• Tidak ada hasil yang ditemukan

PoLA iNTEGRAsi

B. Gambaran Dimensi Fungsi sistem kesehatan

7) Penyediaan Layanan

Penyediaan layanan adalah semua layanan atau intervensi kesehatan personal maupun masyarakat yang efektif, aman, dan berkualitas yang disediakan bagi mereka yang membutuhkan di tempat dan waktu tertentu. Komponen penyediaan layanan terdiri dari tiga unsur: 1) Layanan untuk HIV dan AIDS tersedia di fasilitas pelayanan primer dan sekunder di lokasi penelitian; 2) Koordinasi dan rujukan berupa layanan HIV dan AIDS yang dikoordinasikan Dinkes melalui KPA Kota/Kabupaten di lokasi penelitian; 3) Jaminan kualitas layanan dalam bentuk adanya mekanisme supervisi dan evaluasi untuk menjamin kualitas layanan penanggulangan HIV dan AIDS yang sama dengan jaminan kualitas layanan kesehatan lainnya.

a. Ketersediaan Layanan

Berbagai layanan HIV dan AIDS terdapat di daerah penelitian, yang bisa dikelompokkan menjadi layanan pencegahan, PDP, dan MD. Layanan-layanan ini disediakan oleh fasilitas layanan pemerintah maupun swasta, LSM, dan masyarakat.

IN TE G R AS I U PA YA P EN AN G G U LA N G AN H IV D AN A ID S K E D AL AM S IS TE M K ES EH AT AN 77

Tabel 6. Layanan HIV dan AIDS di Daerah Penelitian

Lokasi

Jenis Layanan

keterangan

pencegahan pDp

mitigasi Dampak

kie Vct ppia ptrm Lass arV ims

medan ORPS 8 PKM, 5 RS, 1 Klinik 1 KKP 5 PKM 3 RS 2 RS 3 PKM 3 LSM 3 PKM 5 RS 10 PKM

Bantuan Modal untuk ODHA dari Kemensos,

Pelatihan Manajemen ODHA dari KPA

OR= Outreach oleh LSM; PS = Penyuluhan/ Sosialisasi oleh LSM, Dinkes, RS, Puskesmas, KPA dan SKPD anggota KPAD, dan LSM. X= tidak ada layanan

PIKM = Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat ; KPP= Klinik Kesehatan Pelabuhan Deli serdang OR, PS 3 X 1 PKM 1 3 surabaya OR, PS 8 PKM 7 RS 5 PKM 3 RS 2 PKM 2 RS PKM6 7 RSRS PM18

Pemberian makan tambahan dari dana APBD Dinkes,

Pemberdayaan ODHA dengan dana Dinas sosial

sidoarjo OR, PS, PIKM 4 PKM1 RS 1 X 2 1 2 Bantuan gerobak dan mesin tebu, bantuan hukum Denpasar OR,PS, KSPAN 11 PKM 1 RS PKM11 1 RS 2 3 1 RSUD 9 PKM1 RS

Dinsos dan BNK memiliki program rehabilitasi bagi populasi kunci dan Odha

2 satelit ARV di puskesmas; KSPAN Dinas

78 PKMK FK UGM Lokasi Jenis Layanan keterangan pencegahan pDp mitigasi Dampak

kie Vct ppia ptrm Lass arV ims

Badung OR,PS, KSPAN 11 PKM dan RS 1 2 1 1 RSUD 8 PKM dan RS

Dinsos dan BNK program rehabilitasi korban napza dan ODHA; pengadaan bibit sapi dan pemberian

makanan tambahan.

1 satelit ARV di Bali Medica untuk LSL KSPAN Dinas

Pendidikan

makassar OR,PS 13 6 4 2 9 13 Menjahit, bengkel elektronik dan bantuan modal dari Dinsos parepare OR PS PIKR BKR 7 X 1 1 1 RSUD 1 32 PIK KRR di SMP dan SMA Bina Keluarga Remaja (BKR) di 22 kelurahan

manokwari OR, PS 9 2 X X RSUD1 9 Mobile VCT

Jayapura OR, PS 6 rs X X RSUD2 13

merauke OR, PS PKM18 X X 1

RSUD PKR

Dinas Sosial Kartu Sehat

pekerja bar dan panti pijat Layan PKR di PKM

Secara ringkas gambaran program pencegahan di lokasi penelitian menunjukkan tersedianya jenis-jenis program yang sama kecuali beberapa program untuk penasun yang tidak ada di Merauke, Jayapura, dan Manokwari.

Dari tabel di atas terlihat bahwa di darah penelitian layanan terkait HIV dan AIDS sudah tersedia di semua fasilitas layanan kesehatan primer dan sekunder yang dapat diakses populasi kunci, ODHA, dan masyarakat umum. Layanan yang dibe-rikan oleh berbagai pihak ini telah memungkinkan terciptanya continuum of care, mulai dari layanan pencegahan, perawatan sampai mitigasi dampak. Berikut ini penjelasan masing-masing layanan berdasarkan tiga kategori ini.

Pencegahan merupakan upaya terpadu untuk memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS yang merupakan tanggung jawab pemerintah, pemda, masyarakat, dan swasta. Program pencegahan di daerah penelitian dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi kesehatan umum melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang dilakukan oleh Dinkes, KPAD, SKPD anggota KPAD seperti Dinas Pendidikan dan Pariwisata di Denpasar dan Badung. Penyediaan layanan pencegahan berupa alat dan materi tes (VCT dan PITC); tersedianya material pencegahan seperti kondom, pelicin, dan alat suntik steril; dan terapi metadon di layanan kesehatan yang ada seperti rumahsakit, puskesmas, dan LSM. Peran petugas penjangkau dalam distri busi material pencegahan sangat penting karena mereka dapat secara langsung menjang-kau dan mendampingi kelompok populasi kunci, seperti ditemukan di Makassar.

Di bidang pencegahan HIV dan AIDS di Kota Makassar, kegiatan-kegiatan pencegahan rutin lebih banyak dilakukan oleh tenaga-tenaga penjangkau (outreach workers) dari LSM-LSM. Selain tenaga-tenaga penjangkau dari LSM, khususnya di wilayah-wilayah Puskesmas LKB (Layanan Komprehensif Berkelanjutan) terdapat community organizers yang berfungsi membentuk Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat (PIKM). PIKM memiliki kader-kader dari masyarakat dan dari populasi kunci yang sudah dilatih. PIKM ini menyediakan media-media komunikasi, informasi dan edukasi HIV dan AIDS yang disebarkan oleh kader-kader ke masyarakat dan populasi kunci (Tim Peneliti Unhas, 2014).

Penyediaan layanan PDP di daerah penelitian dilakukan dengan pendekatan berbasis klinis, keluarga dan/atau masyarakat dan diadakan oleh fasilitas layanan primer dan sekunder. Di semua daerah penelitian tersedia layanan pengobatan ARV baik di RSUD maupun di puskesmas satelit ARV. Menariknya, ada pelibatan LSM dan klinik swasta dalam penyediaan layanan pengobatan untuk populasi kunci. Seperti ditemukan Tim Peneliti Unud (2014), beberapa layanan memiliki segmen populasi kunci yang khusus, misalnya Bali Medical Center terutama menyasar LSL, sedangkan yKP lebih dikenal sebagai penyedia layanan bagi WPS (walaupun yKP juga melayani

semua kelompok populasi kunci termasuk ibu hamil rujukan puskesmas). Selain itu, di salah satu puskesmas di Kota Denpasar, telah disiapkan penyediaan layanan bagi kelompok waria karena kedekatan lokasi dengan ‘pangkalan’ waria.

Terkait dengan cakupan layanan PDP, ditemukan bahwa terdapat peningkatan jumlah cakupan seiring dengan bertambahnya jumlah penyedia layanan di Makassar, Pare-pare, Denpasar, Badung, Surabaya, dan Sidoarjo. Sebagaiaman dilaporkan Tim Peneliti Unud (2014), ada kecenderungan peningkatan cakupan VCT Kota Denpasar, yaitu dari 202 orang pada pertengahan 2011 menjadi 5.042 orang pada pertengahan 2013. Sementara di Kabupaten Badung, jumlahnya meningkat dari 48 orang pada Juli–September 2011 menjadi 2.539 orang pada pertengahan 2013. Begitu juga ditemukan untuk cakupan ARV, meningkat dari 87,4% tahun 2012 menjadi 90,9% pada tahun 2013 (Dinkes Provinsi Bali dalam Laporan Tim Peneliti Unud, 2014).

Perawatan ODHA dilakukan dengan pendekatan klinis, agama, dan berbasis keluarga. Layanan perawatan klinis ada di fasilitas layanan primer dan sekunder, sementara layanan berbasis masyarakat atau keluarga biasanya dikelola oleh LSM. Contohnya di Medan, penyediaan layanan berbasis masyakarat/keluarga (home based care) disediakan oleh LSM Perempuan Peduli Pedila Medan, dan ada pula pemulihan adiksi berbasis masyarakat (PABM) yang dilakukan oleh LSM Caritas PSE dan Medan Plus (Tim Peneliti USU, 2014).

Layanan mitigasi dampak bertujuan untuk mengurangi dampak HIV dan AIDS terutama dalam kehidupan sosial dan ekonomi ODHA. Sejauh ini ditemukan bahwa layanan ini lebih banyak dilakukan oleh SKPD anggota KPAD di luar Dinkes, dengan program dan pendanaan yang tersedia secara sporadis. Umumnya sumber pembiayaannya dari pemerintah pusat, seperti Kemensos dan BNN (di Denpasar dan Badung), atau dari Kemenkes berupa pemberian modal untuk ODHA (di Medan), walaupun ada juga pendanaan dari APBD lewat Dinkes dalam penyediaan makanan tambahan bagi ODHA (di Surabaya). Ini mengindikasikan bahwa layanan mitigasi dampak berjalan sendiri sesuai dengan perencanaan pemberi dana dan tidak dikoordinasikan oleh sektor kesehatan. Lebih jauh lagi, seperti ditemukan oleh Tim Peneliti Unhas (2014), sering kali program-program mitigasi dampak seperti ini berjalan tanpa persiapan matang, tanpa melalui proses penilaian kebutuhan yang mendalam, dan penyelesaiannya dilakukan secara terburu-buru sehingga keberlanjutannya tidak diprioritaskan.

Penyediaan layanan terkait HIV dan AIDS untuk PP dan PDP sama dengan sistem layanan kesehatan umum sehingga ODHA dapat mengakses layanan pada fasilitas layanan kesehatan umum. Dengan demikian, ODHA bisa mendapatkan layanan kesehatan seperti masyarakat pada umumnya di fasilitas-fasilitas kesehatan

primer maupun sekunder di daerah. Sedangkan penyediaan layanan MD tersedia secara insidental, yang umumnya tergantung ketersediaan dana dan program dari pusat.

b. Koordinasi dan Rujukan

Rujukan yang terkoordinasi dalam sistem kesehatan akan memudahkan ODHA untuk mendapatkan layanan yang dibutuhkan antar-fasilitas layanan primer dan sekunder. Rujukan terkoordinasi juga memungkinkan ODHA untuk mengakes layanan antar-wilayah. Sebaliknya, jika layanan HIV dan AIDS saja yang terkoor-dinasi, layanan untuk ODHA menjadi eksklusif dan terpisah dari layanan umum sehingga bisa membatasi kesediaannya.

Ditemukan bahwa koordinasi dan rujukan antar-layanan terdepan (frontline services) telah berjalan. Misalnya, tenaga penjangkau dari LSM akan merujuk pasien ke tenaga kesehatan di puskesmas. Apabila diperlukan layanan lanjutan, maka pasien tersebut akan dirujuk ke rumah sakit. Di Parepare dan Makassar, terselenggara koordinasi rutin antara tenaga penjangkau dan tenaga kesehatan di puskesmas atau rumah sakit. Di Deli Serdang dan Medan, Dinkes berkoordinasi lewat pertemuan tiga bulanan. KPA Kota/Kabupaten juga memfasilitasi pertemuan koordinasi seperti di Surabaya, Sidoarjo, Badung, dan Denpasar.

Laporan Tim Peneliti Unhas (2014) menyatakan bahwa koordinasi dan rujukan lebih terlihat pada program PDP, di mana kerjasama dan keterpaduan antara LSM, dinkes, rumahsakit, puskesmas, dan KPA Kota lebih intensif dibanding program pencegahan. Ini salah satunya terlihat dalam program perawatan berbasis masyarakat terhadap ODHA seperti yang dilakukan yKPDS di Kota Makassar.

“Kalau kita di Rumah Sakit Wahidin, kita sangat terbantu dengan kawan-kawan LSM. Mereka yang jadi jembatan kami ke teman-teman ODHA misalnya untuk konseling kepatuhan ARV. Mereka juga yang rutin dampingi kawan-kawan ODHA setelah kembali ke rumahnya, membantu supaya keluarga bisa lebih supportif ke teman-teman ODHA itu. Tenaga kita di Pokja Rumah Sakit ‘kan terbatas, jadi tidak mungkin kita bisa melakukan itu.” (WM, staf Pokja RS Wahidin Sudirohusodo Makassar, 25 Juli 2014, dalam Laporan Tim Peneliti Unhas, 2014)

Koordinasi dan rujukan memang seharusnya menjadi lebih kuat lagi dengan strategi LKB, yang saat penelitian dilakukan mulai diluncurkan di daerah-daerah penelitian. Misalnya, di Kota Surabaya terdapat lima Puskesmas yang memiliki layanan komprehensif pencegahan HIV dan AIDS, lengkap dengan IMS, yang sifatnya berkesinambungan (Tim Peneliti Unair, 2014). Memang dalam implementasinya masih ditemukan kendala-kendala yang muncul dalam hal rujukan dan koordinasi

baik karena alasan personal, prosedur maupun pembiayaan. Untuk mengatasinya, diadakan pertemuan-pertemuan koordinasi antar-pemangku kepentingan yang terlibat. Sementara laporan Tim Peneliti USU (2014) menyebutkan bahwa dalam kerangka LKB, KPA Kota Medan sudah menyusun MoU antara Forum LSM Peduli AIDS, Dinkes dan RS Pirngadi Medan. Sistem koordinasi dan rujukan selalu dibahas dalam pertemuan rutin KPA Kota Medan bekerjasama dengan Dinkes Kota.

“Jadi... [k]alau perencanaan pelayanan kita ada rapat koordinasi dengan Dinkes. Sebetulnya bukan cuma Dinkes, LSM itu setiap 3 bulan namanya rapat koordinasi. Itu memang ada dananya di KPA, jadi di situ kita sekaligus umpamanya menentukan titik-titik layanan apa aja yang mesti kita perkuat IMS-nya, mana yang mesti VCT-nya, kenapa mesti di situ. Medan itu ‘kan jadi salah satu pusat percontohannya ya untuk program LKB, jadi kita berusaha meningkatkan kemampuan Puskesmas yang terkait LKB... kemudian layanan kesehatannya. Makanya kemarin kita ada juga semacam MoU antara layanan, LSM dan KPA... Dinkes itu untuk bagaimana agar dijaring LKB ini berjalan sebaik-baiknya.” (Tim Peneliti USU, 2014) c. Jaminan Kualitas Layanan

Jaminan kualitas layanan HIV dan AIDS di layanan kesehatan umum diperlukan untuk memastikan kenyamanan, keamanan, dan kerahasiaan bagi ODHA dan popu-lasi kunci ketika mengakses layanan. Jaminan kualitasnya dapat dilihat dari sejauh mana SOP layanan diterapkan, ketaatan terhadap petunjuk pelaksanaan, akreditasi, maupun survei kepuasan klien. Mekanisme pengawasan dan evaluasi serta penyediaan bimbingan teknis dari Dinkes juga sangat menentukan kualitas layanan.

Upaya untuk mewujudkan kualitas layanan HIV dan AIDS bervariasi antar-layanan di daerah-daerah penelitian. Ada yang terjadi di tingkat internal antar-layanan, ada pula di tingkat Dinkes. Di Surabaya, jaminan kualitas layanan di tingkat rumah sakit dilakukan dengan supervisi terhadap program atau kasus terlapor, misalnya RSUD dr. Soetomo melakukan supervisi internal saban tiga bulan sekali dengan menga dakan rapat tim untuk membahas program dan perkembangan kasus. Untuk perkem bangan yang lebih bersifat jangka pendek, rumah sakit melakukan pertemuan dan diskusi saban hari Selasa. Kegiatan pengendalian kualitas serupa juga ditemukan di RSUD Dr. Soewandhi, di mana supervisi dilakukan pada layanan VCT setiap tiga bulan sekali untuk membahas kasus-kasus yang memerlukan perhatian khusus.

Upaya lain untuk menjamin kualitas layanan ialah dengan mengukur kepuasan pasien terhadap layanan melalui survei kepuasan klien. Di RSUD dr. Soetomo Surabaya survei untuk tujuan ini telah dilakukan, tetapi di daerah lain seperti Makassar dan Deli Serdang, praktik pengukuran kepuasan ini masih belum umum khusus nya untuk layanan terkait HIV dan AIDS.

Sementara itu, pengawasan dan evaluasi serta bimbingan teknis dilakukan oleh Dinkes. Di Surabaya, pengawasan ditujukan per program, misalnya untuk program HR, program Aku Bangga Aku Tahu (ABAT), program CST, dan program PMTS. Kegiatan pengawasan dan evaluasi dilakukan setiap tiga bulan sekali atau kondisional jika dibutuhkan. Di Manokwari, Jayapura, dan Merauke, Dinkes juga melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap fasilitas layanan IMS dan VCT secara reguler selama dua tahun terakhir. Sementara di Medan dan Deli Serdang, pengawasan kualitas layanan unit pelayanan sektor swasta, pemerintah, dan LSM dilakukan di dinkes kota bekerjasama dengan KPA kota. Mekanisme serupa juga ditemukan di Badung dan Denpasar, rapat koordinasi yang difasilitasi oleh Dinkes Provinsi dan Kota untuk perbaikan layanan. Namun, Tim Peneliti Unud (2014) melaporkan bahwa proses pengawasan dan evaluasi masih dilakukan secara paralel sesuai dengan kebu tuhan penyandang dana, tidak dilakukan sebagai satu kesatuan proses yang dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di lokasi penelitian.

Dari uraian di atas terlihat bahwa mekanisme penjaminan kualitas lebih mudah dilakukan untuk program-program yang terkait dengan perawatan dan pengobatan serta sebagian layanan pencegahan yang dilakukan oleh layanan kesehatan. Namun, untuk penyediaan layanan pencegahan dan mitigasi dampak yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar layanan kesehatan seperti LSM maupun SKPD anggota KPAD selain Dinkes, mekanisme penjaminan kualitas layanan berlangsung di luar tanggung jawab Dinkes. Untuk program-program pencegahan yang dilakukan oleh LSM, mekanisme pengawasan dan evaluasinya dilakukan oleh masing-masing lembaga donor, terpisah dari sistem kesehatan.

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 101-108)