• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warga Arya merupakan kelompok warga ketiga di Balinuraga selain Warga Pasek dan Pandé. Berdasarkan jumlah anggotanya, diperkirakan (kurang lebih) sama dengan WargaPandé. Sebagai salah satu warga (klan) yang ada di Balinuraga, Warga Arya memiliki hubungan

yang „datar‟ dengan warga lainnya, Pasek dan Pandé. Hubungan Warga Arya dengan Warga Pasek dan Pandé tidak „sehangat‟ hubungan Warga Pasek dan Pandé yang dinamis. Warga Arya dalam hubungan dengan Warga Pasek dan Pandé dapat dikatakan baik-baik saja, cenderung tidak mau ikut campur atau menjaga jarak, dari pasang-surutnya hubungan Warga Pasek dan Pandé. Dapat dikatakan Warga Arya seperti menjadi follower di antara kedua warga ini, Pasek dan Pandé, dalam usahanya mendominasi warga-warga di Balinuraga. Permasalahan identitas adalah salah satu aspek mengapa Warga Arya perannya tidak dominan di Balinuraga. Berbeda dengan Warga Pasek dan Pandé, Warga Arya memiliki silsilah beragam (kompleks) dengan leluhur yang berbeda-beda berdasarkan tempat asalnya sewaktu di Jawa Timur. Dengan kata lain, ada banyak (jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan) arya-arya. Oleh karena itulah, untuk memperjelas identitasnya – supaya tidak terjadi kebingungan berasal dari arya apa – mereka mengidentifikasikan warga- nya sebagai Warga Arya179; meskipun di Bali sendiri terdapat banyak

179

Dalam sejumlah percakapan (diskusi) dengan masyarakat Balinuraga, mereka yang berasal dari Warga Arya mengidentifikasikan dirinya sebagai “Wa rga Arya”

Warga Arya, seperti yang dikelompokkan oleh Eiseman (2005): Arya Kepakisan, Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Gajah Para, Arya Pinatih, Arya Goto Waringen, Arya Tan Mundur, Arya Tan Kaur, Arya Tan Kober, Arya Sidemen, Arya Sentong, dan Arya Dalancang. Arya-arya tersebut merupakan keturunan dari arya-arya Jawa Timur di masa kerajaan Majapahit180, yang diikutsertakan oleh Gajah Mada ketika menginvasi Bali

untuk menundukkan Raja Bali Asta Sura Ratna Bumi Banten. Kata “arya” merupakan gelar bagi patih-patih Majapahit yang berdasarkan fungsinya digolongkan sebagai kaum kesatria (kesatria wangsa). Setelah Majapahit berhasil menundukkan Bali, para Arya ini kemudian mendapatkan kedudukan / jabatan dalam pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan. Di Bali sendiri pada masa kerajaan Bali Aga, sebelum invasi Majapahit, mengenal Arya Bali yang merupakan keturunan raja-raja Bali atau keturunan para pejabat tinggi kerajaan (bangsawan). Perbedaannya adalah Arya Bali tidak menggunakan gelar arya seperti arya-arya dari Jawa Timur, tapi lebih menggunakan gelar “Ki”181 – baik gelar arya ataupun

“ki” sebenarnya memiliki pengertian dan fungsi yang hampir sama, yaitu sebagai gelar bagi kaum kesatria, keturunan raja, bangsawan, dan „orang

tok. Seperti ketika penulis bertanya kepada beberapa warga Arya: “(dari) warga

apa Beli (Bli)?”. Kemudian pertanyaan penulis dijawab (secara tegas, langsung,

tidak bertele-tele): “Warga Arya”.

180

Pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, gelar”Arya” ini diberikan kepada mantan raja dan keturunan-keturunan raja-raja Kediri dan raja-raja Kahuripan, di mana sebagian besar dari arya-arya ini masih keturunan atau keluarga besar dari Sri Airlangga. Arya-arya ini yang kemudian disertakan oleh Gajahmada ketika menginvasi Bali, di samping arya-arya yang bukan keturunan raja Kediri dan Kahuripan, dan Arya Kepakisan yang berasal dari masa pemerintahan kerajaan Majapahit. Berdasarkan klasifikasi warga-warga Arya yang disebutkan oleh Eiseman (2005) –meskipun diperkirakan masih ada „arya-arya‟ lain – maka yang yang merupakan keturunan dari raja Kediri adalah Arya Gajah Para dan Arya Kutawaringin; keturunan raja Kahuripan: Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya Sentong, dan Arya Belog (atau Arya Pudak); sedangkan yang bukan termasuk keturunan Raja Kediri dan Kahuripan: Arya Tan Kawur, Arya Tan Kober, dan Arya Tan Mundur (lihat: K.M. Suhardana 2006, Babad Arya: Kisah Perjalanan Para Arya, Surabaya: Paramita).

181

Meskipun gelar “Arya” tidak begitu lazim digunakan pada masa Bali Aga, tapi ada beberapa yang menggunakan gelar ini, seperti: Arya Ringgih, Arya Ringgis, Arya Kedi, dan Arya Karangbuncing (op.cit. Suhardana 2006).

dalam‟ kerajaan yang memiliki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Jadi, gelar arya ini berbeda dengan suku Arya dalam peradaban pra-Hindu di India, yang menetapkan bangsanya sebagai bangsa yang unggul daripada bangsa Dravida (penduduk asli India).

Warga Arya yang ada di Balinuraga adalah transmigran Bali yang berasal dari Nusa Penida. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana arya-arya ini bisa ada di Nusa Penida. Keberadaan para Arya di Nusa Penida, berdasarkan sejarahnya (perkiraan)182, dapat ditelusuri dari dua hal: (1) Pada masa invasi Majapahit, Pulau Nusa Penida menjadi salah satu target invasi selain target utama adalah Pulau Bali, di mana dalam invasi tersebut melibatkan para arya dari Jawa Timur. Bisa jadi – dimungkinkan – ada arya-arya yang ditugaskan oleh Gajah Mada untuk menetap di Nusa Penida; (2) Pada masa dinasti Sri Kresna Kepakisan, Pulau Nusa Penida dijadikan sebagai tempat pembuangan tahanan-tahanan politik bagi para kesatria-kesatria (pejabat pemerintahan) yang mengadakan pemberontakan (perlawanan atau pun kudeta) terhadap raja pada masa itu. Hukuman pembuangan bagi pada kesatria ini memiliki standar yang sama seperti hukuman mati bagi kawula (orang-orang Bali

182

Dalam proses penelitian yang dilakukan secara berkala di Balinuraga, penulis sangat berhati-hati dalam bertanya tentang keberadaan leluhur mereka di Nusa Penida, khususnya Wa rga Arya. Tentu, status pulau Nusa Penida sebagai pulau buangan bagi tahanan politik di masa kerajaan sudah diketahui oleh mereka yang berasal dari Nusa Penida maupun dari Bali. Tapi, bagi beberapa responden, tentu

merasa “tidak enak” (bisa juga malu atau gengsi) bila menyebutkan leluhur

mereka yang berada di Nusa Penida memiliki keterkaitan dengan tahanan politik di masa kerajaan. Bagi mereka adalah lebih baik menceritakan kejayaan leluhur

awalnya daripada menceritakan keturunan dari leluhurnya yang “tahu-tahu” sudah ada di Nusa Penida, karena akan dapat menunjukkan aktualisasi identitas leluhurnya. Untuk warga Pasek, keberadaan mereka di Nusa Penida – perkiraan umum – disebabkan karena populasi warga ini mayoritas di Bali, dan memiliki banyak keturunan di Klungkung. Bukan tidak mungkin, jika mereka merantau ke Nusa Penida karena pulau itu belum begitu banyak penghuninya, atau memang diutus/ditugaskan oleh pihak kerajaan untuk bertugas di sana untuk menjaga teritori kekuasaan; sedangkan warga Pandé, ini terkait dengan fungsi warga Pandé sebagai pandai besi, yang dibutuhkan dalam setiap wilayah tertentu dalam tugasnya membuat alat-alat atau perlengkapan dari logam, khususnya besi, baik senjata atau alat pertanian.

non-puri, di luar lingkup kekuasaan kerajaan / puri). Kesatria-kesatria yang memberontak ini tidak lain adalah para keturunan-keturunan arya-arya semasa perang Bali Aga (Arya dari Jawa Timur), karena setelah Bali ditundukkan oleh Majapahit para Arya Jawa Timur ini ditugaskan oleh Gajah Mada untuk memerintah di daerah-daerah tertentu. Oleh karena itu, tahanan politik kerajaan yang dibuang dari Nusa Penida ini – diperkirakan

– sebagian besar adalah keturunan arya-arya dari Jawa Timur. Tentu, setelah dibuang ke Nusa Penida, gelar atau pun status kebangsawanan itu akan hilang dan menjadi rakyat biasa, namun tidak menghilangkan identitas leluhur mereka bahwa mereka adalah Warga Arya, yang leluhurnya pernah menduduki peran penting di masa Majapahit menginvasi Bali. Dengan kata lain, Warga Arya di Balinuraga dapat dikatakan sebagai WargaArya yang telah kehilangan status atau fungsinya sebagai arya dengan sebab-sebab tertentu, sampai akhirnya berada di Nusa Penida dan bertransmigrasi ke Lampung; atau dapat disebut sebagai Arya Nusa Penida183. Tentu, setelah berada di Nusa Penida, dan beranak-pinak di sana, status mereka menjadi seperti kawula, sama seperti penduduk asal Nusa Penida (keturunan Bali Aga) dan keturunan warga-warga lain yang

“bermigrasi” di pulau ini.

Meskipun tidak (belum) menunjukkan perannya yang signifikan dalam kehidupan sosial di Balinuraga – khususnya dalam dinamika politik desa yang selalu didominasi Warga Pasek dan Pandé– kedudukan Warga Arya di Balinuraga sebagai salah satu identitas yang eksis (ada) dengan sejumlah massa dari anggota warga-nya tidak dapat disepelekan. Walaubagaimana pun posisi mereka sebagai klien yang patuh dalam perebutan dominasi Warga Pasek dan Pandé membuatnya memiliki posisi tawar yang besar. Hal ini disebabkan karena baik Warga Pasek maupun Pandé membutuhkan dukungan atau pun legitimasi dari Warga Arya

183

Arya Nusa Penida ini digunakan (oleh penulis) untuk menyebut Wa rga Arya yang berasal dari Nusa Penida secara turun-temurun. Nama “Nusa Penida” di

depan nama “Arya” menunjukan tempat asalnya di Nusa Penida, sama seperti penamaan warga arya-arya lainnya, di mana nama yang ditempatkan sesudah

nama “arya” menunjukkan tempat di mana arya itu berasal, ataupun nama / gelar / sebutan lain dari leluhurnya di masa pemerintahan kerajaan tertentu, , seperti

sebagai follower sala satu dari kedua warga tersebut. Tanpa adanya dukungan dari Warga Arya, tentu akan sulit bagi Warga Pasek ataupun Pandé untuk mendominasi atau mengaktualisasikan identitas warga-nya. Dukungan ini penting karena masyarakat Balinuraga lebih egaliter – terkait dengan tempat asalnya di Nusa Penida, yang dapat masyarakatnya digolongan sebagai kawula (non-triwangsa), dan jauh secara geografis dari

„negara pusat‟ atau kerajaan yang berkuasa dalam teritori itu - sehingga klaim-klaim yang mendudukan warga-nya sebagai triwangsa jelas tidak mungkin dapat diterima (dan tidak beralasan juga). Karena itu, dukungan dari warga lain, massa (anggota-anggota) Warga Arya menjadi sangat penting sebagai legitimasi.

Sama seperti mayoritas anggota warga-warga lainnya, Warga Arya tidak dapat dilepaskan dari cara berpikir dan bertindak yang pragmatis, di mana menjadi penyebab (utama) bagi Warga Arya untuk terjun ke pentas politik praktis desa yang bernuansa poitik praktis antar warga. Perlu diketahui bahwa mayoritas masyarakat di Balinuraga adalah petani. Mereka adalah transmigran yang bercita-cita memperbaiki kehidupan ekonominya. Dinamika politik desa yang ada di dalamnya tidak lain, hanya, permainan dari sejumlah elit warga-warga yang jumlahnya tidak banyak. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat (warga-warga) Balinuraga – termasuk Warga Arya – lebih bersifat pragmatis, lebih fokus bekerja di pertanian, sehingga dapat mengumpulkan uang atau aset (umumnya tanah dan sapi) lebih banyak. Pemikiran pragmatis ini sangat berasalan, karena sebagai Bali Hindu mereka mempunyai kewajiban- kewajiban adat dan agama yang banyak dan mahal – mengurusi masalah sosial politik desa, terutama masalah adat atau pun agama, akan menyita banyak waktu dan tidak produktif – di mana eksistensi identitas mereka turut ditentukan oleh pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut. Pelaksanaan kewajiban-kewajiban tersebut bila dapat diselenggarakan dalam sebuah upacara yang besar dan mewah akan semakin baik, karena status sosial dan identitas warga-nya akan terangkat. Namun, ini bukan berarti bahwa pragmatisme mereka (warga-warga) tidak memiliki satu tujuan yang tidak terpengaruh dari permainan politik para elit warga- warga. Mengapa? Karena dengan pragmatisme itu mereka bisa

meningkatkan perekonomian keluarganya, di mana kekuatan ekonomi yang berhasil dikumpulkan nantinya digunakan untuk meningkatkan status dari identitas warga-nya melalui selebrasi kewajiban adat dan agama yang besar dan mewah. Fenomena ini berujung pada terjadinya pengkotak- kotakan masyarakat di Balinuraga berdasarkan warga-warga, yang disebabkan permainan segelintir elit-elitnya, sehingga warga-warga ini memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan eksistensi dan status sosial dari warga-nya.