Model keempat menggambarkan bahwa bonding berbasis identitas
– dalam kasus komunitas Bali Nusa – tidak dapat dilepaskan dari motif pembangunan sebagai penunjuk dari eksistensi identitas mereka yang terfragmentasi. Model Empat di bawah ini menunjukkan fragmentasi dari bonding berbasiskan identitas. Dalam ruang yang lebih kecil adalah bonding berbasis identitas warga (sub-etnik) yang berada di level setingkat banjar atau dusun. Di atasnya adalah bonding berbasis agama. Bonding identitas berbasis agama ini menaungi identitas sub-etnik (warga) dan etnik, dan bagi masyarkat Bali ini seperti kesatuan, antara identitas etnik dan agama. Levelnya setingkat desa – dalam kasus ini Desa Balinuraga.
Dalam model keempat ini, penulis ingin menunjukkan bahwa bonding berbasis identitas ini tidak berpengaruh negatif terhadap pembangunan. Namun sebaliknya, bonding berbasis identitas ini berpengaruh positif terhadap pembangunan dalam level dusun (banjar) dan desa (desa adat / komunitas adat Bali Nusa). Hal ini dapat dilihat dan dibuktikan dari hasil atau produk pembangunan di level banjar dan desa adat.
Identitas Lokal Identitas Agama Identitas Wa rga Pura Ka witan, Pura Keluarga Pura Kahyanga n tiga, Bale Banjar, dll. Infrastruktur umum: jalan, sekolah, posyandu, kantor desa, dll. Pembangunan Fisik
Model keempat di atas menunjukkan bahwa penguatan identitas (bonding) warga (sub-etnik) pada level banjar atau dusun merangsang mereka untuk membangun banjar atau dusunnya secara swakarsa untuk menunjukkan eksistensi identitasnya sebagai warga tertentu, yaitu diwujudkan dengan membangun pura kawitan di sebuah griya dalam sebuah banjar yang diperuntukan bagi warga tersebut. Pembangunan tersebut dilakukan secara swakarsa, menggunakan dana dan tenaga kolektif anggota banjar (warga) tersebut. Agar proses pembangunan tersebut dapat direalisasikan menjadikan dorongan bagi komunitas warga ini untuk bekerja lebih keras (bertani) di level keluarga inti. Sumbangan sebagian penghasilannya untuk pembangunan dan renovasi pura kawitan merupakan wujud dari eksistensi dan status sosial identitas warga-nya (leluhur / kawitan). Kemudian, di level desa, dengan penguatan identitas sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, mengharuskan mereka untuk membangun infrastruktur adat-keagamaan yang menunjukkan kesolidan komunitas mereka sebagai Bali Nusa (Bali Hindu). Pada level ini, identitas warga-warga meleburkan diri menjadi satu kesatuan di tingkat desa adat (Desa Balinuraga). Ini ditunjukkan dari pembangunan Pura Kahyangan Tiga beserta fasilitas adat-keagamaan lainnya yang juga dibangun secara swakarsa. Artinya, dana dan tenaga untuk pembangunan di level desa ini disumbangkan oleh semua anggota warga-warga. Dengan kata lain, ada dua kewajiban pembangunan untuk eksistensi identitasnya, yaitu pembangunan untuk eksistensi identitas warga (Pura Kawitan) dan
eksistesi identitas sebagai Bali Hindu Nusa Penida (Pura Kahyangan tiga). Di level lokal, kecamatan dan kabupaten, Desa Balinuraga merupakan salah satu desa penghasil beras (padi) yang produktif di Kabupaten Lampung Selatan. Dengan memposisikan identitas asal (Bali Hindu) dengan identitas lokal sebagai Bali Lampung, memberikan posisi tawar bagi mereka kepada pemerintah daerah untuk membangun infrastuktur desa ini sebagai desa dinas – karena infrastruktur desa adat sudah dibangun secara swakarsa. Pembangunan jalan utama desa yang menghubungkan ke kecamatan dan kabupaten merupakan hak mereka sebagai masyarakat Lampung. Sebagai desa penghasil beras di Kabupaten Lampung Selatan mereka merupakan pembayar pajak yang loyal, infrastruktur umum terutama jalan desa, harus dibangun oleh pemerintah daerah agar distribusi hasil panen berjalan lancar. Menjadi pembayar pajak yang loyal adalah perwujudan identitas mereka sebagai masyarakat Lampung (Bali Lampung). Kelalaian pemerintah membangun infrastruktur desa (khususnya jalan utama desa) tentu berdampak pada penghasilan yang diterima pemerintah daerah, khususnya kecamatan, karena distribusi beras menjadi terganggu. Dengan kata lain, penguatan identitas lokal mereka sebagai Bali Lampung diwujudkan dengan peran serta pemerintah dalam membangun infrastruktur desa ini sebagai desa administratif.
Jadi, penguatan identitas yang berlapis ini – dari identitas warga, agama, dan lokal – dalam pengaktualisasiannya membutuhkan sebuah kerja ekonomi (pertanian) yang keras dan tekun. Pembangunan fisik (bangunan fisik) merupakan manifestasi materiil dari identitasnya, baik sebagai identitas warga, identitas Bali Hindu, maupun identitas Bali Lampung. Manifestasi materiil ini jelas tidak dapat dilakukan jika mereka tidak bekerja keras – mengingat ada banyak kewajiban adat-keagamaan yang harus mereka laksanakan. Bila dalam gambar di atas penguatan identitas lokal diberikan garis putus-putus, dikarenakan ketika pengaktualisasian identitas sampai di level desa adat, maka sumbangsih kerja keras mereka untuk eksistensi identitasnya tentu akan langsung berefek pada perekonomian daerah – dari desa administratif ke kecamatan lalu ke kabupaten. Dengan kata lain, bonding berbasis identitas ini bersifat terbuka bagi pembangunan di tingkat desa. Pada tataran tertentu, bonding
berbasis identitas ini tidak menunjukkan keesklusifan, tapi sebaliknya, terdapat keterbukaan dalam relasi atau hubungan dengan komunitas lain, seperti penguatan identitas lokal (Bali Lampung) yang memungkinkan mereka untuk menjalin komunitas lain non-Bali sebagai sesama masyarakat Lampung. Dengan adanya realitas bahwa bonding berbasis identitas ini pembangunan tetap dapat berjalan tanpa adanya peran pemerintah, maka sebenarnya dalam komunitas tertentu kehadiran pemerintah dalam proses pembangunan tidak terlalu dibutuhkan dalam hal- hal tertentu, kecuali perannya sebagai pengatur lalu-lintas pembangunan itu sendiri agar tidak terjadi sebuah clash atau benturan fisik antar komunitas yang berbeda identitas, dan menjadikan sistem perekonomian lebih tertata rapih, terutama distribusi pendapatan. Melalui sebuah realitas bagaimana komunitas Bali di luar Bali mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitasnya melalui upacara adat-keagamaan bersifat massal – dengan sebuah sistem dan aturan yang sistematis – beserta perangkat-perangkat adat-keagamaannya (terutama dengan hadirnya pecalang), dan keterbukaannya dalam relasi ekonomi dengan komunitas lain non-Bali, bukankah menunjukkan komunitas ini seperti (meminjam istilah Geertz, 1980223) sebagai sebuah negara teater, sekaligus juga sebuah benteng tertutup.