• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi masyarakat

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 98-101)

PoLA iNTEGRAsi

B. Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

6) Partisipasi masyarakat

Partisipasi masyarakat didefinisikan sebagai pengelolaan penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan baik perorangan, kelompok maupun masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan. Tujuannya agar masyarakat mampu memanfaatkan berbagai layanan kesehatan yang dibutuhkan

secara mandiri guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Partisipasi masyarakat ini meliputi dua unsur: 1) Terselenggaranya pertemuan-perte-muan koordinasi oleh pemangku kepentingan dan masyarakat (misalnya, perwakilan populasi kunci), adanya dana yang dialokasikan bagi masyarakat sipil dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, serta adanya pengembangan kapasitas (seperti pelatihan dan bantuan teknis) yang secara strategis diikuti sebagai bagian dari proses perencanaan, implementasi, dan evaluasinya; 2) Akses atas layanan (baik kesehatan umum maupun layanan HIV dan AIDS) yang menggambarkan proporsi populasi kunci, dan proposi populasi kunci yang dapat mengakses JKN atau Jamkesda.

a. Dimensi Partisipasi Masyarakat

Partisipasi dalam sektor kesehatan dikembangkan untuk menggerakkan pelibatan masyarakat secara lebih bermakna dalam proses perencanaan, implementasi, serta pengawasan dan evaluasi program. Kemampuan menggerakkan partisipasi masya-rakat menjadi unsur penting dalam membangun mekanisme akuntabilitas sekaligus kesadaran kolektif untuk memerangi epidemi HIV dan AIDS bersama-sama.

Jenis partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS meliputi: 1) Partisipasi aktif dalam pembentukan paguyuban di tingkat komunitas, seperti pem-bentukan Warga Peduli AIDS ( WPA). WPA merupakan perwakilan masyarakat umum di sebagian besar daerah sebagai bentuk solidaritas dan perhatian dalam penang gulangan AIDS; 2) Partisipasi secara strategis dalam bentuk keterwakilan LSM, populasi kunci, kader masyarakat sebagai anggota KPAD agar secara aktif mengikuti proses pembuatan keputusan dan perencanaan program intervensi. Bentuk partisipasi lainnya ialah pelibatan dalam berbagai pertemuan rutin yang dikoor-dinasikan oleh KPA, seperti ditemukan di Medan; 3) Partisipasi melalui pengem-bangan kegiatan mandiri oleh masyarakat sebagai bagian dari kepedulian terhadap HIV dan AIDS. Misalnya, berbagai kegiatan penyuluhan dan sosialisasi tentang HIV dan AIDS dilakukan oleh kader-kader dari masyarakat umum.

“Di 21 kecamatan ada semua, cuma kalau kita tanya keaktifannya ya... mungkin separuhnya yang aktif. Makanya ini kita coba masukkan ke Perwal yang sedang disusun. Jadi di Perwal itu nanti ada tentang pokja HIV Kecamatan, malah ada WPA. WPA itu nanti di tingkat kelurahan.” (KPA Kota Medan, dalam laporan Tim Peneliti USU, 2014).

“Kita di Balla’ta mencoba memberdayakan teman-teman ODHA dan populasi kunci. Dari Biro Bina Napza kita dapat bantuan berupa rumah yang bisa kita tinggali [untuk] beraktivitas sekarang ini. Ini juga menjadi rumah singgah bagi teman-teman dari luar Makassar yang datang berobat atau mencari dukungan dari sesama ODHA. Dari Dinas Sosial juga ada

beberapa kali bantuan untuk pemberdayaan ekonomi. Baru-baru ini kita diberi bantuan mesin cuci untuk usaha laundry. Ini kami syukuri. Tetapi kendalanya ketika pada saat implementasi sering kali kita diminta cepat-cepat menyelesaikan program, akhirnya hasil yang kita harapkan itu tidak maksimal.” (DKT, LSM PKNM Kota Makassar, 16 Juli 2014, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014)

Pada dasarnya praktik partisipasi masyarakat seperti ini cenderung lebih bermakna daripada model partisipasi masyarakat pada sektor kesehatan pada umum-nya. Peran partisipasi masyarakat di sektor kesehatan hanya diarahkan sebatas untuk memanfaatkan layanan daripada pelibatan untuk pengembangan layanan seperti dalam pelibatan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Meskipun demikian, terdapat kritik bahwa walaupun partisipasi masyarakat dalam penang gu-langan HIV dan AIDS lebih terlihat, partisipasi masyarakat tersebut masih bersifat simbolik. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat lebih digunakan sebagai sarana legitimasi dari mekanisme proyek yang mensyaratkan keterlibatan masyarakat luas, khususnya populasi kunci, sebagai penerima manfaat utama program (Tim Peneliti Udayana, 2014). Akibatnya, partisipasi masyarakat menjadi sebatas sebagai pelak-sana program di tingkat lapangan, belum berada pada partisipasi strategis yang lebih bermakna dalam pengambilan keputusan dan perencanaan program.

b. Akses dan Pemanfaatan Layanan

Akses dan pemanfaatan layanan kesehatan kelompok populasi kunci dan masyarakat marjinal terhadap jaminan kesehatan dalam skema JKN menjadi cara penting untuk pemenuhan hak kesehatan. Ada sebagian ODHA dan populasi kunci yang dapat memanfaatkan JKN sebagai jaminan pembiayaan dengan membayar premi. Namun, tidak sedikit yang mengalami kesulitan untuk membayar premi secara rutin karena faktor kerentanan ekonomi, seperti dialami sebagian komunitas ODHA di Bali, Makassar, dan Parepare. Meskipun sudah menjadi anggota JKN, tidak semua layanan dapat dijamin oleh JKN. Pembiayaan untuk serangkaian tes sebelum inisiasi ARV tidak ditanggung JKN, padahal ini memakan biaya tidak sedikit. Meskipun bisa didapat secara gratis, ARV tidak dijamin JKN karena sudah ditanggung oleh pembiayaan dari program.

Selain itu, banyak pula ODHA dan populasi kunci yang tidak dapat meman-faatkan pembiayaan layanan kesehatan lewat JKN karena tidak mempunyai kartu identitas yang menjadi syarat untuk akses JKN. Di Denpasar dan Badung misalnya, ODHA lebih memilih memanfaatkan layanan dengan jaminan dari daerah berupa Jamkesda karena prosesnya tidak serumit JKN.

Sudah ada ODHA dan populasi kunci yang memanfaatkan JKN, tetapi masih terbatas tanggungannya untuk IO; ARV masih dari pusat CST dan beberapa komponen pra-ARV tidak ditanggung oleh JKN. Sebagian besar ODHA yang mengakses layanan kesehatan di RSUD Badung memanfaatkan JKBM (Jamkesda) dan hanya sedikit ODHA yang memanfaatkan JKN (Tim Peneliti Udayana, 2014).

“Kemarin ada dua orang teman ODHA kita bantu uruskan BPJS. Kelengkapan administrasi penting sekali untuk mengurus BPJS. KPA Kota membantu kita untuk mengatasi masalah-masalah kelengkapan administrasi ini, lewat koordinasi dengan bagian Kesra. Di BPJS kami tidak menyebut B20 karena disebut otomatis akan ditolak. Kami hanya memasukkan infeksi penyertanya untuk mendapatkan akses BPJS mandiri. Kita sudah ada komunikasi dengan teman di Kesra, Dinkes dan di Rumah Sakit Andi Makkasau mengenai hal ini.” (DKT, staf LP2EM Kota Parepare, 3 Juni 2014)

JKN juga lebih fokus pada pembiayaan untuk aspek kuratif (PDP) dengan memberikan jaminan pembiayaan pada obat untuk IO. Sementara untuk pencegahan seperti metadon ditanggung oleh pemerintah melalui dana program, sehingga tidak masuk dalam skema pembayaran yang ditanggung oleh JKN. Biaya-biaya untuk mitigasi dampak juga tidak ditanggung. Secara khusus, kota Manokwari, Jayapura, dan Merauke melalui Otsus memberikan dukungan mitigasi dampak dalam bentuk makan tambahan dan biaya transportasi kepada ODHA untuk mengakses layanan bagi yang berada di wilayah pedalaman atau jauh dari pusat akses layanan di daerahnya.

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 98-101)