• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang memengaruhi integrasi di Daerah

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 117-120)

PoLA iNTEGRAsi

masyarakat 14. Partisipasi Masyarakat + + +

F. Faktor-faktor yang memengaruhi integrasi di Daerah

Penelitian ini menemukan bahwa program penanggulangan HIV dan AIDS kurang terintegrasi ke dalam sistem kesehatan daerah. Tingkat integrasi program ke dalam sistem kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut analisis Atun et al. (2010) faktor yang memengaruhi termasuk konteks politik, ekonomi, sosial dan budaya serta karakteristik dari sistem kesehatan itu sendiri. Interaksi antar faktor-faktor tersebut bisa menciptakan kesempatan atau hambatan, dan akan terlihat pada bagaimana para pemangku kepentingan strategis di daerah saling berelasi satu sama

lain. Para pemangku kepentingan ini termasuk penguasa politik daerah, aktor dalam sistem kesehatan, dan aktor dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Mengikuti kerangka tersebut, faktor-faktor yang berpotensi memengaruhi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan bisa diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Kuat atau lemahnya sistem kesehatan di tingkat daerah akan memengaruhi inte-grasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Dalam analisis tingkat integrasi tersebut, diidentifikasi bahwa sejumlah fungsi sistem kesehatan di tingkat daerah belum berjalan secara optimal, misalnya dalam fungsi pembiayaan kesehatan, SDM, dan pengelolaan informasi strategis. Ini misalnya sejalan dengan hasil tinjauan sektor kesehatan yang dilakukan pada tahun 2014 (AIPHSS, 2014). Ketika fungsi-fungsi sistem kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang belum kuat, justru kemungkinan hasil yang dicapai selama ini malah semakin memburuk. Oleh sebab itu, pilihan untuk melakukan integrasi atau tidak akan bergantung pada kesiapan dari sistem kesehatan itu sendiri. Jika fungsi kesehatan daerah tidak baik maka akan menjadi faktor penentu tingkat integrasi program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan yang ada. Secara umum sistem kesehatan di Indonesia belum berfungsi secara baik seperti hasil tinjauan AIPHSS (2014). 2. Diterimanya upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai program daerah juga

bergantung pada komitmen pemda. Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa sebagian besar pemda cenderung membangun komitmen politik yang bersi fat normatif dalam bentuk peraturan atau kebijakan. Tetapi, seperti halnya gejala umum di negara-negara berkembang, persoalan pembangunan bukan terle tak pada kapasitas menyusun kebijakan, melainkan pada kapasitas untuk meng-im ple mentasikannya (Pritchett, 2014). Oleh karena itu, hambatan-hambat-an operasionalisasi kebijakhambatan-hambat-an yhambatan-hambat-ang telah ditetapkhambatan-hambat-an di tingkat daerah menjadi isu yang selalu berulang disampaikan oleh informan dalam penelitian ini dari berbagai daerah. Tentunya dengan situasi seperti ini menjadi sulit untuk meng-harapkan adanya komitmen operasional yang tinggi guna mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di tingkat daerah. Situasi ini ditandai dengan rendahnya kapasitas KPAD untuk melakukan advokasi terhadap pelaksanaan komitmen politik tersebut karena kedudukannya bukan sebagai SKPD dan bersifat ad hoc. Tidak mengherankan jika pemain utama dalam perencanaan dan anggaran (Bappeda dan DPRD) tidak memberikan perhatian yang lebih besar kepada penanggulangan HIV dan AIDS di daerahnya.

3. Adanya peraturan atau hukum di luar sektor kesehatan yang membatasi popu-lasi kunci untuk mengakses pelayanan kesehatan seperti Perda Pekat, Anti Pros titusi atau Ketertiban Umum akan menjadi perdebatan di antara para pemang ku kebijakan di tingkat daerah. Pada satu sisi, ada argumentasi bahwa perda-perda tersebut untuk melindungi masyarakat umum, tetapi pada sisi yang lain ada kebutuhan untuk mengontrol penyakit. Solusi yang dipilih tentunya yang lebih populis daripada perda penanggulangan HIV dan AIDS. Atau, jika penanggulangan HIV dan AIDS diakomodasi, kegiatan-kegiatannya harus disin-kronisasikan dengan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam perda ketertiban umum tersebut.

4. Fungsi dan peran pemangku kepentingan memengaruhi integrasi upaya penang-gulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Komitmen politik para pemang ku kepentingan kunci secara formal tanpa diikuti oleh komitmen operasio nal susah menjadikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai prioritas daerah. Selain itu, dominasi peran pemerintah pusat secara administratif dan teknis menjadikan program upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebagai penghambat integrasi dengan sistem kesehatan di daerah. Sikap pemerintah pusat yang masih menjadi perencana dan pemegang kendali pembiayaan menjadi penghambat penerimaan dan tingkat komitmen pemda terhadap upaya penang-gulangan HIV dan AIDS. Akibatnya, upaya penangpenang-gulangan HIV dan AIDS masih bersifat vertikal dan daerah cenderung menjadi pelaksana saja.

5. Dalam pemetaan pemangku kepentingan strategis di daerah teridentifikasi bahwa MPI merupakan aktor yang berkepentingan dan bersumber daya tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Di satu sisi ini sangat mendorong terlaksananya program-program di daerah. Tetapi, di sisi lain, programnya yang bersifat vertikal khususnya dalam aspek administrasi bisa menghambat upaya integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke sistem kesehatan di tingkat daerah karena terbatasnya kontrol dari dinas kesehatan atau KPAD atas perencanaan dan anggaran dari MPI di daerah. Penelitian ini telah mendokumentasikan bahwa berakhirnya MPI di suatu wilayah (Papua dan Papua Barat) telah menjadi sebuah kesempatan bagi pemda untuk lebih memperhatikan dan bertanggung jawab terhadap penanggulangan HIV dan AIDS dengan menggali berbagai sumber daya yang tersedia di wilayahnya, meskipun program yang dikembangkan tidak sebesar dan seluas yang dilakukan pada saat MPI masih bekerja di wilayah tersebut.

6. Dalam analisis tingkat integrasi telah ditunjukkan bahwa intervensi PDP cenderung lebih terintegrasi di berbagai wilayah penelitian dibandingkan dengan intervensi pencegahan dan mitigasi dampak. Situasi ini menyiratkan bahwa integrasi akan lebih dimungkinkan bagi intervensi yang bersifat kuratif karena lebih sesuai dengan karakteristik peran sektor kesehatan selama ini. Kegiatan dalam PDP cenderung didominasi oleh hubungan tenaga kesehatan dan pasien untuk hal-hal yang bersifat medis di mana berbagai pedoman atau SOP perawatan dan pengobatan telah tersedia. Kompleksitas intervensi ini menjadi jauh lebih sederhana daripada intervensi pencegahan yang harus memperhatikan aspek sosial dan perilaku yang relatif sulit untuk diantisipasi serta melibatkan lintas-sektor. Oleh karena itu, penerimaan aktor di sektor kesehatan terhadap kompleksitas intervensi dalam penanggulangan HIV dan AIDS juga berpengaruh terhadap tingkat integrasi (bandingkan dengan kesimpulan Atun et al., 2010).

G. Hubungan antara integrasi dan Efektivitas Program Penanggulangan

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 117-120)