• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pertama ini merupakan sebuah model yang menunjukkan bahwa identitas sebuah komunitas dibentuk atau dikonstruksikan aktor atau agen.

Dua aktor utama konstruktor identitas dalam kasus ini adalah aktor pusat dan satelit. Pusat (Bali) dengan otoritasnya mengkonstruksikan identitas satelit sebagai sebuah identitas yang sahih (legitimizing identity). Penyahihan identitas ini terjadi karena adanya hubungan yang saling mengikat antara pusat dan satelit. Satelit membutuhkan identitas yang sahih dari legitimasi pusat, sedangkan pusat membutuhkan dukungan (dana dan massa) dari satelit untuk menopang kedudukannya. Hal ini ditunjukkan bagaimana di tahun 1970-an, setelah perekonomian transmigran mapan, warga-warga berusaha mendapatkan legitimasi dan dilegitimasikan identitasnya oleh pusat yang diwakili lembaga formal

PUSAT (Otoritas, Bali) Legitimizing Identity CONSTRUCT (Mengkonstruksi) SATELIT (Negara, Balinuraga) Resistance dan Project Identity CONSTRUCT (Mengkonstruksi)

AKTOR

warga. Sama halnya seperti identitas kepercayaan Hindu Bali mereka yang harus disahihkan oleh PHDI menjadi Hindu Dharma.

Sebaliknya, Satelit (Balinuraga) sebagai aktor yang aktif mengkonstruksikan identitasnya dalam bentuk resistance identity (identitas perlawanan) dan project identity (identitas proyek). Ini tidak terlepas dari komposisi masyarakat Balinuraga yang didominasi oleh golongan jaba. Identitas perlawanan dan politik identitas yang dibentuk merupakan upaya golongan jaba di Balinuraga untuk mendapatkan kedudukan yang setara. Manifestasi utama ditunjukkan dengan penggunaan sulinggih warga (pendeta warga atau pendeta golongan jaba) sebagai pemimpin keagamaan dalam upacara-upacara penting.

Aktor yang memiliki otoritas untuk mengkonstruksi identitas digolongkan pada tingkat individu dan organisasi formal di bawah kekuasaan negara. Sri Mpu Suci merupakan seorang aktor (tingkat individu) yang memiliki otoritas di tingkat satelit untuk membangun fondasi identitas transmigran Bali Nusa di masa-masa awal mereka bertransmigrasi ke Lampung, yaitu identitas menurut tempat asal sebagai orang Bali Nusa dan identitas kultural sebagai Bali Hindu. Otoritas tersebut didapatkan dan diakui oleh para transmigran Bali Nusa karena kedudukannya sebagai seorang pemimpin transmigran dan sebagai seorang sulinggih (pendeta). Kedudukan Sri Mpu Suci sebagai seorang sulinggih– tepatnya sulinggih untuk Warga Pandé, yang kesulinggihannya juga bisa digunakan oleh warga lain (dalam kasus ini peruntukkan bagi golongan jabawangsa / non-bangsawan) – berada di bawah PHDI. PHDI sebagai organisasi semi-pemerintah merupakan aktor pusat (organisasi keagamaan) yang mendapatkan otoritasnya dari negara (kekuasaan pusat) melalui departemen agama. Dengan kata lain, PHDI adalah kepanjangan tangan dari kekuasaan pusat untuk melegalkan keabsahan identitas Bali Nusa sebagai Hindu Dharma – sebuah agama sah versi pemerintah untuk Hindu Bali (dan beberapa etnis lain). Selain PHDI, masih ada organisasi formal warga-warga (elit-elit warga) yang berada di bawah PHDI yang memiliki otoritas untuk mengkonstruksikan, dan juga menyahihkan, identitas warga (klan, soroh) dari komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Di samping lembaga otoritas di mana komunitas Balinuraga menetap – pemerintah daerah –

yang memantapkan identitas Bali Nusa ini sebagai “Orang Lampung keturunan Bali”. Mereka yang memiliki otoritas ini menggunakan otoritasnya dalam mengkonstruksi identitas Bali Nusa berdasarkan

“identitas” versi-nya dan tujuannya masing-masing: Sri Mpu Suci membangun (dan membentuk) fondasi identitas Bali Nusa (dan Bali Hindu), PHDI mengkonstruksi identitas Hindu Dharma, organisasi formal warga-warga (di bawah kepemimpinan elit-elit warga) mengkonstruksi identitas warga (leluhur), dan pemerintah daerah mengkonstruksi identitas Bali Lampung. Ini bukan berarti anggota komunitas berdiri dalam posisi yang pasif, karena mereka sendiri pun secara aktif turut mencari bentuk dari identitasnya. Hanya saja, pencarian bentuk identitas-nya belum dapat diakui legitimasinya tanpa ada aktor (individu atau organisasi berwenang) yang mengakuinya secara resmi. Jadi, ada sebuah usaha dan tindakan dari anggota komunitas ini untuk mencari identitas warga-nya sebagai orang Bali Hindu, memantapkan identitasnya sebagai Hindu Dharma, dan diakui posisinya di masyarakat dan pemerintahan daerah sebagai masyarakat Lampung. Oleh karena itu, meskipun model pertama ini sederhana, bukan berarti menunjukkan sebuah proses yang kaku, tapi sebaliknya, mengalami sebuah proses yang sangat dinamis. Hal ini dapat dilihat mulai dari: membentuk sebuah komunitas orang (transmigran) Bali Nusa yang eksklusif; perjuangan mendapatkan pengakuan identitas sebagai Hindu Dharma (agama resmi) agar tidak menjadi korban pencapan sebagai PKI; pertentangan identitas antar warga dengan berbagai bentuk manifestasinya, yang masih berlanjut sampai saat ini, mulai dari klaim-klaim warga mana yang paling tinggi kedudukan sosialnya sampai pura kawitanwarga mana yang paling megah dan artistik; Hindu Modern versus Hindu Tradisional, dengan contoh konkretnya adalah perdebatan (dan tindakan nyata) antara melakukan modernisasi penyelenggaraan upacara adat-keagamaan yang sederhana dan tidak berbelit-belit versus penyelenggaraan upacara yang harus runut dan ajeg agar tetap terjaga keorisinalitasannya; polemik seputar keterlibatan anggota komunitas mereka dalam kegiatan politik praktis; dan lain-lain. Catatan lain adalah bahwa di dalam anggota komunitas ada semacam keikhlasan ketika identitasnya dikonstruksi dan direkonstruksi oleh sebuah kekuasaan, atau sebaliknya, mengadakan aksi atau tindakan lain yang dinilai relevan bagi keberlangsungan identitasnya.

Hal ini lebih disebabkan oleh faktor keadaan dan situasi di mana mereka tidak memiliki pilihan atau alternatif lain, misalnya: pasca Gerakan 30 September 1965; masa-masa awal transmigrasi ketika mereka belum memiliki identitas yang meyakinkan bahwa mereka berasal dari warga (klan) tertentu – sebuah kondisi yang tidak dapat dielakkan karena mereka berasal dari Nusa Penida, sebuah pulau yang dahulunya mempunyai reputasi yang buruk (sebagai tempat pembuangan tahanan politik dan ilmu hitam); keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan pasca jatuhnya Suharto (1998) dan krisis ekonomi – mencari uang lebih sulit daripada masa sebelumnya (Orde Baru) – menyebabkan mereka harus melakukan modernisasi dalam penyelenggaran upacara adat-keagamaan agar menjadi lebih sederhana dan hemat tanpa menghilangkan substansi dari upacara tersebut; interaksi dengan lingkungan yang heterogen (khususnya masyarakat urban) menyebabkan generasi muda mengikuti pola umum yang dilakukan oleh lingkungan pergaulannya, seperti menjadi lebih pragmatis dalam berpikir dan bertindak, konsumerisme, dan hedonisme – juga merupakan hal yang tidak dapat dielakkan jika mereka harus bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan bekerja di luar kampung (komunitasnya); dan sebagainya. Peran anggota komunitas yang aktif dalam proses pembentukan identitasnya, maka memungkinkan mereka untuk mengadakan sebuah perubahan atas apa yang telah dikonstruksikan oleh pusat tersebut. Misalnya, menggunakan sulinggih dari kalangan warga tertentu (pendeta dari golongan jabawangsa) untuk memimpin upacara ngaben, tanpa harus mengundang pedanda dari Bali. Artinya, penyelenggaraan upacara ngaben dengan menggunakan pendeta warga, selain menghemat biaya (khususnya ngaben massal), juga tidak menghilangkan keabsahan identitas adat-keagamaan mereka. Menyelenggarakan upacara ngaben pribadi (khusus untuk keluarga sendiri) dan menggunakan sulinggih dari Bali atau pedanda (pendeta brahmana), tentu akan menghabiskan biaya yang mahal222.

222

Meskipun kesulinggihan pendeta warga (jabawangsa) telah diakui kedudukannya – setara dengan pedanda – namun bagi kalangan tertentu (masih konservatif), kehadiran pedanda dipercaya menghadirkan sebuah kereligiusan dan tentunya prestise tersendiri.

237