Perjalanan identitas Bali Nusa merupakan sebuah proses bertahap pembentukan identitas Bali Nusa yang dimulai sejak mereka bertransmigrasi di tahun 1963 sampai satu dasawarsa terakhir di abad ke- 21. Hampir lima dasawarsa komunitas ini menetap di Lampung Selatan, tepatnya empat puluh tujuh tahun terhitung dari 1963-2010. Secara fisik Kampung Bali di Desa Balinuraga sudah mencapai tahap mapan dari segi pembangunannya. Artinya, seandainya terjadi penambahan-penambahan bangunan atau infrastuktur, pengaruhnya sudah tidak seberapa signifikan merubah penampilan fisik perkampungan komunitas Bali Hindu ini – umumnya hanya renovasi rumah dari semi permanen menjadi permanen,
207
renovasi (perbaikan) pura-pura (seperti pura keluarga (rong telu), pura desa, pura puseh, dan pura dalem), perbaikan dan penambahan aspal jalan, dan lain-lain. Poin penting bagi komunitas ini, sebagai penanda kemapanan komunitas mereka sebagai Bali Hindu adalah setelah bangunan fisik yang menjadi simbol identitas mereka sebagai Bali Hindu lengkap – tidak ada lagi kekurangan berdasarkan aturan adat dan kerpecayaan / agama mereka, dengan kata lain, sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan), khususnya Pura Kahyangan Tiga. Untuk saat ini, yang mereka lakukan hanya merenovasi – tidak hanya memperbaiki bangunan pura yang rusak, tapi menjadikannya lebih bagus daripada sebelumnya. Namun, kasus menarik yang terjadi belakangan ini adalah para kelompok warga lebih memfokuskan renovasi (penambahan bangunan pura) untuk pura kawitan di griya-griya milik warga-nya. Kasus ini menunjukkan bahwa perjalanan identitas komunitas Bali Nusa (Bali Hindu dari Nusa Penida) belum selesai, dan terus berdinamika dalam interaksinya dengan warga- warga yang lain. Oleh karena itu, penampilan secara fisik komunitas ini menunjukkan bahwa identitas mereka sebagai Bali Lampung sudah ajeg, tapi kenyataannya, dalam kehidupan sosial anggota komunitas ini yang terfragmentasi berdasarkan warga-warga menunjukkan bahwa pertentangan identitas masih terjadi internal komunitas mereka – tidak seajeg penampilan fisiknya melalui bangunan pura yang indah dan artistik, ritual harian yang menunjukkan identitas kebalian yang kental, iring- iringan massa yang hendak melaksanakan upacara, dan lain-lain, yang seolah-olah di mata orang luar menunjukkan komunitas ini sebagai komunitas yang stagnan, adinamis, kaku, atau kolot. Memang dari berbagai fenomena hubungan antar warga dalam manifestasinya yang beragam – saling klaim identitas leluhur, persaingan pembangunan pura kawitan, persaingan upacara / ritual warga mana yang paling besar, dan lain-lain – secara jelas menunjukkan bahwa komunitas ini terpecah-pecah berdasarkan identitas leluhur, dan menampikkan kesolidan internal di dalam komunitas ini. Namun, uniknya dalam kasus yang lain, misalnya jika ada bagian dari anggota komunitas mereka, atau pun anggota komunitas lain (dari Kampung Bali tetangga), mengalami masalah (pertengkaran / keributan) dengan anggota komunitas lain non-Bali, meskipun berasal dari warga yang berbeda, maka mereka secara spontan
akan saling membantu. Rasa solidaritas itu masih kuat dan solid secara massa jika salah satu anggota dari komunitas mereka bermasalah dengan anggota komunitas lain non-Bali, meskipun yang patut dicermati adalah bahwa anggota yang bermasalah itu berasal dari warga yang berbeda. Fenomena ini terjadi karena di dalam benak mereka (komunitas Bali Hindu) jika ada salah satu anggota komunitas mereka mengalami masalah dengan komunitas lain (misalnya dalam kasus umum: mengalami kekerasan fisik dari anggota komunitas lain non-Bali, seperti penodongan atau begal), maka kejadian ini dianggap (oleh sebagian anggota komunitas Bali Hindu) sebagai ancaman eksternal yang nantinya akan mengancam eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu. Fenomena ini akhirnya melahirkan stigma-stigma terhadap etnis Bali dari etnis-etnis lain non-Bali,
misalnya: “jangan ganggu orang Bali”, “hati-hati dengan orang Bali”,
“kalau ribut dengan orang Bali urusannya bisa jadi besar”, “magic orang
Bali hebat”, “jangan pacaran sama orang Bali”, dan lain-lain. Di sisi yang lain, berbanding terbalik dengan stigma negatif di atas, terkait dengan kehidupan keseharian termasuk tradisi adat dan keagamaan, etnis Bali Hindu mendapatkan pengakuan akan eksistensi identitasnya, baik sebagai
orang Bali maupun sebagai orang Bali Hindu, misalnya: “kalo sudah
urusan adat dan agama, orang Bali nomor satu”, “Orang Bali itu paling kuat adat sama (dan) agamanya”, “Orang Bali sangat royal dengan urusan adat dan agama”, “Orang Bali kompak, apalagi kalo urusan adat sama agama”, dan lain-lain.
Terlepas dari kontrakdiksi-kontradiksi yang dipaparkan di atas, patut diketahui bahwa dinamika hubungan antara anggota warga, ataupun hubungan sesama masyarakat (lintas warga) di dalam komunitasnya, yang penuh dengan pasang-surut merupakan sesuatu yang dinilai sesuatu biasa saja atau normal. Mereka menganalogikannya seperti musik dan tarian Bali. Ritme musik yang cepat dan naik-turun, dan gerakan tari yang cepat dan lincah, itu yang terjadi di dalam kehidupan sosial komunitas mereka. Pesan ini menunjukkan bahwa melalui produk-produk kebudayaannya (melalui seni tari dan musik), maka tercermin bagaimana mereka sebagai orang Bali. Mereka bukan masyarakat yang kehidupannya monoton, tapi sebaliknya, masyarakat yang dinamis, sama seperti musik dan tariannya.
Uraian singkat pada dua paragraf di atas merupakan pengantar untuk menguraikan perjalanan identitas Bali Nusa setelah mereka berada di Lampung, dan sudah menjadi bagian dalam masyarakat Lampung yang heterogen: bahwa dalam setiap tahapan dari perjalanan identitasnya, selalu dipenuhi dengan dinamika – tidak monoton, tidak statis, dan tidak apolitis seperti yang diidealkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia the last paradise berdasarkan pencitraan identitas terhadap etnis Bali di masa kolonial dan pasca kolonial. Dalam pembahasan sub-bab ini, untuk menguraikan perjalanan identitas Bali Nusa, penulis memilahnya menjadi beberapa masa atau tahapan berdasarkan rezim yang berkuasa di Indonesia pada masa itu (untuk mempermudah pengkategorian waktu/pentahapan) sejak mereka bertransmigrasi tahun 1963, yaitu: (1) Orde Lama (1963- 1966): dari masa pemerintahan Sukarno 1950-1966, mereka masih merasakan rezim ini selama tiga tahun (1963-1966) di Lampung; (2) Orde Baru (1967-1998); dan (3) Orde Reformasi (pasca jatuhnya Suharto, 1998
– sekarang). Berdasarkan masa-masa (rezim) ini maka pentahapan yang akan diuraikan lebih lanjut adalah: (1) Masa kevakuman dan pencarian bentuk identitas (tiga tahun di masa masa Orde Lama, peralihan kekuasan Orde Lama ke Orde Baru pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965, 1966-1967, masa-masa awal Orde Baru sebelum PHDI berafiliasi dengan Suharto tahun 1968); (2) Masa kemapanan identitas semu di masa Orde Baru (1967-1998) tepatnya pasca 1968; (3) Masa Politik Identitas, pasca jatuhnya Suharto, ketika identitas digunakan dalam tataran politik praktis di dalam komunitas dan di luar komunitas. Dalam pembahasan sub-bab ini (perjalanan identitas Bali Nusa) akan disertakan di dalam pembahasan proses pembentukan identitas itu sendiri, dan dinamikanya.