• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN (1950 -1966)

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

NAMA : ARENDA MEHAGA N.I.M : 080706039

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(2)

Lembaran Pengesahan Pembimbing Skripsi

PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN (1950 -1966)

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

NAMA : ARENDA MEHAGA N.I.M : 080706039

Diketahui Oleh : Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum.

N.I.P : 195707161985031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(3)

Lembaran Persetujuan Ujian Skripsi

PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN (1950 -1966)

Dikerjakan Oleh :

NAMA : ARENDA MEHAGA N.I.M : 080706039

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum Tanggal, 28 Juni 2013 N.I.P : 195707161985031003

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal, 29 Juni 2013

N.I.P : 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013

(4)

LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN

Disetujui Oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

Departemen Sejarah Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum N.I.P : 196409221989031001

(5)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah Pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada

Tanggal : 16 Juli 2013 Hari : Selasa

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A Nip. 19511031976031001

Panitia Ujian,

No. Nama Tanda Tangan

1. Dra. Pennina Simanjuntak, M.S. ………

2. Dra. S.P. Dewi Murni, M.A. ………

3. Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum. ………

4. Drs. Edi Sumarno, M.Hum. ………

5. Dra. Nurhabsyah, M.Si. ………

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat dan kebaikan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah berkenan memberikan berkat, penyertaan, kesempatan, dan kasih sayang- Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati dan rasa hormat penulis juga ingin mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan berupa tenaga, motivasi, bimbingan, serta sumbangan pemikiran dari berbagai pihak untuk mensukseskan pekerjaan skripsi ini:

1. Kepada kedua orang tua penulis, Bapak Sahat Sembiring dan Ibunda Jumpanaria Barus yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tak ternilai harganya, kiranya kasih karunia Tuhan selalu berlimpah kepada mereka. Juga kepada abang penulis, Aldion Agung Sembiring yang selalu mendoakan yang terbaik bagi penulis.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A, Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yudi Adrian Muliadi, M.A, berkat bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, maka penulis dapat menyelesaikan studinya.

3. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah banyak memberikan dorongan, nasihat dan motivasi

(7)

kepada penulis baik selama kuliah maupun pada saat mengerjakan penulisan skripsi ini. Juga kepada Ibu Dra. Nurhabsyah, Msi, sebagai Sekretaris Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Terkhusus untuk Bapak Drs. Sentosa Tarigan, MSp sebagai dosen Penasehat Akademik penulis yang telah sangat sabar dan tanpa henti-hentinya memberi wejangan dan nasehat bagi penulis walaupun penulis belum bisa menjadi anak didik yang baik.

5. Terimakasih banyak juga penulis hanturkan kepada Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas segala arahan, bimbingan dan bantuannya dalam penulisan skripsi ini. Saran dan kritik Bapak sangat berperan besar menuntun penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

6. Terimakasih banyak juga penulis haturkan kepada seluruh Bapak/Ibu dosen penulis khususnya di Departemen Sejarah, semoga ilmu yang diberikan dapat penulis amalkan, juga kepada bang Amperawira selaku Tata Usaha Departemen Sejarah.

7. Terimakasih juga penulis haturkan kepada seluruh narasumber dalam penulisan skripsi ini yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh kawan-kawan Mahasiswa Sejarah Universitas Sumatera Utara, terkhusus stambuk/angkatan tahun 2008, Yogi, Artono, Marco, Jansarman, Jakob, Eko, Resti, Eri, Royandi, Hotman, Putri, Fahmi, Dewi, Edyta, Cahaya, Kuasa, Azis, Frider, Suranta, Glorika, Mangihut, Novita, Yuni, Riana dan kawan-kawan 2008 yang lainnya. Terimakasih atas pengalaman luar biasa yang telah kita lewati bersama.

(8)

9. Seluruh abang dan kakak senior dan adik-adik junior yang telah membuat kehidupanku di kampus semakin berwarna.

10. Kepada rekan-rekan segerakan di GMKI FIB USU, Fredrick, Michael, Haradongan, Supriadi, Lida, Krisman, Nida, Roy, Mangiring, Ira, Bob, Debora, Rico, Rayking, Rommel, Marton, Surento, Evelin, Novita, Fajar, Jopi, Joy, Bintang, Jhonli, dan lain-lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

11. Kepada kawan-kawan di Tim Popeye Football Club yang telah memberikan doa dan semangat untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya dengan rasa suka dan cita penulis mengucapkan terima kasih banyak atas segala kontribusi yang telah diberikan dari semua pihak baik yang sudah disebutkan maupun yang belum tak sempat tersebutkan karena adanya keterbatasan. Semoga kebaikan saudara-saudariku yang telah penulis terima sampai saat ini dapat terbalaskan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Doa penulis selalu menyertai kalian semua. Amin.

Medan, Juni 2013 Penulis,

Arenda Mehaga

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita. Skripsi ini merupakan merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana. Skripsi ini telah dipertahankan dalam sidang skripsi di hadapan para penguji Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S).

Skripsi ini berjudul, PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN (1950-1966), yang mengkaji tentang seluk-beluk kehidupan budaya di Medan pada saat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berkembang di sana (1950-1965). Skripsi ini terdiri dari lima (V) Bab, fokus utama yang ingin dipaparkan adalah peristiwa-peristiwa kebudayaan yang berkembang di Medan dan eksistensi Lekra di dalamnya.

Fokus pembahasan skripsi ini terletak pada Bab II – IV, yang berusaha menjelaskan kronologis dari lahirnya Lekra sebagai suatu organisasi kebudayaan hingga lenyapnya Lekra. Dalam Bab II lebih banyak dipaparkan tentang kondisi kebudayaan dan perpolitikan bangsa Indonesia di awal tahun 1950 hingga tahun 1959. Pada bab ini juga dijelaskan secara rinci kronologis berdirinya Lekra pada 17 Agustus 1950 hingga dilaksanakannya Kongres Nasional Lekra yang pertama pada tahun 1959.

Pada Bab III pembahasan lebih difokuskan kepada perkembangan kehidupan kebudayaan di Medan beserta peran Lekra di dalamnya. Lekra mulai merambah daerah Sumatera Utara pada sekitaran tahun 1954, lalu mulai masuk dan membuka cabang di

(10)

Medan sejak tahun 1955. Di Medan Lekra sangat aktif dalam menyebarkan paham kebudayaan revolusionernya dengan cara yang kreatif. Dalam Bab III ini juga dijelaskan bagaimana kehidupan para anggota Lekra Cabang Medan sejak kepemimpinan pertama oleh Bakri Siregar sampai kepada keperiodean terakhir yang dipimpin oleh Buyung.

Fokus pembahasan yang terakhir terletak pada Bab IV, di mana Lekra mulai goyah kedudukannya di ranah kebudayaan nasional dengan hadirnya Manifes Kebudayaan yang dibuat atas kerjasama Angkatan Darat. Perseteruan pun tercipta di antara kedua kubu tersebut sejak tahun 1963-1965. Perdebatan yang sengit di antara keduanya tidak pernah menemukan titik perdamaian. Manifes Kebudayaan akhirnya harus rela dibubarkan oleh Soekarno setelah dianggap sebagai tandingan dari Manifes Politik. Akan tetapi keadaan berubah pada pertengahan tahun 1965, tragedi pemberontakan terjadi pada tanggal 30 September, lebih dikenal dengan sebutan G30S, yang berujung pada pengkudetaan tampuk kepemimpinan di Indonesia. Lekra yang sedang menikmati masa-masa jayanya di saat Manifes Kebudayaan tak lagi bisa berkembang, malah ikut menjadi korban dari pemberontakan tersebut. Lekra ikut menjadi korba tragedi ini karena kedekatannya dengan organisasi Partai Komunis Indonesia. Bersama dengan Soekarno dan PKI, Lekra dilenyapkan oleh rezim yang kemudian muncul setelah terjadinya tragedi G30S itu, yaitu Orde Baru.

Di Bab V pada skripsi ini penulis berusaha membuat kesimpulan atau benang merah dari keseluruhan isi buku ini. Kesimpulan tersebut dibuat untuk memudahkan para pembaca dalam memahami pengaruh-pengaruh apa saja yang telah ditanamkan oleh Lekra dalam kehidupan kebudayaan di Indonesia pada umumnya dan di Medan khususnya.

(11)

Akhir kata, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan bahkan masih banyak didapati kesalahan-kesalahan, namun semuanya itu tentu merupakan sebuah konsekuensi dari kelemahan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Penulis sendiri sangat mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran dari para pembaca untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi yang dituliskan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian yang penulis hormati. Sekian dan terima kasih.

Medan, Juni 2013 Penulis,

Arenda Mehaga

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI

UCAPAN TERIMA KASIH………..I KATA PENGANTAR………....IV DAFTAR ISI………..VII ABSTRAK………..IX

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1 Latar Belakang ………1

1.2 Rumusan Masalah ………...5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………5

1.4 Tinjauan Pustaka ……….7

1.5 Metode Penelitian ………....9

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA………13

2.1 Pencarian Identitas Kebudayaan Bangsa……….13

2.2 Mukadimah Lekra………....22

2.3 Kongres Nasional I dan Revisi Mukadimah Lekra………..30

2.3.1 Struktur Lekra………..31

2.3.2 Kombinasi 1-5-1………..34

2.4 Lekra dan Hubungannya dengan PKI………..46

2.5 Lekra dan Lawan Politiknya………53

(13)

BAB III PENGARUH LEKRA TERHADAP PERKEMBANGAN

KEHIDUPAN BUDAYA DI

MEDAN………..58

3.1 Kondisi Sosial Budaya dan Kesenian di Medan tahun 1950-1965...58

3.2 Budaya ‘Pop’ di Medan………...60

3.3 Lekra hadir di Medan………..68

3.3.1 Lekra Cabang Medan………..70

3.3.2 Lekra Dalam Perkembangan Seni Drama/Teater di Medan...75

3.3.3 Lekra Dalam Perkembangan Ansambel di Medan………….80

3.3.4 Film Turang………....84

3.3.5 Perdebatan Tentang Identitas Budaya………89

3.3.6 Soal Plagiat Karya Sastra Hamka………...90

3.4 Konferensi Nasional I Lestra di Medan………..92

3.5 Situasi di Medan setelah munculnya Manikebu di Jakarta………….95

BAB IV LENYAPNYA GAUNG KEBUDAYAAN LEKRA………99

4.1 Peristiwa Gerakan 30 September 1965………...103

4.2 Stigmatisasi yang Membunuh………108

4.3 Lekra Menuju Ajalnya………112

BAB V KESIMPULAN………..117

DAFTAR PUSTAKA……….122

DAFTAR WAWANCARA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN 1-10 GAMBAR

(14)

ABSTRAK

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) merupakan sebuah organisasi kebudayaan yang bersifat revolusioner dan berpihak kepada rakyat. Lekra didirikan dengan semangat kebudayaan revolusioner dan seni untuk rakyat. Dalam perkembangannya Lekra berperan besar dalam membentuk identitas kebudayaan nasional, sehingga Indonesia tidak perlu banyak mengambil unsur kebudayaan asing, melainkan mempunyai identitasnya sendiri.

Hadirnya Lekra dalam kebudayaan Indonesia ternyata berdampak juga terhadap situasi perpolitikan Indonesia. Dengan azas “politik sebagai panglima” yang dimiliki Lekra, lantas membuat Lekra harus terjun ke dalam putaran arus perpolitikan bangsa.

Campur tangan Lekra ke dalam perpolitikan Indonesia menimbulkan penolakan dari para seniman dan pekerja kebudayaan yang memandang tabu unsur seni dicampur- adukkan dengan unsur politik. Mereka yang menolak ini kemudian membentuk sebuah perkumpulan para seniman yang tidak berpolitik untuk menandingi eksistensi Lekra, yang kemudian dinamakan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan lahir pada tahun 1963.

Meski kemudian terjadi perdebatan-perdebatan sengit antara Lekra dengan Manikebu sampai awal tahun 1964, Lekra tetap berhasil mendominasi ruang kebudayaan Indonesia dan menggeser Manikebu dari ruang kebudayaan tersebut. Hal ini dinyatakan dengan pembubaran Manikebu oleh Soekarno pada Mei 1964.

Di Medan sendiri, Lekra menjadi salah satu faktor penting yang menghidupi suasana kebudayaan di daerah beragam suku dan komunitas ini. Berbagai aktivitas dilakukan Lekra sebagai bentuk kepeduliannya terhadap kebudayaan Indonesia. Masuknya Lekra ke Sumatera Utara, terkhusus di Medan membuat peta kebudayaan daerah ini berubah, dari yang sebelumnya bergenre Melayu dan budaya ‘pop’ menjadi sebuah kebudayaan yang revolusioner. Hal ini dibuktikan oleh Lekra dengan peran sentralnya dalam mengangkat kesenian drama dan seni musik, tak ketinggalan juga seni film di Medan ke kancah nasional bahkan internasional. Kehadiran dan perkembangan Lekra di Medan memberikan banyak kontribusi nyata bagi perkembangan seni di daerah ini, hingga menjadikan Medan sebagai salah satu kota yang paling aktif dalam kegiatan seni dan budayanya selain Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta.

Pada sekitaran tahun 1965-1966 menjadi masa-masa menjelang akhir dari eksistensi Lekra di Indonesia. Berawal pada tahun 1965 yang ternyata menjadi titik balik perkembangan Lekra yang sebelumnya seakan tidak terbendung eksistensinya menjadi harus dikubur pergerakannya hingga benar-benar tak bisa bangkit kembali. Kebrutalan rezim otoriter Orde Baru mengharuskan para pekerja seni Lekra mendekam di dalam bui bahkan tak sedikit yang hilang dan tewas di tangan rezim tersebut.

Metode yang digunakan dalam meneliti peran Lekra di Medan (1950-1966) yaitu dengan metode sejarah analitis dan deskriptif. Untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian tentang peranan Lekra di Kota Medan ini (1950-1966) adalah untuk mengetahui apa saja dinamika- dinamika yang terjadi saat Lekra mulai berusaha menanamkan pengaruhnya terhadap kehidupan kebudayaan di Medan.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tahun-tahun dalam periode sekitar 1950-an merupakan sebuah periode yang sangat identik dengan pertarungan ideologi di antara bangsa-bangsa seluruh penjuru dunia.

Ideologi pada masa itu diyakini bukan lagi dipandang sebagai sebuah refleksi belaka seperti situasi awal lahirnya konsep ideologi, akan tetapi dia juga sudah menjadi sebuah

‘kebudayaan’1

Tahun-tahun sekitar 1950-an dan awal 1960-an juga merupakan suatu masa ketika hubungan-hubungan Indonesia dengan dunia dan dengan kebangsaannya sedang dinegosiasikan dengan penuh semangat. Tak pelak kurun waktu tersebut menjadi sebuah zaman yang penuh gairah dengan pembentukan identitas bangsa. Kebudayaan berada sebagai dasar dari hubungan antar personal, yang masing-masing mendasari sebuah pembentukan bangsa (nation building). Para seniman dan intelektual di dalam republik yang masih belia itu sibuk memikirkan, berpartisipasi dan bereksperimen, serta berdebat . Pertarungan ideologi ini semakin terasa sengit ketika masa dimana kebebasan untuk hidup mandiri (tidak diurus oleh kepentingan bangsa asing) telah mulai diperkenalkan kepada bangsa-bangsa yang baru memerdekakan diri, termasuk Indonesia.

Partai-partai politik mulai diperkenalkan dan dibentuk dengan ideologi-ideologi masing- masing. Pancasila yang menjadi ideologi dasar negara Indonesia seakan menjadi rebutan bagi ideologi-ideologi lain untuk dapat bersanding dengan-nya (Pancasila) sebagai sebuah nilai yang juga ingin dipandang selayaknya Pancasila itu sendiri.

1 David Mc Lelland, Ideologi Tanpa Akhir. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005. hlm. 157

(16)

secara semangat mengenai apa yang dapat menghubungkan dan memisahkan mereka, serta apa yang membuat mereka menjadi bagian dari ‘Rakyat Indonesia’. Kesalingtautan antar lintas budaya Indonesia dengan luar negeri dan perkembangan-perkembangan di dalam negeri selama periode 1950-1965 menjadi perhatian masalah yang rupanya menentukan nasib bangsa Indonesia dalam hal mengisi kemerdekaan bangsa.

Pada 18 Februari 1950 – kurang dari dua bulan setelah pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia2 – sehimpunan seniman melansir Surat Kepercayaan Gelanggang.3

‘Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia dan kebudajaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri’.

Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat mengesankan:

4

Sejak awal tahun 1963 situasi bangsa mulai berubah drastis. Kelompok kiri sedang sangat gencarnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Para seniman dan budayawan mencari ikatan (perlindungan) dengan kelompok-kelompok politik. Debat-debat yang Persoalan setelah munculnya Surat Kepercayaan Gelanggang menjadi kian rumit karena para seniman dan intelektual Indonesia mulai mengenal berbagai pola modernitas, baik itu melalui hubungan dengan jaringan luar negeri maupun lewat hubungan satu sama lain di dalam negeri. Ideologi sosialisme dan kapitalisme - yang baru muncul pada awal abad 19 semakin menunjukkan eksistensinya pada masa Perang Dingin - menawarkan dua pola yang secara diametris sangat berlawanan mengenai pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan suatu bangsa.

2 Sebagaimana diketahui bahwa pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari Belanda baru didapat pada Desember 1949 di ranah Konferensi Meja Bundar (KMB).

3 Nama ‘Gelanggang’ diambil dari suplemen kebudayaan di dalam media cetak mingguan Siasat

4 Untuk salinan lengkap dari Surat Kepercayaan Gelanggang lihat Bab II di halaman 18 pada buku ini.

(17)

sering terjadi pada saat itu tidak lagi perdebatan secara intelektual antara pemuda-pemuda yang masih membentuk kesadaran nasionalismenya, melainkan cenderung menjadi serangan sengit yang bersifat pribadi. Tegangan dan konflik juga tidak hanya antar ‘kubu’

ideologi secara luas, tetapi juga konflik internal mulai memecah belah masing-masing kelompok politik.

Bias ilmiah dari konflik-konflik ideologi tersebut terhadap kebudayaan menyebabkan potret kehidupan intelektual dan budaya pada periode awal dari Republik Indonesia sebagai suatu konflik penuh polarisasi antara kelompok kiri dengan kelompok kanan. Konflik kebudayaan yang tersengit mencapai klimaksnya pada tahun 1963 antara pekerja budaya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia bersama kawan-kawan se-ideologinya dengan para penandatangan Manifesto Kebudayaan. 5

Terutama kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjadi main actor atau tokoh utama dalam proses dinamika kebudayaan pada tahun 1950-1965, merupakan suatu wadah yang paling ofensif dibanding gerakan-gerakan kebudayaan lainnya. Terlebih dalam hal memprovokasi rakyat Indonesia untuk mengikutsertakan rakyat sebagai tulang punggung revolusi yang masih harus dilanjutkan terutama dalam membentuk ‘identitas Persaingan memperebutkan posisi yang strategis dalam kebudayaan ini lantas diusung sebagai simbol dari konflik kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia, dan juga digambarkan sebagai sebuah pertarungan ideologi antara “seni untuk rakyat” (l’art pour engage) diperhadapkan dengan “seni untuk seni” (l’art pour l’art).

5 Jennifer Lindsay, Ahli Waris Budaya Dunia 1950-1965; Sebuah Pengantar, KITLV-Jakarta, Jakarta, hlm. 6.

(18)

kebudayaan’ Indonesia. Dalam hal ini Lekra tentunya senada dengan Bung Karno yang juga menuntut hadirnya kaum-kaum revolusioner sejati untuk menjaga keutuhan Bangsa Indonesia.

Kota Medan pada masa-masa itu menjadi salah satu kota yang paling aktif berpartisipasi dalam memunculkan pertarungan antara ideologi Humanisme Universal kepunyaan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan ideologi Realisme Sosialis-nya Lekra. Para pekerja kebudayaan dari kedua kubu tersebut saling melancarkan strategi masing-masing untuk berebut menjadikan Medan sebagai sebuah basis salah satu dari mereka. Hal ini tentunya berdampak terhadap perkembangan kebudayaan dan kesusastraan yang ada di Medan, misalnya karya-karya sastra seperti cerpen, puisi, novel, dll. yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan Medan. Begitu pun halnya dengan perkembangan seni drama atau teater, lukis, tari, dan aplikasi-aplikasi kebudayaan lainnya yang terjadi di medan selama kurun waktu 1950-1965.

Atas dasar inilah tentunya sangat menarik apabila dapat dikaji lebih dalam dan rinci lagi tentang apa saja pergerakan-pergerakan yang dilakukan Lekra di Kota Medan selama kurun waktu 1950-an hingga pada tumbangnya masa demokrasi terpimpinnya Soekarno – atau bisa juga disebut awal berdirinya zaman Orde Baru – yaitu tahun 1965, dalam membentuk suatu identitas kebudayaan di Medan hingga terwujudnya karakter kebudayaan Kota Medan seperti yang dikenal dengan julukan kota “Roman Picisan”.6

6 M.I. Rangkuti, Dinamika Seni dan Budaya Sumatera Utara. Medan, 1981. hlm. 198

(19)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dibuatlah suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian sekaligus menjaga singkronisasi dalam uraian penelitian. Untuk mempermudah penulisan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana awal berdiri dan berkembangnya Lekra sebagai gerakan kebudayaan yang tetap eksis sampai tahun 1966 di Indonesia pada umumnya dan di Medan pada khususnya.

2. Bagaimana peran Lekra dalam membentuk wacana serta kegiatan-kegiatan kebudayaan dan seni yang terdapat di Medan pada sekitaran tahun 1950- 1966.

3. Bagaimana dinamika-dinamika pergulatan kebudayaan yang dialami Lekra selama kurun waktu 1950-1966 di Medan.

I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis, maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah permasalahan mengenai yang menjadi tujuan peneliti dalam penelitian ini serta manfaat yang didapatkan dari hasil penelitian.

(20)

• Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menjelaskan bagaimana awal berdiri dan berkembangnya Lekra hingga menjadi gerakan kebudayaan yang tetap eksis sampai tahun 1966 di Indonesia pada umumnya dan di Medan pada khususnya.

2. Memberikan pemahaman tentang peranan Lekra dalam kegiatan- kegiatan kebudayaan dan seni yang terdapat di Medan pada sekitaran tahun 1950-1966.

3. Memberikan wacana tentang dinamika-dinamika pergulatan kebudayaan yang dialami Lekra selama kurun waktu 1950-1966 di Medan.

• Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberi informasi bagi peneliti dan para pembaca mengenai latar belakang perkembangan kebudayaan Indonesia dan perkembangan Lekra pada kurun waktu 1950-1966.

2. Bertambahnya referensi bagi para pembaca tentang keberadaan Lekra di Medan selama rentang waktu 1950-1966.

3. Memperjelas sebuah sebuah perjalanan sejarah kebudayaan di Indonesia pada sekitaran tahun 1950-1966 yang selama ini cenderung masih dituliskan dengan penuh kontroversi, terutama kesubjektifan yang terdapat pada organisasi-organisasi yang bersifat kekiri-kirian seperti Lekra.

(21)

I.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian merupakan masalah yang harus dipahami sehingga diperlukan beberapa referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.

Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus di-review terlebih dahulu.7

1. Lekra Tak Membakar Buku (Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan, 2008) Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan referensi yang menimbulkan gagasan, konsep, teori, dan mengarah pada pembentukan hipotesa, dan sumber informasi atau pendukung tulisan yang akan dibuat.

Berikut ini adalah tiga jenis buku yang menjadi literatur primer dalam penulisan skripsi ini:

Buku ini bisa dapat dianggap sebagai buku yang paling komprehensif mengenai Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim, lampiran, dan indeks. Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus segaris dengan Manifes Politik (Manipol)-nya Soekarno. Demikian pula dengan sikap berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah panglima kebudayaan”. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa Indonesia. Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain

7 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Logus Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hlm. 51

(22)

berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber kepustakaan lain.

2. Prahara Budaya (D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, 1995)

Buku ini hampir keseluruhannya berisikan tulisan tentang citra buruk Lekra terhadap pengaruhnya dalam kebudayaan Indonesia masa demokrasi terpimpinnya Soekarno. Siapa pun yang pernah membaca buku “Prahara Budaya” tanpa mengkritisi isinya akan terjerat oleh kesan betapa ganas, bahaya, dan biadabnya Lekra. Propaganda Orde Baru tentang komunisme sebagai makhluk jahat seperti satu partitur dengan buku ini 8 . Tidaklah berlebihan jika dapat dikatakan bahwa buku ini disusun dengan mengandalkan semangat propaganda, bukan dengan semangat ilmiah untuk mencari dan menemukan kebenaran sejarah. Buku ini banyak berisi tentang lampiran-lampiran yang bermuatan tulisan-tulisan dari para pelaku sejarah pada masa itu, akan tetapi teknik penyuntingan yang tidak begitu jelas teknik dan metodenya menyebabkan banyak pernyataan-pernyataan di dalam buku ini kurang bisa dibuktikan kebenaran dan realitasnya. Namun begitu pun, terlepas dari ke-subjektivan yang terlalu dalam pada Prahara Budaya, buku ini tetap dirasa pantas menjadi sebuah bahan rujukan karena dapat menjadi bahan pembanding juga untuk memperoleh kejelasan fakta dari situasi konflik kebudayaan yang terjadi pada masa 1955-1965, terutama pertentangan antara Lekra dengan Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

8 Hal ini mengingat bahwa sang penulis buku, terutama Doktor Honoris Causa Dokter Hewan, Taufik Ismail, adalah sekutu dari penguasa pada rezim pemerintahan Orde Baru.

(23)

3. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Pramoedya Ananta Toer. 2003)

Buku ini menjelaskan tentang faham atau filsafat dari ideologi Realisme Sosialis yang lahir dari kondisi revolusi di Uni Soviet (sekarang Rusia). Realisme Sosialis 9

Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu petunjuk teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode sejarah adalah suatu proses yang benar berupa aturan – aturan yang dirancang untuk membantu dengan efektif dalam mendapatkan kebenaran suatu sejarah.

dianggap sebagai filsafat yang menyempurnakan pemikiran dialektik, bagi realisme sosialis, setiap realitas dan setiap fakta, hanyalah sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Realisme Sosialis dapat dikatakan sebagai embrio dari lahirnya gerakan Lekra di Indonesia. ‘Seni untuk Rakyat’, ‘seniman harus mengabdi kepada Rakyat’, dll adalah bentuk muatan-muatan yang digali dalam ideologi Realisme-Sosialis.

Untuk dapat lebih dalam mengerti tentang Lekra harus terlebih dahulu mempelajari makna tentang realism sosialis, karena dialah ‘jiwa’ Lekra. Oleh karena itu buku Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini sangatlah penting untuk dijadikan rujukan utama dalam hal menulis tentang pergerakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

I.5 Metode Penelitian

10

Penulisan sejarah yang deskriptif-analitis haruslah melalui tahapan demi tahapan.

Ada empat tahap metode dalam penelitian sejarah: satu, heuristik (pengumpulan sumber);

9 Kata ‘Realisme Sosialis’ diyakini dipelopori oleh pujangga besar Soviet, Maxim Gorki.

10 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Terj.) Nugroho Notosusanto, hal. 143

(24)

dua, verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber); tiga, interpretasi (analisis dan sintesis);

dan empat, historiografi (penulisan).

Langkah pertama yang penulis kerjakan yaitu heuristik yang berarti pengumpulan sumber – sumber atau data-data yang terkait dengan objek penelitian penulis dari berbagai sumber dalam hal ini penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan), sumber tersebut merupakan sumber primer dan sumber sekunder. Sebenarnya garis demarkasi perbedaan antara sumber pertama dan sumber kedua tidak begitu jelas atau sering dikaburkan karena setiap sejarawan mempunyai pendapat masing-masing.11 Sumber primer dapat dibagi dua yang pertama, berupa dokumen dan arsip -arsip atau laporan pemerintah dan yang kedua yaitu sumber lisan berupa wawancara yang langsung dilakukan dengan pelaku atau saksi mata peristwa sejarah. 12

11 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2007. hal. 107

12 Dudung Abdurahman, 1999, op.cit. hal. 56

Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi), setelah sumber sejarah yang dibutuhkan semua terkumpul maka dilanjutkan dengan tahapan kritik sumber, hal ini dilakukan untuk memperoleh keabsahan atau keaslian sumber atau data yang di dapat.

Penulis dalam melakukan kritik sumber atau penyeleksian yang dilakukan terhadap sumber-sumber semestinya melalui dua pendekatan yaitu pendekatan intern dan ekstern.

Dimana dalam pendekatan intern yang harus dilakukan yakni menelaah dan memverifikasi kebenaran dari “dalam” yaitu isi dari sumber atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan (buku, artikel, laporan, dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara atau kesaksian).

(25)

Demikian selanjutnya adalah dengan melakukan kritik ekstern. Kritik ekstern dilakukan dengan cara memverifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan yang menjurus ke arah objektif yang berasal dari data-data yang terjaga keasliannya dan keobjektifannya tanpa ada unsur subjektifitas yang berlebihan dalam mempengaruhi hasil penulisan.

Langkah ketiga yang dilakukan yaitu interpretasi, setelah data tesebut melewati kritik sumber maka penulis melakukan tahapan yang ketiga yaitu penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil dari kritik sumber. Di dalam proses interpretasi ini bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber walaupun kita ketahui ini tidak akan dapat dihilangkan sepenuhnya. Interpretasi ini dapat dikatakan data sementara sebelum penulis membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

Langkah selanjutnya dan yang terakhir yaitu Historiografi, tahapan ini berisi tentang penulisan, pemaparan, atau pelaporan dari hasil rekonstruksi data-data terhadap penelitian sejarah yang telah dilakukan. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif-analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Historiografi juga merupakan klimaks dari sebuah metode sejarah.13

13 Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Gramedia, Jakarta, hal. 58

Layaknya penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (heuristik) sampai dengan akhir yaitu penarikan kesimpulan sehingga dapat dikatakan penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis.

(26)

Ketika menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan hanya pokok kajian. Ini dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Empat tahapan di atas akan saling berkaitan antara satu dengan yang lain.14 Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang digunakannya tepat atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki validitas yang memadai atau tidak, jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan mutu penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri.15

14 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995, hlm. 95.

15 Dudung Abdurahman, 1999, op.cit. hlm. 67.

(27)

BAB II

LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

2.1 Pencarian Identitas Kebudayaan Bangsa

Pada masa awal kemerdekaan bangsa Indonesia, persoalan identitas kebudayaan menjadi sebuah topik masalah yang cukup serius dibicarakan oleh khalayak umum.

Momentum kemerdekaan menjadi tolak ukur terciptanya sebuah keharusan untuk menciptakan identitas dari sebuah kebudayaan yang mandiri, kebudayaan yang bisa merangkul seluruh wilayah bangsa dan dapat menggantikan identitas budaya lama yang sudah puluhan abad menghiasi sendi-sendi kehidupan rakyat banyak.

Permasalahan dalam pencarian identitas kebudayaan ini pada awalnya ialah berusaha untuk menghapus sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme yang masih berada di Indonesia yang baru menikmati kemerdekaan. Pada tahun 1945-1949, para seniman dan pujangga-pujangga berusaha menciptakan beberapa karya seni untuk menenggelamkan karya-karya seni asing yang dahulu sangat popular di mata masyarakat. Sekaligus juga membuktikan kepada rakyat Indonesia bahwa karya-karya seni inlanders (pribumi) juga ada dan tak kalah berkualitas dengan karya-karya seni barat.

Pujangga-pujangga besar seperti Chairil Anwar16, Sutan Takdir Alisyahbana, Asrul Sani17

16 Chairil Anwar, lahir di Medan pada 22 Juni 1922. Ia mulai masuk ke dalam dunia sastra sejak masa pendudukan Jepang. Sajak-sajak yang dibuatnya semasa itu sangat merefleksikan semangat patriotiknya, diantaranya ‘Diponegoro’, ‘Persetujuan dengan Bung Karno’, ‘Siap Sedia’ dan sebagainya.

17 Asrul Sani lahir di Rao (Sumatera) 10 Juni 1926. Ia juga berperan sebagai pendahulu Angkatan

’45. Asrul kemudian mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan, organ budaya Nahdatul Ulama (NU).

, Rivai Apin, M.Balfas, Henk Ngantung, Nyoto dll. adalah para tokoh dalam bidang kebudayaan yang menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

(28)

Nama-nama besar ini memang banyak melahirkan karya-karya besar yang sangat menginspirasi seniman-seniman dan budayawan-budayawan yang lain.

Seni yang sangat berkembang pesat pada tahun 1945-1950 ini ialah seni sastra.

Mereka yang berkecimpung di bidang ini disebut sebagai sastrawan pada periode Angkatan 45, dikenal aliran sastra realisme, naturalisme dan gaya ekspresionisme. Aliran dan gaya tersebut sesungguhnya sudah dikenal sejak periode Pujangga Baru, tetapi belum diterapkan sepenuhnya dalam karya-karya sastra para sastrawan waktu itu. Salah satu novel yang sangat identik dengan angkatan ini yaitu Salah Asuhan dan Belenggu. Akan tetapi, gaya kedua novel tersebut masih bercorak romantik.

Aliran sastra realisme dan naturalisme kemudian diterapkan pula dalam kritik18 sastra yang bercorak orientasi mimetik.19

Di samping aliran realisme dan naturalisme, dalam periode Angkatan 45’ juga muncul paham individualismee dan humanisme universal

Kritik sastra bertipe mimetik ini pertama kali tampak dalam kritik sastra HB.Jassin, meskipun juga bercampur dengan tipe yang lain, baik itu tipe pragmatik, ekspresif, maupun objektif.

20

18 Kata ‘kritik’ berasal dari bahasa Yunani krite’s yang berarti ‘seorang hakim’, krinein yang berarti

‘menghakimi’, criterion berarti ‘dasar penghakiman. Untuk istilah ‘kritik sastra’ sendiri mulai meluas pada abad ke-17. Istilah kritik sastra pada masa itu diterjemahkan sebagai sebuah bidang studi sastra untuk

“menghakimi” karya sastra dan untuk memberikan penilaian serta keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern, Dwi Dharma, Klaten, 1967, hlm. 9-10.

19 Rachmat Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm.

41. Sastra ‘mimetik’ merupakan sebuah pendekatan dalam hubungan karya sastra dengan ‘universe’

(semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatar belakangi lahirnya suatu karya sastra. Sastra jenis ini menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan antara karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.

Sastra mimetik juga sering disebut dengan sastra imitasi atau realitas.

20 Istilah ‘Humanisme Universal’ pertama kali diungkapkan di Indonesia oleh H.B. Jassin pada sebuah esainya yang menggambarkan filsafat estetika sastra Angkatan 45 (H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei II, Jakarta: Gunung Agung, 1967).

. Kedua paham itu memberi corak ataupun ciri kesusastraan Angkatan 45. Dalam kritik sastra kedua paham itu

(29)

bersangkut-paut dengan kriteria penilaian, yaitu kriteria ekstra estetik, dikenakan kepada

“bahan” karya sastra yang bersangkut-paut dengan keagungan atau kesubliman karya sastra.

Paham individualisme sesungguhnya sudah ada sejak angkatan Pujangga Baru21

Paham atau aliran seni yang kemudian masuk ke dalam Angkatan ’45 pada akhir tahun empat puluhan adalah ‘humanisme universal’. Paham ini mengutamakan penonjolan penggambaran manusia yang umum dalam karya sastra. Dalam arti, dalam karya sastra dikemukakan masalah-masalah kemanusiaan yang dapat atau mungkin dialami oleh manusia di seluruh dunia, misalnya masalah tidak adanya perikemanusiaan dalam perang, saling berbunuhan antara manusia, manusia di seluruh dunia itu menghendaki kemerdekaan, kesejahteraan lahir batin, menghendaki keadilan dan sebagainya.

. Akan tetapi, paham ini baru menjadi sangat menonjol pada Angkatan 45. Pada periode pujangga baru, individualitas atau kepribadian itu tampak pada hal pemilihan bentuk (sajak) yang sangat bervariasi, di samping berupa curahan perasaan pribadi dan gerakan sukma sesuai dengan ciri-ciri romantisme yang mengutamakan perasaan dan pikiran sastrawan. Akan tetapi, aku sebagai kedirian manusia perseorangan dalam periode Pujangga Baru belum ditonjolkan atau dikedepankan dengan sengaja. Dengan demikian, paham individualisme yang sesungguhnya baru kelihatan dalam karya-karya sastrawan Angkatan ‘45. Sebagai lambang individualisme Angkatan 45 adalah sajak “Aku” karya Chairil Anwar.

21 Nama Pujangga Baru, selain menjadi nama majalah yang terbit sejak 1933, juga dipakai sebagai nama angkatan yang menggambarkan gaya khas sastra yang juga merupakan ciri khas dari majalah tersebut.

Sering dihubungkan dengan perjuangan kaum intelektual nasionalis Indonesia dalam usahanya menjelaskan

“Indonesia” sebagai kesatuan budaya, juga harus disebut sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi kebudayaan bentukan kolonial Belanda: Balai Pustaka. (Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta, Girimukti Pasaka. 1991, hlm. 57).

(30)

Penggabungan antara individualisme dengan humanisme universal inilah yang akhirnya menjadi identitas dari sastrawan Angkatan ’45.

Pada 19 November 1946, di Jakarta, dengan usaha dari Asrul Sani, Sitor Situmorang22

“Gelanggang terlahir dari pergolakan ruh dan pikiran kita, yang sedang menciptakan manusa Indonesia yang hidup. Generasi yang harus bertaggung jawab dengan sesungguhnya penjadian diri bangsa kita. bahwa kita hendak melepaskan diri kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk, dan berani menentang pandangan, sifat dan anasir ini untuk menyalakan bara kekuatan baru.”

, Rivai Apin, Chairil Anwar, Henk Ngantung, dan M.Balfas, lahirlah sebuah wadah perkumpulan para seniman yang dinamakan “Gelanggang Seniman Merdeka” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Gelanggang”. Perkumpulan inilah yang nantinya menjadi cikal-bakal lahirnya generasi-generasi seniman kebudayaan selanjutnya di Indonesia sampai pada tahun 1965. Lebih lengkapnya, berikut statemen yang melatarbelakangi berdirinya “Gelanggang” sebagai perkumpulan seniman kebudayaan:

23

22 Sitor Situmorang lahir 2 Oktober 1923 di Harianboho, Tapanuli Utara. Mulai menulis pada akhir tahun empat puluhan, namun ia lebih populer pada tahun 1950-an setelah ia kembali dari Eropa. Karya- karyanya tidak hanya terdapat pada bidang sastra, tetapi juga pintar menulis lakon teater. Sitor juga aktif dalam kegiatan politik dengan pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dan mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), yang menjadi alat kebudayaan partainya sendiri. Ia ditangkap da dipenjara selama delapan tahun dalam kurun waktu 1968-1976.

23 D.S. Moelyanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya: Kilas-balik ofensif Lekra/PKI dkk, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 31.

Preambul pernyataan lahirnya “Gelanggang” di atas, tentu dengan sangat jelas mengisyaratkan suatu tujuan awal dibentuknya perkumpulan ini, yang juga menjadi sikap dari para seniman yang tergabung di dalamnya (a) mempertanggungjawabkan penjadian bangsa Indonesia; (b) mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan ruh rakyat Indonesia; (c) memasukkan cita-cita ke dalam segala kegiatan para seniman bangsa.

(31)

Hadirnya perkumpulan Gelanggang membuat situasi pergolakan kebudayaan berubah. Jika sebelumnya para seniman kebudayaan hanya disatukan oleh lembaga yang juga berlandaskan kebudayaan, namun buatan pihak kolonial Belanda, “Balai Pustaka”24

Surat Kepercayaan Gelanggang

, kini mereka mempunyai wadah untuk mempersatukan kaum-kaum seniman kebudayaan tersebut, terlebih lagi buatan anak bangsa sendiri. Akan tetapi, perkumpulan gelanggang ini tentu tidak dapat merangkul semua seniman di Indonesia yang baru merdeka pada waktu itu, jangankan merangkul, publikasi mengenai terbentuknya perkumpulan gelanggang ini belum terlalu banyak diketahui oleh para seniman pribumi di luar pulau Jawa.

Pada 18 Februari 1950, tepatnya empat tahun setelah perkumpulan gelanggang terbentuk, sehimpunan seniman yang juga tergabung dalam majalah mingguan Siasat, melansir suatu pernyataan sikap ke dalam sebuah teks yang dinamakan ‘surat kepercayaan gelanggang’. Berikut adalah isi dari surat kepercayaan gelanggang tersebut:

25

Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirka suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

24Balai Pustaka/Commissie voor de Volkslectuur mempunyai aturan-aturan tersendiri untuk menerbitkan sebuah buku, yaitu ‘isi tulisan harus bersikap netral terhadap agama’, ‘memenuhi syarat-syarat budi pekerti yang baik’, ‘menjaga ketertiban’, dan ‘tidak boleh berpolitik (melawan pemerintah kolonial Belanda)’. Setelah Republik Indonesia merdeka, Balai Pustaka beralih ke tangan pemerintah Indonesia. H.B.

Jassin, Surat-surat 1943-1983, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 24.

25 Ibid, hlm: 421 .

(32)

ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara- suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha –usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.

Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai using yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolus di tanah air kami sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu ialah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas dan menelaah kami membawa sifat sendiri.

Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.

Jakarta, 18 februari 1950

Surat Kepercayaan Gelanggang, atau yang lebih sering disingkat dengan “SKG” ini adalah sebuah manifesto tentang bidang kebudayaan yang pertama kali muncul di Indonesia. Akan tetapi, SKG tidaklah dihasilkan oleh sebuah organisasi kebudayaan seperti yang banyak terjadi di periode-periode setelah SKG ini muncul. Surat Kepercayaan Gelanggang semata-mata adalah seruan dari sekelompok orang tanpa ikatan kerja bersama yang kongkrit, yang di kemudian hari didefinisikan oleh khalayak sebagai konsep pandangan dunia yang mewakili para seniman Angkatan 45. Meski dicetuskan pertama kali pada Februari 1950, pernyataan SKG sendiri baru pertama kali muncul dalam rubrik Cahier Seni dan Sastra yang juga bernama “Gelanggang” yang merupakan salah satu rubrik dari Majalah Siasat,26

26 Siasat merupakan sebuah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan budayawan dan intelektual yang kemudian hari sangat dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), diantaranya seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama kali pada Januari 1947, sedangkan ruang (rubrik) kebudayaan ‘Gelanggang’-nya baru muncul pada awal 1948 atas inisiatif dari sekelompok seniman dalam “Gelanggang Seniman Merdeka” yang kemudian oleh HB. Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah seni Indonesia.

pada edisi Oktober 1950. Sebelum termuat di media, sebenarnya pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang ini pernah dibacakan dalam sebuah

(33)

pertemuan antara budayawan dan intelektual Indonesia di Paviliun Hotel Indes Jakarta pada Juni 1950.

Manifes yang dibuat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang cenderung berlandaskan bahwa seni dan kebudayaan pada umumnya adalah bersifat universal.

Pernyataan bahwa mereka (para pembuat SKG) adalah “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” pada bagian pertama, sesungguhnya adalah suatu sikap kultural yang kosmopolitan, yang maksudnya meniadakan secara konseptual suatu peniruan, adaptasi, akulturasi dan sejenisnya terhadap sebuah kebudayaan.

Sedangkan untuk paragraf kedua, ketiga, dan keempat adalah penegasan ulang bahwa identitas mereka sebagai orang Indonesia bukanlah dari tampilan fisik, melainkan dari apa yang mereka hasilkan sebagai insan pencipta budaya, terlebih lagi dengan diikuti penolakan terhadap segala “pemeriksaan ukuran nilai” dalam kebudayaan yang tak menentu sikap dan identitasnya atau sewenang-wenang. Lebih ekstrim lagi ialah pernyataan tidak mau “melap-lap hasil kebudayaan lama” namun akan menciptakan sendiri kebudayaan yang baru yang didapat dari sebuah interaksi para seniman dan budayawan dengan realitas dunia. Komitmen ini berarti mereka sepakat dengan konsep revolusi nilai, yang berarti meletakkan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang sudah tidak layak dan harus dihancurkan.

Yang cukup menarik dari manifes SKG ini adalah semangat

“internasionalismenya”27

27 Semangat internasionalisme ini menurut beberapa pengamat sejarah kesusasteraan Indonesia modern dipopulerkan oleh Chairi Anwar yang dia sendiri mengambilnya dari identifikasi dengan estetika modern eropa. Lihat pada Keith Foulcher, Angkatan 45; Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia, Jaringan Kerja Budaya, Jakarta ,1994, hlm 23.

dengan meletakkan tanggung jawab penuh dari integritas para

(34)

seniman secara individual sebagai pembangun budaya. Para pencetus SKG ini berpikiran bahwa seni sangat mempunyai peran dalam proses pembangunan bangsa apabila seniman tetap setia pada cita-cita untuk melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan melakukan penggalian untuk menemukan jati diri dari keaslian –keaslian pencapaian budaya.

Karena sifatnya yang ‘internasionalisme’ dan ‘universal’ itu, banyak kalangan pada masa itu yang menilai bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang adalah ibu kandung dari Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang lahir pada 1963. Bukan hanya itu, SKG juga didengung-dengungkan berlainan arah atau berlawanan dengan Lekra atau penganut paham Realisme Sosalis. Padahal dari kalangan Lekra sendiri mereka melihat bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang tidaklah bertentangan dengan Mukadimah Lekra, karena keduanya pada kenyataannya mempunyai sikap yang sama terhadap revolusi, kebebasan kreatif dan demokrasi.28

Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) ini ternyata tak luput kontroversi di dalamnya, terutama pada latar belakang kelahirannya. Salah satunya ialah dalang atau konseptor dibalik lahirnya SKG ini sendiri. Dalam kebanyakan literatur-literatur tentang sejarah kesusasteraan Indonesia Modern, Chairil Anwar lah yang diyakini menjadi konseptor atas terbentuknya Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut, akan tetapi tak sedikit juga kalangan yang menganggap bahwa Asrul Sani yang sebenarnya memainkan peran utama untuk mencetuskan SKG.

29

28 Joebaar Ajoeb, Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, Teplok Press, Jakarta, 2004, hlm. 25.

29 Ajip Rosidi sebagai penyunting buku Asrul Sani 70 tahun, menyatakan bahwa sang konseptor dari Surat Kepercayaan Gelanggang adalah Asrul Sani. Ajip menolak pandangan umum selama ini yang menganggap bahwa Chairil Anwar-lah konseptornya. Sebab, menurut Ajip Rosidi, ketika surat itu diumumkan Chairil Anwar sudah setahun sebelumnya meninggal dunia (April 1949). Argumen Ajip ini

(35)

Selain itu, kontroversi seputar SKG ini juga terdapat pada situasi sosial politik yang melatar belakangi lahirnya manifest SKG. Situasi sosial politik Indonesia di tahun 1950-an sangat diwarnai dengan hiruk-pikuk aktivitas partai-partai, yang cenderung membuat stabilitas negara hanya diprioritaskan pada politik semata dan pada akhirnya menimbulkan kejenuhan pada kaum seniman, budayawan, dan para intelektual. Akan keadaan yang seperti itu tentu dengan mudah timbul rasa sinisme terhadap kondisi politik di tahun 1950- an. Sinisme tersebut tampak sangat jelas dalam tulisan Asrul Sani yang berjudul “Fragmen Keadaan”, yang dimuat pada rubrik Gelanggang selama tiga edisi berturut-turut. Tulisan tersebut menjelaska latar belakang mengapa sampai dicetuskannya SKG. Pada bagian pertama Asrul menulis:

“Kita lihat orang-orang mudah di tanah air kita sendiri berbaris-baris masuk partai politik! Ya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan yang lebih mudah dari ini. Di sana orang mudah menjadi alat, dan perkataan “aku” dapat disembunyikan di balik perkataan “kami”. Semboyan-semboyan yang dulu dilupakan di segala dinding kakus dan kamar mandi dan yang demikian tidak dapat dipenuhi, diganti dengan disiplin partai untuk menutupi kelemahan mencari sendiri…”30

“Orang tidak lagi bisa melihat sajak sebagai sajak, tetapi harus dilihat sebagai manifes politik. Dengan di-anak-emaskannya politik, kebudayaan diperlakukan sebagai orang yang memperlakukan bangkai binatang dalam ruang anatomi, disuntik dengan formalin sehingga kaku sama sekali.”

Asrul Sani, yang mewakili sikap kalangan seniman dan budayawan yang bergabung dalam

“Gelanggang Seniman Merdeka”, menyatakan kejenuhannya atas dominasi politik terhadap setiap sektor kehidupan, yang termanifestasi dalam kehidupan partai-partai politik.

31

sesungguhnya sejalan dengan logika umum, namun bisa saja konsep surat tersebut sudah disusun pada jauh hari sebelumnya, ketika Chairil Anwar masih hidup. Atau malah sangat mungkin suraat itu mereka susun bersama.

30 Asrul Sani, “Fragmen Keadaan I”, Siasat, Minggu 22 Oktober 1950, hlm 6.

31 Asrul Sani, “Fragmen Keadaan II”, Siasat, Minggu 29 Oktober 1950, hlm 4

(36)

Berbicara tentang periode tahun 1950-an di Indonesia, tentu sangat identik dengan konstalasi politik yang sedang menggebu-gebunya di seluruh daerah di Indonesia. Hampir setiap (kalau tak bisa dikatakan seluruh) sektor kehidupan di Indonesia selalu dihiasi dengan intrik politik di dalamnya, tak terkecuali pada bidang budaya dan seni. Masuknya unsur politik ke dalam bidang kehidupan budaya dan seni pada akhirnya mengubah makna esensi dari seni itu sendiri.

2.2 Mukadimah Lekra

Tahun 1950-an merupakan tahun-tahun yang dipenuhi oleh gejolak harapan atau mimpi-mimpi tentang kebebasan Indonesia dari neraka kolonialisme. Di dalam lapangan kebudayaan, tahun 1950-an sering juga disebut dengan ‘zaman romantik’32

Setelah Surat Kepercayaan Gelanggang hadir di pentas kebudayaan Indonesia, pada tahun yang sama lahirlah suatu organisasi kebudayaan modern bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Meskipun belakangan lahir, bukan berarti embrio kelahiran Lekra disebabkan oleh tercetusnya SKG pada Februari 1950. Berdirinya Lekra sebagai sebuah organisasi kebudayaan tidak terlalu banyak sangkut-pautnya dengan kehadiran dari manifes Surat Kepercayaan Gelanggang. Lekra terbentuk pada 17 Agustus 1950, di Jakarta . Akan tetapi, seni pada masa itu menjadi barang yang mahal harganya. Pada masa itu seni hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kalangan tertentu itu tentu saja adalah kalangan atau golongan elite bangsa, sedangkan rakyat biasa atau golongan bawah tak bisa menikmati dan merasakan keindahan seni pada waktu itu.

32 Istilah romantik di sini mengacu pada era romantisisme yang muncul di Eropa pada akhir abad ke- 18. Sebuah gelombang reaksi dari zaman penceraha yang dianggap terlalu memberi tekanan pada rasio atau akal sehingga menjadi kering, dingain dan kaku. Romantisisme berupaya mengedepankan hal-hal yang lebih emosional, keunikan individu, hasrat akan kebebasan.

(37)

yang disahkan berdasar naskah Mukadimah Lekra. Naskah inilah yang nantinya menjadi batu landasan dari seluruh kerja-kerja kebudayaan Lekra.

Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut dirinya sebagai peminat dan pekerja kebudayaan. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat Lekra ialah A.S. Dharta, M.S. Ashar dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II dan III.

Dengan anggota: Henk Ngantung, Nyoto dan Joebaar Ajoeb. Perkembangan awal Lekra tidak dapat lepas dari andil Nyoto, salah satu dari pemimpin besar PKI pada masa itu selain D.N. Aidit dan Lukman. Tahun 1950, Nyoto bertemu dengan para pelukis dan penulis yang beraliran kiri. Mereka mendiskusikan tentang peranan seni dalam perjuangan kelas. Nyoto menganjurkan perpaduan antara tradisi besar realisme kritis dan romantisme untuk membuat kesenian yang menampilkan kenyataan menuju proses perubahan yang revolusioner. Nyoto memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi kalangan kaum intelektual dan seniman. Affandi, Soedjono, Rivai Apin dan Pramoedya Ananta Toer, adalah beberapa dari mereka yang mengagumi Nyoto.

Mukadimah Lekra sebagai proklamasi berdirinya Lekra dalam arus pusaran kebudayaan dan politik bangsa Indonesia, mempunyai dalil yang sangat penting terhadap kegiatan-kegiatan yang nantinya dilakukan oleh pekerja-pekerja kebudayaan Lekra dalam mewujudkan cita-cita atau visi organisasi. Dalam hal ini Mukadimah Lekra tentu berbeda dengan manifes Surat Kepercayaan Gelanggang, karena Mukadimah Lekra diproklamasikan oleh sebuah organisasi bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang

(38)

bersamaan waktu berdirinya organisasi dan proklamasi manifes tersebut. Sedangkan Surat Kepercayaan Gelanggang bukanlah dibuat berdasarkan usaha organisasi apapun.33

Isi dari Mukadimah Lekra 1950 dengan terang-terangan menyatakan bahwa

“Revolusi Agustus 1945 telah gagal!”34

33 Joebaar Ajoeb, 2004, loc.cit.

34 Naskah lengkap lihat Lampiran I.

pernyataan dari mukadimah tersebut dicetuskan bukan tanpa alasan, para pekerja kebudayaan Rakyat Lekra menganggap bahwa pemerintah telah melecehkan perjuangan revolusi yang telah di emban selama ini oleh Rakyat Indonesia yang telah mengorbankan segalanya untuk mencapai kemerdekaan bangsa. Perjuangan Rakyat dalam menuntaskan revolusi, diputus, dihambat, dan diganti dengan apa yang disebut dengan “perjuangan diplomasi”. Hal ini tak pelak dipandang sebagai langkah mundur jauh ke belakang oleh Rakyat. Saat dikumandangkannya kalimat- kalimat sakral Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada terucap atau tertulis merdeka atas perundingan dengan Belanda, yang artinya kemerdekaan tersebut mutlak direbut atau dikerjakan oleh Rakyat Indonesia dan harus dipertahankan tanpa syarat.

Alasan-alasan inilah yang membuat para seniman Rakyat ingin mengembalikan revolusi ke jalannya yang benar, bersedia menggabungkan diri ke dalam organisasi kebudayaan Lekra. Dalam mukadimah yang telah dibuat pada 1950, para seniman Lekra sepakat bahwa perundingan-perundingan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam

“perjuangan diplomasi” adalah salah langkah yang justru hanya memberi ruang bagi Belanda untuk menuntut konsesi-konsesi, atas dasar rasa tidak ikhlas mereka melepas Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

(39)

Perundingan-perundingan tersebut dimulai dengan Maklumat 1 November 1945 yang hasil di antaranya mengharuskan Indonesia menanggung semua hutang yang telah dibuat Belanda sejak sebelum masuknya Jepang ke Tanah Air. Selain itu, Indonesia juga wajib mengembalikan seluruh perusahaan asing yang ada kepada pemiliknya di masing- masing negara dan menyediakan sumber-sumber kekayaan alam untuk dieksploitasi oleh negara lain, khususnya Belanda dan Amerika Serikat.

Setelah Maklumat 1 November 1945, muncul kemudian perundingan lain, yang dikenal dengan Perundingan Linggarjati, 25 Maret 1947. Perundingan Linggarjati ini sesungguhya menjadi rencana tindak lanjut dari Maklumat 1 November 1945 dengan memaksa Indonesia hanya mengakui Jawa, Madura dan Sumatera sebagai wilayah yang resmi dimiliki oleh Indonesia. Walaupun telah diadakan berbagai perundingan, Belanda tetap saja menginvasi Indonesia lewat Agresi Militer35

35 Agresi Militer yang terjadi pada tahun 1947 dan 1948 dilihat dari sudut pandang pemerintah Belanda disebut Politionele Actie (Aksi Polisionil). Lisbeth Dolk, A Entangled Affair; STICUSA and Indonesia 1948-1956, KITLV Press, Leiden, 2012, hlm. 3.

yang mereka lancarkan hingga dua kali (Juli 1947 dan Desember 1948).

Terakhir, sekaligus puncak dari pada kejengkelan kaum kiri akan hancurya perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah dengan diadakannya perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949. KMB ini tak pelak dianggap menjatuhkan harga diri dan martabat rakyat Indonesia yang telah berjuang mati- matian untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme bangsa asing.

Persetujuan KMB ini membuat bangsa Indonesia harus menerima bentuk sebagai negara federal.

(40)

Perjanjian KMB tersebut juga membawa dampak kemunduran dalam bidang kebudayaan. Belanda pasca penandatanganan KMB, berusaha dengan giat untuk mempertahankan gengsi dan politik kolonialnya, karena KMB merupakan salah satu jalan untuk mengembalikan kolonialisme ke dalam bentuk baru36

36 Ibid. Usaha Belanda untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahannya juga terdapat pada bidang kebudayaan, diantaranya adalah dengan mendirikan lembaga kebudayaan bernama STICUSA (Stichting Cultureel Samenwerking) yang didirikan di Belanda pada Februari 1948, sedangkan STICUSA membuka cabangnya di Jakarta pada Januari 1949 dengan mengirimkan utusannya yang bernama Oscar Mohr. Tujuan didirikannya STICUSA ini oleh Belanda yaitu sebagai upaya ‘pengembangan yang harmonis di keempat wilayah (Indonesia, Suriname, Kepulauan Antiles, beserta Belanda) itu dalam suasana yang demokratis.’ (‘om met een beroep op het gehele vermogen van Nederland en op basis van waderkerigheid te komen tot een harmonische ontwikkeling in democratische zin tussen de vier gebieden’).salah satu upaya atau cara yang dilakukan oleh STICUSA dengan memberikan beasiswa bagi seniman Indonesia untuk belajar ke Belanda.

. Pekerja kebudayaan Indonesia kehilangan jiwa dan semangat nasionalismenya karena proses penciptaan kesenian mematok kebudayaan barat sebagai kiblat. Akibatnya, unsur emosi dan estetika yang cenderung subjektif, menjadi dominan dalam proses penciptaan seni budaya.

Kegiatan-kegiatan diplomatik ini lantas dipandang Lekra sebagai suatu

‘pengkhianatan’ terhadap darah para pahlawan bangsa yang telah dengan cuma-cuma dicucurkan dan dipersembahkan untuk kemerdekaan Indonesia. Jalan diplomasi dirasakan juga menghambat perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi dengan mengambil alih kepemimpinan dan membawanya ke meja perundingan. Atas dasar itulah, Revolusi Agustus 1945 yang dianggap gagal oleh para pendiri Lekra, menjadi acuan mereka untuk membentuk sebuah organisasi kebudayaan bewatak revolusioner yang bisa menjadi instrumen atau alat untuk menghimpun kekuatan yang masih taat dan teguh mendukung jalannya dan terselesaikannya revolusi Tanah Air dengan keyakinan bahwa kekalahan revolusi yang terjadi akibat jalan diplomasi dan perundingan hanyalah kekalahan sementara

(41)

“Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi di saat garis revolusi sedang menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi”37

Maka dari itu, untuk menghancurkan kebudayaan feodal dan imperialis yang terus menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa, para perumus Mukadimah Lekra 1950 menganjurkan supaya dibentuk sebuah gerakan kebudayaan rakyat yang demokratis.

Dalam mempertahankan dan membangun kebudayaan rakyat ini, Lekra merumuskan sebuah strategi, yaitu “Konsepsi Kebudayaan Rakyat”

Isi dari Mukadimah Lekra tahun 1950 ini mengisyaratkan bahwa hancurnya kolonialisme di dunia bukan berarti ancaman penjajahan sudah tidak ada lagi,termasuk di Indonesia sendiri. Bahkan Mukadimah Lekra mendefinisikan kalau status masyarakat Indonesia pada saat itu sebagai masyarakat ‘setengah jajahan’, walau secara politis kemerdekaan telah diproklamasikan. Kondisi masyarakat setengah jajahan inilah yang terus ingin dipertahankan oleh golongan elit kelas penguasa yang telah merasakan kenikmatan dan kemewahan di masa kolonial, dengan terus memlihara feodalismenya dan menciptakan pintu masuk bagi datangnya kembali imperialisme yang baru (neo- imperialisme) ke Indonesia.

38

37 Joebaar Ajoeb, Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 dan Tempat Serta Peranan Lekra di Dalamnya, Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959b. hlm. 15.

38 Lihat pada Lampiran 1.

. Konsepsi yang dirumuskan dalam Mukadimah Lekra 1950 ini terbagi menjadi enam bagian, yang terdiri dari penjelasan tentang arti pentingnya ‘Rakyat’ sebagai pemilik kebudayaan, sebab-sebab yang merugikan perkembangan kebudayaan rakyat, sampai kepada langkah-langkah strategis Lekra dalam mewujudkan visinya. Mukadimah inilah yang menjadi landasan dari seluruh

(42)

gerak organisasi dan juga menjadi inspirasi dari setiap individu yang tergabung di dalam Lekra pada awalnya.

Sastrawan yang tergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang didirikan pada 17 Agustus 1950, tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat, dengan demikian, atas dasar “seni untuk rakyat” seperti yang dinyatakan dalam

“Mukadimah Lekra” (1950) – menolak aliran “seni untuk seni” yang dianut oleh kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

Gambaran kritis tentang kelahiran Lekra berhasil digambarkan oleh Joebaar Ajoeb dalam “Laporan Umum”-nya pada Kongres Nasional I Lekra:

“Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berwujud persetujuan KMB, jadi, disaat garis revolusi sedang menurun. Ketika itu perang-perang kebudayaan jang tadinya seolah-olah satu kepalan tangan yang tegak di pihak revolusi, menjadi tergolong- golong, mereka jang tidak setia menyeberang. Yang lemah dan ragu seakan putus asa karena tak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya dengan keyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan sementara.39

Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang kemudian disingkat Lekra.40

Lekra kemudian menggiatkan aktivitasnya disegala bidang kebudayaan. Sebagai sebuah organisasi yang tidak hanya bergerak di ranah kultural, namun juga politik, Lekra kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat. Lekra melakukan rekruitmen anggota sebanyak-banyaknya dari kalangan seniman, sastrawan, budayawan, cendekiawan.

Gerakan ini terbukti berhasil di mana pada tahun 1954, Lekra tercatat telah mempunyai

39 Joebaar Ajoeb, Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra, dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, Jakarta, 1959a.

40 Paragrap pertama Mukadimah Lekra 1950

Gambar

Gambar 1.1. Pemutaran Film oleh STICUSA di Yogyakarta.
Gambar 1.3. Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb (kiri) dan Njoto | A. S. Dharta (kanan)
Gambar 1.5. Kondar Sibarani sewaktu menjadi konduktor bersama dengan Ansambel Gembira di  RRC
Gambar 1.7. Samirin, Konduktor Ansambel “Tak Seorang Pun Berniat Pulang”.

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaanya dilihat melalui jenis, dalam bahasa Banggai hanya terdapat empat jenis deiksis yaitu : deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu dan deiksis

Berdasarkan Implementasi dari uji coba program dapat disimpulkan bahwa analisis sistem berjalan khususnya pada bagian pengolahan data Pembuatan Izin Pengguna

Semisal dalam seni grafis terdapat beragam teknik yang material dan cara pengerjaannya berbeda-beda, dari hal-hal tersebut penulis menemukan bahwa seni grafis memiliki

Hasil penelitian yang diperoleh adalah perlakuan penggunaan pupuk kandang ayam A 2 (pupuk kandang ayam 12 kg) memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tinggi

Sesuai dengan permasalahan tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk : “ Mengetahui Apa Saja Isi Daily Report Informasi Yang Di Siarkan Radio 103,1 GEN

menjelaskan bahwa perlakuan dengan kombinasi dosis pupuk 0, 7 kg kompos ampas sagu + 35 g NPK (E) menunjukkan rata-rata jumah daun terbaik yaitu sebanyak

Kesimpulan Terdapat perbedaan yang bermakna antara curah saliva wanita tidak hamil dengan wanita hamil, curah saliva pada kehamilan trimester 1 dengan kehamilan trimester 2,

Lukisan berjudul Women III adalah merupakan hasil karya yang dibuat oleh seniman yang menganut aliran lukisan abstrak ekspresionis willem de Kooning dan merupakan salah satu