• Tidak ada hasil yang ditemukan

konteks kebijakan dan Program Penanggulangan HiV dan AiDs pada Tingkat Pusat dan Daerah

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 44-51)

masyarakat 14. Partisipasi masyarakat 15. Akses dan pemanfaatan layanan

A. konteks kebijakan dan Program Penanggulangan HiV dan AiDs pada Tingkat Pusat dan Daerah

Konteks di sini dimaknai sebagai faktor eksternal yang memengaruhi jalannya suatu program penanggulangan penyakit menular. Konteks biasanya terdiri dari beberapa aspek kunci seperti politik, hukum dan peraturan, ekonomi maupun masalah kesehatan (Cooker et al., 2010). Dalam penelitian ini, konteks kebijakan meng gam barkan variasi proses desentralisasi di daerah penelitian, yang meliputi faktor komitmen politik, hukum dan peraturan, ekonomi, dikaitkan dengan perma-salahan kesehatan. Bagian ini menjelaskan bagaimana konteks, proses, dan substansi kebijakan serta program penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat pusat dan daerah dalam sistem kesehatan yang berlaku dan berpengaruh terhadap integrasi dan efektivitas program.

a. komitmen Politik

Permasalahan HIV dan AIDS merupakan isu kompleks yang penanganannya membutuhkan keterlibatan berbagai pihak yang bersifat multisektoral. Untuk meng-ge rakkan respons multisektor tersebut, diperlukan komitmen politik yang tinggi dari para pemimpin daerah. Penelitian ini menemukan bahwa di sebagian besar daerah penelitian, komitmen politik pemda masih lemah. Meskipun secara normatif pemda sudah menunjukkan komitmen awalnya dengan menghasilkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah melalui Peraturan Daerah (Perda),

pada kenyataannya HIV dan AIDS tetap belum menjadi prioritas daerah. Ini bisa dilihat dari keengganan pemda untuk mengalokasikan penganggaran yang memadai bagi penanggulangan HIV dan AIDS. Di sebagian besar daerah penelitian, pendanaan penanggulangan HIV dan AIDS yang bersumber dari APBD melalui SKPD terkait masih terbatas. Komitmen penganggaran masih sekedar memenuhi kewajiban dari amanat Perda sehingga jumlah dana yang dialokasikan tidak memadai. Contohnya bisa dilihat antara lain di Sulawesi Selatan.

“Seperti tahun 2014 ini, dari APBD kami hanya dapat 46 juta (rupiah). Kita mau apa dengan dana yang hanya 46 juta itu?... Jadi memang masih sangat tergantung pada Global Fund.” (DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014)

Sedangkan di Surabaya, komitmen pendanaan sudah diwujudkan meskipun belum memenuhi kebutuhan yang direncanakan. Tim peneliti Unair (2014) menemu-kan bahwa dari perencanaan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS yang diajumenemu-kan oleh Dinkes Kota Surabaya sebesar Rp 10 miliar, hanya Rp 3 miliar yang disetujui oleh DPRD. Pemangkasan jumlah anggaran yang signifikan ini mempertegas bahwa daerah belum memprioritaskan program penanggulangan HIV dan AIDS.

Pada tahun 2013 jumlah dana yang diterima oleh KPA Kota Surabaya dari APBD mengalami penurunan, sementara dana yang diberikan oleh Global Fund relatif mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar Rp80.860.000 menjadi Rp84.203.000. Pada tahun yang sama, RS Bhakti Dharma Husada memperoleh dana dari Global Fund sebesar Rp20.475.000. (Tim Peneliti Unair, 2014)

Selain pemangkasan jumlah anggaran, pemahaman bahwa isu HIV dan AIDS membutuhkan respons multisektor masih belum dimiliki oleh banyak pemda. Penang-gulangan HIV dan AIDS lebih dilihat sebagai persoalan medis semata yang menjadi tanggung jawab Dinkes dan unit-unit pelayanan kesehatan, sehingga keterlibatan dari SKPD atau instansi pemda non-kesehatan menjadi minimal atau bahkan di beberapa daerah absen. Indikasi ini terlihat dari dua hal, pertama ialah tidak adanya atau minimnya alokasi APBD untuk penanggulangan HIV dan AIDS bagi SKPD non-kesehatan, dan kedua ialah ketakaktifan SKPD dalam KPAD walaupun secara struktur merupakan bagian dari KPAD.

Permasalahan ini semakin rumit dengan posisi KPAD yang dalam politik daerah tidak memiliki struktur dan kewenangan yang jelas. KPAD dipimpin oleh pejabat daerah yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang tinggi sehingga berpotensi untuk mendorong respons HIV dan AIDS sebagai prioritas daerah. Namun, ditemukan bahwa keberadaan pejabat daerah dalam struktur KPAD belum mampu mendorong

pemda untuk berkomitmen dan menyediakan anggaran penanggulangan HIV dan AIDS secara memadai. Dalam beberapa kasus, faktor yang lebih menentukan sejauh mana daerah memprioritaskan masalah HIV dan AIDS ialah perhatian pribadi dari pejabat KPAD, seperti ditemukan di Makassar.

“Regulasi-regulasi itu penting, namun yang paling penting sebenarnya adalah membuat program HIV ini menjadi prioritas walikota atau bupati... Jadi kemampuan kita meyakinkan mereka sangat penting. Jadi bagaimana cara meyakinkan mereka bahwa ini sesuatu yang berbahaya atau tidak... Di tingkat praktis, komitmen walikota itu seringkali sebenarnya lebih penting dibanding regulasi-regulasi.” (WM, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Kota Makassar, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014).

Konsekuensi dari kurangnya dukungan instansi pemda yang bersifat multisektor yakni tanggung jawab dari KPAD dan sektor kesehatan menjadi sangat besar. Padahal, sebagaimana dipaparkan tadi, struktur dan kewenangan KPAD dalam politik pemda tidak jelas, sehingga membuat kemampuannya untuk mengoordinasikan dan meme-nga ruhi kebijakan pemda dalam penanggulameme-ngan HIV dan AIDS menjadi sameme-ngat terbatas. Dengan konteks politik daerah seperti ini, HIV dan AIDS sulit menjadi isu yang diprioritaskan oleh daerah.

b. Hukum dan Peraturan

Di tingkat daerah masih ditemukan berbagai peraturan yang belum mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS serta cenderung membatasi akses populasi kunci untuk memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkan. Ini misalnya bisa dilihat pada berbagai bentuk perda yang terkait dengan kesusilaan dan ketertiban seperti anti-prostitusi, penyakit masyarakat, penutupan lokalisasi, dan kriminalisasi pekerja seks. Keberadaan perda tersebut misalnya di Kota Surabaya (Perda Nomor 7/1999) berdampak pada hilangnya kontrol terhadap para pekerja seks yang menjadi sasaran program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS) yang berbasis lokasi. Adanya kebijakan tentang kesusilaan tersebut membuat para pekerja seks menyebar ke berbagai tempat sehingga sulit untuk dijangkau oleh petugas kesehatan. Akibatnya, program PMTS menjadi tidak efektif. Tim peneliti Udayana mensinyalir bahwa kebijakan penutupan lokalisasi di Surabaya mengakibatkan berpindahnya pekerja seks dari Surabaya ke Bali. Akibatnya, pekerja seks kesulitan mengakses layan an kesehatan melalui JKN. Mereka bermasalah dengan kartu identitas pendu-duk (KTP) yang berbeda dengan tempat di mana mereka bermigrasi karena untuk mengakses JKN diperlukan kartu identitas yang sama dengan domisili.

Demikian juga Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) yang di satu sisi tujuannya melindungi masyarakat Papua melalui jaminan bagi penduduk

asli Papua agar memperoleh layanan kesehatan yang lebih baik, serta merupakan upaya aksi afirmatif (affirmative action) untuk masyarakat Papua dalam mendapatkan kesem patan bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Namun, di sisi lain, kebijakan ini berpotensi menjadi diskriminatif karena membatasi akses penduduk non-Papua untuk memperoleh jaminan layanan kesehatan.

Selain masalah akses, hambatan terkait hukum lainnya muncul karena tidak adanya sanksi terhadap pengabaian kewajiban yang dilakukan oleh SKPD sebagai penanggung jawab upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Di banyak daerah, perda tentang penanggulangan HIV dan AIDS hanya mengatur pemberian sanksi kepada petugas kesehatan, penyedia fasilitas kesehatan, dan pengelola atau pemilik tempat hiburan. Tidak ada insentif dan disinsentif bagi SKPD untuk melakukan kewajibannya dalam penanggulangan HIV dan AIDS.

c. Ekonomi

Kasus penularan HIV dan AIDS pada dasarnya bisa ditemukan lebih banyak pada kota-kota yang menjadi pusat ekonomi bagi wilayah-wilayah di sekitarnya,

seperti Medan, Surabaya, Makassar dan Jayapura yang merupakan kota-kota pusat perdagangan dan industri dengan jumlah kasus HIV dan AIDS yang tergolong tinggi. Pada kenyataannya, besarnya kasus HIV dan AIDS di daerah-daerah tersebut tidak direspons secara memadai oleh pemda sehingga mendorong MPI untuk menginisiasi upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah tersebut. Keberadaan MPI di daerah telah mampu mendorong pengembangan program dan layanan HIV dan AIDS secara lebih lengkap dan meningkatkan cakupan pemanfaatan layanan yang tersedia. Tetapi, di sisi yang lain, situasi ini telah mengakibatkan keengganan pemda untuk mengalokasikan anggaran daerah bagi penanggulangan HIV dan AIDS. Keter-gantungan daerah terhadap MPI telah berakibat pada menurunnya secara signifikan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah begitu MPI memutuskan untuk tidak bekerja di wilayah tersebut, seperti terjadi di Sulawesi Selatan dan Papua.

“Kita masih sangat tergantung pada donor. Kira-kira proporsinya 80-an persen masih dari donor. Seperti tahun 2014 ini, dari APBD kami hanya dapat 46 juta (rupiah). Kita mau apa dengan dana yang hanya 46 juta itu?... Jadi memang masih sangat tergantung pada Global Fund. Tapi itupun saya harus mengakali dana-dana GF itu yang juga masih kurang mencukupi. Misalnya untuk supervisi-supervisi yang harusnya saya ke kabupaten A... kadang saya akali dengan memindahkan ke kabupaten lain yang lebih prioritas demi pengembangan.” (DKT, Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, dalam laporan Tim Peneliti Unhas, 2014)

Selain itu, di daerah-daerah yang menjadi pusat ekonomi, sektor swasta belum terlibat secara aktif dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Sebagaimana dilaporkan

Tim Peneliti Unair, Sidoarjo sebagai kota industri memiliki potensi untuk memobilisasi peran sektor swasta agar berpartisipasi dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui skema pembiayaan. Di daerah yang sudah ada pendanaan dari sektor swasta melalui

Corporate Social Responsibility (CSR) pun, pengelolaannya masih dilakukan oleh sektor swasta secara sendiri-sendiri dan hanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pencegahan dalam bentuk sosialisasi dengan mengundang nara sumber dari Dinkes atau KPA. Di Kota Makassar, beberapa perusahaan seperti PT Angkasa Pura, Pabrik Semen Bosowa, BNI, BRI dan PT Vale di Kabupaten Luwu Timur sudah mengalokasikan dana CSR untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS. Tetapi, pengelolaan pendanaan terbatas pada kegiatan yang sifatnya insidental dan belum dijadikan bagian dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang strategis dan berkelanjutan.

d. Permasalahan kesehatan

Dalam konteks pembangunan sektor kesehatan, ditemukan bahwa pemda belum memprioritaskan HIV dan AIDS sebagai isu strategis pembangunan kesehatan daerah. Ini bisa dilihat dari masih terbatasnya kapasitas daerah dalam menyusun peren canaan dan mengembangkan kebijakan berdasarkan bukti-bukti situasi kese-hatan masyarakat di wilayahnya. Di satu sisi daerah belum mampu memproduksi data kesehatan daerah yang akurat, sementara di sisi lain data yang tersedia dan berman faat bagi perencanaan pembangunan kesehatan seperti survei demografi dan survei kesehatan tingkat populasi tidak dimiliki oleh pemda. Untuk data strategis seperti Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), misalnya, walaupun pemda melalui Dinkes terlibat dalam pengumpulan data surveinya, tetapi kepemilikan data ini tetap ada pada pemerintah pusat. Akibatnya, pemda tidak bisa sepenuhnya menggunakannya untuk mengembangkan perencanaan di wilayahnya.

Ada beberapa akibat lebih jauh dari situasi tersebut. Pertama, karena tidak mengetahui besaran dan sebaran masalah yang ada di wilayahnya, inisiatif daerah untuk mengembangkan respons dalam bentuk program maupun kebijakan menjadi kurang. Daerah cenderung menjadi pelaksana dari program-program yang direnca-nakan oleh pemerintah pusat (Kemenkes) maupun oleh lembaga donor. Program penanggulangan HIV dan AIDS lantas dipahami sebagai program pemerin tah pusat yang bersifat vertikal. Target-target pun ditentukan di tingkat pusat, padahal dalam desentralisasi sesungguhnya kekuasaan untuk menentukan target sesuai dengan kondisi daerah dimiliki oleh daerah itu sendiri.

Kedua, perencanaan yang lemah secara langsung juga berdampak pada lemah-nya penganggaran penanggulangan HIV dan AIDS di daerah yang bersumber dari

APBD. Memang ditemukan adanya daerah yang memiliki kapasitas untuk mengem-bangkan data lokal serta menyediakan dana sektor kesehatan yang mencukupi seperti Provinsi Bali. Namun, di banyak daerah lainnya, termasuk Makassar dan Sidoarjo, ketiadaan dokumen perencanaan seperti Strategi dan Rencana Aksi Daerah (SRAD) Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai dasar penganggaran lintas-instansi pemerintah mengakibatkan pengajuan anggaran dari sektor non-kesehatan sering kali ditolak oleh Bappeda yang menilai bukan sebagai tupoksinya. Padahal, alokasi anggaran untuk sektor kesehatan sendiri pun masih belum mencapai 10% dari APBD di luar gaji sebagaimana diamanatkan oleh UU Kesehatan Nomor 36/2009 (Pasal 171 ayat 2).

B. situasi Epidemi dan Perilaku Berisiko di Daerah Penelitian Diagram 1. Prevalensi HIV per 100.000 Penduduk

Sumber: Kemenkes 2014

Situasi epidemi di setiap daerah semestinya memengaruhi variasi respons yang perlu dilaksanakan oleh daerah dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS. Situasi epidemi di lokasi penelitian pada dasarnya bervariasi dalam artian besaran dan sebaran kasus HIV dan AIDS. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kemenkes pada bulan September 2014, terlihat bahwa Papua merupakan daerah dengan prevalensi tertinggi (566,50 kasus per 100.000 penduduk), disusul Papua Barat (356,91 kasus per 100.000 penduduk). Sementara dari penelitian daerah, terungkap bahwa Jawa Timur merupakan daerah dengan prevalensi terendah, yaitu sebesar 51,36 per 100.000 penduduk.

Kasus-kasus HIV dan AIDS di Papua dan Papua Barat lebih banyak ditemukan pada populasi umum (generalisata). Sedangkan di daerah lain, kasus HIV dan AIDS lebih terkonsentrasi pada populasi kunci seperti WPS, waria, LSL, penasun, dan pelanggan WPS.

Diagram 2. Faktor Risiko penularan HIV dan AIDS

Sumber: STBP 2011 dan STBP 2013

Faktor perilaku berisiko penularan HIV dan AIDS juga bervariasi seperti tergambar pada Diagram 2, dengan rincian sebagai berikut:

• Faktor perilaku berisiko kelompok penasun paling tinggi berada di Surabaya (48,6%), kemudian Medan (39,2%), dan yang paling rendah Sidoarjo (6%). Data ini menunjukkan bahwa perkembangan perilaku berisiko secara signifikan terjadi di daerah yang menjadi pusat perkembangan ekonomi dan modernisasi.

• Faktor perilaku berisiko pada kelompok WPSTL tertinggi di Denpasar (8,8 %), kemudian Jayapura dan Medan (3,2 %), dan terendah Makassar dan Surabaya (2 %). Perkembangan perilaku berisiko WPSTL terjadi pada daerah perkotaan yang menjadi pusat berkembangnya tempat-tempat hiburan seperti bar, karaoke, panti pijat dan spa, serta diskotek (Tim Peneliti Undana, 2014).

• Faktor perilaku berisiko pada WPSL tertinggi berada di Denpasar dan Jayapura (16%), diikuti Makassar (13%), Surabaya (10,4 %), Sidoarjo (10 %), dan Deli Serdang (3,6%). Secara umum, faktor perilaku berisiko tinggi pada WPSL terjadi pada hampir semua daerah yang memiliki kawasan hotspot pusat transaksi seks antara WPS dan pelanggannya yang melakukan seks takaman.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa situasi epidemi dan faktor perilaku berisiko di masing-masing daerah penelitian memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga perlu direspons secara proporsional, baik dari segi model intervensi maupun target populasinya.

Dalam dokumen integrasi upaya penanggulangan hiv publish (Halaman 44-51)