• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warga Pandé merupakan warga yang minoritas dari segi jumlah anggotanya. Jumlah warga Pandé kurang lebih separuh dari total warga Pasek yang berada di Balinuraga. Bila dilihat jumlah anggotanya, warga Pandé terlihat sebagai minoritas, tapi dilihat peran dan fungsi yang mereka mainkan, Warga Pandé memiliki pengaruh yang besar, tidak hanya di level banjar dan Desa Balinuraga, tapi sampai ke level Kabupaten Lampung Selatan. Sejak kedatangan transmigran Bali Nusa ke Lampung Selatan, warga-warga di Balinuraga sepertinya masih belum bisa melepaskan diri dari pengaruh dan popularitas warga Pandé, khususnya Sri Mpu Suci (dan keluarganya) yang menjadi inisiator dan pemimpin transmigran Bali Nusa, mulai dari keberangkatan ke Lampung sampai sudah berada di Lampung. Setelah Sri Mpu Suci wafat, peran penting yang selama ini dimainkan oleh Sri Mpu dilanjutkan oleh putra-putranya, terutama di bidang keagamaan dan kesenian. Oleh karena itu, sampai saat ini, untuk melakukan hubungan keluar Desa Balinuraga, khususnya acara- acara yang bersifat formal (biasanya diselenggarakan oleh pihak pemerintah atau organisasi kemasyarakatan Bali dan non-Bali untuk level kecamatan dan kabupaten), sesepuh dari Balinuraga yang (biasa) selalu diundang berasal dari Warga Pandé, yaitu salah satu putra dari Sri Mpu Suci.

Sebagai salah satu kelompok warga yang jumlahnya minoritas di Bali, dalam perjalanan sejarahnya, WargaPandé memainkan peranan yang

Setelah upacara selesai, ada pentas kesenian Tari Barong dan kesenian lain. Ketika pertunjukan di mulai beberapa warga lain (non-Pandé) turut menyaksikan pertunjukkan tersebut. Kehadiran mereka sebatas untuk melihat pertunjukkan, tapi tidak mengikuti upacara yang diselenggarakan bagi wa rga Pandé. Pertunjukkan tersebut berlangsung ramai, banyak warga lain yang menonton, setelah beberapa di antara mereka telah selesai mengadakan upacara di banjarnya. Pentas ini berlangsung ramai karena dalam beberapa pentas kesenian di Balinuraga, banjar Pandéarga terkenal dengan pertunjukkannya yang apik, karena mereka memiliki penari dan pemusik yang berbakat. Tidak jarang para seniman dari banjar ini diundang untuk menyelenggarakan pentas seni (biasanya tari-tarian Bali) di berbagai tempat di Lampung Selatan, khususnya di dalam komunitas Bali Hindu – termasuk dalam acara-acara formal di pemerintahan (level kecamatan dan kabupaten).

cukup penting di dalam masyarakat Bali, mulai masa pra-Hindu, masa pemerintahan Bali Aga, masa kekuasaan Majapahit di bawah dinasti Sri Kresna Kepakisan, dan masa kolonial. Warga atau klan Pandé diperkirakan sudah ada di Bali sejak zaman pra-Hindu, tapi pada masa itu belum istilah warga atau sistem warga belum dikenal karena sistem ini mulai dikenal setelah berkuasanya Majapahit atas Bali Namun, kelompok Pandé ini sudah ada di masa ini terkait dengan fungsinya (guna) sebagai pandai besi (dalam Bahasa Indonesia) atau Pandé wesi (dalam Bahasa Bali), sehingga di zaman pra-Hindu kelompok Pandé ini hidup berkelompok dalam komunitasnya sendiri sebagai sesama pandai besi. Di masa kerajaan – masa pra-Hindu, Bali Aga, dan Dinasti Sri Kresna Kepakisan – kedudukan Warga Pandé mendapatkan tempat yang istimewa di dalam kerajaan dan masyarakat Bali. Hal ini dikarenakan untuk membuat peralatan atau perkakas yang terbuat dari bahan dasar besi tidak bisa dikerjakan oleh sembarangan orang. Hanya orang-orang tertentu, atau keluarga tertentu (warga / klan) yang secara turun-temurun dapat

mengerjakan pekerjaan “besi” ini. Ilmu dan teknik pembuatan peralatan atau perkakas yang terbuat dari besi ini merupakan resep rahasia yang hanya diwariskan kepada keluarganya sendiri. Tidak hanya di Bali, dalam beberapa sejarah tertulis di masa-masa awal peradaban Nusantara ini, mereka yang bekerja di bidang pandai besi mempunyai komunitasnya sendiri, yang dapat dikatakan terpisah dari kelompok masyarakat lain karena spesialisasi pekerjaannya. Besi, bagi orang Bali dan etnis lain di Nusantara, dipercaya memiliki kekuatan magis (magical power), di mana dalam pengerjaan membutuhkan orang-orang khusus dengan keterampilan yang tinggi. Oleh karena itulah, Warga Pandé mendapatkan satu tempat khusus di dalam sebuah pemerintahan kerajaan. Tentu, pertanyaannya adalah mengapa Warga Pandé mendapatkan keistimewaan tersebut? Selain karena besi memiliki kekuatan magis, bagi orang-orang pemerintahan (kesatria) di dalam kerajaan percaya bahwa apa yang dibuat oleh Warga Pandé memiliki kekuatan magis yang istimewa, khususnya senjata-senjata, terutama keris. Kalangan pemerintahan kerajaan – bangsawan-bangsawan puri yang memegang / menjalankan pemerintahan

– mengetahui bahwa kekuasaan dari kerajaan (pemerintahan) yang baru, atau pemerintahan yang ada sekarang (status quo), bergantung pada hasil-

hasil pekerjaan kalangan Warga Pandé (terutama di bidang persenjataan perang). Dapat dikatakan, hasil-hasil dari pekerjaan Warga Pandé ini berarti kestabilan politik (Eiseman 2005). Untuk menghargai Warga Pandé, terutama agar mereka mendapatkan prestise (status dan kebanggaan sosial di dalam masyarakat) yang secara moril akan berdampak pada hasil karya-cipta mereka, Warga Pandé diberikan satu tempat di dalam puri, sebuah tempat di dalam lingkungan keluarga kerajaan. Bila dianalogikan secara sederhana, bila terjadi peperangan antar kerajaan, baik yang ada di Bali atau pun di Jawa, sebenarnya dibalik peperangan fisik itu merupakan peperangan di kalangan kelompok / keluarga dari pandai besi. Baik patih maupun prajurit yang berperang di medan pertempuran, keduanya menggunakan senjata yang dihasilkan (diciptakan) dari keluarga pandai besi. Oleh karena itulah, di masa kerajaan setiap kerajaan memiliki satu warga/keluarga Pandé untuk menangani pembuatan senjata. Bagi Warga Pandé sendiri, kemenangan dari suatu pertempuran, meskipun mereka tidak ikut berperang secara langsung, memberikan satu kebanggaan sendiri, karena baik langsung atau pun tidak langsung, kemenangan itu turut ditentukan oleh senjata yang mereka hasilkan. Secara niskala, dapat diartikan bahwa senjata yang mereka hasilkan diciptakan atau mendapatkan kekuatan magis dari Dewa Brahma dalam manifestasinya sebagai Dewa Api. Bukan tidak mungkin, satu Warga Pandé yang hasil kreasinya memenangi beberapa peperangan, dibajak melalui berbagai cara untuk pindah ke kubu atau kerajaan lain. Bagi kalangan masyarakat sipil di Bali, Warga Pandé turut mendapatkan satu tempat yang khusus bagi mereka, baik dalam lingkungan desa maupun banjar – biasanya disediakan satu banjar tersendiri bagi Warga Pandé166. Hal ini terkait dengan kebutuhan warga sipil akan peralatan dan perkakas dari besi, di mana hanya dapat dikerjakan dengan baik oleh kalangan WargaPandé. Tempat khusus ini tidak hanya diberikan bagi WargaPandé

166

Seperti contoh kasus di Desa Adat Tenganan, di mana untuk Wa rga Pandé diberikan satu tempat khusus – Banjar Pandé –sebagai “orang luar”. Warga atau klan Pandé ini sengaja didatangkan oleh desa adat untuk membuat keris – senjata tajam yang harus dibawa laki-laki Tenganan dan menjadi bagian dari pakian tradisional laki-laki (lihat:Ambarwati Kurnianingsih 2008, Simulacra Bali: Ambiguitas Tradisionalisasi Orang Bali, Yogyakarta: Insist Press).

di masa pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan, tapi juga di kalangan Bali Aga, baik pra maupun pasca kedudukan Majapahit atas Bali. Di masa kolonial, ketika sistem wangsa (kasta) diajegkan oleh pemerintah kolonial dengan dukungan raja-raja boneka bentukan Belanda, Warga Pandé di berbagai daerah di Bali mengadakan perlawanan atas kebijakan pemerintah kolonial – dalam kasus ini perlawanan dilayangkan kepada kerajaan boneka bentukan Belanda karena langsung berhadapakan dengan masyarakat sipil – yang mendiskriminasikan posisi mereka sebagai Warga Pandé yang dicampakkan sebagai jabawangsa (sudrawangsa). Konsekuensi atas pencampakkan ini adalah WargaPandé harus menjalani kewajiban kerja rodi untuk pembangunan jalan, dan tidak diperkenankan menggunakan pendetanya sendiri (Mpu) untuk melaksanakan upacara dan ritual adat dan keagamaan – termasuk harus mendapatkan tirta (air suci) dari pedanda (pendeta brahmana). Aksi protes dan perlawanan Warga Pandé ini akhirnya menjadi inspirasi bagi warga lain yang lebih besar, seperti Warga Pasek, untuk melayangkan aksi protes kepada pemerintah kolonial167.

Kata “Pandé” sendiri – seperti yang telah dijelaskan sebelumnya –

berarti “Pandai” dalam Bahasa Indonesia, yang berarti “tukang tempa”. Secara umum, kata “Pandé” atau “pandai” ini dihubungan dengan pekerjaannya yang menciptakan atau menghasilkan produk-produk yang berbahan dasar besi. Atau, dalam Bahasa Bali disebut “Pandé wesi” dan dalam Bahasa Indonesia disebut “pandai besi”. Sebutan lain yang lebih khusus, misalnya “Pandé mas” atau “pandai mas”, untuk orang-orang pandai atau Pandé yang mengerjakan atau menempa bahan dasar dari emas. Dalam Bahasa Inggris, “Pandé wesi” ini disebut juga sebagai

167

Aksi protes dan perlawanan ini juga diikuti oleh warga Bhujangga Waisnawa – merupakan Brahmana Bali Aga. Inti dari aksi protes dan perlawanan ini adalah mereka menolak sistem kasta (wangsa) yang “diimpor” dari Jawa (Majapahit) dan menolak didiskriminasikan karena digolongkan oleh kekuasaan saat itu – ketika Majapahit berkuasa atas Bali – sebagai jabawangsa, yang dalam perkembangannya menjadi sudrawangsa. Oleh karena itulah, di kalangan masyarakat Bali Aga yang terdapat di daerah tinggi (pegunungan) di Bali, sistem wangsa (kasta) tidak ada di dalam komunitas mereka (lihat: Geertz 1967,

“Tihingan: A Balinese Village” dalam Villages in Indonesia, edt. Kontjaraningrat, Ithaca-New York: Cornell University Press).

“smith” atau “masters of steel”. Dalam Bahasa Jawa Kuno (Zoetmulder 1982) kata “Pandé” juga disebut “panday” yang berarti skilled workers; smith, gold smith, etc. Istilah “Warga Pandé” merupakan atau menunjukkan satu keluarga atau satu klan yang leluhurnya berasal dari keluarga pandai besi atau Pandé wesi. Berbeda dengan Warga Pasek yang leluhurnya berasal dari Tujuh Pendeta (Sang Sanak Sapta Rsi), Warga Pandé berasal dari satu leluhur – dalam lontar ditetapkan sebagai leluhur awal / pertama bagi Warga Pandé – yaitu Empu/Mpu168 Pradah. Di dalam lontar Warga Pandé – Prasasti Sira Pandé Empu169 – disebutkan bahwa Mpu Pradah merupakan hasil kreasi kehidupan dari Brahma. Di dalam mitologi-mitologi di awal zaman Hindu, disiplin yang ketat dalam bidang kerohanian (asketisme) dan meditasi dapat menghasilkan satu kehidupan (melahirkan manusia)170. Ini yang dilakukan oleh Brahma yang dipercaya – seperti tercatat dalam lontar Pandé – melahirkan Mpu Pradah yang

168

Empu atau Mpu dapat diartikan sebagai orang suci atau orang yang memiliki kualitas kerohanian yang tinggi; dalam Bahasa Indonesia, Empu atau Mpu

diartikan sebagai: (1) gelar kehormatan yang berarti “tuan”; (2) orang yang sangat

ahli – terutama ahli membuat keris (Kamus Besar Bahasa Indonesa). Salah satu contohnya adalah Mpu Gandring, salah satu mpu dari kalangan klan Pandai Besi yang ahli membuat senjata-senjata perang, terutama keris, di wilayah Tumapel di bawah pimpinan Tunggul Ametung.

169

Prasati Sira Pandé Empu merupakan sebuah dokumen (catatan) formal keagamaan. Dokumen lontar ini diperkirakan disusun sekitar abad ke-15 dan 16 Masehi. Pada masa-masa ini, tidak hanya warga (klan) Pandé saja yang menulis sejarah warga-nya, tapi juga warga-wa rga lain. Penulisan dokumen ini, seperti yang ditemui pada dokumen warga-warga lain, ditujukan untuk mengidentifikasikan, menyebarluaskan, bahwa mereka berhak atas sebuah status yang lebih besar daripada Sudra. Abad ke-15 dan 16 Masehi adalah masa dinasti Sri Kresna Kepakisan, masa di mana Bali sudah dikuasi Majapahit, di mana beberapa warga (klan) yang tidak terlibat dalam pemerintahan kerajaan – termasuk orang Bali Aga sebagai tertakluk – tidak digolongkan sebagai orang

„dalem‟ (lingkungan dalam kerajaan atau puri) ,dan karena itu disebut sebagai

orang luar (jaba wangsa). Saat berkuasanya Majapahit atas Bali, diperkirakan sistem wangsa yang berasal dari Jawa (Jawa Timur) mulai diadaptasikan oleh pendeta-pendeta (brahmana siwa dan budha) beserta kesatria (arya-arya Jawa Timur) ke Bali.

170

Bandingkan dengan kisah Mpu Kuturan yang dalam meditasinya bisa melahirkan keturunan meskipun brahmacari.

ditetapkan sebagai leluhur Warga Pandé. Meskipun di dalam lontar menjabarkan penciptaan yang dilakukan oleh Brahma, tapi Brahma yang dimaksudkan dalam lontar tersebut kurang lebih seperti trimurthi dalam Hindu, dan lebih condong mendekati Dewa Api yang disebut Agni. Penekanan Brahma yang lebih condong ke Agni dinilai cukup beralasan, karena bagi Warga Pandé, api merupakan „bahan bakar‟ utama dalam guna mereka sebagai Pandé wesi, yang melaluinya (api) kekuatan didapatkan. Oleh karena itu, sampai saat ini warna merah menjadi simbol bagi WargaPandé yang menunjukkan identitas warga mereka, yang selalu diasosiasikan dengan Brahma (trimurthi). Selain itu, Warga Pandé diharuskan memiliki / menyimpan perapen – peralatan pembakaran yang digunakan pandai besi –sebagai simbol identitas mereka sebagai Warga Pandé, meskipun sudah tidak menekuni profesi sebagai pandai besi. Simbol warna merah dan perapen tidak hanya diadaptasi oleh Warga Pandé yang ada di Bali, tapi juga diadaptasi oleh Warga Pandé yang ada di Balinuraga. Cara paling mudah untuk mengidentifikasikan Warga Pandé di Balinuraga adalah dengan melihat warna bangunan rumah dan pura keluarganya yang didominasi warna merah. Lontar tersebut juga mencatat yang menyatakan bahwa Warga Pandé warga yang merdeka, atau sebagai warga yang independen, tidak tergantung atau bergantung terhadap warga-warga (atau wangsa) lain. Pernyataan dalam lontar Pandé tersebut secara tegas dan jelas menyatakan bahwa kaum Brahmana mendapatkan pengetahuan dan kekuatan (kekuasaan) dari Pandé, dan mendudukkan Warga Pandé sebagai saudara tertua (lebih tua) daripada kaum Brahmana, dan tentunya dengan kekuatan dan prestise yang lebih tinggi daripada kaum Brahmana. Selain itu juga diintruksikan bahwa Warga Pandé tidak diperkenankan untuk menerima tirta (air suci) dari pedanda (pendeta Brahmana), karena pendeta Brahmana adalah adik (lebih muda) daripada Pandé. Catatan-catatan dalam lontar Pandé inilah yang menjadi acuan bagi WargaPandé mengadakan aksi protes dan perlawanan terhadap pihak kerajaan boneka di masa kolonial. Keinginan pemerintah kolonial untuk mengembalikan Bali sebagaimana aslinya seperti masa- masa kerajaan – dengan mengajegkan sistem wangsa (kasta) menjadi semakin tertutup (vertikal) dalam proyek balinisasi, melahirkan peraturan yang salah satunya mengharuskan kelompok jabawangsa (golongan di luar

triwangsa) menerima tirta dari pedanda (pendeta brahmana) dan tidak boleh menggunakan pendetanya sendiri (mpu) untuk memimpin upacara adat dan keagamaan – menyebabkan Warga Pandé di berbagai daerah di Bali melayangkan aksi protes ke Raad Kerta (peradilan adat). Di samping itu, di dalam lontar Pandé terdapat berbagai larangan kepada kelompok (warga) lain bahwa mereka seharusnya tidak mengikuti pengajaran dari para brahmana dan kesatria, tapi lebih mengikuti Pandé171. Untuk kasus di Balinuraga di masa-masa awal kedatangan transmigran Bali Nusa ke Lampung Selatan, selain dikarenakan alasan teknis karena transmigran Bali Nusa tidak memiliki patron yang mumpuni sebagai Mpu, dapat dimungkinkan, isi atau peraturan di dalam lontar Pandé ini menjadi salah satu rujukan yang membenarkan agar warga-warga lain mengikuti ajaran atau pimpinan seorang Mpu dari Warga Pandé. Terkait dengan isi lontar Pandé, seperti yang diuraikan sebelumnya, Eiseman (2005) menyebutkan bahwa dokumen ini anti-brahmana, anti-kemapanan, dan dihembuskan oleh propaganda yang pro-Pandé172. Meskipun demikian, sejak Belanda menguasai Bali dan melaksanakan proyek Balinisasinya dengan mengajegkan sistem wangsa, menimbulkan sejumlah aksi protes dan perlawanan dari warga-warga yang dicampakkan ke dalam jabawangsa. Tindakan ini timbul karena adanya ketidakadilan yang dirasakan dan ditanggung oleh kelompok jabaangsa, seperti harus kerja rodi, di mana golongan triwangsa mendapatkan keistimewaan-keistimewaan dari pemerintah kolonial. Di samping itu, jika menelusuri babad-babad warga- warga yang ada di Bali, leluhur mereka berasal dari kalangan terpandang di masanya, seperti pendeta (brahmana) dan kesatria (bangsawan, pejabat pemerintahan kerajaan). Dikarenakan gejolak politik di masa kerajaan

171

Perlawanan Wa rga Pandé di Bali, baik di masa kerajaan maupun kolonial, terhadap hegemoni triwangsa umumnya dipelopori atau “dimainkan” oleh warga Pandé yang konservatif, di mana mereka tetap teguh pada pendirian mereka – seperti yang tertulis dalam lontar – bahwa mereka memiliki kedudukan yang lebih tua daripada brahmana wangsa, dan tentunya status/prestis yang lebih tinggi. Ini yang menyebabkan di beberapa daerah di Bali pada masa itu, menolak untuk menerima air dari pedanda (pendeta brahamana).

172

yang dinamis, warga-warga ini tersingkir dari pentas politik kerajaan dan menjadi warga biasa, tanpa keistimewaan dan status sosial yang tinggi.

Bila menelusuri keberadaan Warga Pandé di Bali, baik berdasarkan sejarah pra-invasi Majapahit maupun pasca-jatuhnya Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, maka dapat diketahui bahwa ada dua Warga Pandé di Bali, yaitu Warga Pandé yang berasal dari Bali Aga dan Warga Pandé yang melakukan eksodus atau pelarian dari Jawa Timur (saat jatuhnya Majapahit) ke Bali. Berdasarkan sejarahnya, ketika Majapapahit bersama Mahapatih Gajahmada dan para Arya menyerang Bali, mereka harus bertempur dengan sengit melawan raja Bali Aga – Asta Asura Ratna Bumi Banten – yang persenjataannya dibuat oleh Warga Pandé dari Bali Aga yang tersohor – yang disebut Pandé Tamblingan: kelompok Pandé Bali kuno (Bali Aga) yang bermungkim di kawasan Tamblingan. Strategi Mahapati Gajahmada untuk mengalahkan Raja Asta Asura Ratna Bumi Banten adalah dengan menghancur pusat industri persenjataannya terlebih dahulu di Tamblingan, di mana di sana bermungkim kelompok Pandé yang bertugas membuat persenjataan bagi raja-raja Bali kuno. Strategi ini jitu, karena dengan menghancurkan Tamblingan, maka kerajaan Bali Aga menjadi lemah – disebabkan hancurnya gudang dan industri persenjataan kerajaan Bali kuno, yang menyebabkan kekalahan kerajaan Bali Aga di kepemimpinan Mahapati Gajahmada. Sejarah ini membuktikan bahwa stabilitas politik dan keamanan sebuah kerajaan – di masa kerajaan – tergantung pada kelompok Pandé-nya, karena kelompok ini bertugas untuk membuat persenjataan baik untuk berperang (invasi) melawan kerajaan lain, atau pun mempertahankan diri dari serangan kerajaan lain. Kasus ini (kurang lebih) sama seperti kerajaan-kerajaan di Jawa maupun di Bali. Meskipun kelompok Pandé ini sudah ada di masa Bali kuno sebelum Majapahit menginvasi Bali, Warga Pandé (dari dua kelompok ini, baik Pandé dari Bali Aga maupun Pandé dari Jawa) mengakui bahwa mereka berasal dari satu leluhur yang sama, yaitu Mpu Pradah – titisan Dewa Brahma yang lebih dimanifestasikan sebagai Dewa Api. Hal ini cukup berasalan karena mitologi yang terdapat dari dalam lontar yang menyebutkan bahwa leluhur Pandé berasal dari Brahma (condong ke Dewa Api), dari penulisannya,

(diperkirakan) serupa dengan masa sebelum masuknya Hindu. Mitologi dalam lontar ini, yang mungkin, menjadi klaim bahwa kelompok Pandé, baik dari Bali maupun dari Jawa, berasal dari satu leluhur. Kelompok Pandé yang kedua yang berada di Bali, pasca invasi Majapahit ke Bali dan pasca jatuhnya Majapahit, adalah kelompok Pandé yang berasal dari Jawa. Kelompok Pandé ini merupakan pelarian dari Jawa Timur, yang melakukan eksodus pasca jatuhnya Majapahit. Besar kemungkinan, kelompok Pandé yang melakukan eksodus ke Bali ini adalah kelompok Pandé yang selama ini berafiliasi dengan kerajaan Majapahit, sebagai pembuat senjata, dan beberapa kelompok Pandé yang bekerja untuk masyarakat sipil. Dalam pelariannya ke Bali, kelompok Pandé ini singgah pertama kali di Gunung Berantan (Bali bagian barat) antara Gilimanuk dan Pulaki. Kemudian, mereka bermigrasi ke Danau Berantan di dekat Bedugul. Di sini mereka membangun Pura Berantan – pura ini kemudian menjadi pura penting bagi Warga Pandé. Dari tempat ini, Gunung Berantan, kelompok Pandé ini yang terdiri dari berbagai kelompok, menyebar ke berbagai daerah di Bali, di antaranya: Singaraja, Marga, Klungkung, Karangasem, Gianyar, dan Celuk. Umumnya kelompok Pandé ini membentuk banjar khusus untuk kalangan (klan/warga) mereka sendiri, di samping secara fungsional pekerjaan mereka mendapatkan tempat khusus di masyarakat sebagai pandai besi. Di antara kelompok Pandé yang bermigrasi ke Klungkung ini diperkirakan, sebagian atau diantaranya, bermigrasi ke Pulau Nusa Penida. Salah satu alasan yang memungkinkan mereka pindah ke pulau yang tandus ini adalah terkait dengan profesi mereka sebagai pandai besi. Ketika Majapahit menginvasi Bali, Nusa Penida menjadi salah satu daerah taklukkannya, karena itu dimungkinkan, dan tidak ada kesulitan, bagi kelompok Pandé ini untuk bermigrasi ke Nusa Penida – meskipun sebelumnya sudah ada kelompok Pandé di pulau ini yang berasal dari Bali Aga.

Kembali ke Warga Pandé di Balinuraga, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana peran yang mereka mainkan sejak kedatangan pertama kali ke Lampung? Sampai saat ini Warga Pandé di Balinuraga masih memegang peranan penting dan dominan, khususnya di bidang kesenian

dan sosial kemasyarakatan173. Di bidang kesenian, hasil karya cipta yang paling mencolok adalah ukiran – dalam hal ini sebagai pembuat pura –, seni lukis, dan seni tari. Beberapa keluarga dari Warga Pandé di Balinuraga terkenal sebagai pembuat pura. Konsumennya berasal dari warga-warga lain (non Pandé) yang ada di Balinuraga, maupun di desa / Kampung Bali lain, baik yang ada di Lampung Selatan maupun di Kabupaten lain – beberapa di antaranya di berada di Sumatera Selatan yang juga memiliki komunitas Bali Hindu. Selain itu, mereka juga mengerjakan beberapa proyek untuk upacara Ngaben, untuk membuat perlengkapan upacara, seperti bade manumpang dan patulangan (sarana dalam pengabenan)174, dan membuat patung beserta ukirannya. Bahan dasar untuk pembuatan pura, patung, dan ukiran yang digunakan oleh Warga Pandé di Balinuraga adalah semen, sebagai menggunakan cetakan

– untuk pembuatan pura -, dan sebagaian dari cetakan semen basah dibuat