• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan informasi strategis

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 92-95)

PoLA iNTEGRAsi

B. Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

4) Pengelolaan informasi strategis

Informasi strategis didefinisikan sebagai sistem dalam produksi, analisis, dise-minasi, dan penggunaan informasi yang terpercaya tentang determinan kesehat an, kinerja sistem kesehatan, dan status kesehatan yang dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dimensi-dimensi dalam informasi strategis meliputi: 1) Sinkronisasi dan koordinasi sistem informasi, yaitu terdiri atas infrastruktur, jenis sumber data, pengumpulan data, dan mekanisme pengolahan data—kesemuanya merupakan bagian dari sistem yang digunakan oleh pemerintah dalam pengelolaan informasi dari survei, pemantauan, dan evaluasinya mulai input, proses, dan output; dan 2) Diseminasi dan pemanfaatan terkait hasil pengolahan data sistem informasi program HIV dan AIDS yang ada saat ini digunakan untuk perencanaan dan pengembangan program HIV dan AIDS di daerah.

a. Sinkronisasi sistem informasi

Sinkronisasi sistem informasi HIV dan AIDS memungkinkan tersedianya data yang berguna bagi daerah dalam mengembangkan perencanaan dan desain program intervensi berbasis situasi epidemi dan kebutuhan daerah. Ketika bisa mengembangkan perencanaannya sendiri, daerah dapat memiliki posisi tawar yang lebih kuat saat berhadapan dengan donor atau pihak-pihak yang akan mengembangkan kerjasama dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karena itu, kemampuan daerah untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengelola informasi HIV dan AIDS untuk pengem bangan upaya penangggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti menjadi sangat penting. Sayangnya, ditemukan bahwa daerah memiliki berbagai sumber data yang dikelola secara terpisah-pisah, sehingga sulit untuk disinkronisasikan dan dimanfaatkan.

Dilihat dari infrastrukturnya, ada beragam variasi sistem informasi yang dite-mukan. Pertama, ditemukan variasi dari metode pengumpulannya, di mana sebagian besar daerah sudah menggunakan teknologi informasi yang bersifat komputerisasi, tetapi ada pula daerah yang masih menggunakan pencatatan secara manual seperti ditemukan di Manokwari. Kedua, jenis sistem informasi yang bersifat online itu sendiri sangat bervariasi tergantung pihak pemangku kepentingan mana yang berkepentingan atas data tersebut. Untuk data program, pemerintah pusat (Kemenkes), KPAN, maupun MPI memiliki sistemnya masing-masing yang tidak sinkron antara satu sama lain. Ada pula sistem informasi kesehatan yang juga saling tidak sinkron. Di daerah ditemukan ada Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA), Sistem Informasi Puskesmas (SIMPUS), serta berbagai sistem informasi lainnya. Pada dasarnya mereka dikembangkan untuk menjawab kebutuhan spesifik direktorat atau unit tertentu dalam sektor kesehatan, sehingga tidak saling kompatibel.

Data program HIV dan AIDS yang dikumpulkan oleh beberapa MPI juga saling tidak sinkron. Contohnya, sistem informasi terkait program yang ditemukan di daerah seperti Sistem Informasi HIV dan AIDS (SIHA), Recording and Reporting (R&R), dan

Inventory Order Management System (IOMS). SIHA dikembangkan oleh Kemenkes dengan dukungan Global Fund untuk mendapatkan informasi terkait data cakupan layanan pencegahan VCT, PITC, IMS dan distribusi kondom yang dilakukan di tingkat layanan primer dan sekunder sesuai target. Penerapannya juga bisa berbeda: SIHA untuk VCT/PITC di tingkat puskesmas sementara sistem informasi obat di rumah sakit menggunakan IOMS.

Ada pula sistem informasi milik lembaga tertentu seperti Sistem Informasi Napza (SINAPZA) milik Biro Napza di Sulawesi Selatan, atau sistem informasi yang dikembangkan oleh lembaga yang menjadi Principal Recipient (PR) Global

Fund seperti NU dengan SINU (Sistem Informasi Nahdlatul Ulama) dan PKBI yang mengem bangkan Sistem Informasi PKBI (SI-PKBI).

“Di PKBI kita mengumpulkan informasi dan membuat laporan berdasarkan format Global Fund yang mendanai program kita. Jadi kita mengumpulkan data seperti berapa jumlah kondom, jumlah jarum suntik, jumlah KIE yang terdistribusi. Juga misalnya jumlah pecandu baru di wilayah kerja kita. Jadi bentuknya spesifik pada program yang kita lakukan. (DKT, Program Manager PKBI Sulawesi Selatan, 2 Juni 2014, Laporan Tim Unhas)

Berbagai sistem informasi yang tidak sinkron baik untuk sistem informasi kese-hatan daerah maupun sistem informasi program membawa beberapa akibat. Pertama, pengumpulan data oleh para petugas kesehatan tidak efisien. Di Medan, misalnya, ditemukan bahwa data satu pasien harus diisi di tiga format sistem informasi yang berbeda. Kedua, banyaknya jenis sistem informasi menuntut kemampuan yang berbeda-beda untuk penggunaannya. Tim Peneliti Unhas (2014) menunjukkan ada-nya salah satu sistem informasi program yang tidak digunakan karena tidak ada pela-tihan untuk petugasnya. Ketiga, terdapat variasi sumber data dan informasi mengenai keluaran program HIV dan AIDS dari berbagai segmen. Tidak sinkronnya berbagai sistem informasi ini menyulitkan proses analisis data, terlebih untuk digu nakan sebagai bahan perencanaan dan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS yang berbasis bukti.

Pada akhirnya, sebagaimana dinyatakan oleh Tim Peneliti Unud (2014), sis-tem informasi masih sebatas untuk pengumpulan data dan belum ada analisisnya. Akibat nya, penggunaan data SIHA selama ini pun belum maksimal karena tidak ada pengolahan data dalam bentuk sheet yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pembuatan keputusan.

b. Diseminasi dan Pemanfaatan

Dalam situasi tidak sinkronnya sistem informasi sebagaimana dipaparkan, data yang digunakan untuk membuat kebijakan dan perencanaan program di daerah hanya berasal dari pusat seperti STBP yang dikembangkan oleh lembaga donor, Survei Cepat Perilaku dari KPAN, Sistem Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dikembangkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Riset Kesehatan Dasar yang dikembangkan BPS, serta survei-survei lainnya yang diselenggarakan oleh MPI.

Masalahnya, data-data survei tersebut bersifat agregat dan sulit untuk diinter-pretasikan di tingkat lokal. Selain itu, data survei yang dimiliki oleh pusat tersebut cenderung sulit untuk diakses oleh pemangku kepentingan di tingkat lokal. Ada juga kesulitan dalam memanfaatkan hasil survei karena masing-masing lembaga

penyelenggaranya memiliki mekanisme dan standar sendiri. Ini berdampak pada adanya variasi hasil dan kualitas informasi yang sulit digunakan sebagai basis penyusunan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS, terutama bagi daerah. Bentuk peman faatan data survei yang sudah terlihat di tingkat daerah baru sebatas untuk pengem bangan kegiatan advokasi.

Jenis sumber informasi lain ialah penelitian yang dikembangkan oleh universitas dan LSM. Temuan-temuan mereka kemudian dimanfaatkan sebagai informasi untuk pemangku kepentingan, bahan dialog dengan media, sosialisasi situasi epidemi dan strategi penanggulangannya, serta sebagai data untuk advokasi ke rumah sakit, seperti di Merauke (Tim Uncen, 2014).

Tidak terintegrasinya diseminasi dan pemanfaatan informasi dalam penang-gulangan HIV dan AIDS di daerah menyebabkan pengembangan intervensi program tidak bisa optimal. Pengembangan program lebih banyak mengandalkan desain dari pusat yang belum tentu mencerminkan situasi epidemi daerah. Pengembangan untuk diseminasi dan kampanye pendidikan masalah HIV dan AIDS juga terbatas.

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 92-95)