• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara integrasi dan Efektivitas Program Penanggulangan HiV dan AiDs

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 120-130)

PoLA iNTEGRAsi

masyarakat 14. Partisipasi Masyarakat + + +

G. Hubungan antara integrasi dan Efektivitas Program Penanggulangan HiV dan AiDs

Pada bagian sebelumnya telah dibahas bagaimana interaksi antara karakteristik permasalahan HIV dan AIDS, aktor-aktor di dalamnya, konteks, serta pelaksanaan fungsi-fungsi sistem kesehatan sendiri menentukan tingkat integrasi penyediaan layanan kesehatan, baik dalam aspek pencegahan, perawatan dan pengobatan, dan mitigasi dampak. Integrasi sendiri bukan merupakan tujuan, melainkan sebuah cara untuk mencapai efektivitas penyediaan layanan kesehatan. Oleh sebab itu, untuk menilai apakah integrasi tersebut efektif atau tidak, diperlukan pengukuran kinerja pelayanan kesehatan.

Untuk menjelaskan bagaimana tingkat integrasi berpengaruh pada efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS, dilakukan analisis dengan cara sebagai berikut:

1. Menggunakan tabel analisis tingkat integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan di mana subsistem penyediaan layanan terinte-grasi penuh untuk pencegahan dan PDP.

2. Dengan menggunakan kerangka konseptual dan hasil analisis integrasi, maka

proxy untuk mengukur efektivitas menggunakan konteks, peran para pemangku kepentingan, dan tingkat integrasi.

3. Kinerja penyediaan layanan yang diukur efektivitasnya ialah output berupa cakupan dan outcome berupa perubahan perilaku berisiko.

4. Data cakupan menggunakan laporan Kemenkes Triwulan III tahun 2014; dan untuk perubahan perilaku populasi kunci di lokasi penelitian digunakan data STBP 2011.

5. Untuk melihat bagaimana integrasi bisa memprediksi efektivitas maka dilakukan analisis kinerja program di daerah yang subsistemnya banyak terintegrasi.

Efektifitas kinerja pelayanan kesehatan yang diukur di sini ada dua. Pertama, dari segi cakupan, yakni apakah layanan-layanan yang tersedia dimanfaatkan oleh kelompok sasaran guna memenuhi kebutuhan penerima manfaat. Persentase cakupan pencegahan tersebut dibandingkan dengan target nasional yang mencapai 80% untuk menilai apakah kegiatan yang dilakukan telah memenuhi target yang diharapkan atau belum. Kedua, dari segi perubahan perilaku, yakni apakah layanan-layanan yang ada mampu membuat populasi kunci memiliki perilaku yang tidak membuat dirinya rentan terhadap penularan HIV dan AIDS, seperti memakai kondom secara konsisten setiap kali berhubungan seks. Selain itu, aspek PDP yang diukur ialah seberapa jauh layanan kesehatan yang ada mampu untuk meningkatkan jumlah ODHA on treatment untuk pengobatan ARV.

Data STBP 2011 digunakan dengan pertimbangan bahwa ia menggambarkan kondisi per kota/kabupaten paling lengkap, walaupun tidak semua kota/kabupaten daerah penelitian tercakup di dalamnya. Data yang tersedia paling lengkap yakni pada populasi WPSL dan WPSTL, sementara di beberapa daerah data untuk LSL dan LBT tidak tersedia. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan data WPS sebagai populasi kunci, dengan mengambil rerata cakupan antara WPSL dan WPSTL. Selain itu, terdapat beberapa indikator cakupan yang berbeda-beda di STBP untuk pengukuran cakupan7 sehingga untuk mengakomodir proses analisis, indikator-indikator ini dibuat reratanya dan disebut sebagai cakupan keterpaparan program. Berdasarkan data STBP 2011 didapat 48,5%, Jawa Timur 43,1%, Sumatera Utara 33,9%, dan Sulawesi Selatan 18,5%. Data ini menunjukkan bahwa cakupan penjangkauan WPS belum memenuhi target nasional, di mana hanya Bali yang mendekati target, yakni 72,9% dari 80% target nasional.

Berdasarkan penilaian tingkat integrasi per dimensi ditemukan bahwa Deli Serdang, Medan, Surabaya, dan Denpasar memiliki 5 dimensi terintegrasi penuh dari 18 dimensi subsistem kesehatan, sedangkan Jayapura memiliki 7 dimensi terintegrasi penuh untuk program pencegahan. Untuk cakupan keterpaparan program, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Jayapura yang tingkat integrasinya 7, hasil cakupannya lebih tinggi daripada daerah lain yang integrasinya hanya 5. Namun, pada daerah-daerah yang tingkat integrasinya 5 sendiri variasi hasil cakupannya cukup besar, yaitu antara 28% sampai 67,1%. Dengan demikian, walaupun ada

7 Indikator ini meliputi data presensi pertemuan/diskusi, mengunjungi klinik untuk check up IMS selama sebulan terakhir, frekuensi dikontak PL, dll. Dari indikator yang berbeda-beda ini akan dipilih satu dengan capaian tertinggi yang akan digunakan sebagai indikator keterpaparan program yang dibandingkan dengan penjangkauan pada setiap populasi kunci.

kecenderungan peningkatan efektivitas sesuai jumlah tingkat integrasi, hubungan tersebut masih belum kuat.

Sedangkan untuk perubahan perilaku, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada pola yang linear antara peningkatan efektivitas dengan peningkatan jumlah dimensi yang terintegrasi. Di Medan, pada tingkat integrasi 5, perubahan perilakunya 51,5%, lebih tinggi daripada Jayapura yang peru bahan perilakunya 48,8% padahal ada 7 dimensi yang terintegrasi. Diagram 6 mengga-bungkan perbandingan antara tingkat integrasi dengan cakupan program pencegahan (keterpaparan program pada WPS) dan tingkat perubahan perillaku.

Diagram 6. Hubungan Integrasi dengan Efektivitas: Cakupan Keterpaparan Program dan Perubahan Perilaku dibandingkan Tingkat Integrasi

Untuk mengukur pengaruh integrasi terhadap layanan PDP, penelitian ini melihat sejauh mana tingkat integrasi memengaruhi efektivitas PDP khususnya terkait dengan jumlah ODHA yang on treatment pengobatan ART. Data Kemenkes (2014) tidak merinci jumlah ODHA on treatment berdasarkan kota/kabupaten, sehingga data yang dipakai ialah data cakupan provinsi. Diagram 7 menunjukkan hasil analisis jumlah ODHA on treatment dibandingkan dengan tingkat integrasi.

Dari diagram 7 terlihat bahwa persentase ODHA on treatment ART tidak berkorelasi dengan hasil pengukuran tingkat integrasi. Variasi tingkat integrasi dengan jumlah on treatment ini sangat besar dan tidak menunjukkan adanya pola

yang mengindikasikan bahwa tingkat integrasi di sebagian besar daerah penelitian berkorelasi dan berkontribusi pada tingkat efektivitas program.

Diagram 7. Hubungan Integrasi dan Jumlah ODHA On Treatment (ARV)

Tidak konsistennya tingkat integrasi dengan perubahan cakupan serta perubahan perilaku dengan jumlah ODHA on treatment turut dipengaruhi oleh kinerja dari sistem kesehatan di tingkat daerah. Rendahnya tingkat integrasi terjadi karena berbagai faktor yang telah dijelaskan bagian sebelumnya, diantaranya belum adanya dukungan kebijakan operasional dan rendahnya peran pemangku kepentingan kunci untuk mendorong pemda memprioritaskan upaya pananggulangan HIV dan AIDS. Dalam kondisi begini, sulit bagi upaya program penanggulangan HIV dan AIDS untuk mencapai target capaian yang ditentukan. Misalnya, ketiadaan dukungan operasional untuk memenuhi kebutuhan SDM HIV dan AIDS non-kesehatan seperti tenaga penjangkau menjadi salah salah satu tantangan dalam meningkatkan cakupan penjangkauan untuk populasi kunci. Demikan juga halnya dengan tidak adanya kebijakan operasional pembiayaan, maka sulit untuk meningkatkan kinerja program HIV dan AIDS di daerah.

Di sisi lain, integrasi diasumsikan bisa berkontribusi terhadap efektivitas program apabila program tersebut diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan yang juga efektif. Namun, ada indikasi bahwa sistem kesehatan sendiri belum mendukung terinte grasinya upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Akibatnya, integrasi yang terjadi pada sistem kesehatan yang ada saat ini belum mencukupi untuk menjelaskan secara memadai bagaimana kontribusinya dan mekanis menya dalam memperkuat efektifitas program HIV dan AIDS.

A. kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan permasalahan kebijakan tentang keterkaitan antara upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan sistem kesehatan di Indonesia dengan melihat: (1) Sejauh mana kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia terintegrasi ke dalam sistem kesehatan yang berlaku; (2) Dalam komposisi dan bentuk seperti apa pendekatan vertikal bisa diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan agar mampu meningkatkan efektivitas dan keberlanjutannya dengan memperhatikan fungsi-fungsi sistem kesehatan, karakteristik para aktor yang terlibat dalam sistem kesehatan dan penanggulangan HIV dan AIDS, serta konteks eksternal di mana interaksi tersebut terjadi baik dari aspek politik, ekonomi, dan sosial budaya. Melalui serangkaian penelitian yang sudah dilakukan oleh Tim Peneliti Universitas, kesimpulan yang bisa ditarik mengacu pada permasalahan dan pertanyan-pertanyaan yang dikembangkan ialah sebagai berikut:

1. Pengembangan kebijakan dan program HIV dan AIDS di daerah dipengaruhi oleh konteks politik daerah, dukungan eksternal, dan situasi epidemi. Konteks politik daerah memengaruhi apakah isu HIV dan AIDS akan diprioritaskan atau tidak karena ia bukanlah isu populis. Semua daerah telah mengembangkan kebijakan dan melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, tetapi implementasinya belum optimal. Regulasi masih belum memiliki akuntabilitas dan daya tanggap, terbukti dengan belum adanya kebijakan operasional untuk pelaksanaan regulasi yang ada sehingga pembiayaan dan penyediaan SDM HIV dan AIDS oleh pemda masih minim.

kEsimPuLAN

Penyusunan kebijakan dan inisiasi program HIV dan AIDS dilakukan oleh pemerintah pusat dengan dukungan MPI sehingga programnya bersifat vertikal. Situasi epidemi di daerah yang menjadi pusat perekonomian dengan ketersediaan infrastruktur layanan kesehatan yang baik menarik perhatian MPI untuk menyelenggarakan program HIV dan AIDS di sana. Namun, pemda belum memanfatkan peluang inisiasi MPI ini untuk mengintegrasikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan.

2. Pemangku kepentingan dengan kekuasaan dan kepentingan tinggi (Dinkes, MPI, dan Kepala Daerah) memengaruhi kepedulian terhadap permasalahan HIV dan AIDS di tingkat daerah. Kepala Daerah yang juga menjabat sebagai ketua KPAD menjadi penentu apakah upaya penanggulangan HIV dan AIDS menjadi prioritas daerah atau tidak. Peran Kepala Daerah di daerah penelitian antara lain membuat regulasi tentang HIV dan AIDS sebagai landasan hukum program penanggulangan. Namun, pelaksanaan kebijakan HIV dan AIDS di daerah belum menjadi perhatian kepala daerah karena dukungan pelaksanaannya belum optimal, seperti penyediaan pendanaan dan SDM HIV dan AIDS. Dinkes sebagai penanggung jawab sektor kesehatan mempunyai otoritas penuh untuk melakukan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Otoritas ini akan optimal jika mendapat dukungan dari Kepala Daerah yang konsisten mengimplementasikan regulasi terkait HIV dan AIDS. Tetapi, saat ini sumber daya dan sumber dana HIV dan AIDS di Dinkes masih bergantung pada MPI. Akibatnya, peran MPI dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS masih dominan. Dominasi MPI dan pemerintah pusat mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan menyebabkan program penanggulangan HIV dan AIDS tidak terintegrasi ke dalam sistem kesehatan daerah.

3. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS cenderung belum terintegrasi karena bersifat sentralistik sehingga menyebabkan peran daerah menjadi minimal. a. Meski ada berbagai jenis regulasi di tingkat daerah tetapi implementasinya

belum berjalan dengan optimal. Regulasi sebagai salah satu dimensi dalam subsistem kesehatan akan menjadi landasan formal untuk mendorong integrasi jika dilaksanakan dengan konsisten. Namun, implementasi regulasi HIV dan AIDS di daerah belum konsisten, seperti tampak dari kecilnya sumber dana dan sumber daya yang disediakan pemerintah untuk program HIV dan AIDS. Selain itu, pelaksanaan regulasi tergantung pada kemauan kepala daerah terhadap upaya penanggulangan AIDS.

b. Pembiayaan sebagian besar masih bergantung pada pusat dengan kewenangan pengelolaan yang minimal dari daerah. Program HIV dan AIDS yang bersifat vertikal dengan dukungan dana pemerintah pusat dan MPI direspons oleh pemda dengan persepsi bahwa urusan HIV dan AIDS adalah urusan pusat dan MPI. Karena sudah ada dana pusat maka pemda tidak mengalokasikan lagi. Ini berkaitan dengan keterbatasan pemberian wewenang administratif pengelolaan sumber dana dan sumber daya yang berasal dari pemerintah pusat ke pemda. Artinya, wewenang perencanaan, pengelolaan, dan alokasi pendanaan dan penentuan target program masih dipegang pemerintah pusat dan MPI.

c. Dualisme pengelolaan SDM antara tenaga HIV dan AIDS dan tenaga sektor kesehatan masih dominan pada intervensi PDP dan terlebih pada pence-gahan. Belum ada kebijakan untuk menjamin ketersediaan SDM HIV dan AIDS non-medis di penyedia layanan yang dapat digunakan untuk mengatur mekanisme perekrutan, standar kompetensi, dan pembiayaannya. Akibatnya, pemenuhan SDM HIV dan AIDS non-medis berjalan sendiri dan tidak terintegrasi dengan mekanisme pengadaan SDM kesehatan.

d. Sistem informasi strategis HIV dan AIDS belum menjadi bagian sistem penga wasan dan evaluasi program kesehatan daerah sehingga belum optimal dimanfaatkan untuk perencanaan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. Sistem informasi strategis HIV dan AIDS dikembangkan oleh banyak pihak sesuai kebutuhan programnya. Dinkes belum memainkan perannya sebagai otoritas tertinggi sektor kesehatan di daerah untuk menyinkronisasikan semua informasi HIV dan AIDS ke dalam satu sistem strategis kesehatan daerah. Pengawasan dan evaluasi program HIV dan AIDS dilakukan oleh pemberi dana program dan hasilnya tidak dikoordinasikan ke Dinkes sehingga pemanfaatan hasilnya hanya digunakan oleh pemilik program.

e. Kebijakan dan pola pengelolaan logistik farmasi dan alkes PDP telah sesuai dengan kebijakan sistem kesehatan, tetapi kebijakan untuk pencegahan berjalan paralel. Pengaturan pengelolaan logistik farmasi dan alkes PDP yang mengikuti sistem penyediaan logistik farmasi dan alkes kesehatan umum menjamin kepastian hukum pemerintah pusat dan pemda untuk mengalo-kasikan pembiayaannya agar dapat memenuhi kebutuhan daerah. Banyaknya pihak dan ketidakjelasan regulasi untuk logistik farmasi dan alkes untuk pencegahan menjadi penghambat adopsi pemerintah dalam penyediaan dan distribusinya.

f. Partisipasi masyarakat sebagai manifestasi akuntabilitas program masih tera-baikan. Pelibatan masyarakat hanya pada level implementasi, belum pada perencanaan, sehingga daya tanggap program belum cukup kuat. Keterlibatan ODHA dan populasi kunci dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS sebatas sebagai pelaksana program yang dirancang dan didanai pemerintah pusat atau MPI. Partisipasi lain ialah dalam bentuk perwakilan ODHA dan populasi kunci di KPAD. Namun, belum ada mekanisme yang jelas bagaimana mereka dapat mengakses sumber pembiayaan dari APBD untuk menjalankan program yang mereka rencanakan sesuai kebutuhan mereka sendiri.

4. Perguruan Tinggi sebagai pusat pengembangan pengetahuan dan sumber daya belum berperan secara optimal. Berbagai hasil penelitian perguruan tinggi terkait dengan HIV dan AIDS didokumentasikan dalam bentuk karya ilmiah seperti tesis, disertasi, laporan penelitian, dan makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah. Tantangan terbesar bagi perguruan tinggi ialah bagaimana karya-karya akademik tersebut terakses dan bisa dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan kunci dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS. Perguruan tinggi juga bertugas dan bertanggung jawab untuk menyediakan SDM HIV dan AIDS yang berkualitas dan memenuhi standar yang berlaku.

5. Tingkat integrasi di daerah dipengaruhi oleh kekuatan sistem kesehatan di tingkat daerah itu sendiri, karakteristik intervensi penanggulangan HIV dan AIDS, konteks politik dan hukum, serta keberadaan MPI.

6. Efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah penelitian yang dilihat dari beberapa indikator kunci (cakupan, perubahan perilaku dan kepatuhan dalam ART –on treatment) belum bisa dijelaskan secara memadai oleh tingkat integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan. Masih rendahnya keterlibatan daerah, dominasi MPI dan pemerintah pusat dalam penanggulangan AIDS, segregasi yang tampak dalam pengelolaan SDM dan dinamika pendanaan program tampaknya menjadi kemungkinan alasan yang perlu diperdalam lebih lanjut dengan data yang lebih memadai.

B. Rekomendasi

Integrasi sebagai sebuah tujuan yang ideal untuk menjamin efektivitas dan keber-lanjutan program HIV dan AIDS bisa diwujudkan jika secara bersamaan juga ada upaya untuk memperkuat sistem kesehatan itu sendiri dengan:

1. Adanya sinergi pemangku kepentingan strategis (Bappeda, Kepala Daerah, DPRD, dan SKPD) terhadap isu-isu HIV dan AIDS untuk memprioritaskannya sebgai isu kesehatan daerah. Para pemangku kepentingan strategis penanggulangan HIV dan AIDS yang memiliki kewenangan untuk menyusun dan menetapkan kebijakan seperti Bappeda, Kepala Daerah, DPRD, dan SKPD perlu disinergikan untuk mendorong pelaksanaan regulasi yang ada sehingga upaya penanggulangan HIV dan AIDS dijadikan prioritas sektor kesehatan di daerah.

2. Penguatan fungsi regulasi melalui pengembangan kebijakan operasional di tingkat daerah terkait dengan peraturan daerah atau peraturan di tingkat pusat. Regulasi yang ada seperti perda perlu dibuatkan kebijakan operasionalnya agar dapat diimplementasikan, seperti kebijakan operasional penganggaran HIV dan AIDS di kabupaten/kota di masing-masing SKPD anggota KPAD. Penguatan regulasi perlu disertai juga dengan pembentukan mekanisme pengawasan dan evaluasi kebijakan dan program yang terintegrasi dengan mekanisme pengawasan dan evaluasi sektor kesehatan secara umum.

3. Adanya kewenangan yang lebih besar dari daerah untuk mengelola data pro-gram dan data epidemiologis sebagai dasar pengembangan kewenangan adminis-tratif (perencanaan dan penganggaran) untuk memperkuat penyediaan layanan pencegahan, PDP, dan MD di daerah. Surveilans penyakit di daerah yang sudah menjadi wewenang pemda perlu diaktifkan, dan surveilans penyakit perlu memasukan komponen HIV dan AIDS. Sinkronisasi perencanaan antara peme rintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) perlu dilakukan sehingga masing-masing pihak mempunyai hak yang sama atas kepemilikan dan penggunaan data dalam perencanaan kesehatan daerah.

4. Adanya kesediaan pusat (pemerintah dan MPI) untuk menyerahkan sebagian besar kewenangan administratif (termasuk penyerahan sumber daya) dalam penanggulangan HIV dan AIDS kepada daerah sesuai dengan kapasitas daerah. Penyerahan kewenangan dimulai dari perencanaan program dan pembiayaan sehingga ada kepemilikan bersama antara pemerintah pusat dan pemda. Dasar perencanaan ini menjadi kebutuhan daerah berdasarkan bukti epidemi daerah. 5. Adanya komitmen pemda untuk mengambil peran yang lebih besar dalam

pencegahan melalui pendanaan komunitas yang selama ini didanai oleh MPI. Komitmen pemerintah untuk mengambil peran lebih besar dalam program pencegahan ini misalnya dimulai dengan membuat kebijakan operasional dari perda yang menyebutkan adanya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

6. Adanya replikasi dari keberhasilan-keberhasilan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat lokal (kabupaten/kota atau desa) di tingkat provinsi dan nasional. Perlu adanya identifikasi keberhasilan dalam integrasi penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem yang berlaku di berbagai daerah untuk kemudian bisa dikembangkan di daerah lain. Contoh keberhasilan yang bisa dilihat dari hasil penelitian ini ialah berkembangnya mekanisme pembiayaan SDM HIV dan AIDS dari alokasi dana daerah seperti di Jayapura dan Merauke. Demikian pula keberhasilan inovasi dan inisiasi pemda dalam menyelenggarakan program penanggulangan HIV dan AIDS di Bali sampai pada level desa, dengan menggunakan alokasi dana desa.

7. Pelibatan yang lebih besar dari perguruan tinggi di daerah untuk menyediakan fakta-fakta atau bukti (evidences) sebagai informasi untuk pengembangan kebi-jakan daerah. Sejalan dengan Tridarma Perguruan Tinggi—pendidikan, pene-litian, dan pengabdian—penyediaan evidences oleh perguruan tinggi sebagai informasi untuk pengembangan kebijakan sudah harus dimulai di daerah. Dalam hal ini peran KPAD sebagai koordinator multisektor perlu berkoordinasi dengan perguruan tinggi setempat mulai dari perencanaan program hingga pengawasan dan evaluasi. Dari pihak perguruan tinggi perlu ada langkah nyata untuk menyam paikan berbagai hasil penelitiannya kepada pemangku kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah, yang secara teknis bisa dijadikan agenda bersama.

Atun, R. dan J. Bataringaya. 2011. “Building a durable response to HIV dan AIDS: Implications for health system.” Acquired Immuno Deficiency Syndrome, 57:S91-S95.

Atun, R., T. de Jongh, F. Secci, K. Ohiri, O. Adeyi. 2010a. “Integration of targeted health interventions into health systems: A conceptual framework for analysis.” Health Policy and Planning, 25:104-111.

Atun, R., J.V. Lazarus, W. Van Damme, R. Coker. 2010b. “Interactions between critical health system functions and HIV/AIDS, tuberculosis and malaria programmes.” Health Policy and Planning, 25:i1-i3.

Atun, R., S. Pothapregada, J.S.K. Kwansah, D.L. Degbotse, V. Jeffrey. 2011. “Critical Interactions Between the Global Fund-Supported HIV Programs and the Health System in Ghana.” Journal of acquired immune deficiency syndromes, Volume 57 Suppl 2: S72-S76.

AIPHSS. 2014. “Indonesia Health System Review.”

Brinkerhoff, D.W. dan B.L. Crosby. 2002. Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision-Makers in Developing and Transitioning Countries. Bloomfield, CT. Kumarian Press.

Butt, L.J. Morin, G. Numbery, I. Peyon, A. Goo. 2010. “Stigma dan HIV/AIDS di Wilayah Pegunungan Papua.” Jayapura: Universitas Cendrawasih dan University of Victoria.

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 120-130)