• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasca jatuhnya Suharto tahun 1998 dan lahirnya era Otonomi Daerah tahun 1999 membawa satu perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial-politik-kebudayaan-agama bagi komunitas Bali Nusa di Balinuraga yang masih terus berlangsung sampai sekarang, yaitu menjadikan identitas kebaliannya sebagai sarana atau modal politik bagi mereka untuk berpolitik praktis. Fenomena ini bersamaan dengan menguatnya politik kedaerahan masyarakat lokal – etnis Lampung asli – yang ingin mendapatkan posisi strategisnya di bidang pemerintahan dan politik di wilayah Lampung, yaitu dengan mengusung isu sentral putra daerah sebagai yang berhak mengatur wilayahnya211. Penyebabnya adalah putra daerah perannya selalu dimarginalkan di masa Orde Baru dengan tidak mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, di mana posisi ini selalu ditempati oleh pendatang (etnis Jawa) yang berasal dari kalangan militer yang penunjukkannya bersifat top-down melalui Kementerian Dalam Negeri atas restu Suharto sebagai presiden. Identitas kebalian dapat dikatakan sebagai modal politik karena di dalam identitas kebalian terdapat sebuah massa yang besar dan kompak. Jika itu dapat dimobilisir oleh elit- elit komunitas ini, maka massa (suara) bisa dijadikan sebagai tiket untuk duduk di kursi legislatif tingkat daerah, atau diuangkan (dijual) oleh

211

Fenomena “politik lokal” ini merebak luas di permukaan pasca jatuhnya

Suharto dan kemunculan era Otonomi Daerah di Indonesia (1999). Untuk melihat gambaran umum politik lokal di Indonesia pada periode ini, lihat (bagian pengantar): Schulte Nordholt dan Van Klinken (edt.) 2007, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.

sekelompok elit kepada para calon bupati dan calon legislatif ketika berkampanye. Bagi para calon bupati dan calon legislatif, mereka akan rela menggelontorkan sejumlah uang tunai bagi para elit komunitas ini, karena mereka tahu persis bahwa komunitas Bali pada umumnya (termasuk Bali Nusa) massanya dapat diarahkan oleh elit-elit (sesepuh atau tokoh masyarakat) dengan mengusung identitas Bali Hindu. Bila dibandingkan dengan komunitas etnis lain, komunitas Bali merupakan komunitas etnis yang paling mudah dikumpulkan atau dikerahkan. Artinya, tanpa dikomando komunitas ini pasti akan berkumpul secara massal di suatu tempat tertentu dalam sebuah ritual atau upacara adat-keagamaan. Pada even ini, elit dari komunitas Bali bersama-sama dengan para calon bupati dan legislatif menyisipkan agenda kampanyenya masing-masing di sela- sela kegiatan adat-keagamaan tersebut. Supaya tidak menimbulkan kesan money politics, para calon ini biasanya memberikan sejumlah dana tunai atau pun fasilitas lainnya untuk melestarikan kebudayaan Bali, baik berupa sumbangan tunai untuk pura atau pun menyediakan fasilitas tertentu untuk kelancaran sebuah upacara atau ritual yang melibatkan massa yang besar, seperti mobil bak terbuka, snack, sound system, dan lain-lain. Menariknya, para calon ini ketika sedang berkampanye di dalam komunitas ini selalu mengenakan busana adat Bali, dan ikut serta dalam upacara yang diadakan, di mana sebagai penghargaan atas kehadiran para calon ini disuguhkan berupa musik dan tarian Bali212. Contoh lainnya adalah dengan

212

Ketika mengadakan penelitian di bulan Maret 2010, penulis mendapatkan beberapa kesempatan mengikuti beberapa upacara penting yang melibatkan massa: pertama, massa skala kecamatan dan kabupaten; kedua, massa skala banjar (dusun). Momen ini digunakan oleh beberapa calon bupati yang berbeda untuk mengikuti upacara tersebut. Alasannya adalah untuk silaturahmi untuk mempererat persaudaraan sebagai masyarakat Lampung. Namun, tanpa perlu disebutkan oleh para calon bupati, masyarakat sudah mengetahui bahwa calon tersebut sebenarnya sedang berkampanye. Masyarakat yang sudah jenuh dan bosan dengan model kampanye seperti ini, biasanya acuh tak acuh, dan tetap fokus pada kegiatan upacara. Seandainya mereka tetap ada di tempat upacara saat calon bupati mengucapkan kata sambutan, itu lebih disebabkan karena kata sambutan itu diucapkan sebelum upacara diselenggarakan, di mana massa telah berkumpul semua. Ketika upacara selesai yang ditutup dengan serah terima bantuan dari para calon, massa tetap hadir dan menyaksikan momen tersebut dikarenakan telah mendapatkan himbauan dari para sesepuh dan pemuka agamanya. Ini merupakan

membagikan Kalender Bali yang dibagian bawahnya terdapat foto dari calon bupati, di mana biasanya dibagian bawah kalender berisikan sponsor dari perusahaan tertentu. Tujuannya sangat jelas, untuk menarik simpati dari para pemilihnya yang berasal dari komunitas Bali Hindu. Massa pasti akan berkumpul saat diadakan upacara, karena itu para calon memanfaatkannya dengan mengikuti upacara tersebut dengan menggunakan busana adat Bali. Secara ekonomi, para calon ini sudah mendapatkan keuntungan, karena tidak perlu menggunakan uang ekstra untuk mengumpulkan massa, seperti yang sering mereka keluarkan ketika menggumpulkan massa dari kalangan etnis dan komunitas lainnya di massa kampanye. Saat pemilihan langsung sedang hangat-hangatnya, baik pemilihan legislatif maupun kepala daerah, metode ini cukup menarik simpati komunitas Bali Nusa. Namun, simpati tersebut tidak berlangsung lama, karena kesadaran politik mereka semakin menguat. Oleh karena itu, setiap kali memberikan sambutan kepada setiap calon legislatif atau pun bupati yang berkampanye di komunitas ini, salah seorang sepuh yang selalu memberikan sambutan selalu berkata:

Saya sebagai perwakilan orang Bali di sini

mendukung saudara “X” sebagai “Z”, tapi biarlah

masyarakat di sini yang memilih siapa yang terbaik

dari setiap calon.”

Kemudian, sebagai respon atas “money politics” yang dilancarkan kepada setiap calon, salah seorang sepuh menjelaskan kepada penulis:

“Jika mereka ingin menyumbang (memberikan

uang) untuk (kas, renovasi atau pembangunan) pura, ya, kita terima. Yang penting (saya) sebagai perwakilan (orang Bali Nusa di Banjar X) sudah

sebuah strategi dari event organizer yang dimainkan oleh para elit politik yang ada di komunitas tersebut agar jumlah massa tidak berkurang. Sebelum mengikuti upacara, para calon ini biasanya sudah dibekali oleh para elit komuntias ini dengan busana adat Bali dan dilatih selama beberapa menit agar bisa mengucapkan dengan baik dan benar “Om Swastiastu” dan “Om Shanti Shanti Shanti”. Terkadang ini menjadi bahan tertawaan bagi massa begitu mereka mendengar pengucapan salam tersebut dalam pelafalan yang salah.

menyatakan posisi netral (seperti pernyataan di

atas).”

Jadi, periode ini (pasca jatuhnya Suharto) disebut sebagai masa “politik identitas” karena pada masa ini mereka sudah menggunakan identitasnya – melalui simbol etnisitas, budaya dan agama – untuk kepentingan politik praktis sebagai respon atas perubahan politik di era reformasi, dan sebagai upaya menunjukkan eksistensi identitas mereka sebagai Bali Hindu – ingin mempunyai wakilnya di legislatif – di tengah-tengah dominasi putra daerah. Di era reformasi mereka mendapatkan kesempatan yang luas untuk terjun ke dunia politik. Sebuah kesempatan yang tidak mereka dapatkan dengan mudah di masa Suharto. Jika di masa Suharto, Balinuraga menjadi

“kuning” (Golkar), maka di era reformasi menjadi lebih berwarna dengan warna dominan: “kuning” (Golkar), “merah” (PDI-P), dan “biru” (Demokrat). Seperti mayoritas etnis Bali lainnya, komunitas Balinuraga lebih condong ke partai politik yang berhaluan nasionalis. Partai politik yang berhaluan agama (Islam) bukan menjadi pilihan mereka.

Gambar 14. Salah Satu Kantor Pimpinan Partai Politik Tingkat Kecamatan di Balinuraga

Gambar 15. Kalender Bali di Lampung

(kalender pertama sebelah kiri: Kalender Bali biasa dengan pesan sponsor di bawahnya; kelender kedua sebelah kanan: Kalender Bali di masa kampanye

dengan pesan sponsor calon kepala daerah). (Sumber: Yulianto, 2009 & 2010)

Gambar 16. Pesan Sponsor di Bawah Kalender Bali

(gambar pertama atas: pesan sponsor perusahaan swasta di Lampung di bagian bawah Kalender Bali; gambar kedua bawah: pesan sponsor calon kepala daerah

Lampung Selatan di bagian bawah Kalender Bali). Sumber: Yulianto, 2009 & 2010.

Sebuah realitas baru di era reformasi yang terjadi di komunitas Balinuraga bersama-sama komunitas Bali Hindu lainnya adalah terjadinya penguatan identitas etnis dan agama. Penguatan identitas ini, yang disertai dengan keterlibatan aktif (elit-elit komunitas Bali Hindu yang tersebar di Lampung Selatan, termasuk di Balinuraga) dalam politik praktis merupakan sebuah respon atas kekhawatiran yang dapat mengancam eksistensi identitas mereka, karena menguatnya politik berbasis identitas etnis yang mengusung putra daerah dalam memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah elit-elit ini bisa mendapatkan suara yang tinggi di dalam komunitasnya sendiri, yang menjadi basis utama perolehan suara bagi elit yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di tingkat kabupaten. Jika memperhatikan pertentangan identitas warga yang terjadi di dalam komunitas ini, maka bukan hal yang mengejutkan bila elit yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif mendapatkan suara yang minor di dalam komunitasnya. Penulis mencermati adanya win-win- solution untuk mengatasi pertentangan identitas warga. Artinya, mereka lebih memilih calon legislatif dari komunitas lainnya (non-Bali), atau warga lain dari Kampung Bali tetangga yang berasal dari warga yang

sama. Opsi pertama, dengan memilih calon legislatif non-Bali sepertinya menjadi opsi yang utama bagi mereka, supaya sentimen antar warga itu tidak terlalu tampak di permukaan. Dengan kata lain, lebih baik memilih orang lain, daripada memilih orang sendiri. Hal ini disebabkan, calon legislatif yang berasal dari komunitas Bali, cara paling mudah dan pasti untuk memperoleh suara adalah dengan mengambil suara dari warga-nya. Hal ini juga dilakukan oleh warga lain yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Tentu, dalam kampanyenya sentimen atau isu identitas warga (leluhur) akan digunakan sebagai media kampanye untuk memperoleh suara. Jika ada masing-masing warga mempunyai calon sendiri, maka pertentangan ini menjadi semakin tampak saat kampanye – sistem multipartai memungkin setiap warga untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, dan menjadi anggota legislatif sebagai salah satu alternatif pekerjaan yang menjanjikan. Oleh karena itu, lebih baik memilih orang lain (non-Bali) menjadi alternatif yang lebih baik, daripada akhirnya menimbulkan perasaan tidak enak antara satu dengan yang lainnya. Bagi anggota komunitas yang masih konservatif, mereka pasti akan memilih calon yang berasal dari warga-nya sendiri, daripada calon dari warga lain. Ada kontrakdiksi antara kekhawatiran menguatnya identitas putra daerah dengan keterwakilan mereka di legislatif – hal ini pula yang menyebabkan

“pilih orang lain” daripada “orang sendiri” dan jumlah suara yang minor di

dalam komunitasnya sendiri. Hal ini disebabkan adanya pandangan yang moderat dari sebagian masyarakat Balinuraga (dan juga pragmatis) bahwa dengan memilih calon legislatif atau pun calon kepala daerah yang berasal dari putra daerah sebenarnya identitas mereka sudah terwakilkan melalui calon itu ketika terpilih. Kalangan moderat ini berpandangan agar putra daerah diberikan kesempatan untuk memimpin selama masih memberikan perhatian yang serius masyarakat Bali Lampung sebagai bagian dari masyarakat Lampung. Selain itu, mereka menyadari posisinya sebagai minoritas dan pendatang, karenanya masalah jika harus mengalah asalkan identitas mereka tidak diganggu atau disakiti. Hubungan putra daerah dan masyarakat Bali (melalui elit-elitnya) terbilang baik. Keduanya saling menjaga hubungan baik agar tidak terjadi konflik yang dulu pernah terjadi di antara kedua etnis ini. Bagi putra daerah yang mendapatkan dukungan suara paling banyak dari masyarakat Bali menjadikannya memiliki

kepercayaan diri ekstra, dan biasanya masyarakat Bali memilih salah seorang calon dalam jumlah yang cukup besar (kompak), namun juga menjadi lebih berhati-hati agar jangan sampai janjinya selama kampanye untuk masyarakat Bali tidak dipenuhi – dukungan suara yang besar juga merupakan sebuah ancaman untuk mewakilkan komunitas mereka, agar jangan mempermainkan kepercayaan mereka.

Gambar 17. Keterlibatan Bupati Incumbent (Putra Daerah) dalam Upacara Melasti sebagai Media Kampanye Kepala Daerah

(gambar pertama atas: ada spanduk bupati incumbent; gambar kedua bawah: para sesepuh Bali, perwakilan PHDI dan Depag, bupati incumbent dan staffnya).

Di bagian sebelumnya telah diuraikan bagaimana komunitas ini melakukan proses peniruan terhadap pusat atau Bali sebagai patron identitasnya. Artinya, apa yang saat ini menjadi tren di Bali juga menjadi tren bagi komunitas Bali yang ada di luar Bali. Contoh kasus yang sangat relevan untuk diuraikan di sini adalah wacana dan implementasi Ajeg Bali. Berkembang luasnya wacana Ajeg Bali di pusat ternyata mendapatkan perhatian yang serius bagi komunitas Bali di Lampung Selatan, di mana wacana dan implementasinya dilakukan secara bersama-sama antara Balinuraga dan Kampung Bali lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekhawatiran akan tergerusnya identitas kebalian tidak hanya menjadi milik masyarakat Bali yang diwakili oleh elit-elitnya, tapi juga menjadi kekhawatiran masyarakat Bali di luar Bali, dalam kasus ini masyarakat Bali di Lampung Selatan yang diwakili oleh elit-elitnya yang ada di setiap komunitas yang memiliki massa besar – Balinuraga merupakan salah satu komunitas Bali Hindu dengan jumlah massa yang besar, karena satu desa ini mayoritas orang Bali Hindu (Bali Nusa) dengan memiliki tujuh banjar atau dusun. Wacana Ajeg Bali bagi masyarakat Bali di perantauan ini dinilai sangat relevan karena kedudukannya sebagai minoritas, komunitas mereka terpecah-pecah dan tersebar di Kampung Bali-Kampung Bali yang ada di beberapa kecamatan di Lampung Selatan. Kecuali Balinuraga yang level komunitasnya merupakan desa, Kampung Bali lainnya – karena tersebar di berbagai desa dan kecamatan, kedudukan komunitasnya yang eksklusif ini rata-rata hanya selevel banjar atau dusun.

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana wacana Ajeg Bali ini diimplementasikan oleh komunitas Bali Hindu perantauan di Lampung Selatan yang merupakan sebuah adaptasi dari implementasi Ajeg Bali yang terjadi di Bali? Sebelum menjawab adaptasi implementasi Ajeg Bali di Lampung Selatan, penulis akan uraikan secara singkat lahirnya

“Pecalang” (polisi adat / traditional police) yang berkembang di Bali sebagai salah satu implementasi dari wacana Ajeg Bali. Di Bali sendiri, kehadiran pecalang mulai menunjukkan eksistensi dan perannya sebagai satuan pasukan polisi adat – seperti menggantikan peran polisi negara yang dianggap absen – yang diakui oleh pemerintah daerah sejak diterbikannya Perda No. 3/2001, bahwa pecalang diakui sebagai satuan tugas keamanan

tradisional, khususnya untuk keperluan adat dan keagamaan213. Setelah sebelumnya di bulan Juli 2000 departemen kebudayaan propinsi menyelenggarakan sebuah seminar untuk menciptakan keseragaman bagi satuan polisi adat tersebut, dan di tahun 2002 sebuah booklet diterbitkan bekerja sama dengan Parisada yang menjelaskan tugas-tugas, fungsi- fungsi, dan seragam pecalang214. Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan memberikan contoh kasus dari lahirnya pecalang atau satuan polisi adat dalam komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan. Penulis sangat terkejut ketika menyaksikan satuan polisi adat atau pecalang menjalankan tugasnya pada saat diselenggarakan sebuah acara formal (Musyawarah Daerah / Musda) yang diadakan sebuah organisasi kemasyarakatan Paguyuban Bali Peduli Lampung Selatan (Pargali) sembari diadakan sebuah acara perkenalan DANDIM (Komandan Komando Distrik Militer) baru di Lampung Selatan dan sambutan dari perwakilan Bupati Lampung Selatan (Oktober 2009); dan saat diselenggarakannya Upacara Melasti di sebuah pantai terkenal di Lampung Selatan (Pantai Merak Belantung) Maret 2010. Ketika acara tersebut berlangsung, pecalang menjalankan tugasnya sebagai satuan keamanan untuk keperluan adat dan agama. Karena itu, ketika acara ini berlangsung, penulis tidak menemukan hansip (pertahanan sipil) atau pun polisi. Peran polisi yang penulis temukan waktu itu adalah hanya mengatur lalu lintas ketika iring-iringan massa hendak menuju ke pantai untuk melaksanakan Upacara Melasti, sisanya diambil-alih oleh pecalang, seperti menjaga keamanan di lokasi acara, mengatur parkir, sampai menjual dan memungut tiket masuk ke areal upacara yang sebenarnya merupakan areal wisata. Sama seperti pecalang di Bali, pecalang di Lampung Selatan ini memiliki seragam sebagai identitasnya, bahwa mereka resmi dan diakui keberadaannya sebagai satuan pengamanan untuk keperluan adat dan keagamaan yang secara kelembagaan formal berada di bawah pengawasan PHDI dan berinduk di bawah organisasi kemasyarakat Pargali Lampung

213

Lihat: Schulte Nordholt 2007, Bali an Open Fortress 1995-2005, Singapore: Nus Press

.

dan Schulte Nordholt 2007 “Bali: Sebuah Benteng Terbuka”dalam politik lokal di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.

214

Selatan. Sama seperti pecalang di Bali, pecalang di Lampung Selatan menggunakan sebuah jaket yang seragam (sejenis rompi), destar, udeng, dan handy-talky, di mana terdapat beberapa penyesuaian dalam seragam yang digunakan – dengan menggunakan seragam resmi, udeng, dan destar sebenarnya mereka sudah menunjukkan bahwa mereka adalah pecalang. Pembedanya terletak pada logo yang terletak di sebuah jaket safari (motifnya loreng-loreng seperti milik militer) yang menandakan bahwa

mereka ada “Pecalang Lampung”, yaitu dengan menempatkan logo khas Lampung “Siger” di atas logo “Swastika” dan nama organisasi di mana pecalang itu bernaung “Pargali Lam-Sel”. Logo “Siger” yang berada

paling atas di sebelah kiri seragam menunjukkan identitas “Lampung”; logo “Swastika” menunjukkan identitas sebagai “Bali-Hindu”; tulisan

“Pargali Lam-Sel” yang berada di bawah logo “Swastika” menunjukkan identitas organisasi kemasyarakatan di mana pecalang itu bernaung;

sedangkan di sebelah kanan terdapat tulisan “PECALANG” yang menunjukkan identitasnya sebagai “pecalang”. Mereka yang direkrut menjadi pecalang harus merupakan seorang Bali Hindu yang bermungkim di Lampung Selatan. Biasanya yang direkrut menjadi pecalang adalah anak-anak muda atau tokoh muda yang memiliki pengaruh di dalam komunitasnya (di antara mereka terdapat tokoh muda dari Balinuraga), di mana mereka memiliki fisik yang bagus (cukup kekar), wajah yang meyakinkan (ada kesan garang), dan berani215.

215

Bisa dipahami bila perekrutan tokoh pemuda menjadi pecalang sebagai upaya mengalihkan mereka dari kegiatan yang negatif, seperti premanisme. Dengan diangkat menjadi pecalang, sebagai satuan pengamanan upacara adat dan keagamaan, memberikan mereka beban moral tersendiri untuk melakukan hal-hal yang aneh. Karena identitas yang melekat dalam pecalang adalah sebagai penjaga identitas adat dan agama. Namun, bukan tidak mungkin (dan bila nanti), hadirnya pecalang ini berpotensi menimbulkan kekerasan fisik jika terjadi kesalahpahaman yang menyinggung identitas adat dan agama mereka. Sebagai polisi adat yang resmi, tentu mereka akan langsung turun tangan (secara fisik) jika terjadi kesalahpahaman tersebut.

Gambar 18. Pecalang Bertugas Menjaga Keamanan Upacara Melasti dan Seragam Resmi Pecalang

(sumber: Yulianto 2010).

Hadirnya pecalang di komunitas Bali Hindu Lampung Selatan tidak dapat dilepaskan dari berdirinya organisasi kemasyarakatan Pargali (Paguyuban Bali Peduli) Lampung Selatan pada 10 April 2004216. Melalui

216

Huruf “R” dalam singkatan PA-R-GALI (Paguyuban Bali Peduli) Lampung Selatan merupakan bentuk terima kasih kepada Bupati Lampung Selatan – yang

huruf terakhir dalam namanya adalah huruf “r” – atas partisipasi dan dukungannya (dorongan moril dan pendanaan) hingga terbentuknya organisasi ini. Sehingga,

Paguyuban Bali Peduli yang tadinya disingkat PAGALI, disisipkan huruf “R”

menjadi PARGALI. Meskipun dalam anggaran dasar menyebutkan bahwa organisasi ini tidak terlibat dalam urusan politik praktis atau pun berafiliasi dengan partai politik tertentu, namun patut diduga bahwa bupati tersebut memanfaatkan kesempatannya sebagai incumbent untuk mempersiapkan agenda politik yang

organisasi formal ini, Pargali, pecalang versi Bali Lampung dicetuskan. Artinya, setelah keberadaan pecalang di Bali mulai eksis dan mapan, menurut pandangan mereka sejauh ini tidak ada masalah yang menganggu dengan kehadiran pecalang di Bali, maka berdasarkan situasi dan kondisi perkembangan umat (Bali Hindu di Lampung Selatan) kehadiran pecalang juga dibutuhkan sebagai satuan pengamanan adat dan keagamaan (polisi adat). Mereka merasa perlu memiliki pecalang karena komunitas Bali Hindu di Lampung Selatan sudah besar. Dalam penyelenggaran upacara adat dan keagamaan yang bersifat massal, tentu tidak dapat sepenuhnya dapat diatasi oleh polisi setempat, karenanya dibutuhkan satuan pengamanan (pecalang) yang menggantikan peranan polisi. Selain dikarenakan polisi setempat bukan merupakan orang Bali yang tentunya tidak mengerti tentang prosesi upacara adat dan keagamaan yang berlaku pada orang Bali. Kehadiran pecalang merupakan bentuk bagaimana mereka melindungi identitasnya sebagai Bali Hindu, yang idealnya harus dilindungi oleh satuan pengamanan adat sendiri. Sampai saat ini, jumlah pecalang mencapai puluhan, dan bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan kebutuhan umat. Namun, pecalang bukan merupakan sebuah profesi atau pekerjaan tetap, tapi memiliki prestise atau status sosial yang tinggi di kalangan komunitas mereka217. Tenaga mereka dibutuhkan saat diselenggarakan upacara formal adat dan keagamaan yang

lebih besar: menarik simpati orang Bali di Lampung Selatan sebagai bekal pencalonannya sebagai gubernur Lampung tahun 2008 (empat tahun setelah organisasi ini terbentuk). Sebagai politisi berpengalaman, bupati ini mengetahui bahwa dengan dibentuknya organisasi kemasyarakatan yang mewadahi orang Bali di Lampung Selatan, maka diharapkan jumlah suara orang Bali di Lampung Selatan dapat dialihkan ke bupati saat pencalonan dirinya menjadi gubernur – keberadaan elit-elit Bali Lampung Selatan dipercayai dapat memobilisir suara, karena pengaruhnya di dalam komunitas Bali. Bagi elit-elit Bali Lampung Selatan pun, kesempatan ini dimanfaatkan untuk meningkatkan posisi tawarnya secara politik agar dapat menjaga dan melestarikan eksistensi identitasnya – memfasilitasi dan tidak mempersulit kegiatan atau upacara adat dan keagamaan yang bersifat massal – tidak hanya kepada incumbent, tapi juga (nantinya) kepada calon-calon kepala daerah lain dalam pemilihan langsung berikutnya.

217

Bagi yang masih single (belum menikah) menjadi pecalang dapat menarik simpati lawan jenisnya. Ini dikarenakan sosok seorang pecalang sebagai pria yang jantan, memiliki kesan garang, dan berani.