• Tidak ada hasil yang ditemukan

interaksi Antar-Pemangku kepentingan

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 73-76)

ANALisis PEmANGku kEPENTiNGAN kuNCi DALAm

B. Peran dan interaksi Pemangku kepentingan dalam Penanggulangan HiV dan AiDs di Daerah

2. interaksi Antar-Pemangku kepentingan

Para pemangku kepentingan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah berinter-aksi dalam berbagai forum, baik secara formal ataupun informal. Interberinter-aksi inilah yang memungkinkan mereka untuk saling memengaruhi satu sama lain berdasarkan kepentingan dan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam penelitian ini, teridentifikasi empat mekanisme di mana para pemangku kepentingan saling berinteraksi, yaitu sebagai berikut:

1. Mekanisme koordinasi untuk perencanaan yang difasilitasi Bappeda/Bappeko melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang melibatkan SKPD. Dalam forum ini, peran Bappeda/Bappeko ialah menyinkronkan peren-canaan dan penganggaran program pembangunan di SKPD termasuk Dinkes. Ditemukan bahwa dengan kekuasaannya yang tinggi, Bappeda sering kali dapat menolak usulan pembiayaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di SKPD karena berbagai alasan, antara lain pandangan bahwa penanggulangan HIV dan AIDS bukan merupakan tupoksi SKPD di luar Dinkes. SKPD-SKPD sendiri karena kepentingannya yang rendah tidak melakukan upaya advokasi secara serius terhadap Bappeda untuk mendapatkan anggaran yang layak dalam merespons HIV dan AIDS. Akibatnya, para pemangku kepentingan yang berkepentingan tinggi seperti KPAD, RSUD, LSM, dan populasi kunci harus melalukan advokasi kepada Bappeda untuk lebih memiliki kepentingan yang tinggi.

2. Mekanisme koordinasi yang difasilitasi oleh KPAD melalui pertemuan-pertemuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program. Semua pemangku kepen-tingan yang terlibat dalam kegiatan ini berkepenkepen-tingan tinggi, seperti Dinkes, LSM, ODHA, dan populasi kunci. Seharusnya sesuai mandatnya untuk mengoor dinasikan peran multisektor, KPAD dapat menggunakan forum-forum perte muan nya untuk mengoordinasikan SKPD anggotanya agar dapat membuat rencana strategis program penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dengan melibatkan para pemangku kepentingan lain seperti LSM, ODHA, dan populasi kunci. Namun, pada pelaksanaannya KPAD lebih banyak menggunakan forum koordinasi untuk membahas pelaksanaan program dan pencapaian target dari

pusat yang melibatkan para pemangku kepentingan yang berkepentingan tinggi. Mekanisme koordinasi di KPAD ini belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan kepentingan SKPD anggotanya dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah.

3. Mekanisme koordinasi yang diinisiasi oleh MPI melalui pertemuan koordinatif dan teknis, seperti saat memulai program yang didanai MPI, pertemuan pertengah-an pelakspertengah-anpertengah-anpertengah-an program (mid-term meeting), dan pertemuan akhir program. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pertemuan-pertemuan ini akan sesuai dengan kebutuhan program yang didanai MPI, seperti KPAD, Dinkes, LSM, dan populasi kunci. Umumnya para aktor yang berkepentingan tinggi ini dilibatkan sebagai pelaksana program MPI. MPI juga berinteraksi dengan pemangku kepen-tingan yang memiliki kekuasaan tinggi seperti Walikota/Bupati, DPRD, dan Bappeda/Bappeko melalui lobi-lobi dan audiensi khusus. Dengan sumber daya yang dimiliki, peran MPI menjadi relatif dominan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS mulai dari inisiatif program sampai dukungan pembiayaan untuk implementasinya. Karena para pemangku kepentingan yang berkekuasaan tinggi tidak memiliki kepentingan yang tinggi, inisiatif MPI dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tidak diadopsi oleh pemda. Sebaliknya, keterlibatan MPI malah membuat pemda seolah tak merasa perlu lagi untuk menunjukkan komitmen yang lebih tinggi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. 4. Mekanisme interaksi antar-pemangku kepentingan lainnya. Pemangku

kepen-ting an yang sama-sama berkepenkepen-tingan kepen-tinggi biasanya saling terlibat dalam pelak sanaan program bersama. Contohnya, LSM yang memiliki kemampuan penjang kauan berinteraksi dengan RSUD dan Puskesmas dalam bentuk rujukan layanan. Sementara bentuk interaksi antara aktor-aktor yang berkepentingan tinggi dengan aktor-aktor yang berkekuasaan tinggi bisa dibedakan menjadi dua.

Pertama, ada interaksi dalam konteks relasi antara penerima dan pemberi manfaat dalam bentuk program, dana atau bantuan teknis lainnya, seperti interaksi antara LSM, populasi kunci, KPAD, dan Dinke dengan MPI ataupun relasi memberi-menerima antara LSM dan RSUD/Puskesmas dengan populasi kunci. Kedua, ada interaksi dalam bentuk advokasi terhadap mereka yang berkekuasaan tinggi agar lebih menunjukkan komitmen terhadap penanggulangan HIV dan AIDS. Bentuk interaksi ini bisa terlihat antara mereka yang berkepentingan tinggi seperti LSM dengan mereka yang berkekuasaan tinggi seperti Bappeda, Bupati/Walikota, dan DPRD.

Peran Perguruan Tinggi dalam Penanggulangan HiV dan AiDs di Daerah

Perguruan tinggi merupakan institusi yang memiliki peran dalam memproduksi pengetahuan dan mengembangkan sumber daya kesehatan. Sebagai lembaga yang memiliki kekuatan untuk menemukan dan menggali permasalahan kesehatan se cara sistematis dan terukur, perguruan tinggi memainkan peran penting dalam meng-hasilkan pengetahuan sebagai basis pengambilan keputusan dan perencanaan. Di daerah penelitian seperti di Medan, Sidoarjo, Surabaya, Bali, Jayapura, dan Merauke, ditemukan bahwa perguruan tinggi melakukan pengumpulan, analisis, dan produksi informasi terkait HIV dan AIDS melalui riset-riset yang dilakukan.

Peran strategis perguruan tinggi lainnya ialah sebagai pusat pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya melalui pendidikan secara formal. Perguruan tinggi mendidik dan menghasilkan tenaga kesehatan seperti dokter, dokter spesialis, perawat, tenaga kesehatan masyarakat, dan tenaga kefarmasian. Perguruan tinggi juga memiliki peran dalam melakukan pemberdayaan masyakarat melalui pengembangan sistem informasi seperti di Parepare.

“Kami juga telah membentuk PIK-KRR Remaja (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) yang fokus pada pencegahan narkoba, HIV dan AIDS serta seks bebas. Ini yang tersebar di SMP, SMA, dan sekolah-sekolah tinggi di sini. Remaja dilatih untuk konseling di mana remaja ini didampingi konselor sebaya dan pendidik sebaya yang seumuran remaja.” (DKT, Staf BKBPP Parepare, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014) Peran-peran pengabdian masyarakat yang dikembangkan oleh perkumpulan Mahasiswa yang melakukan riset terkait HIV dan AIDS, dan pengembangan kegiatan kepedulian untuk HIV dan AIDS dengan melakukan pendidikan HIV dan AIDS pada mahasiswa bekerjasama dengan KPA seperti di Sidoarjo. (Tim Peneliti Unair, 2015)

Namun, terlepas dari berbagai peran strategis perguruan tinggi tersebut, ditemu-kan bahwa perguruan tinggi masih belum terlibat secara optimal dalam penang-gulangan HIV dan AIDS di daerah. Pertama, perguruan tinggi sering kali belum dili-batkan secara formal dalam penyusunan perencanaan program maupun evaluasi nya, seperti yang diungkapkan oleh informan di Kota Jayapura berikut.

“Kami belum pernah melibatkan perguruan tinggi dalam penyusunan perencanaan program HIV dan AIDS... [k]ami belum ada kerjasama selama ini.” (WM, Dinkes Kota Jayapura, dalam laporan Tim Peneliti Uncen, 2014)

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi sendiri sering kali lebih dalam bentuk komitmen di tingkat individu daripada di tingkat lembaga. Akibatnya, peran serta perguruan tinggi cenderung fluktuatif tergantung dari banyak-sedikitnya personel yang memiliki perhatian terhadap isu HIV dan AIDS di wilayahnya.

A. Pengantar

Integrasi dalam penelitian ini didefinisikan sebagai tingkat adopsi dan asimilasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam berbagai fungsi pokok dari sistem kesehatan dalam pengendalian penyakit menular (Atun et al., 2010). Fungsi-fungsi upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilihat integrasinya ke dalam sistem kesehatan meliputi Manajemen Regulasi, Pembiayaan, Sumber Daya Manusia, Pengelo laan Informasi Strategis, Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, Partisipasi Masyarakat, dan Penyediaan Layanan Kesehatan. Penelitian ini juga menjelas kan berbagai faktor yang memungkinkan terjadi atau tidaknya integrasi dalam sistem kesehatan. Faktor-faktor tersebut berupa komponen-komponen yang ada dalam sistem kesehatan atau di luar sistem kesehatan sendiri, yakni konteks, aktor, institusi, dan sumber daya.

Bagian ini akan menguraikan tiga hal, yaitu 1) Gambaran tingkat integrasi program HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dan penilaian tingkat integrasi berdasarkan dimensi fungsi sistem kesehatan, jenis intervensi, dan wilayah; 2) Faktor-faktor yang memengaruhi integrasi program penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan; dan 3) Keterkaitan antara integrasi dengan efektivitas program HIV dan AIDS. Tingkat integrasi upaya penangulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan dinilai dalam bentuk integrasi penuh, integrasi sebagian, dan tidak terintegrasi. Analisis tingkat integrasi dijelaskan pada bagian analisis data dalam laporan ini.

IV

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 73-76)