• Tidak ada hasil yang ditemukan

PoLA iNTEGRAsi

B. Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

1) manajemen dan Regulasi

Manajemen dan regulasi adalah pengelolaan yang menghimpun berbagai upaya kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, pengaturan hukum kesehatan, serta pengelolaan data dan informasi kesehatan untuk menjamin adanya kerangka kebijakan strategis yang dikombinasikan dengan pengawasan, pengembangan kemi-traan, akun tabilitas, peraturan, insentif dan kesesuaian dengan disain sistem kese-hatan yang ada. Subsistem ini terdiri atas tiga dimensi, yakni 1) Regulasi, berupa pera turan daerah pemda kabupaten/kota terkait penanggulangan HIV dan AIDS, seperti Perda HIV dan AIDS, Peraturan Bupati/Walikota, Renstra/SRAD tentang HIV dan AIDS; 2) Formulasi Kebijakan, berupa proses pengembangan kebijakan (peren canaan, penganggaran, alokasi dana, dan pertanggungjawaban) untuk pro-gram HIV dan AIDS dengan mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda penelitian; dan 3) Akuntabilitas dan Daya Tanggap, berupa akses masyarakat untuk mengetahui program dan kebijakan HIV dan AIDS di daerahnya serta apakah program dan kebijakan tersebut menggunakan prinsip pelayanan publik yang baik.

a. Regulasi

Regulasi tentang penanggulangan HIV dan AIDS mengatur pemangku kepen-tingan yang bertanggung jawab dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, sumber daya yang digunakannya, serta sanksi jika tidak dilaksanakannya ketetapan sebagai mekanisme kontrol terhadap berjalannya aturan. Ditemukan bahwa semua daerah memiliki regulasi penanggulangan HIV dan AIDS dalam bentuk Perda, Surat Keputusan (SK) Bupati, Renstra dan kebijakan teknis dari dinas. Kebijakan ini menga tur upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang mencakup PP, PDP, dan MD; mengatur pemangku kepentingan yang bertanggungjawab untuk melaksanakannya serta sumber daya yang diperlukan. Perda tentang penanggulangan HIV dan AIDS terda pat di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kota Surabaya, Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kota Jayapura, Kabupaten Merauke, dan Kabupaten Manokwari. Sementara ada pula kota dan kabupaten yang mengacu pada perda provinsi, seperti di Kota Makassar dan Kabupaten Parepare. Selain perda, regulasi yang dijadikan acuan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah ialah Renstra Penanggulangan HIV

dan AIDS di Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Denpasar, Badung, Manokwari, dan Jayapura.

Penerapan regulasi yang ada belum dilaksanakan dengan baik, sebagaimana terungkap dalam salah satu kutipan dari Makasar berikut.

“Kalau berbicara soal regulasi terkait HIV, ada cukup banyak sebenarnya. Mulai dari SRAN, Permen (Peraturan Menteri) dari berbagai kementerian sampai perda. Masalahnya, apakah regulasi itu dibaca dan diketahui oleh mereka (SKPD-SKPD)? Pengalaman saya selaku sekretaris KPA Provinsi, regulasi-regulasi ini sering kali tidak banyak diketahui. Akibatnya, tidak mudah mendapatkan pendanaan dari pemda. Adalah tidak mudah bekerja secara terpadu dengan semua lintas-sektor. Kan lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan HIV ini banyak. HIV kan seharusnya bukan hanya urusan SKPD kesehatan seperti Dinkes.” (DKT, KPAP Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014)

Banyak faktor yang menyebabkannya, antara lain kurangnya sosialisasi regulasi yang sudah ada, lebih berpengaruhnya komitmen dan kemauan politik kepala daerah (walikota, bupati, maupun gubernur) daripada regulasi yang ada, serta rendahnya komitmen pemda untuk memprioritaskan masalah HIV dan AIDS di daerah. Selain itu, dalam perda tidak secara tegas disebutkan siapa yang akan menjadi penanggung jawab utama penanggulangan HIV dan AIDS, baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota. Ini berdampak pada tumpang-tindihnya kegiatan dan program di level pelaksana khususnya di SKPD terkait (Tim Peneliti Udayana, 2014).

Selain itu, keberadaan regulasi penanggulangan HIV dan AIDS di daerah belum diikuti dengan petunjuk pelaksanaannya sehingga belum bisa diimplementasikan sepenuhnya. Misalnya di Denpasar dan Badung telah ada regulasi untuk pencegahan di kalangan penasun, tetapi ketiadaan petunjuk teknis membuat terjadinya ketidak-jelasan dalam penganggaran logistik LASS.

...[k]arena tidak tersedianya petunjuk teknis implementasi, responden juga menyebutkan bahwa posisi penanggulangan HIV dalam perda masih belum dirumuskan dengan eksplisit. Secara lebih spesifik, dalam Perda HIV komponen terkait dengan pengadaan logistik dan material untuk program NSP masih belum diatur secara jelas. Akibatnya adalah sampai saat ini program NSP tidak mendapat penganggaran dana dari APBD (Tim Peneliti Unud, 2014).

Terlepas dari tantangan-tantangan di level implementasi ini, upaya penang-gulangan HIV dan AIDS telah sesuai dengan regulasi upaya penangpenang-gulangan penya kit menular lainnya. Artinya, telah ada aturan yang menjadi landasan upaya penang gulangan HIV dan AIDS, dan telah ada pengaturan dan peruntukkan sumber

dayanya mulai dari PP, PDP, dan MD. Ini menunjukkan bahwa secara formal regulasi untuk program HIV dan AIDS sudah mengacu pada regulasi yang berlaku di sektor kesehatan guna memobilisasi pemangku kepentingan dan sumber daya daerah dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

b. Formulasi Kebijakan

Proses pengembangan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS menggunakan mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di pemda dengan melibatkan pemang ku kepentingan atau tokoh kunci, termasuk Dinkes, KPAD, SKPD anggota KPA, LSM, perwakilan populasi kunci, penerima manfaat, serta MPI. Di Badung dan Denpasar proses pengembangan kebijakan mulai dari perencanaan hingga pertang-gungjawaban untuk skema APBD mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang berlaku di daerah, sedangkan pendanaan program yang bersumber dari donor asing tetap mengikuti mekanisme yang dikeluarkan oleh donor (Tim Peneliti Unud, 2015). Di Sulawesi Selatan, proses pengembangan kebijakan meli batkan banyak pihak, tetapi penyelesaian akhir perda lebih banyak melibatkan lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan permasalahan HIV dan AIDS seperti Dinkes, KPAD, serta individu-individu yang sudah terlibat lama dalam program penanggulangan HIV dan AIDS.

“Pada tahap-tahap awal penyusunan perda itu kita tentu mengundang banyak pihak untuk berdiskusi. Pertemuan-pertemuan besar membahas mengapa perda itu penting, apa-apa saja yang harus dimasukkan dalam Perda dan seterusnya, namun kan ada tenggat waktu kapan perda itu harus jadi sehingga kita harus membuat tim-tim inti. Anggota tim-tim inti ya orang-orang yang banyak tahu tentang teknis pencegahan dan penanggulangan HIV. Tentu teman-teman dari Dinkes, KPAD, Unhas dan juga kawan-kawan LSM. Mereka-mereka yang memang sudah lama di dunia HIV... Prosesnya seperti itu. Namun seperti sudah dikatakan tadi, kelemahan utamanya regulasi ini adalah di sosialisasinya. Yang cukup paham mengenai perda ini saya kira hanya diketahui kalangan-kalangan yang saya sebut tadi.” (DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014).

Mekanisme penyusunan kebijakan HIV dan AIDS mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan yang ada di daerah, seperti rapat koordinasi penyusunan kebijakan dan pro-gram serta pertemuan rutin KPA dan laporan rutin dinkes. Contohnya di Surabaya, pengambilan keputusan untuk kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS dilaku-kan dengan koordinasi antar-SKPD terkait melalui Bappeko guna menentudilaku-kan program apa yang akan dilaksanakan (Tim Peneliti Unair, 2014). Di Deli Serdang, perencanaan kegiatan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS dikembangkan berdasarkan laporan pertemuan rutin KPAD dan laporan rutin dinkes yang bersumber

dari laporan rutin layanan rumah sakit, puskesmas, dan LSM pendamping. Sampai saat ini kebijakan yang disusun masih berdasarkan pada bukti-bukti kecenderungan epidemiologis atau evaluasi atas kegiatan pada masa sebelumnya (Tim Peneliti USU, 2014).

Penyusunan kebijakan HIV dan AIDS menggunakan data epidemi daerah dari berbagai sumber data yang dikumpulkan melalui assessment, survei, STBP, dan Survei Cepat. Contohnya di Sidoarjo, hasil assessment menjadi dasar dalam penentuan lokasi untuk penambahan klinik VCT dan LASS (Tim Peneliti Unair, 2015). Di Denpasar dan Badung proses perencanaan dan pengembangan layanan termasuk untuk advokasi alokasi anggaran telah menggunakan data epidemi dari STBP, estimasi dari Kemenkes, data passive surveillance dan zero survey (Tim Peneliti Unud, 2015). Sementara di Medan dan Deli Serdang telah ada pemetaan populasi kunci dengan pendanaan APBD, yang hasilnya kemudian digunakan dalam penyusunan kebijakan.

Dalam menyusun formulasi dibutuhkan banyak data sebagai dasar. Data tersebut dapat diperoleh dengan segala metode terutama penelitian dan

assessment. Sampai saat ini, penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah pemetaan populasi kunci yang didanai hibah APBD 2014. Selain itu penelitian lainnya adalah STBP yang didanai Kemenkes RI (Tim Peneliti USU, 2014).

Gambaran di atas menunjukkan bahwa formulasi kebijakan HIV dan AIDS di lokasi penelitian telah mengadopsi proses formulasi kebijakan sistem kesehatan yang ada. Proses penyusunannya telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait kesehatan, menggunakan data epidemi yang tersedia, serta mengikuti mekanisme penyusunan kebijakan daerah.

c. Akuntabilitas dan Daya Tanggap

Secara normatif program HIV dan AIDS menerapkan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik, sehingga masyarakat mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan layanan HIV dan AIDS serta masyarakat dapat mengevaluasi kebijakan dan program. Di 11 lokasi penelitian, ada mekanisme yang memungkinkan publik dapat mengakses informasi program HIV dan AIDS, yakni melalui media promosi kesehatan, media elektronik radio, situs, media cetak, dan kegiatan penyuluhan kesehatan oleh dinkes, KPAD, LSM, dan penyedia layanan.

Guna mendukung akses publik terhadap informasi mengenai program HIV dan AIDS, masyarakat bisa mengetahui program HIV dan AIDS melalui media promosi kesehatan di layanan kesehatan, penyuluhan dan sosialisasi di masyarakat dalam kegiatan Community Health Nursing,

melalui media internet pemerintah kota (situs), media elektronik (radio) maupun melalui buletin dan surat kabar. Untuk populasi kunci, informasi mengenai pengembangan program dan layanan bisa diperoleh melalui LSM dan penjangkau lapangan. Sebagai Leading Sector, Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan KPA Kota Surabaya memiliki peran dalam akses publik terhadap informasi mengenai program HIV dan AIDS (Tim Peneliti Unair, 2014).

Agar masyarakat selalu mendapatkan informasi terbaru maka sosialisasi HIV dan AIDS selalu dilakukan melalui media RRI, selebaran, spanduk,

billboard dan sosialisasi pada hari-hari besar misalnya Hari AIDS Sedunia yang dilaksanakan oleh KPA dan Dinas Kesehatan melalui seksi promosi kesehatan bekerjasama dengan LSM dan lembaga donor (Tim Peneliti Uncen, 2014).

Dari sisi daya tanggap, pemda kurang melibatkan masyarakat dalam mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan rencana strategis program penanggulangan HIV dan AIDS. Penelitian ini tidak menemukan adanya mekanisme yang dibuat agar masyarakat bisa mengevaluasi implementasi kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah penelitian. Sistem monitoring dan evaluasi sudah ada, tetapi sifatnya internal. Pengawasan dan evaluasi dilakukan oleh pelaksana program saja seperti Dinkes dan KPAD. Hasil pengawasan dan evaluasi hanya untuk kebutuhan internal pelaksana program. Selain itu, tidak ditemukan forum-forum yang melibatkan masyarakat atau populasi kunci di daerah penelitian untuk melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program HIV dan AIDS.

2) Pembiayaan

Pembiayaan dalam penelitian ini dimaknai sebagai pengelolaan berbagai upaya penggalian, alokasi, dan belanja dana kesehatan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Komponen pembiayaan terdiri atas 1) Pengelolaan sumber-sumber pembiayaan dalam artian sejauh mana pemda mengoordinasikan, mengumpulkan, dan mengelola berbagai sumber pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS seperti APBN, APBD dan donor; 2) Penganggaran, proporsi, dan distribusi pengeluaran pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS, yaitu bagaimana pemda menganggarkan penanggulangan HIV dan AIDS dengan proporsi dan distribusi yang sesuai; 3) Mekanisme pembayaran layanan, yaitu bagaimana membiayai pelayanan kesehatan dalam kaitannya dengan pembiayaan kesehatan melalui sistem JKN. Pendanaan program penanggulangan HIV dan AIDS dalam penelitian ini difokuskan pada area program PP, PDP, dan MD.

a. Pengelolaan Sumber Pembiayaan

Program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah memiliki beragam sumber pendanaan, yakni dari MPI, pemerintah pusat, pemda, dan pihak lain yang tidak mengi kat sebagaimana diamanatkan dalam regulasi penanggulangan HIV dan AIDS. Di semua daerah penelitian, sumber utama pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS adalah MPI. Sementara untuk APBD, di beberapa daerah telah ada kecenderungan peningkatan seperti di Denpasar dan Badung (Tim Peneliti Unud, 2014). Tetapi, di daerah lain seperti di Sidoarjo, terjadi fluktuasi persentase penda naan yang bersumber dari APBD, demikian pula yang bersumber dari donor (Tim Peneliti Unair, 2014). Gambaran persentase pendanaan donor dan APBD di Kabupaten Sidoarjo dapat dilihat pada Diagram 5.

Diagram 5. Proporsi Dana Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Sidoarjo

Sumber: KPA Kabupaten Sidoarjo dalam Laporan Tim Peneliti Unair, 2014

Sejauh ini belum tampak berbagai sumber pendanaan tersebut dikelola dan dikoordinasikan dengan baik oleh KPAD atau Dinkes. Penelitan ini tidak menemukan adanya mekanisme pooling resources di mana pemda melakukan perkiraan kebutuhan pendanaan program HIV dan AIDS di daerah dan kemudian mengumpulkan berbagai sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bappeda/Bappeko belum berfungsi optimal dalam sinkronisasi dan koordinasi perencanaan dan penganggaran, dan hanya mengoordinasikan anggaran yang berasal dari APBD. Sedangkan dana dari pihak lain seperti MPI diberikan langsung ke pelaksana kegiatan seperti LSM atau fasilitas pelayanan. Masing-masing MPI mempunyai mekanisme perencanaan dan penganggaran sendiri termasuk peruntukannya.

…[d]ana program-program HIV dan AIDS di bidang pencegahan dan PDP yang rutin dilakukan oleh LSM, Dinas Kesehatan Kota, Puskesmas Madising dan Rumah Sakit Andi Makkasau sebagian besar atas dukungan Global Fund. Dana APBD Kota Parepare yang dialokasikan kepada Dinas Kesehatan Kota umumnya dipakai untuk membiayai pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh staf, menunjang pembelian reagen dan juga untuk pengadaan obat-obat untuk IMS (Tim Peneliti Unhas, 2014).

Hanya di Jayapura saja yang ditemukan adanya koordinasi berbagai sumber pendanaan, termasuk pendanaan dari MPI. Di Bappeko Jayapura terdapat bagian Kemitraan yang memainkan peran ini. Meskipun demikian, tidak semua pendanaan dikoordinasikan, seperti pendanaan dari donor yang jumlahnya tidak signifikan dan diberikan kepada penerima manfaat tanpa dikoordinasikan melalui Bappeko.

Pendanaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang berasal dari berbagai sumber dikelola berbeda dengan pendanaan upaya penanggulangan penyakit menular lainnya. Artinya, belum ada mekanisme untuk mengoordinir berbagai sumber penda-naan di daerah sehingga berimplikasi terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang berjalan sendiri-sendiri menurut kepentingan lembaga pendukung program.

b. Pengalokasian Pendanaan

Pendanaan penanggulangan HIV dan IDS sebagai penyakit yang kompleks dan ditangani oleh multisektor belum terakomodasi dalam skema penganggaran APBD. Anggaran untuk penanggulangan HIV dan AIDS terbatas pada dinkes saja, dan usulan anggaran oleh SKPD anggota KPAD sering kali tidak disetujui oleh Bappeda karena dianggap tidak sesuai tupoksinya. Salah satu informan di Parepare mengung-kapkan:

“Orang-orang di Bappeda dan DPRD itu memakai kacamata kuda tupoksi. Kalau menyebut spesifik HIV, SKPD-SKPD seperti Dinsos atau Dikbud sering ditolak. Makanya kita di KPA selalu meminta mereka untuk menyiasatinya dengan mengintegrasikannya dalam tupoksi mereka. Sayangnya, masih banyak SKPD seperti itu mogok, kita di KPA imbau mereka berkali-kali tapi banyak yang belum jalan-jalan juga. Kelihatannya masih banyak SKPD yang tidak mau repot dan tidak percaya diri menghadapi Bappeda dan DPRD.” (DKT, staf KPA Kota Parepare, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014)

Sementara di daerah lain seperti di Surabaya, Sidoarjo, dan Jayapura, usulan alokasi dana penanggulangan HIV dan AIDS sering tidak mendapat persetujuan DPRD jika tidak berkaitan langsung dengan kepentingan politik ekonomi DPRD.

….rencana awal anggaran penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Surabaya mencapai angka Rp10 miliar, namun dalam realisasinya dana yang disetujui oleh APBD tahun 2014 sebesar Rp3,9 miliar (Tim peneliti Unair, 2014).

Dalam Renstra Kota Jayapura tahun 2011–2015, kebutuhan biaya dari tahun ke tahun berkisar antara Rp7–9 miliar. Jika kita bandingkan dengan realisasi alokasi dana APBD tahun 2011 yang hanya Rp1,7 miliar, maka dapat dikatakan bahwa alokasi dana tersebut sangat sedikit dibanding dengan dana yang direncanakan (Tim Peneliti Uncen, 2014).

Untuk pendanaan yang sudah berhasil dianggarkan dalam APBD, terdapat alokasi untuk program PP, PDP, dan MD. Umumnya dinkes mendapatkan alokasi pen-da naan untuk pencegahan pen-dan pengobatan. Contohnya, pen-dana APBD Kota Parepare yang dialokasikan untuk Dinkes Kota umumnya dikombinasikan dengan penda-naan pencegahan dan penyediaan layanan dalam konteks pengobatan, termasuk membiayai pelatihan-pelatihan yang diikuti oleh staf, menunjang pembelian reagen dan untuk pengadaan obat-obatan IMS. Sementara itu, SKPD di luar dinkes umumnya mendapatkan alokasi pendanaan untuk program PP dan MD. Misalnya di Surabaya, anggaran dana untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Dinas Pendidikan masuk dalam anggaran Unit Kesehatan Siswa (UKS), sementara anggaran dana pencegahan di Dinas Kominfo digunakan untuk pembuatan brosur (Tim Peneliti Unair, 2014). Tim Peneliti Unud (2014) juga menyebutkan bahwa Dinsos, Disnaker, Disdikpora, Dinas Pemberdayaan Perempuan, dan Dinas Pariwisata memiliki anggaran untuk PP dan MD.

Namun, tidak semua SKPD di luar Dinkes mempunyai dana pencegahan HIV dan AIDS. Contohnya di Jayapura, walaupun di dalam Renstra tahun 2011–2015 telah ada rencana program dan alokasi anggaran bagi SKPD-SKPD, tetapi dalam pelaksanaannya sampai saat ini belum ada realisasi ketersediaan dana khusus untuk program HIV dan AIDS di SKPD selain Dinkes dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (Tim Peneliti Uncen, 2014).

Selain itu, ada kesan bahwa pengalokasian pendanaan tidak sesuai dengan kebutuhan, baik dari segi proporsi maupun peruntukan. Misalnya untuk KPA Kabupaten Badung, proporsi anggaran untuk kebutuhan operasional dinilai masih terlalu besar dibandingkan dengan alokasi dana program. Dana untuk mitigasi dampak yang disediakan oleh Kemensos dan Dinsos juga dinilai oleh komunitas dan LSM sebagai program yang salah sasaran. Lebih jauh lagi, secara umum responden juga mengeluhkan masih lambatnya mekanisme pengajuan dan realisasi anggaran yang bersumber dari APBD ataupun APBN (Laporan Tim Peneliti Unud, 2014).

Untuk peruntukkannya, dana yang berasal dari MPI dialokasikan sesuai dengan program yang direncanakan MPI. Kalaupun ada yang dialokasikan untuk Dinkes, KPA dan LSM, peruntukannya tetap tidak terlepas dari pelaksanaan program yang sudah ditentukan sesuai perencanaan MPI. Gambaran ini menunjukkan bahwa

alokasi pendanaan program HIV dan AIDS masih sporadis dan belum terkoordinasi dengan baik. Implikasinya, terjadi ketimpangan intervensi program karena proporsi anggaran yang tidak sesuai, sehingga akses layanan HIV dan AIDS tertentu menjadi terbatas.

c. Mekanisme Pembayaran Layanan

Pada aspek pembayaran pelayanan kesehatan, ODHA dan populasi kunci dapat mengakses JKN dengan ketentuan yang sama dengan masyarakat umum. Mereka dapat mengakses pembiayaan layanan melalui beberapa mekanisme, seperti sebagai anggota BPJS, sebagai warga tidak mampu dengan bukti Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), atau mengurus kartu terlantar dari Dinsos. Tim Peneliti Unipa (2014) melaporkan bahwa di Manokwari tersedia Jamkesmas dan Jampersal untuk semua orang termasuk ODHA dan populasi kunci. Di daerah ini, total dana layanan kesehatan dasar yang diterima (terdiri dari Jamkesmas dan Jampersal) pada tahun 2012 mencaai Rp2.904.895.000 dan telah membiayai 245.640 pasien.

Perawatan infeksi oportunistik terkait dengan HIV dan AIDS telah ditanggung oleh JKN. Tetapi, ada beberapa layanan yang dibutuhkan oleh populasi kunci atau ODHA yang tidak masuk dalam skema layanan JKN. Contohnya, pengobatan ARV tidak ditanggung oleh JKN karena masih ditanggung oleh program. Demikian pula dengan serangkaian tes yang perlu dilalui sebelum inisiasi ARV (pra-ARV), dan perawatan bagi pengguna narkoba yang mengalami kecanduan. Bagi yang tidak memiliki kepesertaan asuransi tersebut, mereka harus membayar sendiri biaya-biaya layanan. Mekanisme ini menunjukkan bahwa pembayaran layanan HIV dan AIDS masih berbeda dengan mekanisme pembayaran layanan kesehatan umum.

Walaupun adanya JKN sering kali disebut-sebut sebagai hal yang positif bagi ODHA, namun sampai saat ini hanya komponen IO yang sudah masuk dalam skema pembiayaan JKN. Dalam JKN sayangnya skema untuk pengobatan HIV belum dimasukkan karena adanya argumen bahwa sampai saat ini obat ARV masih ditanggung pemerintah melalui bantuan lembaga asing. Selanjutnya dalam JKN, biaya untuk pemeriksaan pra-ARV juga belum dimasukkan sehingga biaya tersebut harus dibayar sendiri oleh klien atau ditanggung oleh LSM yang mendapat bantuan dari donor asing (Tim Peneliti Unud, 2014).

Kondisi di atas mengakibatkan pemanfaat program sulit mengakses layanan terkait HIV dan AIDS melalui mekanisme JKN. Keadaan ini diperparah dengan persya ratan administratif seperti identitas untuk dapat mengakses layanan kesehatan, di mana ditentukan bahwa seseorang yang ingin mengakses JKN harus berdomisili sesuai KTP. Ini membuat populasi kunci yang memiliki mobilitas tinggi sulit untuk dapat mengakses layanan kesehatan dengan menggunakan JKN.

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 77-86)