• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu hal yang (paling) ditakutkan etnis Bali setelah berada di luar Bali, berdasarkan kasus komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga, adalah hilangnya identitas mereka sebagai Bali Hindu, lebih spesifik, hilangnya identitas leluhurnya yang disebut warga (klan, soroh), di mana ini menjadi jati diri mereka sebagai seorang Bali Hindu. Ketakutan ini merupakan cerminan dari kuatnya ikatan kekerabatan berdasarkan garis

dan memiliki rumah yang permanen. Ketika keduanya telah terpenuhi, maka mereka dapat dikatakan telah berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orang tuanya (sudah mandiri). Jika memakai parameter kesuksesan kapitalistik, tentunya kedua ini tidak cukup sebagai indikator kesusksesan di level keluarga inti, karena selain kedua bangunan ini, mereka tentunya harus memiliki kendaraan bermotor (khususnya roda empat), barang elektronik, bangunan pura keluarga dan rumah yang luas, dan lain-lain. kriteria “kesuksesan” di level warga (klan, soroh) adalah bagaimana anggota-anggota warga “A” – yang terdiri dari keluarga inti dari warga “A” – berhasil membangun pura kawitan yang apik (besar, megah, dan artistik) di dalam sebuah griya (banjar), di mana pura kawitan tersebut dibangun. Kriteria “kesuksesan” di level adat (desa) adalah berhasil membangun pura Kahyangan tiga – sebagai perekat komunitas adat-keagamaan komunitas Balinuraga – yang juga tidak kalah apik-nya, di mana pura ini merupakan milik dari warga-warga yang menjadi kesatuan adat masyarakat Balinuraga. Ditambah dengan bangunan-bangunan lain yang artistik yang menjadi

simbol komunitas ini seperti “tugu” yang terletak di tengah desa sebagai sentral

(titik tengah) desa itu, bale desa, pura-pura di areal pertanian yang mana dalam waktu tertentu diselenggarakan upacara ruwatan hasil panen. Garis besar atau poin utama dari kriteria kesuksesan versi mereka adalah bebas dari ketergantungan ekonomi dari pihak lain (termasuk keluarga besar), atau mandiri, dan berhasil memenuhi kewajiban adat-keagamaan yang bersifat ajeg, khususnya ngaben (karena menghabiskan biaya yang besar, dan mengandung prestise dalam penyelenggaraannya yang bersifat besar-besaran). Sebagai catatan, kriteria di atas bersifat umum –seperti „standar kesuksesan minimum‟ versi mereka – dan bukan berarti sebagian di antara mereka tidak memiliki kriteria kesuksesan seperti yang umum digunakan dalam masyarakat industri seperti: tanah pertanian yang luas (minimal di atas dua hektar) yang tersebar di luar Desa Balinuraga, jumlah sapi yang mencapai puluhan hingga ratusan, mobil bak terbuka (sejenis truk), mesin dan tempat penggilingan padi, kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil), peralatan elektronik (komputer desktop, laptop, handphone kamera merek terkenal, dsb.), dan lain-lain. Akses terhadap pasar yang terbuka lebar, memungkinkan mereka untuk memiliki barang-barang yang disebutkan di atas.

leluhur yang membentuk identitas warga tersebut. Ada sebuah kewajiban yang bersifat adat-keagamaan yang harus mereka lakukan sebagai warga tertentu yang memiliki perbedaan dengan warga yang lain. Jika mereka tidak melakukannya (kewajiban sebagai seorang warga tertentu), maka (dipercaya) ada semacam sangsi niskala yang akan menimpa mereka (musibah atau malapetaka). Ketakutan berikutnya adalah jika mereka keliru dalam mengidentifikasikan identitas warga-nya. Artinya, mereka tidak dapat membuktikan secara jelas dan rinci apakah benar ia berasal dari leluhur (warga) yang selama ini mereka anggap sebagai leluhurnya. Hilang atau kelirunya identitas leluhur (kawitan) tentu akan menjadi permasalahan besar di dalam komunitasnya sebagai Bali Hindu. Akibatnya mereka dapat dianggap bukan sebagai orang Bali lagi, karena tidak memiliki identitas leluhur yang jelas219. Bagi masyarakat Bali, sudah sewajarnya jika seseorang mengaku sebagai orang Bali dapat menyebutkan identitas kawitan-nya. Berangkat dari titik inilah, yang menyebabkan mengapa komunitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal butuh untuk mengetahui identitas warga-nya dengan jelas. Mereka membutuhkan patron (individu atau pun lembaga formal sebuah warga tertentu) untuk melegitimasi keabsahan identitas warga mereka, di mana patron yang mereka percayai itu ada di Bali sebagai pusat (patron) identitasnya.

Dikatakan “butuh” karena bermula dari ketakutan tersebut, bahwa akan

ada malapetaka atau musibah yang akan menimpa mereka. Untuk benar- benar memastikan keabsahan identitas leluhurnya, mereka pun rela pulang- pergi Lampung-Bali secara rutin, sampai legitimasi itu didapatkan. Legitimasi secara resmi tentu mereka dapatkan dari organisasi formal warga yang ada di Bali, meskipun sudah ada perwakilannya di Lampung, tapi bagi mereka yang (legitimasi) di Bali tetap lebih penting. Namun,

219

Bila seorang Bali telah berpindah kepercayaan atau keyakinan, maka mereka

dianggap “bukan Bali” lagi. “Bukan Bali” yang dimaksudkan adalah “Bali Hindu”, dari sudut pandang etnisitas individu yang berpindah keyakinan tersebut tetap sebagai seorang etnis Bali, tapi bukan “Bali Hindu”. Hal ini disebabkan,

begitu individu tersebut pindah keyakinan (tidak menjadi Hindu), maka secara otomatis kewajiban-kewajiban adat-agama yang selama ini menjadi atau melekat pada identitas mereka (termasuk identitas leluhur) akan hilang, dan hilangnya kewajiban-kewajiban tersebut menunjukkan bahwa individu tersebut “bukan Bali” lagi.

sebelum mendapatkan legitimasi tersebut, mereka harus mendapatkan bukti-bukti dari seseorang yang ahli dalam menelusuri dan menguasai silsilah keluarga dari warga tertentu, atau meminta bantuan dari seorang balian (paranormal / dukun Bali) untuk melacak kehidupan lampaunya agar dapat diketahui sebenarnya ia berasal dari warga atau leluhur mana.

Bagi masyarakat awam (non-Bali) kegiatan pencarian identitas leluhur terkesan berbelit dan merepotkan, tapi tidak bagi mereka (komunitas Bali Nusa di Balinuraga). Ini merupakan sebagai sebuah konsekuensi yang harus mereka emban sebagai seorang Bali, di mana identitas warga menjadi sebuah sistem yang harus mereka ikuti aturan mainnya. Terlebih setelah keberadaan mereka di luar Bali. Mereka tidak ingin jika identitas leluhurnya dipertanyakan oleh pusat, dan mereka juga ingin diakui dan bergabung dalam sebuah komunitas besar dari warga-nya. Oleh karena itu, ketergantungan patronase terhadap pusat dalam proses pembentukan identitasnya setelah berada di luar Bali tidak dapat mereka lepaskan begitu saja, melainkan akan tetap melekat. Tidak hanya menyangkut legitimasi identitas warga-nya, tapi juga menyangkut kewajiban-kewajiban adat-keagamaan yang harus mereka penuhi sebagai seorang warga tertentu. Meskipun mereka sudah memiliki pura kawitan di Balinuraga, tapi pura kawitan yang ada di tanah leluhur tetap memiliki kedudukan yang lebih istimewa, karena dari tanah inilah (Bali) leluhur mereka berasal.

Faktor Kekuasaan atau Otoritas: Identitas Hindu Dharma