• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lekra dan Hubungannya dengan PKI

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

2.4 Lekra dan Hubungannya dengan PKI

Dalam konteks politik, media seni budaya dapat menjadi salah satu mesin propaganda kebijakan pemerintah yang sangat efektif. Hal ini berlaku juga pada masa Demokrasi Terpimpin, banyak lembaga-lembaga nasional, baik politik dan budaya yang saling berlomba untuk mendapatkan simpati atau perhatian dari pemimpin pemerintahan (dalam hal ini ialah Presiden Soekarno). Lekra pun demikian, agar bisa masuk dan selalu eksis di ranah perpolitikan bangsa, Lekra berusaha untuk bisa sedekat mungkin dengan Soekarno. Dukungan-dukungan dengan penuh semangat terus dinyatakan Lekra terhadap semua ide-ide yang dilahirkan oleh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Ide-ide dan ajaran Soekarno seperti Manipol, Usdek, Nasakom, Berdikari, Ganefo, dan sebagainya selalu dijadikan sebagai acuan dalam setiap kegiatan, baik kegiatan politik maupun kesenian Lekra.

78

77 Antariksa, Tuan Tanah Kawin Muda, Yogyakarta, 2005, hlm. 51.

78 Ahmad Norma, Seni, Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yorgyakarta, 1998, hlm. 67.

Ternyata dengan hadirnya era Demokrasi Terpimpin, situasi politik Indonesia menjadi penuh dengan intrik perpolitikan yang sangat kental dengan politik praktis. Pada era ini bukan hanya pemerintah saja yang menjadi sasaran afiliasi setiap organisasi maupun lembaga, namun partai-partai juga ikut dijadikan sasaran sebagai ‘kawan’ politik. Tak pelak kondisi ini membuat banyak lembaga-lembaga seni budaya yang sebelumnya independen terpaksa memutarkan haluannya untuk setia kepada amanat partai.

Belakangan Lekra divonis sebagai onderbouw PKI oleh lawan-lawannya. Terutama menjelang tahun 1960-an banyak pada saat itu partai-partai yang juga membentuk sebuah lembaga kebudayaannya. Sebut saja di antaranya LKN (PNI), Lesbi (Partindo), Lesbumi (NU) 79 , Laksmi (PSII), Lekrindo (Parkindo), LKKI (partai Katolik) dan ISBM (Muhamadiyah), bahkan Angkatan Darat juga mempunyai lembaga kebudayaannya yang kelak diberi nama Manifesto Kebudayaan. Brita Maklai dalam tulisannya mengatakan bahwa kecenderungan partai untuk membentuk sayap di bidang kebudayaan ini ternyata bak gayung bersambut dengan kecenderungan seniman untuk mencari afiliasi kepada partai.80

79 Lesbumi dibentuk pada 28 Maret 1962 di bawah naungan partai Nahdatul Ulama (NU).

Pendiriannya dipelopori oleh Djamaludin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani. Pada prinsipnya Lesbumi mengambil sikap ‘jalan tengah’ dan dilandasi pada azas moderasi tawazun), menjaga keseimbangan (at-ta’adu), dan toleran (at-tasamuh) yang kesemuanya itu merupakan manifestasi dari paham alussunnah wal-jama’ah. Oleh karena mangambil prinsip ‘jalan tengah’ ini, Lesbumi tidak memihak kepada Lekra atau Manifesto Kebudayaan. Dalam musyawarah besarnya yang pertama kali pada tanggal 25-28 Juli 1962, Lesbumi berhasil merumuskan tiga hal pokok yang menjadi pedoman bagi seluruh senimannya, yang ditafsirkan menjadi ‘kebudayaan Islam’, ‘seni Islam’, dan ‘seniman dan budayawan Islam’.

80 Brital Maklai, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia sejak 1966, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 22.

Para seniman dan pekerja kebudayaan di zaman itu dituntut agar bersikap loyal dan harus berpihak kepada salah satu partai, hal ini agar seniman bisa lebih dihargai karya-karyanya. Dengan tolak ukur ini kemudian Lekra dicap sebagai tangan kanan PKI dalam ranah kebudayaan.

Kedekatan Lekra dengan PKI alhasil membuat seakan-akan Lekra menjadi sebuah corong politik-nya PKI untuk menarik simpati rakyat. Hal ini tak lepas dari kesamaan prinsip organisasi tersebut yang mengutamakan Rakyat sebagai tujuan utamanya. Maka dari itu, dengan kesamaan prinsip dan juga ideologi, tak bisa dipungkiri, kedekatan Lekra dan PKI ini pada akhirnya memang sudah terjalin, bahkan begitu dekat. Dan hal ini sebenarnya membuat kedua organisasi dan lembaga tersebut saling diuntungkan satu sama lain.81

Akan tetapi, para elit Lekra langsung membantah anggapan seperti itu. Menurut mereka kedekatan antara Lekra dengan PKI bukanlah seperti hubungan pemimpin dan bawahannya atau sebaliknya. Hubungan yang terbentuk antara Lekra dan PKI hanyalah sebatas ‘kawan ideologi’. Ideologi ‘seni tak hanya untuk seni, tapi seni untuk rakyat’82 yang dimiliki Lekra memang banyak terinspirasi dari semangat kerakyatan PKI. Walau adanya persamaan persepsi tersebut, bukan berarti seni harus selalu mengabdikan diri kepada partai politik tertentu, melainkan mengabdikan diri kepada arah revolusioner.83

Tentang kedekatan antara Lekra dan PKI ini, terutama tentang hal onderbouw atau tidak onderboum-nya Lekra terhadap PKI menuai banyak perbedaan pandangan. Menurut

81 Keuntungan dari pihak Lekra, yaitu memudahkan mereka untuk melebarkan sayapnya, akibat kedekatannya dengan PKI, banyak Rakyat dari kalangan bawah yang tertarik atau berminat untuk menjadi anggota atau simpatisan Lekra. Bukan hanya itu, koran milik PKI, Harian Rakyat dan Bintang Timur juga menjadi media yang setia menampung berbagai karya sastra para aktivis dan organisatoris Lekra. Sedangkan keuntungan yang bisa diambil dari pihak PKI yaitu memudahkan mereka untuk memobilisasi massa terutama kaum seniman yang progresif-revolusioner. Contoh saling menguntungkan antara dua kubu ini bisa dilihat dari kesuksesan PKI pada Pemilihan Umum I tahun 1955.

82 Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Jendela, Yogyakarta, 2002, hlm 90-91.

83 Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi,. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, hlm 216-217.

Keith Foulcher84

“…actually more inclined Lekra a left nationalist cultural institutions of the communist cultural institutions”.

dalam bukunya “Social Comittment in Literature and The Arts”

mengatakan bahwa:

85

Foulcher mengatakan demikian setelah melihat bahwa dalam proses melakukan perekrutan anggota baru, Lekra hanya didasarkan atas rasa kesuka-relaan, bukan dengan memasukkan dengan paksa doktrin-doktrin Marxis atau Stalin.

(“…sebenarnya Lekra lebih condong merupakan lembaga kebudayaan nasionalis kiri daripada lembaga kebudayaan komunis”).

86

“keanggotaan lekra terbuka untuk siapapun tanpa ada syarat-syarat yang merumitkan. Salah satu garis yang menghubungkan keanggotaan adalah kecintaan pada seni dan budaya, serta kecintaan pada rakyat itu sendiri. Meskipun demikian gerak lekra yang mengusung seni adalah politik tidak berpengaruh besar terhadap anggotanya. Kebanyakan anggota lekra bergabung karena kecintaan mereka terhadap seni dan budaya. Bagi mereka yang menyukai tari, maka dapat bergabung dengan tari. Bagi mereka yang menyukai keroncong (musik) bisa bergabung dengan keroncong. Keanggotaan ini tidak memiliki kartu identitas. Sehingga klaim anggota Lekra berjumlah banyak bukanlah isapan jempol. Masyarakat umum, dari berbagai ras, suku, kebangsaan dan agama dapat bergabung dengan Lekra. Asalkan mereka memiliki visi dan misi yang sejalan dengan organisasi budaya ini”.

Dalam situasi demikian, Keith Foulcher juga sejalan dengan pandangan Kusni Sulang dalam menilai hubungan Lekra dengan PKI. Menurut Kusni, Lekra tidak meminta syarat apa-apa bagi orang yang tertarik ingin bergabung bersama Lekra;

87

84 Keith Foulcher adalah seorang intelektual dari Australia yang berminat pada kajian-kajian budaya di Indonesia. Dia mendapatkan Honorary Associate dari almamaternya Universitas Sydney.

85Keith Foulcher, 1986, op.cit, hlm.24-25.

86 Untuk mengetahui doktrin-doktrin Marxis dan Stalin menurut pemikiran Lekra baca buku Nyoto,

“Marxisme Ilmu dan Amalnya”.

87 Kusni Sulang, 2005, op.cit, hlm. 34.

Anggapan bahwa Lekra adalah Lembaga Kebudayaan bentukan PKI dapat dikatakan hanya sebagai manuver lawan-lawan Lekra untuk menghentikan eksistensi Lekra baik di bidang kebudayaan atau pun bidang perpolitikan Indonesia. Hal ini juga berkaitan dengan mulai melemahnya sosok Soekarno di mata rakyat pada pertengahan tahun 1960 dan ditambah semakin eksisnya Angkatan Darat. Puncaknya yaitu pada zaman orde baru yang secara umum memberikan stigma dengan mengaitkan Lekra sebagai kaki-tangannya PKI dan akhirnya menenggelamkan Lekra pada peta kebudayaan Indonesia.

Dampak epilognya terjadi pada peristiwa Gestapu yang lantas menyeret juga Lekra ke dalam keganasan pembantaian kroni-kroni PKI oleh rezim Orde Baru yang mengatasnamakan Pancasila semu.

Oey Hay Djoen perihal hubungan antara Lekra dengan PKI juga pernah mangatakan demikian;

“Jangan menganggap lekra lahir dari PKI…idenya bukan hanya dari Nyoto, Aidit, dan sebagainya. Ada juga M.S. Ashar dari Merdeka di sana, ada A.S. Dharta, dan sebagainya. Tidak semuanya orag komunis. Tapi yang lebih penting, sebelum Lekra berdiri sudah banyak organisasi kebudayaan, yaitu kelompok-kelompok yang berakar di masyarakat”.88

Meskipun tokoh-tokoh Lekra sangat dekat dengan PKI, dan sebagian menjadi anggota bahkan pengurus dalam PKI, namun Lekra tidak bisa serta merta divonis menjadi onderbouw partai komunis terbesar di Asia Tenggara tersebut. Aidit sendiri pada awal

dibentuknya Lekra, sedang menjalani masa hukuman selama dua minggu percobaan enam bulan bersama Lukman. Keduanya dijatuhi hukuman karena melanggar Pasal 472 Undang-Undang Hukum Pidana mengenai persoalan penumpang gelap. Seperti diketahui, bahwa Aidit dan Lukman menumpang kapal dari Hongkong tanpa menggunakan tiket dan

88 Antariksa, 2005, op.cit. hal. 36.

surat resmi. Singapura pada saat itu sedang aktif melakukan pembersihan terhadap tokoh-tokoh kiri, sehingga Aidit dan Lukman yang sedang berada di sana segera kembali ke tanah air meskipun kehabisan uang. Keduanya sampai ke Tanjung Periok dengan kapal Tjitjalengka pada 23 Juli 1950.89

Sejak berkembang pesatnya Lekra dari tahun 1955, PKI memang sangat gencar mendekati para aktivis Lekra. Dalam setiap acara PKI, selalu terdapat undangan tamu bagi organisasi Lekra. Hal ini kemudian dipandang oleh kalangan intelektual pada waktu itu sebagai sebuah strategi PKI untuk mengintegrasikan Lekra dengan PKI. Meski berulang kali Lekra menyatakan komitmennya untuk tidak mengikuti garis komando partai manapun, usaha PKI untuk “memerahkan” Lekra tetap berlanjut sampai puncaknya ialah pada tahun 1964. Diselenggarakannya KSSR (Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner)90

Sejumlah rumor bahkan menyatakan bahwa PKI telah memplot S.W. Kuntjahjo, seorang penyair dan pelukis drama yang juga menjadi Ketua KSSR, untuk menggantikan Joebaar Ajoeb sebagai Sekretaris Umum Lekra andaikata Lekra bersedia menyatakan dirinya sebagai sebuah organisasi komunis. Tidak hanya itu, Amarzan Ismail Hamid, delegasi dari seniman Sumatera Utara, juga berpendapat bahwa ada isu dari Sekretariat pada 27 Agustus 1964 merupakan bukti masih adanya suatu usaha untuk menekan Lekra agar menerima kepemiminan PKI di dalam seni dan budaya.

89 Antara, 13 Agustus 1950

90 Gagasan penyelenggaraan KSSR ini lahir dari Sidang Pleno ke-II CC PKI pada akhir tahun 1963.

Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 58.

Umum Lekra untuk membubarkan Lekra apabila PKI tetap ngotot memaksa Lekra menjadi onderbouw PKI.91

“Nah, kita berkali-kali memang diajak diskusi oleh Partai, oleh PKI, untuk mengubah Lekra itu menjadi pronounced onderbouw. Kami menolak. Bagian besar dari kami menolak. Saya juga termasuk yang menolak. Saya memang berpendapat, tidak bisa, seniman itu direger begitu. Jadi kita menolak.”

Usaha yang ditempuh PKI melalui KSSR ini lantas tetap juga gagal untuk membujuk Lekra. Seperti yang dijelaskan oleh Oey Hay Djoen, sewaktu berlangsungnya KSSR banyak terjadi perlawanan oleh anggota-anggota Lekra yang menolak gagasan Aidit untuk “memerahkan” Lekra;

92

Alhasil dari semua perjuangan yang telah dilakukan PKI untuk memerahkan total Lekra berujung pada kegagalan. Dengan kegagalan PKI beserta KSSR nya untuk memerahkan Lekra, PKI seakan ‘membanting setir’ dengan menjadikan KSSR itu sendiri sebagai lembaga resmi kebudayaannya.

Penolakan para aktivis Lekra dalam KSSR tersebut memang berlandaskan kepada alasan bahwa seniman semestinya tidak menempatkan diri mereka di bawah komando langsung partai. Mereka juga memandang bahwa seniman dan karya-karyanya merupakan suatu yang inheren di luar wilayah kontrol politik pragmatis, walaupun seniman-seniman tertentu memiliki perhatian pada suatu partai beserta intrik-intrik yang menyertainya.

93

91 Keterangan Martin Aleida saat dimintai pendapat tentang keikutsertaan Lekra dalam KSSR, via e-mail.

92Michael Bodden, Teater Nasional Modern Lekra 1959-1965; Dinamika dan Ketegangan, KITLV-Jakarta, KITLV-Jakarta, 2012, hlm. 23.

93 Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 62.

KSSR pun sempat merayakan hari jadinya yang

pertama pada Agustus 1965, tepat satu bulan sebelum meletusnya peristiwa Gerakan 30 September.

Walaupun Lekra dengan ketegasan sikapnya menolak untuk dibawahi oleh PKI, namun bukan berarti Lekra lantas menjadi musuh atau lawan PKI. Dari kalangan Lekra sendiri tidak ada yang menolak dengan diadakannya KSSR oleh PKI, mereka tetap hadir dalam acara tersebut dan acara-acara PKI yang lain. Lekra juga tidak pernah mempermasalahkan pendirian KSSR sebagai lembaga budaya resmi PKI, hadirnya KSSR malah dianggap semakin memberikan warna terhadap perkembangan kebudayaan revolusioner di Indonesia.94

Pada sekitaran tahun 1963, keberadaan Lekra yang di tahun-tahun sebelumnya sangat mendominasi ranah kebudayaan Indonesia, mulai terancam dengan kehadiran Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Akronim “Manikebu” sendiri diciptakan oleh Lekra dan organisasi-organisasi yang tidak setuju dengan pembentukan Manifesto Kebudayaan, yang ditujukan untuk memperolok kubu tersebut. Berbeda dengan Manifesto Kebudayaan yang menjadikan kemanusiaan dan kebebasan sebagai nilai tertinggi kesenian, kelompok Lekra menjadikan “politik sebagai panglima”. Maxim Gorki yang sering kali dikutip (diilhami oleh pandangan Marxisme dan Leninisme) menandaskan bahwa seni tak pernah lepas dari politik. Ini berangkat dari pandangan bahwa sebuah kehidupan terbangun dari perjuangan kelas, tak seorang pun dapat mengelak dari pergulatan politik yang ada di dalamnya.