• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 95-98)

PoLA iNTEGRAsi

B. Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

5) Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan

Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dimaksudkan untuk melihat produk medis, teknologi yang dijamin kualitasnya, keamanan, efikasi, serta efektivitas pembiayaan (cost-effectiveness) dan penggunaannya. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan meliputi: 1) Regulasi penyediaan, penyimpanan, dan distribusi diagnostik; terapi yang mengatur ketersediaan reagen obat ARV, mesin CD4, dan

viral load, sebagai bagian dari mekanisme yang dianggrakan dalam anggaran Dinkes atau ditanggung oleh JKN; dan 2) Sumber daya yang mencakup sumber pembiayaan untuk penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan perlengkapan medik untuk HIV dan AIDS masuk dalam mekanisme anggaran Dinkes atau ditanggung oleh JKN.

a. Regulasi penyediaan, penyimpanan, dan distribusi diagnostik, serta terapi

Terdapat beberapa jenis regulasi mengenai penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan perlengkapan medik HIV dan AIDS yang bervariasi tingkat dan lingkup berlakunya. Kebanyakan daerah mengacu pada regulasi penyediaan obat di tingkat pusat berupa Keputusan Menkes tentang pengobatan HIV dan AIDS. Selain itu, ada pula regulasi dalam bentuk Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Dirjen PP dan PL tentang komposisi pembiayaan reagensia HIV, obat IO, dan IMS, serta alat medis habis pakai yang berlaku untuk semua wilayah. Ada juga beberapa wilayah

yang memiliki regulasi di tingkat daerah terkait logistik, seperti di Sidoarjo ada Surat Keputusan Camat tentang pokja/tim distribusi kondom di Kecamatan Benowo dan Surat Keputusan Kepala Puskesmas Sememi tentang tim distribusi kondom. Sementara RSJ Menur di Surabaya memiliki SOP tentang pelayanan ARV untuk ODHA serta mekanisme pinjam-meminjam obat.

Secara umum, regulasi untuk penyediaan, distribusi, dan penyimpanan alat kese hatan dan farmasi telah menyesuaikan dengan kebijakan yang berlaku secara umum di sektor kesehatan, khususnya untuk ARV dan obat IO yang pembiayaannya didanai oleh APBN atau APBD dengan dikoordinasikan oleh Dinkes.

…[u]ntuk regulasi mengikuti yang ada dari pusat. Pengelolaan obat HIV dan AIDS sama dengan proses pengadaan obat lainnya. (Tim Peneliti Uncen, 2014) Dulu itu semua dari (pemerintah) pusat, tapi sekarang sejak edaran Menkes tahun 2013 ada pembagian logistik antara pusat dan daerah. Kalau ARV itu memang masih 100 persen dari pusat, tapi kalau yang lainnya beda. Kalau kondom, reagen HIV, dan obat-obat untuk IO dan IMS, 40 persen ditanggung pusat dan 60 persen ditanggung daerah. (Tim Peneliti Unhas, 2014)

Demikian pula dengan penyimpanan dan distribusi obat, mekanismenya mengikuti kebijakan yang ada dalam sistem kesehatan daerah. Semua obat disimpan di tempat penyimpanan obat yang dimiliki oleh Provinsi, Dinkes Kota/Kabupaten, Rumah Sakit, dan Puskesmas. Mekanisme distribusi dari tempat penyimpanan obat masing-masing diatur oleh Dinkes Provinsi dan Kota/Kabupaten. Seperti di Surabaya, penyimpanan obat di Rumah Sakit berdasarkan standar penyimpanan dengan SOP khusus dan dikelola oleh petugas berkompeten (Tim Peneliti Unair, 2014).

Dalam pengelolaan logistik obat, masalah yang paling sering ditemui ialah stock out, yaitu habisnya persediaan obat dari sediaan yang telah direncanakan. Sebagian besar daerah penelitian pernah mengalami stock out reagensia HIV, obat IO, dan obat IMS disebabkan oleh: 1) Ketidakmampuan daerah dalam melakukan peren-canaan penyediaan obat secara tepat. Contohnya, Tim Peneliti Uncen (2014) di Merauke dan Tim Peneliti Unipa (2014) di Kabupaten Manokwari menemukan bahwa keterlambatan logistik obat dan alat medis disebabkan oleh ketidakmampuan daerah dalam melakukan perencanaan dengan baik, khususnya untuk beberapa jenis obat yang memerlukan sharing budget antara pemerintah provinsi dan kabupaten; 2) Acapkali rentang waktu keguaan obat dalam persediaan sangat pendek sehingga kadaluarsa sebelum didistribusikan dan dikonsumsi. Selain itu, kadaluarsanya obat itu dipengaruhi juga oleh belum adanya kontrol kualitas obat seperti ditemukan di Sidoarjo (Tim Peneliti Unair, 2014).

Apabila ada masalah dalam penyediaan, penyimpanan, serta distribusi obat dan alat medis, penyelesaiannya dikoordinasikan oleh Dinkes. Misalnya, untuk menga tasi stock out, strategi yang digunakan ialah mengembangkan perencanaan dengan mekanisme buffer system untuk mencegah terjadinya kehabisan obat dalam jangka waktu 3–6 bulan. Besaran buffer system tersebut antara 10%–30%. Daerah yang mengem bangkan buffer system antara lain Denpasar, Badung, dan Surabaya. Mekanisme buffer system ini terbukti dapat mengatasi masalah stock out obat. Selain itu, ada juga upaya peningkatan kapasitas pengembangan perencanaan penyediaan obat sesuai dengan proyeksi kebutuhan daerah berbasis pada jumlah kasus yang dilapor kan secara periodik ke Dinkes daerah.

Di sisi lain, terdapat kebijakan yang berbeda untuk beberapa alat pencegahan seperti kondom dan alat suntik steril. Penyediaan, distribusi, dan penyimpanan bebe-rapa alat pencegahan tersebut tidak dilakukan oleh sektor kesehatan, melainkan oleh KPA Nasional yang didistribusikan ke daerah melalui KPAD, bukan melalui dinkes. Ini berlaku di sebagian besar daerah penelitian. Di daerah-daerah yang memiliki program Harm Reduction seperti Medan, Makassar, Sidoarjo, dan Surabaya, kebijakan pengadaan LASS untuk pengendalian HIV pada penasun mengacu pada regulasi dan kebijakan donor. Pengecualian ditemukan di Denpasar dan Badung, di mana kebijakan pengadaan jarum suntik untuk program LASS diatur oleh pemda-pemda. Pengecualian juga ditemukan di Manokwari, Merauke, dan Kota Jayapura yang kebijakan logistiknya sudah diintegrasikan ke dalam sektor kesehatan umum setelah Global Fund tidak lagi memberikan dukungan di Papua sejak akhir 2013. Di ketiga daerah ini, semua mekanisme pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat diatur oleh kebijakan daerah termasuk pembiayaan dengan mekanisme APBD.

b. Sumber Daya

Sumber daya untuk pengadaan, penyimpanan, dan distribusi logistik obat dan alat kesehatan meliputi pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat, pemda, dukungan MPI, dan masyarakat. Pembiayaan dari pemerintah pusat berupa dana program, dana alokasi khusus (DAK) yang bersumber dari APBN, dan dana hibah dari MPI., sedangkan dana daerah bersumber dari APBD. Pendanaan masyarakat berbentuk CSR dari swasta dan dukungan solidaritas masyarakat.

Mekanisme keterlibatan pemda dalam mengalokasikan dana untuk obat telah didorong oleh pemerintah pusat dengan Surat Edaran Dirjen PP dan PL Kemenkes Ri Nomor HK.02.03/D/III.2/823/2013 tentang pembiayaan logistik obat dan alat medis untuk penanggulangan HIV/AIDS dan IMS dengan strategi sharing pembiayaan antara pemerintah pusat dan daerah. Komposisi sharing biaya untuk beberapa obat

jenis obat seperti reagensia HIV dan CD4 ditanggung pemerintah pusat 45% dan 55% daerah, obat IO dan IMS ditanggung pemerintah pusat 40% dan 60% daerah, sementara regaen Sipilis (RPR) ditanggung 50% pusat dan 50% daerah, dan jenis obat GO dan habis pakai sepenuhnya ditanggung oleh daerah.

Pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS yang bersumber dari pemerintah pusat dialokasikan untuk pengadaan obat ARV dan tercakup dalam program yang dibiayai APBN dengan melibatkan koordinasi langsung antara Dinkes dan pemerintah pusat. Selain ARV, pembiayaan untuk logistik obat metadon juga sepenuhnya ditang-gung oleh pusat dengan dana nasional yang dianggarkan melalui Kemenkes. Sumber pembiayaan dari pusat ini berlaku di semua daerah dan diakses melalui rumah sakit rujukan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk memberikan layanan pengobatan ARV.

Sementara itu, sumber pembiayaan yang berasal dari MPI untuk logistik obat terkait HIV dan AIDS meliputi pengadaan materi pencegahan dan alat medis seperti LASS, berbagai jenis obat ARV lini 2, kondom, pelicin, dan tes CD4 (secara terbatas). Pembiayaan yang mengandalkan pada dukungan MPI ini bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Untuk daerah yang tidak lagi mendapatkan dukungan Global Fund untuk penyediaan kondom gratis seperti di Papua, ada yang telah berhasil mengem bangkan keterlibatan masyarakat dalam pengadaan kondom mandiri dengan mekanisme iuran seperti dikembangkan oleh komunitas pekerja seks dan mucikari di Merauke (Tim Peneliti Uncen, 2014).

Sumber daya pembiayaan untuk jarum suntik belum diadopsi pemda kecuali di Denpasar dan Badung yang sudah menggunakan dana APBD. Pengadaan jarum suntik di Medan, Parepare, Surabaya, dan Sidoarjo masih bergantung pada penda naan dari donor, sedangkan pemda belum mengambil-alih tanggung jawab pembiayaan pengadaannya. Pengadaan kondom di Kabupaten Deli Serdang juga tidak terintegrasi karena kondom bisa langsung diperoleh dari pusat melalui KPAN, kemudian didistribusikan melalui tiga jalur, yakni ke KPAK untuk disalurkan ke LSM-LSM non-Global Fund, PKBI, dan NU untuk selanjutnya disalurkan ke SSR-nya masing-masing, serta melalui Dinkes untuk disalurkan ke puskesmas dengan pembiayaan langsung dari donor.

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 95-98)