• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

3.3 Lekra hadir di Medan

3.3.4 Film Turang

Kota Medan pada sekitaran tahun 1954-an menjadi salah satu kota yang perkembangan industri filmnya sangat pesat. Bea atau pajak pemutaran film dari bioskop-bioskop di Medan pada tahun 1954 mencapai tidak kurang dari sepertiga total anggaran pendapatan pemerintah kota praja Medan. Sekurang-kurangnya ada sekitar enam belas bioskop yang memutar film-film Hollywood, India dan Melayu.150

Pada tahun 1958, Bachtiar Siagian, Ketua Lembaga Film Indonesia (LFI) salah satu Lembaga Kreatif Lekra, berhasil membuat film tentang perjuangan Rakyat di Tanah Karo, Sumatera Utara untuk melawan kolonialisme Belanda, di samping kisah percintaan tragis

150 Buku Tahunan Kota Besar Medan Tahun 1954, Djawatan Penerangan Kota Besar Medan, 1955, hlm. 219

dalam film tersebut. Film yang disutradarai langsung oleh Bachtiar Siagian ini diberi judul

“Turang”. Film ini sendiri diproduksi oleh RAFIC (Retjong Film Corporation), Jajasan Gedung Pemuda Medan ditahun 1957-1958, dengan lokasi syuting di Seberaya, Tiga Nderket, Kabanjahe, dan daerah lainnya di Kabupaten Karo, dan juga di Medan.151

Film ini diangkat dari sebuah drama 3 babak yang sebelumnya tampil dan cukup populer dipentaskan di Medan perjuangan. Sebelumnya juga telah ada syair dan lagu “Oh, turang” karya Sersan Mayor Hasjim Ngalimun, yang beliau dedikasikan untuk mengenang korban serangan tentara Belanda di Tanah Alas, di mana pada 26 Mei 1949 tentara pejuang Resimen IV di bawah komando Djamin Ginting berjuang melawan gempuran pasukan Belanda yang diperkuat enam buah pesawat tempur Mustang Hagers yang memborbardir Tanah Alas, sehingga menimbulkan korban dari pihak laskar pejuang, yakni: Letnan Kerani Tarigan dan Kopral M. Zain. Lagu Oh, Turang ini sendiri kemudian menjadi soundtrack dari film Turang yang dilantunkan oleh Tuti Daulay.

Film ini menceritakan sebuah kisah tentang perjuangan masyarakat Karo di masa penjajahan kolonial Belanda, khususnya di Kuta Seberaya (salah satu tempat lokasi shooting). Kuta Seberaya ini juga pernah menjadi pusat komando tentara Resimen IV di bawah pimpinan Djamin Ginting sewaktu terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur.

Diceritakan dalam film ini awal kisah Wakil Komandan Rusli (diperankan oleh: Oemar Bach) terluka parah saat pertempuran, sehingga harus dirawat, dan perawatannya diserahkan kepada Tipi (Nizmah) yang merupakan adik dari Tuah (Tuahta Peranginangin) yang juga seorang anggota laskar pejuang. Pada saat masa-masa perawatan tersebut tumbuh rasa cinta antara Rusli dan Tipi, namun situasi pada saat itu sangatlah genting,

151 Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order, Zed Books, London, 1994, hlm. 157.

mengingat masih berlangsungnya perang, oleh karenanya membuat jalinan asmara itu harus tertahan. Serangan yang gencar dilakukan tentara Belanda membuat keberadaan laskar pejuang harus berpindah-pindah tempat dan bergerilya, karena keberadaan laskar selalu dapat dibaca oleh Belanda atas informasi dari Dendam (diperankan oleh Hadisjam Tahax) yang menjadi pengkhianat dan mata-mata untuk pihak Belanda.

Film ‘Turang’ banyak diminati oleh khalayak masyarakat Indonesia pada waktu itu, bahkan pemutaran perdana film ini dilangsungkan di Istana Merdeka dan ikut disaksikan langsung oleh Prersiden Soekarno. Selain pernah diputarkan di Istana Merdeka, film Turang juga pernah menembus bioskop Broadway, New York.152

FFI

Akan kesuksesannya film Turang ini sampai menembus pasar film di luar negeri, pada tahun 1960 Film Turang dan Bachtiar Siagian selaku sutradara film tersebut dianugerahi Piala Citra oleh Festival Film Indonesia (FFI). Selain itu film ini juga mendapat penghargaan dari kategori pemeran pendukung terbaik yang diraih oleh Achmad Hamid, serta tata artistik terbaik. Jadi, dalam pada tahun 1960 itu, film Turang berhasil meraih penghargaan dalam empat kategori.

Film ini juga pernah diikutsertakan menjadi salah satu nominasi dalam Festival Film Asia, walau pada akhirnya tidak mendapat penghargaan satu pun.

152 Ibid. hlm. 216.

Titles : TURANG

Main Director : BACHTIAR SIAGIAN Year : 1957

Director : BACHTIAR SIAGIAN Photography : Akin

Composer : - Author : -

Companie : Rentjong Film Corp.

: Jajasan Gedung Pemuda

Medan

Terlepas dari prestasi dan kesuksesan yang dimiliki film ini, ternyata film Turang tetap tidak terhindar dari pemusnahan semua yang berbau komunis pada masa orde baru.

Keterlibatan Bachtiar Siagian dalam PKI, yang merupakan sutradara dari film ini membuat semua karya-karya beliau dimusnahkan153

Namun, ada beberapa pendapat yang muncul, kalau pemusnahan permanen terhadap film Turang ini bukan semata-mata karena keterlibatan Bachtiar Siagian dalam PKI, akan tetapi banyak yang berpendapat bahwa ini merupakan buntut dari keberpihakan masyarakat dan tokoh-tokoh Karo terhadap Soekarno.

, dan tak terkecuali film Turang, juga ikut dimusnahkan.

154

Marhein

Kita ketahui kalau masyarakat Karo dan tokoh-tokoh Karo berjiwa dan merupakan Soekarnois sejati. Selain itu,

153 Katinka van Heeren, Contemporary Indonesian Film, KITLV Press, Leiden, 2012, hlm. 52.

154 Keterangan dari Sjahrial Sandan sewaktu diinterview pada Februari 2013.

beberapa kali terlontar pernyataan kalau Soeharto yang notabene-nya penguasa Orde Baru memiliki perselisihan dan kebencian terhadap salah seorang perwira Sumatera berdarah Karo Mayjen Djamin Ginting (anumerta Letnan Jendral), di mana kabarnya beliau memberi dukungan penuh (juga dalam pendanaan) dalam proses produksi film ini.155

Hal ini tentu terkait juga dengan usaha-usaha penggulingan Soekarno oleh Soeharto. Mayjen Djamin Ginting adalah petinggi militer dalam Front Nasional pendukung setia Soekarno dalam kelompok Kubu Tengah AD Indonesia pimpinan Letjen. A. Yani yang dalam beberapa situasi sering berbeda paham dengan Kubu Kiri (PKI), serta Kubu Kanan AD Indonesia yang dipinpin oleh A. H. Nasution dan Soeharto.

Film Turang yang disutradarai Bachtiar Siagian (terlibat PKI), bernuansa dan berlatar Karo (Soekarnois sejati), dan didukung penuh oleh Djamin Ginting (loyal kepada Soekarno dan A. Yani, serta kelompok Kubu Tengah AD-RI yang berselisih paham dengan Kubu Kanan AD-RI) menjadikan film yang amat berkualitas ini harus dibredel pada masa orde baru.

155 Krishna Sen, 2004, Ibid. hlm. 221