• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa kevakuman dan pencarian bentuk identitas pada komunitas transmigran Bali Nusa terjadi dalam tiga periode yang sangat singkat namun kritis bagi eksistensi identitas mereka: (1) Tiga tahun terakhir masa Sukarno (1963-1966), efektifnya sebelum terjadi Gerakan 30 September 1965, yaitu 1963-1965; (2) Masa resesi / peralihan kekuasan Orde Lama ke Orde Baru pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965: penghujung tahun 1965 (Desember 1965) ketika pembantaian massal mulai terjadi di Bali

sampai tahun 1967 ketika Suharto berhasil mendirikan rezim Orde Baru; (3) Masa Orde Baru, tepatnya pasca 1968 saat PHDI berafiliasi dengan Suharto.

Periode penting dalam masa kevakuman identitas terjadi pada tahun 1963 sampai sebelum terjadinya Gerakan 30 September 1965. Di masa kevakuman identitas ini, proses pencarian identitas belum sempat dilakukan dikarenakan ada beberapa hal mendasar yang barus mereka lakukan. Peristiwa dan kejadian penting yang terjadi pada waktu itu, yang menyebabkan terjadinya kevakuman identitas adalah:

Pertama, tingkat kesulitan hidup yang tinggi saat pertama kali tiba di Lampung pada pertengahan tahun 1963 (pasca meletusnya Gunung Agung yang kedua 16 Mei 1963). Mereka mengalami kesulitan hidup yang tinggi karena beberapa hal yang tidak bisa dihindari: (1) Persediaan uang (tunai) sudah menipis – sebagian besar kemungkinan sudah habis – karena perjalanan dari Nusa Penida ke Lampung membutuhkan waktu bermingu- minggu. Uang yang mereka bawa dari Nusa Penida, dalam jumlah yang tidak terlalu besar jumlahnya, habis selama perjalanan, baik karena harus memenuhi kebutuhan makan-minum atau pun diperas oleh oknum-oknum aparat waktu itu; (2) Tingkat inflasi yang tinggi di level nasional. Tingginya tingkat inflasi di masa itu menyebabkan nilai riil dari uang yang mereka miliki menjadi turun. Kenyataan yang lebih buruk adalah persediaan uang itu sebagian besar sudah habis ketika sampai di Lampung; (3) Status ketransmigrasian mereka adalah swakarsa. Konsekuensinya mereka tidak mendapatkan sponsor atau bantuan dana dari pemerintah, semua biaya perjalanan dan biaya hidup di masa-masa awal ditanggung sendiri, meskipun pada tahun 1963 mayoritas orang Bali yang bertransmigran disebabkan karena letusan Gunung Agung dan ada kelompok transmigran lain yang mendapatkan sponsor dari pemerintah (yang disebut oleh mereka: Bali KoOGA); (4) Pembukaan hutan untuk lahan pertanian. Lokasi transmigrasi yang disediakan pemerintah bagi transmigran masih berupa hutan, bukan lahan yang sudah siap tanam. Akibatnya mereka harus menghabiskan sisa waktu di tahun 1963 untuk membuka hutan sampai benar-benar siap ditanami padi – dari hutan menjadi persawahan; (5) Serangan wabah penyakit yang menimpa para

transmigran dan anggota keluarganya. Sakit penyakit yang menyerang mereka merupakan hal yang sangat manusiawi. Mental mereka secara psikologis sudah menurun setelah tiba di Lampung akibat perjalanan panjang dari Nusa Penida ke Lampung. Dalam kondisi mental yang menurun, mereka belum memiliki tempat tinggal yang permanen (layak huni), masih harus membuka hutan, persediaan uang tunai sudah (hampir) habis dan harga sembako waktu itu sangat mahal, serangan nyamuk malaria dan gangguan hewan liar khas Sumatera (khususnya gajah dan harimau sumatera), pola makan yang tidak teratur (dengan mutu makanan yang tidak sehat dan bergizi) dan jenis makanan yang berbeda dengan yang ada di Nusa Penida, serta proses adaptasi tubuh tiap individu dari transmigran dengan iklim yang ada di Lampung yang berbeda dengan di Nusa Penida. Dalam kondisi tersebut sangat manusiawi sekali jika para transmigran dan anggota keluarganya menderita sakit penyakit di masa awal kedatangan mereka, di mana mengakibatkan sebagian dari mereka meningggal dunia dan depresi

Kedua, kebutuhan untuk bertahan hidup tahun-tahun pertama (sekitar dua tahun) dalam situasi politik nasional yang tidak menentu di penghujung rezim Sukarno. Kebutuhan untuk bertahan hidup merupakan konsekuensi atas tingginya tingkat kesulitan hidup sejak tiba di Lampung.

Persoalan “perut” masih belum bisa diatasi dikarenakan lahan pertanian yang telah dibuka belum bisa menghasilkan secara optimal. Salah satu solusinya, sebagian dari mereka harus bekerja sebagai buruh tani di ladang-ladang milik penduduk lokal. Stigma-stigma negatif masih mereka terima sebagai “orang jang belum beragama”, meskipun kepercayaan mereka waktu itu sudah diakui eksistensinya oleh pemerintah. Tentu menjadi aneh bagi masyarakat sekitar yang mayoritas Islam (baik yang fundamental maupun abangan), melihat ritual-ritual yang dilakukan oleh transmigran Bali berdasarkan kepercayaannya, yang waktu itu dilakukan masih sangat sederhana sekali, serta mengkonsumsi daging babi hutan (celeng) yang selama ini jadi musuh petani, yang dagingnya dianggap haram menurut orang-orang Muslim. Bagi masyarakat Muslim (non-Bali) pandangan yang selama ini mereka ketahui secara umum tentang orang Bali dan adat istiadatnya adalah bahwa mereka memiliki banyak dewa-

dewa yang disembah. Artinya, bila mereka mengacu pada kepercayaan mereka (sebagai muslim), kepercayaan orang Bali itu termasuk politheis (menyembah banyak tuhan / dewa), bukan monoteis seperti yang selama ini mereka lakukan (dalam ritual keagamaan) dan percayai dalam manifestasi Tuhan yang Esa (monotheis). Oleh karena itu, bukan tidak mungkin sebutan „kafir‟ dan „primitif‟ dialamatkan kepada mereka karena kepercayaan mereka yang politheis dan mengkonsumsi daging babi208. Situasi politik waktu itu, khususnya di Sumatera masih terpengaruh oleh aliran politik Islam – tidak terlepas dari pengaruh pemberontakan Darul Islam di tahun 1950-an dan partai-partai politik Islam yang berkembang waktu itu – menjadikan sedikit banyak berpengaruh atas kelompok pendatang (transmigran) non-Islam, dalam kasus ini transmigran Bali.

Kondisi pertama dan kedua di atas menyebabkan terjadinya kevakuman identitas pada transmigran Bali Nusa. Penyebabnya sangat sederhana dan manusiawi, yaitu bagaimana mungkin mereka berpikir tentang eksistensi identitasnya di mana mereka sendiri sebagai komunitas pendatang yang minoritas (etnis dan kepercayaan) hidupnya secara ekonomi masih belum menentu. Proses adaptasi terkait kebertahanan hidup

208

Kata “kafir” dan “primitif” pada waktu itu masih belum dikenal oleh

transmigran Bali Nusa. Transmigran Bali Nusa pada waktu itu masih belum menguasai Bahasa Indonesia. Mereka masih menggunakan Bahasa Bali Nusa yang pada dasarnya memiliki perbedaan dengan Bahasa Bali. Oleh karena itu,

seandainya mereka mendengar kata “kafir” dan “primitif” pun mereka tidak akan

bereaksi, selain perbedaan bahasa, masyarakat sekitar juga masih menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Kata “primitif” dialamat karena transmigran Bali Nusa ini hidupnya masih sangat tradisonal sekali. Bagaimana tidak, mereka berasal dari Pulau Nusa Penida, sebelah timur Bali, yang akses ke Bali pun sangat sulit pada waktu itu (termasuk di masa sekarang saat cuaca tidak mendukung). Di samping itu, beberapa wanita (yang sudah lanjut usia) masih memiliki kebiasaan tidak menggunakan bra untuk menutup payudaranya, sama seperti Bali tempo dulu yang masih dijumpai di era kolonial tahun 1930-an di pulau induk, Bali. Saat ini, ketika perekonomian mereka sudah mapan, justru kata „primitf‟ ini yang dialamatkan pada penduduk lokal – yang dulu pernah menyebutkan kata ini kepada mereka – dikarenakan penduduk lokal masih tetap mempertahankan kelokalan mereka yang kolot, yang tanpa disadarinya mereka telah tertinggal jauh oleh modernisasi yang dilakukan para pendatang (Bali) dan pemukimannya semakin terdesak karena tanahnya telah dijual kepada pendatang (Bali dan Jawa).

masih mereka lakukan, termasuk ritual-ritual dan upacara-upacara kepercayaan mereka sebagai Bali Hindu. Dengan kata lain, sangat sulit berpikir atau pun bertindak untuk mengaktualisasikan eksistensi identitas

mereka saat kondisi “perut lapar”.

Masa kevakuman, yang kemudian diikuti pencarian bentuk identitas mencapai titik kritis pasca Gerakan 30 September 1965, khususnya ketika pembantaian massal mulai terjadi di Bali di bulan Desember 1965. Efeknya baru mulai terasa bagi transmigran Bali Nusa setelah memasuki awal tahun 1966. Meskipun masyarakat Lampung sebagain besar tidak mengetahui bahwa terjadi pembantaian massal di Bali karena tidak dimuat di media massa secara jelas (cenderung ditutup- tutupi), namun ini tidak terjadi di kalangan militer, khususnya yang ada di Lampung. Dalam kasus ini, militer pasti mengindikasikan bahwa ada keterkaitan antara orang-orang berhaluan kiri di Bali dan orang-orang Bali yang bertransmigrasi ke Lampung. Beberapa sumber menyebutkan bahwa militer pada saat itu turut mengamati perkembangan yang terjadi pada transmigran Bali di Lampung. Masa ini menjadi penting bagi transmigran Bali mengapa mereka mulai melakukan pencarian bentuk identitas bagi komunitasnya. Hal yang lebih ditakutkan oleh mereka adalah aksi brutal atau penghakiman massa (mayoritas), khususnya golongan Islam, yang tidak senang dengan keberadaan orang-orang berhaluan kiri. Penghakiman oleh massa bisa dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dituduh sebagai komunis, meskipun pada kenyataan tidak, atau hanya

sebagai simpatisan. Pencitraan kata “komunis” di masa itu yang paling melekat adalah “orang yang tidak punya agama” dan “tidak percaya

Tuhan”. Meskipun kepercayaan etnis Bali sebagai Hindu sudah diakui oleh pemerintah sebagai agama resmi negara dengan dukungan Presiden Sukarno tepat pada tanggal 1 Januari 1959, namun stigma-stigma yang

menyebutkan transmigran sebagai “orang jang belum beragama” masih

melekat di dalam masyarakat, khususnya yang berhaluan fundamentalis – karena pada masa sebelum dan sesudah 1959 golongan ini (termasuk dari golongan Kristen) yang masih mempertanyakan keabsahan Hindu Bali sebagai sebuah agama menurut konsep agama kedua golongan ini. Di masa kritis seperti ini, pasca Gerakan 30 September 1965, para transmigran

harus mencari bentuk identitas keagamaan mereka sebagai orang yang beragama berdasarkan agama versi pemerintah dan opini yang berkembang di masyarakat pada masa itu, dalam arti mereka harus mempertegas dan bisa membuktikan bahwa mereka orang yang beragama, yaitu Hindu Dharma. Jika mereka tidak bisa mempertegas dan membuktikan identitas keagamaannya bahwa mereka adalah orang yang beragama, maka keselamatan mereka dipastikan akan terancam (dan kehilangan nyawa). Pada masa ini pula, para transmigran yang sedang mengalami kevakuman dan sedang dalam pencarian bentuk identitas keagamaan mereka, menjadi target Islamisasi dan Kristenisasi – walaubagaimana pun kedua golongan ini masih beranggapan bahwa para transmigran belum memiliki identitas agama yang jelas seperti konsep agama versi kedua golongan ini. Dalam situasi darurat identitas seperti ini, tentu PHDI sebagai organisasi formal keagamaan Hindu Bali menjadi penyelamat bagi para transmigran untuk melegalkan identitas keagamaan mereka, karena persoalan keabsahan identitas agama ini merupakan persoalan antara hidup atau mati. PHDI sendiri pun harus cepat dan tanggap merespon situasi ini, karena jika tidak para transmigran ini akan berpindah-haluan ke agama lain yang menawarkan garansi identitas agama yang lebih legal. Catatan penting di masa ini bagi identitas transmigran Bali Nusa adalah bahwa mereka merelakan identitasnya dikonstruksikan ulang demi alasan keselamatan hidupnya. Menjadi aneh dan cenderung pragmatis, karena sebenarnya mereka sudah menjadi Hindu, tapi bagi mereka, merupakan hal yang sangat konyol jika harus mati di Lampung saat belum menikmati hasil

kerja kerasnya, dan mati hanya karena “beragama” atau “tidak beragama”

(dicap komunis). Catatan berikutnya, periode pasca Gerakan 30 September 1965 sampai pertengahan tahun 1966 hampir dipastikan tidak ada orang Bali Nusa yang bertransmigrasi ke Lampung. Militer pasti akan bersiaga penuh mengantisipasi orang-orang Bali yang dicap komunis melarikan diri

– berhasil lolos dari pembantaian massal – ke Lampung mengunjungi sanak saudaranya yang bertransmigrasi. Mengapa demikian? Karena di Bali Utara, di wilayah Jembrana, merupakan salah satu basis orang-orang Bali berhaluan kiri, di mana di daerah Jembrana pada masa kolonial menjadi daerah transmigrasi lokal orang-orang Bali dari Nusa Penida dan orang Bali di Bali Selatan yang pemukimannya sudah padat (khususnya,

orang Bali yang sudah menjadi Nasrani, sebagai upaya mencegah kegiatan misionaris lebih luas di Bali bagian Selatan, yang tidak diizinkan oleh pemerintah kolonial melalui kebijakan Balinisasinya).

Masa Kemapanan Identitas Semu:

Internal Conversion

(Identitas Warga Dan Agama)

Setelah “Pemberontakan PKI” – versi Suharto atas Gerakan 30 September 1965 – berhasil dipadamkan, kemudian Suharto berhasil mengambil-alih kekuasaan dari Sukarno dan membentuk rezim Orde Baru di tahun 1967, kondisi keamanan secara sosial politik mulai dirasakan oleh transmigran Bali Nusa. Artinya, mereka sudah melewati sebuah masa di

mana “cap PKI” itu sama dengan maut (kematian). Keamanan penuh atas legalitas agamanya baru mereka rasakan di tahun 1968, setelah PHDI, yang menjadi penyelamat bagi mereka dari tiket kematian dengan cap PKI, secara resmi bergabung dengan rezim Suharto yang didukung oleh militer yang kuat, serta berafiliasi secara organisasi dengan Golkar. Pada masa ini PHDI sudah menjadi bagian dari pemerintah, dan menjadi organisasi semi- pemerintah – organisasinya secara kelembagaan menyerupai Golkar dan Sekjen-nya berasal dari ABRI.

Pasca 1968 sampai tahun 1970-an, identitas agama Hindu Dharma yang dikonstruksikan oleh PHDI belum dikatakan selesai. Artinya, proses pengkonstruksian itu masih terus dilakukan sampai mereka benar-benar menjadi Hindu Dharma. Bagi Suharto ini menjadi penting, karena untuk memastikan bahwa orang-orang Bali, termasuk di luar Bali, sudah bersih dari ideologi kiri dan Sukarnois. Oleh karena itu, doktrin-doktrin agama terus ditanamkan pada transmigran, termasuk dilanjutkan ke anak-cucu- cicit, agar identitas Hindu mereka menjadi mapan, dan bebas dari “kiri”

dan “Sukarno”.

Namun, di saat pengkonstruksian identitas Hindu Dharma itu masih sedang dalam proses rekonstruksi kembali, di tahun 1970-an sejumlah elit-elit dari Bali datang ke komunitas transmigran Bali (Bali dan Bali Nusa) untuk merekonstruksi ulang identitas warga-warga-nya. Elit- elit ini menganggap bahwa (ada kemungkinan) para transmigran Bali ini, khususnya Bali Nusa, belum / tidak memiliki identitas warga yang jelas.

Oleh karena itu, proses pendataan warga-warga dilakukan oleh elit-elit ini. Di saat yang sama, kehidupan ekonomi transmigran sudah mengalami kemajuan, lahan pertanian yang mereka kelola sudah menghasilkan panen yang baik. Karenanya, motif ekonomi dan politik menjadi tidak dapat dipisahkan dari kedatangan elit-elit dari Bali ini. Sama seperti PHDI, elit- elit ini dianggap sebagai penyelamat terhadap identitas warga mereka yang selama berada di Nusa Penida masih kabur (belum jelas)209. Dalam perekonstruksian ulang identitas warga oleh elit-elit dari Bali, turut dimasukkan klaim-klaim yang menempatkan warga-nya berada di atas dari warga lain. Akibatnya, transmigran Bali Nusa menjadi mulai terpecah berdasarkan kelompok warga-nya masing-masing, entah karena memang mereka mengetahui bahwa berasal dari warga itu, atau memang mengikuti arus saja – berpikir pragmatis – bahwa mereka harus punya identitas warga yang jelas. Pengkotak-kotakan ini – sebagai konsekuensi dari apa yang dilakukan oleh elit-elit dari Bali – semakin nyata setelah Sri Mpu Suci yang selama ini menjadi patron yang menyatukan identitas mereka sebagai transmigran Bali Nusa wafat. Dengan wafatnya Sri Mpu Suci, komunitas transmigran Bali ini mulai meyakini bahwa patron atau pusat yang menjadi naungan keabsahan identitas warga dan agama mereka adalah Bali, termasuk PHDI itu sendiri.

Menempatkan Bali sebagai pusat yang dapat mengabsahkan identitas warga dan agama Hindu Dharma, tidak dapat dilepaskan dari keterikatan yang kuat dalam diri etnis Bali – dalam kasus ini termasuk Bali Nusa karena ketika masih di Nusa Penida pun Bali tetap menjadi pusat – terhadap identitas tanah leluhurnya. Identitas yang dimaksud adalah identitas secara adat – warga – dan identitas agama – Hindu Bali atau identitas resminya Hindu Dharma. Permasalahannya adalah mereka memiliki dua pusat: elit warga – dalam arti yang lebih luas adalah organisasi formal warga-warga – dan PHDI. Meskipun organisasi formal warga-warga ini bernaung di bawah payung PHDI karena mendapatkan otoritas dari Suharto, namun dalam kenyataannya PHDI seperti tidak mau terlalu ikut campur tentang urusan adat atau warga-warga. Situasi ini

209

Lihat: David Stuart-Fox (2002), Pura Besakih: Temple, religion and society in Bali, Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

tentunya tidak dapat ditampikkan, karena pada masa itu di tubuh PHDI sendiri mulai (sudah) terjadi pertentangan antara golongan jaba (outsider, commoners, warga, non-puri) dengan golongan bangsawan (triwangsa, khususnya kaum brahmana). Oleh karena itu, penulis menyebutkan di

masa ini sebagai masa “kemapanan identitas” yang semu cum ambigu. Dikatakan demikian, karena mereka harus apa yang disebut Geertz (1964) sebagai internal conversion sebanyak dua kali, tapi bukan pada satu identitas yang sama, melainkan dua identitas yang berbeda (yang pada dasarnya sebenarnya sama dan seperti menjadi kesatuan antara identitas adat dan agama), yaitu identitas agama dan identitas warga. Alasan kedua, karena kemapanan identitas itu sebagai hasil konstruksi identitas berdasarkan kekuasaan pada waktu itu di dua rezim pasca kolonial: Sukarno dan Suharto, di mana konstruksi identitas agama dilakukan berdasarkan konsep kepercayaan Yudea-Kristen-Islam – pada akhirnya melahirkan Hindu yang modern seperti dalam konsep Weber. Ironisnya, bila ditarik kebelakang, konstruksi identitas terhadap etnis Bali oleh pemerintah pasca kolonial merupakan warisan dari pemerintah kolonial yang sebelumnya telah mengkonstruksikan identitas Bali berdasarkan versi pemerintah kolonial dan pakar orientalis Eropa bekerja sama dengan golongan triwangsa dengan dalih menjaga identitas kultural Bali dari serangan luar (khususnya pengaruh Islam dan Nasrani). Dan bila ditarik belakang lagi, di masa kerajaan pasca berkuasanya Majapahit atas Bali, konstruksi identitas wangsa yang melahirkan sistem kasta ala Bali (tepatnya ala Majapahit) telah dilakukan oleh bangsawan-bangsawan Majapahit yang berasal dari Jawa Timur, di mana salah satunya menjaga eksistensi identitas Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Budha yang masih eksis pasca takluk oleh Kerajaan Islam Demak. Alasan ketiga, dengan adanya dua identitas yang berbeda dengan pusat yang sama tapi berbeda patron, menyebabkan identitas yang seolah-olah mapan ini melahirkan sebuah konflik (pertentangan) lama, yang sebenarnya sudah terjadi di Bali, yaitu pertentangan antar warga, modernisme Hindu versus tradisionalisme Hindu Bali (kesatuan adat dan agama). Dengan kata lain, terjadi pola konflik atau pertentangan identitas yang hampir sama dengan yang terjadi di Bali, tapi dalam bentuk atau manifestasi yang berbeda, karena waktu dan tempatnya berbeda antara Bali dan Lampung. Alasan

keempat, kemapanan identitas itu semu karena kemapanannya didapatkan atas perlindungan dari sebuah rezim, Suharto, khususnya identitas orang Bali sebagai Hindu Dharma. Dalam kasus ini, unsur politik dan kekuasaan suatu rezim lebih dominan, untuk menjamin keberlangsungan kekuasaannya dari lawan politik yang menggunakan simbol-simbol identitas SARA.

Periode Suharto adalah masa yang paling nyaman bagi komunitas Bali Nusa di Balinuraga (era 1970-an sampai sebelum dimulainya krisis ekonomi 1996/1997), meskipun di aras pusat, sejak berdirinya ICMI di awal tahun 1990-an merupakan akhir “bulan madu” antara PHDI dengan Suharto. Perekonomian mereka semakin mapan, salah satunya ditunjukkan dengan membeli tanah baru di luar Lampung Selatan, khususnya di daerah perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung Timur – salah satu cara meningkatkan pendapatan dengan memperluas areal pertanian. Hal ini disebabkan lahan pertanian di Balinuraga dan Lampung Selatan pada umumnya, sudah mulai habis dan mahal menurut ukuran harga tanah pertanian di Lampung Selatan (terutama setelah tahun 1990-an), sedangkan harga tanah di perbatasan propinsi relatif lebih murah dan masih luas. Dalam periode ini pula identitas kebalian mereka, khususnya identitas agama, relatif lebih aman. Syaratnya adalah mereka harus memilih Golkar saat pemilu diselenggarakan, meskipun bagi mereka sosok Sukarno masih menjadi idola – sama seperti orang Bali kebanyakan – dengan alasan karena ibu Sukarno adalah orang Bali. Kondisi demokrasi seperti ini menyebabkan komunitas ini menjadi malas dengan urusan politik, dan menjadi lebih pragmatis: tetap tingkatkan kesejahteraan ekonomi di sektor pertanian. Namun, bukan berarti pertentangan identitas warga sudah selesai, justru sebaliknya, pertentangan identitas warga itu terus berlangsung, tapi dalam manifestasi yang berbeda dan cenderung pragmatis-materialistik, yaitu dengan berlomba-lomba merenovasi pura keluarga dan pura kawitanwarga agar menjadi lebih baik dari yang warga lain; dan yang menghasilkan prestise lebih tinggi adalah dengan menyelenggarakan upacara ngaben secara besar-besaran, jika perlu mengundang pedanda (brahmana) dari Bali. Bentuk lainnya adalah dengan menjadikan pulang kampung sebagai agenda rutin tahunan untuk

melaksanakan kewajiban adatnya, terutama berhubungan dengan identitas warga-nya di tanah leluhur. Semakin sering agenda pulang kampung dilaksanakan, maka semakin tinggi prestise mereka sebagai warga tertentu. Prestise tersebut akan semakin tinggi jika mereka bisa pergi ke tempat- tempat suci agama Hindu yang ada di India. Ada di antara mereka yang

beranggapan bahwa ke India sama seperti “Orang Islam naik Haji” atau “Naik Hajinya orang Bali” – merupakan dampak dari modernisasi Hindu yang berkiblat ke India.

Rentang waktu 1970-an sampai sebelum krisis ekonomi 1996/1997 merupakan waktu yang ideal bagi proses pemapanan identitas yang dilakukan oleh komunitas Bali Nusa. Hal ini disebabkan karena, pertama, perekonomian mereka semakin membaik. Hasil panen dan harga jual panen relatif lebih stabil. Meskipun gagal panen pernah dialami di masa-masa ini, tapi secara umum tidak mengganggu perekonomian mereka. Kebijakan pemerintah pusat yang berambisi berswasembada beras, berdampak positif terhadap komunitas ini, karena daerah Lampung