sewaktu di Bali). Selain itu, pemukiman yang eksklusif dapat menghindari kesalahpahaman

atau pun ketersinggungan dari komunitas lain yang mayoritas dengan keyakinan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki agenda upacara adat-keagamaan yang jumlahnya banyak. Jika itu dilakukan di dalam pemukiman komunitasnya sendiri, maka dapat menghindari perasaan terganggu dari komunitas lain. Bisa dibayangkan bagaimana potensi konflik horisontal yang terjadi jika mereka membaur dalam sebuah komunitas yang memiliki fanatisme agama yang berlebihan. Selain itu, mereka dapat memelihara hewan ternak seperti babi dan hewan peliharaan seperti anjing, di mana hewan-hewan ini bisa menimbulkan perasaan tidak senang atau pun ketersinggungan bagi komunitas lain. Karena itu untuk di wilayah Lampung, hanya di Kampung Bali masyarakat bisa menemukan babi dan anjing dipelihara dengan bebas – babi dan anjing hilir mudik dengan bebasnya tanpa adanya ancaman pembunuhan terhadap hewan tersebut maupun ancaman fisik dan psikis terhadap pemiliknya.

Poin yang sangat penting dari keberadaan Kampung Bali adalah kedudukannya sebagai “benteng terakhir” identitas kebalian mereka setelah berada di luar Bali. Sebuah benteng yang melindungi identitas kebalian dari ancaman eksternal. Penulis menyebutkan “benteng terakhir” karena mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat Lampung yang menyebabkan mereka tidak mungkin pindah lagi ke Bali dengan penduduknya yang sudah padat, dan yang paling penting, Kampung Bali merupakan basis identitas kebalian mereka. Posisi mereka sebagai minoritas yang hidup di tengah-tengah mayoritas (berbeda dengan posisi mereka ketika masih di Bali), memaksa mereka dalam proses pembentukan identitas kebaliannya identitas ini diperkuat. “Menjadi Lampung” (menjadi orang Bali Lampung) adalah solusi bagi mereka agar bonding komunitas berbasis identitas yang telah menguat ini, tidak menghalangi proses bridging dengan komunitas lain yang berbeda. Faktor ini (ancaman eksternal) yang menyebabkan mengapa mereka mengamini wacana Ajeg Bali yang berkembang di pusat. Bagi mereka ancaman atas ketahanan identitas Bali juga mereka rasakan di luar Bali. Berbeda dengan di Bali, di luar Bali mereka minoritas dengan ancaman eksternal yang tentunya lebih besar pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila mereka membentuk

satuan pengamanan tradisional sendiri – pecalang – untuk upacara (dan kepentingan formal / informal) adat dan keagamaan, di mana tujuan lainnya pembentukan pecalang ini sebagai penjaga keberlangsungan dan keamanan identitas kebalian mereka terhadap ancaman eksternal.

Perasaan terancam (eksternal) merupakan hal yang manusiawi, karena posisinya sebagai minoritas yang kukuh mempertahakan identitas asalnya. Pasca Bom Bali I dan II – bagaimana mereka menyaksikan sendiri situasi Bali pasca ledakan bom saat pulang kampung – perasaan terancam ini dirasakan semakin menguat. Benteng identitas – Kampung Bali – yang dimiliki terlalu kecil bila harus menghadapi ancaman eksternal. Ancaman

eksternal tersebut dapat mereka ilustrasikan sebagai “Jawa” yang mereka identikkan dengan “Islam”, dan mereka hidup di antaranya. Di Lampung

sendiri, terdapat kelompok-kelompok fudamentalis yang tersebar di berbagai daerah, eksistensi mereka tampak di permukaan pasca jatuhnya Suharto220. Penampilan mereka yang khas – bercadar (wanita), bersorban (laki-laki), berjenggot tebal dan panjang – membangkitkan perasaan trauma tersendiri bila mereka melihat kembali peristiwa Bom Bali (meskipun mereka tidak mengalami secara langsung). Perasaan sensitif, sentimentil dan trauma kadang menghampiri mereka ketika berjumpa dengan salah satu anggota kelompok ini di tempat-tempat publik tertentu, seperti berpapasan di jalan raya atau pasar – meskipun tidak ditunjukkan melalui mimik wajah. Bila komunitas Balinuraga (dan juga komunitas Bali Hindu lainnya) memperhatikan kejatuhan Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, dan peristiwa Bom Bali yang belum lama terjadi, maka semakin menguatlah wacana meng-ajeg-kan Kampung Bali sebagai “benteng

terakhir” identitas kebalian mereka di luar Bali. Eksistensi kelompok- kelompok fundamentalis sebenarnya bukan satu-satunya ancaman eksternal bagi Kampung Bali. Ada ancaman yang lebih nyata yang harus

220

Kelompok-kelompok ini ada yang merupakan pecahan dari peristiwa Talang Sari, dan ada yang bentukan baru yang berkiblat di Jawa. Dari kelompok- kelompok inilah, beberapa calon-calon teroris direkrut untuk melaksanakan aksi- aksi teror di Indonesia. Contoh terbaru adalah aksi latihan militer gerakan ini di

Aceh, di mana salah satu anggotanya ada yang berasal dari “Kelompok Lampung” – yang diindikasikan berasal dari kelompok-kelompok (fundamentalis) ini (berbagai sumber: September 2010).

dihadapi oleh komunitas mereka, terutama generasi muda, yaitu modernisme, konsumerisme, hedonisme, pragmatisme, demokrasi dan liberalisme, dan lain-lain. Faham-faham tersebut mereka dapatkan dan juga dipraktekkan oleh mereka ketika mereka sudah mulai bersentuhan dengan pergaulan dalam komunitas yang lebih luas dan heterogen, di mana sedikit-banyak bertentangan dengan ketradisionalan identitas mereka, yaitu ketika harus bersekolah atau bekerja di luar kampung seperti di ibukota kabupaten atau provinsi. Ketika mereka sudah berada di kota, otomatis mereka sudah menjadi bagian dari masyarakat urban, dan terpengaruh budaya urban melalui interaksinya dengan masyarakat yang heterogen. Akibatnya, ketika mereka kembali ke Kampung Bali dan menjadi masyarakat modern, mereka harus berhadapan dengan ketradisionalan identitas mereka, dan harus berhadapan dengan kalangan yang konservatif

– modernisme sebagai ancaman. Sampai saat ini, pertentangan antara modern vs tradisional masih terus berlangsung. Mereka yang modern beranggapan bahwa modernisme tidak berarti hilangnya ketradisionalan identitasnya, sebaliknya, yang tradisional beranggapan bahwa modernisme mengancam ketradisionalan dan keotentikkan identitas leluhur. Meskipun pertentangan ini muncul di dalam komunitasnya, ada satu kesepakatan bersama di antara mereka yang tetap menjadi faktor pemersatu: identitas kebalian harus tetap bertahan dan eksis. Jadi pertentangan-pertentangan yang ada merupakan bagian dari cara untuk mempertahankan identitas mereka, dan bagi mereka ini merupakan sebuah dinamika yang harus mereka jalani – untuk menjadi semakin solid harus ada pertentangan, tapi pertentangan yang tidak sampai pada bentrokan fisik.